Islam Dan Tantangan Zaman

BOOK ID

سرشناسه : مطهری، مرتضی، 1298 - 1358.

Mutahhari, Murtaza

عنوان قراردادی : اسلام و مقتضیات زمان . اندونزیایی

عنوان و نام پدیدآور : Islam Dan Tantangan Zaman: Rasionalitas Islam Dalam Dialog TeksYang Pasti Dan Konteks Yang Berubah/ Ayatullah Murtadha Muthahhari; penterjemahAhmad Sobandi.

مشخصات نشر : Qum : Al-Mustafa International Translation and Publication Center, 2014= 1393.

مشخصات ظاهری : 477ص.؛ 5/14×5/21 س م.

فروست : مرکز بین المللی ترجمه و نشر المصطفی صلی الله علیه و آله؛ پ1393/270/177. نمایندگی المصطفی در اندونزی؛ 16.

شابک : 978-964-195-047-9

وضعیت فهرست نویسی : فیپا

یادداشت : اندونزیایی.

موضوع : اسلام -- تجدید حیات فکری

موضوع : اسلام -- مقاله ها و خطابه ها

موضوع : اسلام و مسائل اجتماعی

شناسه افزوده : سوباندی، احمد، مترجم

شناسه افزوده : Soband,Ahmad

رده بندی کنگره : BP229/م56الف5049519 1393

رده بندی دیویی : 297/48

شماره کتابشناسی ملی : 3649498

p: 1

Point

بسم الله الرحمن الرحیم

p: 2

Islam Dan Tantangan Zaman

Rasionalitas Islam Dalam Dialog Teks

Yang Pasti Dan Konteks Yang Berubah

Ayatullah Murtadha Muthahhari

penerjemah:

Ahmad Sobandi

pusat penerbitan dan

penerjem ah an internasional al Musthafa

p: 3

Islam Dan Tantangan Zaman Rasionalitas Islam Dalam Dialog Teks Yang Pasti

Dan Konteks Yang Berubah

penulis: Ayatullah Murtadha Muthahhari

penerjemah: Ahmad Sobandi

cetakan: pertama, 1393 sh / 2014

penerbit: pusat penerbitan dan penerjemahan internasional al Musthafa

percetakan: Norenghestan

jumlah cetak: 300

ISBN: 978-964-195-047-9

اسلام و مقتضیات زمان

ناشر: مرکز بین المللی ترجمه و نشر المصطفی اعه

تیراژ: 300

قیمت: 215000 ریال

مؤلف: آیت الله مرتضی مطهری

مترجم: احمد سوباندی

چاپ اول: 1393 ش /2014م

چاپخانه: نارنجستان

© Al-Mustafa International Publication and Translation Center

Stores:

ORAN, Qom; Muallim avenue western , (Hujjatia). Tel-Fax: +98 25-37839305 - 9

OIRAN, Qom; Boulevard Muhammad Ameen, Y-track Salariyah. Tel: +98 25-32133106,

Fax: +98 25-32133146

IRAN, Tehran; Inqilab Avenue, midway Wisal Shirazi and Quds, off Osko Street, Block 1003.

Tel: +98 21-66978920

OIRAN, Mashad; Im am Reza (a.s) Avenue, Danish Avenue Eastern, midway Danish 15 and 17.

Tel: +98 51-38543059

www.pub.miu.ac.

ir m iup@pub.miu.ac.ir

kepada semua pihak yang turut andil dalam penerbitan buku ini kami haturkan banyak terima kasih

p: 4

TRANSLITERASI ARAB

p: 6

TRANSLITERASI PERSIA

p: 7

DAFTAR JSI

Transliterasi Arab.....vii

Transliterasi Persia.....viii

Pendahuluan.....1

1. Penyebab Perubahan Tuntutan Zaman.....11

2. Dua Bentuk Perubahan Zaman.....23

3. Masyarakat yang Berkembang.....39

4. Sikap Jumud dan Berlebih-Lebihan.....53

5. Jalan Tengah.....63

6. Aral dan Jalan Tengah.....73

7. Khawarij.....85

8. Faktor-Faktor Penyuci Pemikiran Islam.....97

9. Akhbariyyah.....109

10. Gerakan Konstitusional.....121

11. Rasulullah: Pembawa Risalah, Penentu Hukum,dan Penguasa.....135

12. Tuntutan Zaman I.....147

13. Tuntutan Zaman II.....161

14. Perubahan-perubahan Zaman dalam Sejarah Islam.....175

15. Ijtihad dan Memperdalam Agama.....187

16. Kaidah Kesesuaian (Mulazamah).....199

17. Imam Ali: Sosok Kepribadian Abadi.....213

18. Relativitas Akhlak.....225

19. Ibadah adalah Kebutuhan Manusia.....237

20. Analisis atas Pandangan Relativitas Keadilan.....251

21. Pengertian Keadilan dan Sanggahan atas Paham Relativitas Keadilan.....263

22. Analisis atas Pandangan Relativitas Akhlak.....281

23. Masalah Naskh dan Khâtamiyyah.....293

24. Khâtamiyyah.....305

25. Intuisi dan Masalah Relativitas Akhlak.....315

26. Keharusan Zaman dan Masalah Keadilan.....327

27. Pertanyaan dan Jawaban Umum.....341

28. Kedudukan Akal dalam Menarik Kesimpulan Hukum-Hukum Islam.....359

p: 7

29. Apakah Ijtihad Itu Bersifat Relatif?.....373

30. Dua Pandangan tentang Determinisme Sejarah.....385

31. Kekuatan Penggerak Sejarah.....401

32. Analisis Teori Determinisme Ekonomi dalam Sejarah I.....419

33. Analisis Teori Determinisme Ekonomi dalam Sejarah II.....437

34. Masyarakat dan Sejarah dalam Perspektif Al-Q ur'an.....447

Indeks.....463

Iklan Buku.....467

p: 8

PENDAHULUAN

p: 1

p: 2

photo

PENDAHULUAN

OLEH: MURTADHA MUTHAHHARI.

Masalah Islam dan tuntutan zaman termasuk dalam persoalan-per- soalan sosial penting yang banyak mengharu biru benak dan pemikir- an kaum cendekiawan muslim pada abad kita sekarang ini. Mereka adalah sekelompok orang yang mempunyai kedudukan utama di kalangan kaum muslim dan jumlah mereka pun bisa dihitung. Dalam hal ini, ada dua masalah penting yang menuntut pemecahan segera.

Inilah tugas dan tanggung jawab besar kelompok di atas. Kedua masa- lah itu adalah: Pertama, pentingnya mengenal dan mengetahui secara benar ajaran Islam yang murni sebagai bentuk filsafat sosial dan keya- kinan ketuhanan, aturan pola pikir, dan kepercayaan yang konstruktif dan komprehensif akan mengantarkan manusia kepada kebahagiaan.

Kedua, pentingnya mengenal dan mengetahui kondisi dan tuntutan zaman. Demikian pula halnya dengan kemampuan membedakan dan memisahkan hasil-hasil kemajuan pengetahuan dan sains dari feno- mena-fenomena menyimpang yang memicu tumbuh dan berkembangnya segala bentuk kemerosotan dan kemunduran.

Sebuah kapal yang hendak mengarungi lautan dari satu benua ke benua lain pastilah memerlukan kompas sebagai alat penunjuk arah dan jangkar kokoh yang akan menjaganya agar tidak karam dan hanyut terbawa gelombang. Di samping itu, dalam setiap keadaan, awak kapal juga perlu mengetahui cuaca dan kondisi laut serta letak geografis dari setiap kawasan yang mereka lalui. Bertitik tolak dari sini, kita juga harus mengenal Islam sebagai alat petunjuk arah di dalam perjalanan, jangkar kokoh yang akan menjaga kita agar tidak karam dan hanyut terbawa oleh

p: 3

berbagai bentuk daya tarik dan daya tolak dalam kehidupan. Kita juga harus mengenal kondisi khusus setiap masa dan zaman sebagai jalan yang pasti akan kita lalui yang akan mengantarkan kita kepada tujuan yang kita cita-citakan dalam lautan kehidupan yang penuh gelombang.

Bagi kelompok di atas, tidak ada masalah yang tidak dapat dipecahkan. Hanya saja, ketidaktahuan atas hakikat Islam dan ketidakmampuan memisahkan faktor-faktor kemajuan dan perkembangan zaman dari berbagai peristiwa dan fenomena menyimpang yang merupakan watak manusia telah menjadikan masalah ini bagaikan sebuah teka-teki yang tidak dapat diselesaikan.

Akan tetapi, kita tidak memungkiri adanya sekelompok orang yang memandang bahwa masalah ini memang sebuah teka-teki yang tidak mungkin dipecahkan. Mereka berkeyakinan bahwa antara Islam dan tuntutan zaman adalah dua hal yang saling bertentangan dan tidak dapat dipertemukan, serta dua fenomena yang tidak mungkin sejalan.

Karena itu, menurut mereka, mau tak mau kita harus memilih salah satu dari keduanya. Apakah kita akan tetap berpegang pada Islam dan ajaran- ajarannya yang jauh dari segala bentuk kemajuan dan pembaruan, serta menghentikan zaman dari gerak perputarannya, ataukah kita menyerah kepada tuntutan-tuntutan zaman yang senantiasa berubah dan, sebagai konsekuensinya, kita meninggalkan ajaran Islam serta menganggapnya sebagai fenomena masa lalu yang layak disimpan dalam lembaran- lembaran sejarah? Pembicaraan kita kali ini ditujukan kepada orang- orang yang mempunyai kesamaan dengan mereka.

Mereka mengemukakan argumentasi bahwa Islam adalah agama terakhir dan ajaran-ajarannya bersifat langgeng. Dengan demikian, agama Islam haruslah tetap seperti pertama kali ia muncul di dunia ini. Islam adalah fenomena yang tetap dan sama sekali tidak menerima segala bentuk perkembangan. Sementara itu, di sisi lain, zaman atau masa adalah sesuatu yang senantiasa menuntut adanya perubahan.

Watak zaman menuntut perubahan dan pembaruan. Setiap hari zaman datang dengan membawa berbagai hal baru yang berbeda dari kondisi- kondisi masa lalu. Oleh karenanya, bagaimana mungkin kita bisa mempertemukan kedua hal ini: Islam adalah sesuatu yang tetap dan sama sekali tidak berubah, dan zaman adalah sesuatu yang tidak tetap dan senantiasa berubah?

p: 4

Apakah mungkin tiang-tiang listrik atau telepon yang terpancang di sisi jalan bisa berjalan seiring dan berbarengan dengan mobil yang senantiasa bergerak di jalan itu, pada dua waktu yang berbeda dan tidak pada titik yang sama? Apakah mungkin sehelai baju untuk seorang anak berumur dua tahun masih bisa dipakai oleh anak itu ketika ia telah menginjak usia dua puluh tahun? Padahal, sesudah dua puluh tahun, bentuk sebuah baju berikut ukurannya tetaplah sama seperti pertama kali dibuat dan sama sekali tidak mengalami perubahan. Sementara itu, badan seorang anak, bulan demi bulan dan tahun demi tahun, senantiasa berkembang dan bertambah besar. Oleh karena itu, kita harus mengakui bahwa masalah ini memang sulit dan tidak mudah dicarikan jalan pemecahannya dengan benar. Persoalan kemanusiaan ini mengingatkan kita pada persoalan lain yang dikemukakan oleh para teosof, yang mereka sebut “relevansi sesuatu yang berubah dengan sesuatu yang tetap” (rabth al-muta-gbayyir bi ats-tsâbit) dan juga "relevansi sesuatu yang kiwari dengan sesuatu yang azali" (rabth al-hâdits bi al-qadîm). Mereka juga telah mengemukakan jalan pemecahannya.

Persoalan para filsuf ini bertolak dari keyakinan bahwa sebab dari sesuatu yang berubah haruslah sesuatu yang berubah juga, dan sebab dari sesuatu yang tetap haruslah sesuatu yang tetap pula. Demikian juga, sebab dari sesuatu yang kiwari (hâdits) haruslah sesuatu yang bersifat kiwari pula, dan sebab dari sesuatu yang azali (qadîm) harus sesuatu yang bersifat azali pula. Dengan demikian, bagaimana mungkin semua hal yang selalu berubah dan berbagai peristiwa yang terjadi di alam ini kembali kepada satu sebab azali yang tidak menerima perubahan? Para filsuf menemukan satu bentuk relevansi yang, dari satu sisi, bersifat azali serta tetap dan, dari sisi lainnya, bersifat kiwari serta menerima perubahan. Mereka berkeyakinan bahwa relevansi itulah yang menjadi perantara antara hal-hal yang berubah dan kiwari dengan hal-hal yang azali dan sempurna.

Atas dasar itu, terlintas pertanyaan dalam benak kita: Apakah dalam masalah “Islam dan tuntutan zaman” -yang merupakan per- masalahan sosial, juga terdapat relevansi sebagaimana disebutkan oleh para filsuf? Jika memang demikian, apakah relevansinya itu? Dan termasuk dalam kategori mana?

p: 5

Kenyataan yang benar ialah bahwa argumentasi di atas, yang mengatakan kemustahilan Islam sejalan dengan berbagai tuntutan zaman, menggunakan cara-cara paralogisme (mughâlathab) dari ke- dua sisi, yakni dari sisi Islam dan sisi tuntutan zaman.

Ditinjau dari sisi Islam, mereka telah mencampuradukkan per- soalan kekalnya hukum Islam dan kemustahilan dihapusnya hukum itu. Ini merupakan sesuatu yang pasti dan termasuk dalam hal-hal yang vital dalam ajaran Islam dengan fleksibilitas dan kelenturan yang dimiliki hukum Islam. Mereka menganggap bahwa kedua hal itu adalah satu dan sama. Padahal, keduanya sama sekali terpisah satu sama lain.

Hal ini telah dibuktikan dengan kemampuan agung yang dimiliki fiqih Islam dalam menjawab setiap persoalan baru sehingga mengundang kekaguman dari seluruh manusia. Berbagai persoalan baru tidak hanya khusus dimiliki oleh masa kita sekarang ini saja, melainkan muncul pada setiap zaman. Sejak awal kedatangan agama Islam hingga abad ke-7 dan ke-8 H, peradaban Islam berkembang pesat dan setiap hari memunculkan berbagai persoalan baru. Pada saat itu, fiqih Islam dapat memainkan peranan pentingnya dengan baik tanpa bersandar pada, dan meminta pertolongan dari, sumber-sumber lain. Pada abad- abad terakhir, disebabkan tiadanya perhatian dari orang-orang yang bertanggung jawab atas masalah-masalah keislaman pada satu sisi dan juga kekaguman buta pada kemajuan yang diperoleh dunia Barat di sisi lain, muncullah anggapan bahwa hukum Islam sudah tidak sesuai dengan abad kita sekarang ini.

Paralogisme yang digunakan dalam masalah tuntutan zaman adalah bahwa karakteristik zaman ialah: semua hal, termasuk hakikat alam, akan usang dan berubah. Sementara itu, kenyataan sebenarnya adalah bahwa sesuatu yang akan menjadi baru dan usang dalam pandangan zaman hanyalah sesuatu yang berupa mated dan tersusun dari berbagai hal yang bersifat materiel. Sebuah apartemen, sebatang pohon, seekor hewan, dan seorang manusia terkena hukum usang dan sirna. Akan tetapi, hakikat alam adalah sesuatu yang tetap dan tidak berubah.

Apakah seseorang dapat mengatakan bahwa hukum Phytagoras, disebabkan telah berumur dua ribu tahun, telah usang dan tidak dapat dipergunakan? Apakah ucapan Sa'di bahwa “manusia tak ubahnya

p: 6

seperti sesosok tubuh”, lantaran sudah berumur tujuh ratus tahun, telah dihapus dan tidak mungkin lagi dapat diamalkan? Apakah tuntunan keadilan, kebajikan, dan kehormatan —lantaran sudah beribu-ribu tahun bergulir dari mulut ke mulut, telah usang dan tidak dapat diamalkan? Bahkan ucapan yang mengatakan bahwa hukum Phytagoras telah berumur sekian ribu tahun dan ucapan Sa’dî telah berumur tujuh ratus tahun adalah ucapan yang salah. Sebab, kandungan yang termuat dalam hukum Phytagoras dan syair Sa'dî adalah hakikat yang bersifat azali dan abadi, dan mereka berdua hanyalah menjelaskan dan mengutarakan kembali hakikat kenyataan ini.

Mereka mengatakan bahwa hukum dan undang-undang yang berlaku pada abad listrik, pesawat terbang, dan ruang angkasa, tidak bisa diambil dari hukum dan undang-undang yang berlaku pada abad lampu minyak, kuda, dan keledai. Jawaban atas pernyataan ini adalah: Tidak diragukan lagi bahwa abad listrik dan pesawat terbang memang telah melahirkan masalah-masalah baru yang harus dicarikan jawabannya. Akan tetapi, bukan suatu keharusan bahwa disebabkan listrik telah menggantikan kedudukan lampu minyak dan pesawat terbang telah menggantikan fungsi keledai, lantas hukum-hukum berkenaan dengan jual beli dan jaminan juga harus berubah. Apakah disebabkan orang tua, anak-anak, dan suami-istri mengendarai keledai di masa lampau, sementara orang tua, anak-anak, dan suami istri di masa kita sekarang ini bepergian dengan mengendarai pesawat terbang, lantas hak-hak kedua orang tua atas anak-anak mereka dan begitu juga hak-hak anak atas kedua orang tuanya juga harus berubah secara total pada masa kita sekarang ini? Islam adalah jalan, bukan rumah atau pemberhentian. Islam mengenalkan dirinya sebagai jalan yang lurus (ash-shirâth almustaqîm).

Adalah salah kalau kita mengatakan bahwa disebabkan rumah telah diganti, maka jalan pun harus diganti. Pada setiap gerakan yang teratur terdapat dua unsur pokok: unsur perubahan tempat yang berlangsung secara berurutan dan unsur tetap yang merupakan poros bagi gerakan.

Yang kedua ialah: Apakah hanya Islam satusatunya ideologi, filsafat kemasyarakatan, kompas petunjuk perjalanan, dan gerak menuju ke arah kesempurnaan, yang mengklaim kekekalan

p: 7

ajarannya? Apakah ajaran-ajaran dan ideologi-ideologi sosial lainnya, yang meyakini prinsip perubahan melebihi ajaran-ajaran lainnya se- hingga menganggap bahwa semua fenomena alam ini bersifat tak tetap dan senantiasa berubah, juga meyakini bahwa dasar-dasar ajaran dan ideologi mereka juga bersifat tidak tetap dan senantiasa berubah? Kita mengetahui bahwa pandangan-dunia dan ideologi Marxis dibangun atas dasar keyakinan bahwa alam ini senantiasa berubah, berkembang, dan bersifat tidak tetap. Namun, apakah orang-orang Marxis juga mengatakan bahwa ajaran-ajaran mereka merupakan fenomena usang dan terkait dengan masa lalu? Mereka tidak akan mengatakan bahwa disebabkah Karl Marx telah melalui masa mudanya, lalu tua dan kemudian mati, lantas ajaran Marxisme juga telah tua dan mati. Bahkan, sebaliknya, mereka mengatakan bahwa ajaran Marxisme tidak ubahnya seperti baja dan sama sekali tidak akan mengalami perubahan.

Berkaitan dengan Marxisme, Lenin mengatakan:

Anda tidak akan mampu membuang satu pun dari hipotesis dasar atau satu bagian pokok ajaran filsafat Marxisme, tanpa terlebih dahulu meninggalkan hakikat kenyataan dan masuk ke dalam perangkap dan propaganda dusta kaum konservatif. Filsafat Marxis tak ubahnya baja, senantiasa kokoh dan tegar.(1) Apakah terdapat pengecualian di alam ini, ataukah tidak? Marxisme mengakui hal demikian dengan mengatakan bahwa ajarannya adalah suatu filsafat, bukan suatu fenomena. Atau, dengan kata lain, mereka mengatakan bahwa ajaran Marxisme adalah ajaran filsafat yang, menurut pengakuan mereka, merupakan hukum dan undang-undang hakiki bagi kehidupan manusia.

Jelas, Marxisme tidak dapat mengatakan bahwa pengakuan yang demikian hanya milik mereka. Setiap filsafat sosial boleh saja mengaku demikian dan mengemukakan argumentasi-argumentasi mereka.

Tidak ada satu filsafat dan ajaran sosial pun yang, hanya karena kartu pengenal dan tanggal kelahiran, lantas dihukumi sebagai ajaran yang telah usang dan sirna.

Oleh karena itu, jika kita ingin membuat keputusan tentang masalah Islam dan tuntutan-tuntutan zaman, maka hanya ada satu

p: 8


1- Al-Bi'tsah wa al-Idiyu'lu'jiyyah, hlm. 42, yang dikutip dari buku al-Mâdiyyah wa Intiqad at-Tajrîbiyyah.

jalan, yakni kita harus lebih dahulu mengenal ilmu-ilmu Islam dan mengetahui roh hukum Islam berikut sistem khas dalam menetapkan hukum Islam sehingga akan jelas bagi kita ihwal apakah Islam hanya terbatas pada satu abad tertentu saja, atau apakah Islam merupakan ajaran yang tidak terbatas oleh abad dan masa, dan apakah Islam juga berkewajiban membimbing dan memberi petunjuk kepada manusia guna mencapai kesempurnaan.

Kita juga mengetahui bahwa terdapat pandangan yang dikenal dengan nama materialisme historis (al-mâddah at-târikhiyyati). Pan- dangan ini mengatakan bahwa sejarah pada esensinya seratus persen bersifat materi. Mereka mengatakan bahwa motor penggerak sejarah adalah hubungan ekonomi yang berlangsung dalam masyarakat manusia.

Semua urusan kehidupan, termasuk kebudayaan, agama, undang-un- dang, akhlak, dan sebagainya, merupakan fenomena yang senantiasa berubah dan timbul akibat hubungan ekonomi dalam masyarakat manusia. Menurut pandangan ini, perubahan yang terjadi dalam ma- salah produksi dan ekonomi secara otomatis akan menimbulkan per- ubahan dalam semua urusan kehidupan. Sekiranya pandangan ini be- nar, maka kemajuan yang dicapai dalam alat produksi dan hubungan ekonomi pasti akan menyebabkan semua hal berubah.

Saat ini, kita tidak mempunyai kesempatan untuk mengkaji pandangan ini karena memerlukan pembahasan yang luas. Kita hanya bisa mengatakan bahwa pandangan ini tidak mampu menemukan penjelasan yang benar mengenai sejarah dan juga tidak memperoleh dukungan dari para tokoh pemikir yang berpikiran bebas. Sejarah adalah produk manusia dan hubungan antarmanusia. Dalam diri manusia dan hubungan antarmanusia terdapat banyak hal yang bersifat kekal, yang tetap terpelihara, meski terjadi perubahan dalam bidang hubungan perekonomian.

Kini kita akan membicarakan karakteristik sistem penetapan hukum Islam. Karakteristik inilah yang menjadikan penetapan hukum bersifat mencakup bagi seluruh perkembangan yang terjadi dalam lingkungan kehidupan manusia tanpa mengubah dan mengganti dasardasar hukum Islam serta tanpa menimbulkan cacat sedikit pun pada kelanggengan dan kekekalan yang dimilikinya.

p: 9

p: 10

PENYEBAB PERUBAHAN TUNTUTAN ZAMAN

Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanat kepada langit, bumi, dan gunung-gunung. Mereka semua enggan untuk memikul amanat itu karena khawatir akan mengkhianatinya. Lalu dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan bodoh (QS 33: 72).

p: 11

p: 12

AIAT Al-Quran di atas adalah salah satu ayat Al-Quran yang mengandung makna yang dalam. Saya katakan sebagai ayat yang mengandung makna yang dalam, padahal semua ayat Al-Quran mempunyai makna yang dalam, karena sebagian ayat-ayat Al-Quran lainnya mengemukakan suatu persoalan dengan menggunakan metode yang memaksa manusia untuk berpikir dan merenung.

Al-Quran banyak mengajak manusia untuk bertafakur, baik secara langsung maupun tidak langsung. Seruan kepada tafakur secara langsung yang dilakukan Al-Quran dikemukakan dalam ayat-ayat yang secara langsung berkaitan dengan tafakur. Dalam ayat-ayat itu, Al-Quran mencela orang-orang yang tidak mau menggunakan akal dan pikirannya. Dalam salah satu ayatnya, Al-Quran mengatakan: Se- sungguhnya binatang (makhluk) yang paling buruk di sisi Allah Swt ialah orang-orang yang pekak dan tuli dan yang tidak mengerti apapun (QS 8: 22).

Siapakah mereka yang disebut sebagai makhluk paling buruk di sisi Allah Swt? Apakah yang dimaksud adalah binatang-binatang yang najis zatnya? atau, Apakah yang dimaksud adalah makhluk yang diibaratkan sebagai binatang bodoh? Tidak. Sesungguhnya, makhluk paling rendah di sisi Allah Swt adalah manusia yang punya telinga tetapi tidak mau mendengar, pu- nya lidah tetapi tidak mau berbicara, dan punya akal serta potensi un- tuk memilah-milah sesuatu tetapi tidak mau menggunakannya. Ayat- ayat sejenis ini mengajak dan menyeru manusia untuk bertafakur.

Di samping jenis ayat-ayat di atas, kita juga menjumpai serangkai- an ayat yang menyeru manusia untuk berpikir secara tidak langsung.

Ayat-ayat jenis ini mempunyai beberapa bagian. Saya tidak bermaksud membahas semuanya agar tidak menyimpang jauh dari pokok bahasan kita kali ini. Sekelompok ayat Al-Quran, ketika mengemukakan suatu

p: 13

persoalan, menggunakan metode yang memaksa akal manusia untuk berpikir dan merenung. Ini merupakan metode khas yang digunakan untuk menggerakkan akal manusia agar berpikir. Salah satu contoh jenis ayat ini adalah ayat yang kita kutip di atas. Dalam ayat yang membicarakan manusia di atas, masalah diterangkan sedemikian rupa sehingga, jika seorang manusia membaca ayat itu, akan muncul tanda tanya di hadapannya. Ayat tersebut mengatakan: Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanat kepada langit, bumi, dan gunung-gunung, namun semuanya enggan memikul amanat tersebut karena mereka khawatir akan mengkhianatinya. Kemudian amanat tersebut dipikul oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan bodoh.

Apakah yang dimaksud dengan amanat dalam ayat di atas? Dan masuk ke dalam jenis amanat apakah itu? Bagaimana caranya amanat itu ditawarkan? Kepada siapa amanat itu ditawarkan? Kepada langit, bumi, dan gunung? Bagaimana mungkin amanat itu ditawarkan kepada mereka ini? Sekiranya demikian, apa amanat itu? Tampaklah bahwa amanat yang ditawarkan kepada mereka adalah amanat yang harus ditanggung, dipikul, dan bukan hanya cukup diterima saja.

Dalam ungkapan lain, Sesungguhnya makhluk-makhluk itu harus memikul amanat tersebut dan tidak hanya cukup menerimanya saja. Kita ketahui bahwa, dalam amanat-amanat biasa, kita mengatakan bahwa si fulan telah menerima amanat dari si Fulan. Kita tidak me ngatakan bahwa si Fulan telah memikul amanat dari si Fulan.

Akan tetapi, dalam hal ini, Al-Quran mengatakan bahwa makhluk atau benda-benda itu menolak untuk memikul amanat itu.

Di dalam kesusasteraan Arab dan Persia, topik “memikul amanat” juga disebut. Dalam kaitan ini, seorang penyair Persia terkenal, Hâfizh asy-Syîrâzî, mengatakan dengan penuh keheranan:

Langit tidak mampu memikul beban amanat, Si kerdil bernama aku dengan gila berjudi dengan itu.

Al-Quran melanjutkan perkataannya dengan mengatakan: ... Dan manusia memikul amanat itu, ... Pernyataan ini menimbulkan pertan- yaan bahwa kita melihat seluruh manusia, tetapi tidak melihat ada be- ban di pundak mereka. Jika demikian, apakah yang dimaksud dengan amanat di atas pundak mereka? Dari sini bisa diketahui bah-wa yang dimaksud adalah amanat jenis lain. Amanat itu bukan berupa

p: 14

benda. Ketika ditawarkan kepada langit, bumi, dan gunung, mereka menolaknya. Kemudian, amanat ini ditawarkan kepada manusia, dan manusia menerimanya dengan pertimbangan potensi dan kemampuan untuk memikulnya.

Setelah itu, Al-Quran melanjutkan perkataannya dengan mengatakan: ... Sesungguhnya manusia amat zalim dan bodoh. atau Dengan kata lain, hanya manusia makhluk satu-satunya yang menerima untuk memikul amanat tersebut. Kata zhalûm berasal dari kata zhulm —lawan kata dari ‘adl atau adil. Ini merupakan bentuk mubâlaghah atau hiperbola, yang mempunyai arti “banyak berbuat zalim”. Demiki- an juga halnya dengan kata jabû, yang berasal dari kata jabl— lawan kata dari ‘ilm atau ilmu. Kata tersebut merupakan ben tuk mubâlaghah atau hiperbola, yang mempunyai arti “sangat bodoh”.

Atas dasar makna-makna tersebut, muncul beberapa pertanyaan dalam benak kita. Salah satunya ialah: Apakah Allah menawarkan amanat tersebut kepada makhluk-makhluk di atas dengan maksud agar mereka menerima dan memikulnya? Atau, apakah Allah menawarkannya kepada mereka tanpa bermaksud agar mereka me- mikulnya? Jawabannya ialah: Tak diragukan lagi, jelas penawaran itu dikemukakan dengan maksud agar mereka memikulnya. Hal ini sesuai dengan hukum akal dan logika.

Ketika itu, tidak ada seorang makhluk pun berani memikul amanat itu, dan hanya manusia saja yang bersedia memikulnya. Akan tetapi, mengapa Al-Quran kemudian menyebutnya sebagai makhluk yang amat zalim dan bodoh? Bagian terakhir dari ayat ini —yakni, ih- wal sifat amat zalim dan bodohnya manusia, setelah sebelumnya menyebutkan soal amanat, adalah salah satu bagian tersulit yang banyak menyita pemikiran para ulama Islam, ahli tafsir, dan kaum arif (ʻurafa'). Apakah makna yang dimaksudkan dari kata zalim dan bodoh dalam ayat itu? Maksud saya mengatakan bahwa ayat di atas adalah ayat yang mengandung makna yang dalam disebabkan oleh alasan di atas. Mak- sudnya, ayat itu menjelaskan duduk-persoalan itu dengan menggu- nakan bahasa yang menimbulkan banyak pertanyaan dan memaksa akal manusia untuk berpikir.

Namun dalam pandangan para mufassir dan hadis-hadis, baik dari kalangan Syi'ah dan Ahlus-Sunnah, sama sekali tidak diragukan bahwa

p: 15

yang dimaksud dengan amanat dalam ayat di atas bukanlah amanat yang bersifat jasmani dan materi, melainkan amanat yang termasuk dalam berbagai masalah spiritual. Artinya, di antara semua makhluk Allah terdapat sesuatu yang diberi nama oleh Allah sebagai amanat. Namun, pertanyaan ihwal mengapa sesuatu itu dinamai amanat tidak termasuk dalam ruang-lingkup bahasan kita sekarang. Pada kesempatan lain, kita akan membahasnya jika Allah memberi taufik kepada kita. Yang penting ialah bahwa ada sesuatu yang diberi nama amanat oleh Allah.

Dan Dia telah menawarkannya kepada seluruh makhluk-Nya di alam ini. Namun, mereka semua enggan dan tidak mau memikul amanat itu lantaran tidak memiliki kemampuan dan kelayakan untuk itu.

Arti "tawaran” dalam ayat di atas ialah bahwa sesungguhnya segala kesempurnaan dan karunia Allah ditawarkan kepada semua makhluk-Nya. Jiwa-jiwa yang punya potensi dan kesiapan sajalah yang menerimanya. Sementara itu, jiwa-jiwa yang tidak punya potensi dan kesiapan pun tidak menerimanya. Sebagai contoh, kita kemukakan masalah kenabian, amanat, ilmu, dan sebagainya. Apakah anugerah dari Allah yang disebut kerasulan itu hanya ditawarkan kepada sebagian manusia saja dan tidak kepada sebagian manusia lainnya? Apakah amanat kenabian juga ditawarkan kepada saya? Sekiranya ditawarkan kepada saya juga, apakah saya akan menerimanya? Hakikat berupa wahyu, kerasulan, dan kenabian ini bersifat tetap dan konstan dari Allah yang ditawarkan-Nya kepada seluruh makhluk-Nya. Sekiranya batu mampu menerimanya, maka kepada batu pun diberikan amanat itu. Namun, batu tidak mampu menerimanya. Begitu pula, manusia tidak mampu menerimanya, kecuali orang-orang tertentu. Amanat yang disebutkan dalam ayat Al-Quran di atas telah ditawarkan Allah kepada seluruh makhluk. Namun, tidak ada satu pun dari makhluk-Nya mampu menerima amanat itu kecuali manusia.

Sampai sini kita sudah memahami bahwa, dalam diri manusia, ada satu potensi yang tidak dimiliki makhluk-makhluk lain. Disebabkan potensi yang dimilikinya, amanat itu diberikan kepadanya.

Sekarang, apakah yang dimaksud dengan amanat itu? Dari kata yahmilnahâ (memikulnya), kita dapat memahami bahwa mungkin amanat yang dimaksud adalah sesuatu yang dapat diemban, meski

p: 16

bukan berupa materi. Tatkala kita merujuk kepada hadis-hadis yang berbicara ihwal tafsir dan arti amanat, kita mendapatinya sesuai dengan yang telah kita sebutkan. Lantas, apakah yang dimaksud dengan amanat itu? Mereka mengatakan bahwa yang dimaksud dengan amanat ada- lah taklif, tanggung jawab, dan hukum. Artinya, kehidupan manusia harus dibangun atas dasar tugas dan tanggung jawab. Inilah yang membedakan manusia dari makhluk-makhluk lainnya. Sebab, seluruh aktivitas makhluk, selain manusia, berlangsung tanpa menanggung beban tanggung jawab berdasarkan sesuatu yang telah ditetapkan atas diri mereka. Hanya manusia sajalah satu-satunya makhluk yang dalam kehidupannya hukum bisa diberlakukan. Manusia diberi kebebasan memilih. Kemudian diberitahukan kepada manusia bahwa di hadapannya terbentang dua jalan-jalan kebahagiaan dan jalan kesengsaraan—.

“Jika engkau menghendaki kebahagiaan, maka tempuhlah jalan yang akan mengantarmu kepada kebahagiaan. Begitu juga, jika engkau menghendaki kesengsaraan, maka tempuhlah jalan yang membawamu ke sana. Dalam dua keadaan ini, engkau bebas memilih.” Inilah yang disebut dengan taklif atau kewajiban. Masalah yang kita bicarakan hingga saat ini masih berupa pengantar, dan kita akan kembali membahasnya pada kesempatan yang akan datang.

Perlu saya utarakan bahwa sebelumnya saya merasa ragu akan tema yang menjadi pembahasan kita saat ini. Inilah kebiasaan saya tatkala hendak memilih tema yang banyak diperlukan orang karena banyaknya penjelasan yang harus saya sampaikan. Sementara itu, di sini lain, lebih baik kiranya kalau saya mengemukakan bahasan yang tidak banyak memerlukan pemikiran.

Dari sekian tema yang terlintas dalam benak saya, ada satu tema yang saya kira banyak menarik perhatian, dan saya akan berbicara tentang tema itu. Seandainya saya melihat para hadirin tidak berkenan dengan tema yang saya bawakan, dan mengusulkan suatu tema bahasan lain, maka saya akan menggantinya dengan tema lain. Akan tetapi, tidak ada salahnya kalau saya berbicara tentang masalah “tuntutan zaman”, yang banyak mengundang pertanyaan dari kalangan mahasiswa dan pemerhati masalah-masalah kontemporer. Karena saya banyak

p: 17

berhubungan dengan kalangan di atas, maka saya merasakan bahwa masalah ini benar-benar mengusik jiwa dan pikiran. Masalahnya adalah:

Mungkinkah seseorang menjadi Muslim dan, pada saat yang sama, menyesuaikan dirinya dengan berbagai tuntutan zaman. Mungkinkah hal itu terjadi? Terkadang mereka melontarkan pertanyaan: Dengan segala perubahan yang terjadi dalam berbagai tuntutan zaman, apakah manusia mampu mempertahankan dirinya sebagai orang yang taat beragama, sementara agamanya mengharuskan dirinya untuk taat dan terikat dengan ajaran-ajarannya dalam menghadapi segala bentuk tuntutan zaman yang terus berkembang tanpa mampu menghindarinya? Terkadang pertanyaan itu berkaitan dengan cara manusia menempatkan dirinya dalam menghadapi perubahan yang terjadi dalam tuntutan- tuntutan zaman. Sebagian orang memandang bahwa menyesuaikan diri dengan berbagai tuntutan zaman bertentangan dengan agama.

Sementara itu, sebagian lainnya lagi menjadikan masalah ini sebagai alat untuk menghantam agama. Mereka mengatakan bahwa manusia tidak usah berpegang kepada agama, karena agama adalah lawan dari kemajuan dan pembaruan. Jika seseorang hendak menggapai kemajuan dan perkembangan di dunia ini, maka ia harus menjadi pendukung pembaruan dan kemajuan. Ia harus menjadi musuh bagi pemikiran- pemikiran kuno dan usang. Selanjutnya, dengan dasar pertimbangan di atas, ia tidak perlu beragama.

Mungkin sebagian orang tidak mengetahui betapa pentingnya tema pembahasan ini. Akan tetapi, hendaknya mereka mengetahui bahwa sekiranya tema pembahasan ini tidak mempunyai arti penting bagi mereka, maka ketahuilah bahwa hal ini akan amat penting bagi anak-anak mereka. Meskipun tidak begitu penting bagi mereka pada saat sekarang, pembahasan itu akan tetap penting bagi mereka di masa mendatang. Dengan demikian, penting kiranya kalau kita membedah masalah ini sehingga bisa melihat bagaimana pandangan Islam tentang "tuntutan-tuntutan zaman”. Bagaimana logika yang benar menghukumi jika esok hari kita bertemu dengan seorang atau sekelompok orang yang mengatakan, “Engkau harus sejalan dengan perkembangan dan kemajuan zaman.” Mereka juga meminta kepada para ulama untuk menyesuaikan diri dengan perkembangan dan perubahan zaman.

Apakah ide dan permintaan mereka itu benar?

p: 18

Menurut hemat saya, pembicaraan tentang masalah ini akan memakan waktu lama karena kandungan masalahnya terasa penting.

Tentu saja, dalam pembahasan ini, muncul banyak masalah yang perlu kita bicarakan. Contohnya adalah pembahasan seputar masalah akhlak.

Sekelompok orang mengatakan bahwa akhlak atau moralitas bersifat relatif. Tampaknya, banyak buku ditulis dan diterbitkan berkenaan dengan masalah “relativitas akhlak”. Mereka mengatakan bahwa kita tidak mempunyai tolok-ukur akhlak yang baik dan yang buruk secara mutlak. Maksudnya adalah bahwa suatu akhlak yang baik selamanya mempunyai nilai yang baik. Begitu juga, suatu akhlak yang buruk selamanya mempunyai nilai yang buruk. Mereka mengatakan bahwa hal ini tidak benar. Sangat boleh jadi bahwa seperangkat akhlak mempunyai nilai yang baik dalam suatu masyarakat dan zaman tertentu, tetapi mempunyai nilai yang buruk dalam masyarakat dan zaman lainnya.

Di sana juga terdapat masalah lain yang mesti kita bahas pada kesempatan ini, yakni tema tentang “dasar sejarah”. Kaum Marxis maupun kelompok lainnya juga mempunyai pandangan tentang hal ini.

Mau tak mau, kita juga harus mengkaji pemikiran-pemikiran mereka.

Agar jelas pengertian ayat yang disebutkan di atas, maka kita harus memerhatikan pembahasan berikut: Sesungguhnya manusia mempunyai kehidupan sosial, yang mau tak mau-harus hidup bersama-sama masyarakat. Sekiranya tidak demikian, manusia akan binasa. Bukan hanya manusia yang memerlukan kehidupan sosial. Kita juga mendapati banyak hewan yang mempunyai kehidupan sosial. Yang kami maksud dengan kehidupan sosial bukan berarti hanya sekadar hidup bersama masyarakat. Sebab, hidup menyendiri di tengah-tengah masyarakat tidaklah memberikan arti kehidupan sosial. Sebagai contoh, kita melihat sekelompok menjangan. Mereka hidup, mencari makan, dan bergerak sama-sama. Namun, mereka tidak mempunyai kehidupan sosial karena dalam kehidupan mereka tidak terdapat pembagian tugas dan tanggung jawab. Kehidupan sosial adalah suatu kehidupan yang di dalamnya terdapat pembagian tugas dan kewajiban serta berbagai aturan dalam kehidupan bersama mereka. Beberapa hewan benar- benar mempunyai kehidupan sosial. Dalam kehidupan mereka terdapat pembagian tugas, kewajiban, dan aturan sebagaimana ada dalam kehidupan masyarakat manusia. Mereka memproduksi apa-apa yang

p: 19

menjadi kebutuhannya dan, dengan perhitungan tertentu, membagi- bagikan hasil produksi itu. Begitu pula, sebagian binatang melakukan hal yang sama.

Beberapa tahun yang lalu telah terbit sebuah buku yang sangat bagus, dan saya banyak merujuk buku itu dalam tulisan-tulisan saya.

Buku itu berjudul Rahasia Penciptaan Manusia, yang ditulis oleh seorang profesor Amerika. Buku ini telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Persia. Di dalamnya tertulis, “Banyak serangga kecil, seperti semut, melakukan aktivitas tertentu dalam bidang pertanian dan peternakan.

Juga ada beberapa jenis serangga yang memelihara serangga lain, yang mempunyai sejenis cairan berupa susu. Mereka mengambil manfaat dari cairan itu dan membagi-bagikannya di antara mereka." Persis seperti halnya dalam kehidupan manusia ada struktur pemerintahan, mereka juga mempunyai panglima dan bala tentara.

Buku-buku yang ditulis seputar kehidupan serangga cukup banyak.

Dengan demikian, kehidupan sosial bukan hanya terbatas pada kehidupan manusia. Namun, banyak juga hewan yang mempunyai kehidupan seperti itu.

Akan tetapi, tetap saja ada satu perbedaan absolut antara dua alam kehidupan itu. Penyelidikan para ilmuwan yang bergerak dalam bidang ini menunjukkan bahwa kehidupan sosial yang ada pada makhluk selain manusia juga sudah menjadi keharusan sejak awal kehidupan hingga kematian mereka. Artinya, hewan-hewan itu hidup dengan bentuk dan aturan demikian sejak dahulu hingga sekarang tanpa ada perubahan dan perkembangan sama sekali. Lain halnya dengan sejarah peradaban manusia, yang mempunyai banyak fase dan periode. Kita mengetahui ada manusia zaman hutan, manusia zaman batu, manusia zaman logam, manusia zaman mesin uap, dan manusia zaman nuklir. Namun, hewan tidak demikian halnya. Sebab, setiap jenis hewan mempunyai jenis kehidupan khusus. Dalam kehidupan hewan, tidak ada perkembangan dan penyempurnaan, kecuali bila jenisnya sudah berganti dengan yang lain. Dalam ungkapan lain, dalam kehidupan hewan tidak ada inisiatif dan kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang baru. Binatang tidak mampu mengubah kehidupan yang telah ditetapkan atas mereka dengan sesuatu yang lebih baik. Berbeda halnya dengan manusia. Ia

p: 20

mampu menciptakan sesuatu yang baru dalam kehidupan mereka.

Mengapa? Rahasianya adalah bahwa Sesungguhnya telah kami kemukakan amanat kepada langit, bumi, dan gunung. Mereka semua enggan memikul amanat itu karena khawatir akan mengkhianatinya. Dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh.

Manusia adalah makhluk yang berakal dan sempurna penciptaannya.

Ia adalah makhluk yang penciptaan dan pemeliharaan dirinya lang- sung bersumber dari dirinya. Ia adalah makhluk yang memiliki kebebasan memilih, kemampuan mencipta, dan potensi mengemban tanggung jawab. Manusia mampu meniti jalan kesempurnaan dirinya.

Akan tetapi, dengan ketinggian akal dan daya cipta yang dimilikinya, manusia dari segi penciptaan, tetaplah makhluk yang paling lemah dibandingkan dengan hewan-hewan lain. Ini disebutkan dalam firman Allah dalam Al-Quran Dan manusia diciptakan dalam keadaan lemah.

Artinya, dari sisi fisik, manusia adalah makhluk lemah. Namun, dari sisi potensi yang dimiliki dan jalan yang mampu ditempuhnya dengan kebebasan, manusia adalah makhluk paling sempurna dan lengkap dibanding kan dengan seluruh hewan yang ada di dunia ini. Kepada manusia telah diberikan kemampuan memilih, mencari, dan mencipta.

Demikian juga, manusia mampu mengubah bentuk produksi, dis- tribusi, dan kemajuan dirinya. Manusia mampu menciptakan alat-alat yang lebih baik dan lebih modern dibandingkan dengan alat-alat yang dahulu. Manusia mampu mengubah aturan dan sistem kehidupan mereka.

Ia mampu mengubah dan memandang kembali bentuk hubungan so- sial, sistem pendidikan, dan moral yang ada di tengah-tengah mereka.

Manusia mampu mengubah lingkungan, bumi, dan zaman sehingga mendatangkan manfaat bagi dirinya. Dari sini, kita dapat mengetahui bahwa tuntutan zaman senantiasa berubah bagi manusia, tetapi bersi- fat tetap dan tidak berubah bagi hewan.

Bertolak dari sini timbul suatu pertanyaan: Bagaimana sikap Islam, sebagai agama, sistem, dan aturan hidup, dalam menghadapi perubahan berbagai tuntutan zaman? Apakah Islam mengambil sikap dengan memeranginya? Berusaha menahan laju daya cipta manusia dan sama sekali tidak mengizinkan zaman dan dunia untuk berubah?

p: 21

Atau, sebaliknya, Islam tunduk dan menerima segala perubahan dalam tuntutan zaman? Ataukah ada pandangan ketiga yang memerlukan penjelasan dan uraian terinci? Inilah tema yang akan kita bahas dalam bab yang akan datang, insya' Allâh. Sebab, masalah Islam dan tuntutan zaman berawal dari titik ini.

p: 22

DUA BENTUK PERUBAHAN ZAMAN.

Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanat kepada langit, bumi, dan gunung-gunung. Mereka semua enggan untuk memikul amanat itu karena khawatir akan mengkhianatinya. Lalu, dipikullah amanat itu oleh manusia, Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan bodoh (QS 33: 72).

p: 23

p: 24

SEBELUMNYA saya telah menyebutkan bahwa hanya manusia saja yang memiliki perkembangan dan kemajuan dalam kehidupannya dari sekian banyak makhluk hidup yang mempunyai kehidupan sosial. Dengan kata lain, Allah telah menciptakan makhluk- makhluk itu dengan kehidupan yang tetap dan satu bentuk. Sejak hari pertama makhluk itu mengawali kehidupannya di dunia ini, ia hidup gan bentuk kehidupan sosial yang satu. Meskipun zaman dan masa terus berlalu, hal itu tidak menyebabkan terjadinya perubahan dalam sistem dan bentuk kehidupan mereka. Kalau kita ambil kehidupan semut sebagai contoh, penelitian yang telah dilakukan oleh para ilmuwan sejak dua ribu tahun silam atas makhluk yang mempunyai sistem kehidupan sosial mengagumkan ini dan juga penelitian yang dilakukan oleh para ilmuwan pada abad kita sekarang ini sama sekali tidak menunjukkan adanya perkembangan dan kemajuan dalam kehidupan semut. Sebab, sistem yang berlaku dalam kehidupan semut di abad sekarang adalah sistem yang berlaku dalam kehidupannya dua ribu tahun silam. Sementara itu, dalam kehidupan manusia sejak dua ribu tahun lalu hingga sekarang, telah terjadi beribu-ribu perubahan dan perkembangan.

Pertama, apa yang menyebabkan manusia diciptakan demikian dan makhluk selain manusia diciptakan dalam bentuk lain? Rahasianya ialah bahwa seluruh gerak dan aktivitas kehidupan makhluk selain manusia bertolak dari insting. Sementara itu, manusia melakukan gerak dan aktivitas kehidupannya atas dasar akal. Dengan kata lain, Allah telah memberikan kepada manusia suatu kekuatan tersembunyi, dan rahasia serta hakikat kekuatan ini masih samar bagi ilmu pengetahuan.

Yang saya maksudkan ialah bahwa kekuatan itu tersembunyi dan tidak mampu diketahui serta diungkap dari sisi materi, kecuali hanya apa

p: 25

yang telah disebutkan Al-Quran: Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah, “Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon, dan di tempat-tempat yang dibuat manusia” (QS 16: 68).

Wahyu yang dimaksudkan dalam ayat di atas adalah ilham atau pemberian paham melalui cara tersembunyi yang berbeda dari cara biasa. Kemampuan yang diberikan Allah kepada lebah disebut Insting oleh ilmu pengetahuan dan dinamakan wahyu oleh Al-Quran. Insting ini senantiasa menyertai lebah, dan insting inilah yang menuntun dan membimbingnya.

Manusia tidak demikian. Ia dikaruniai kemampuan luar biasa berupa akal atau daya cipta. Manusia dikaruniai kemampuan men- cipta sesuatu yang baru di saat makhluk lain tidak punya kemam puan ini. Ini merupakan pokok masalah. Yang dimaksud dengan daya cipta di sini ialah kemampuan menciptakan sesuatu yang baru, kemampuan menciptakan sistem dan jalan baru dalam kehidupan. Contohnya ialah kemampuan menjadikan sesuatu yang baru dan belum ada sekarang.

Binatang tidak memiliki kemampuan ini. Binatang hanya mengetahui sesuatu melalui insting yang telah diwahyukan kepadanya. Binatang tidak mampu menciptakan sesuatu yang baru dan ia tidak mampu menyusun program melalui kekuatan pikirannya. Sementara itu, manusia dikaruniai kemampuan mengagumkan untuk menciptakan sesuatu yang baru. Manusia tidak di karuniai insting sebagaimana binatang.

Namun, ia diperintahkan untuk menggunakan kekuatan akalnya agar bisa mempertahankan kelangsungan hidupnya. Akan tetapi, manusia juga mempunyai wah yu. Wahyu ini diturunkan kepada sebagian manusia, yakni para nabi, dan memberitahukan segala sesuatu yang tidak bisa digapai oleh kemampuan indra dan pemikiran manusia.

Wahyu turun dengan maksud membimbing dan memberikan petun- juk kepada manusia dalam masalah-masalah itu tanpa merampas daya cipta yang dimilikinya. Wahyu tidak menjangkau daerah-daerah yang masih dapat dijangkau oleh kekuatan pikiran dan daya cipta manusia.

Disebabkan manusia mempunyai kekuatan ini, kehidupannya pun harus dimulai dari nol, dan memang diawali dari nol. Kemudian, dengan kekuatan daya ciptanya, ia mampu maju selangkah demi selangkah dan mengadakan berbagai perubahan dalam hidupnya. Dengan kekuatan ini pula ia mampu berpindah dari satu tingkat ke tingkat

p: 26

lain. Hasilnya adalah bahwa peradaban manusia mempunyai periode- periode, sementara peradaban binatang tidak. Mereka mengatakan bahwa tuntutan zaman berubah. Tentu saja ini benar. Sebab terjadinya perubahan itu berkaitan dengan bentuk penciptaan manusia.

Tuntutan zaman tidak berubah bagi hewan, namun berubah bagi manusia. Dalam diri hewan, tidak ada dorongan untuk mencipta dan berkembang, sementara yang demikian itu ada pada diri manusia.

Zaman dan masa dalam pandangan hewan hanya satu, sementara dalam pandangan manusia tidak demikian. Hewan tidak mempunyai taklif dan tanggung jawab atas segala perbuatannya, karena ia tak ubahnya bagaikan mesin otomatis yang bergerak sendiri. Sementara itu, manusia mempunyai taklîf dan tanggung jawab atas segala amal perbuatannya.

Taklîf dan tanggung jawab, yang disebut amanat dalam Al-Quran, telah ditawarkan kepada langit, bumi, dan gunung. Namun, mereka semua menolak mengembannya karena memang tidak memiliki potensi untuk itu. Allah menyebut langit, bumi, dan gunung hanya sebagai contoh. Sebab, yang dimaksud adalah semua makhluk. Tidak ada satu pun yang bersedia maju untuk memikul amanat itu kecuali manusia.

Manusia berkata, “Tuhanku! Aku akan memikul amanat itu. Aku akan meniti jalan kesempurnaan dan kebahagiaan dengan kedua kakiku, dengan bersandar pada kekuatan dan potensi besar yang telah Engkau anugerahkan kepadaku berupa kemampuan menciptakan sesuatu yang baru dan juga dengan kekuatan agung berupa kekuatan akal." Dari sini juga kita menjumpai sebuah masalah lain. Dalam kehidupan sosialnya, hewan tidak mengalami perkembangan dan penyempurnaan. Begitu juga, dalam kehidupannya, tidak ada kemun- duran dan penyimpangan atau pun pasang dan surut. Umpamanya saja, Anda tidak mungkin menjumpai sebagian lebah dalam kelompoknya yang sedikit demi sedikit menyimpang atau mengubah tatanan yang sudah baku dalam kehidupan mereka.

Namun, yang demikian itu mungkin saja terjadi dalam kehidupan manusia. Kerusakan dan penyimpangan sangat mungkin terjadi dalam kehidupannya. Persis sebagaimana halnya ia mungkin meniti jalan menuju kesempurnaan, maka begitu pulalah ia mungkin juga meniti jalan menuju kehancuran. Kedua jalan terbuka lebar di hadapannya.

Melalui potensi akal yang dimilikinya, manusia bisa meraih kemajuan

p: 27

dalam rentang waktu. Begitu juga, melalui sifat ego dan penyembahan pada hawa nafsu, ia juga bisa menyimpang dari jalan kemajuan. Ada kemungkinan manusia terjerumus dan jatuh dalam penyimpangan melalui dua sebab. Pertama, ia berbuat zalim dan menginjak-injak hak-hak orang lain, serta keluar dari sifat keadilan. Kedua, disebabkan kejahilannya, ia juga bisa terjerumus dan jatuh dalam penyimpangan.

Apakah yang dimaksud dengan kejahilan? Kejahilan adalah jatuh dalam kesalahan. Hal serupa tidak terjadi di alam binatang.

Sangat boleh jadi, hal ini juga terjadi pada beberapa binatang, tetapi kemungkinannya kecil sekali, dan itu pun tidak seperti kesalahan yang dilakukan manusia, yang bisa menimbulkan kerusakan secara keseluruhan. Orang bisa mengatakan bahwa mungkin saja terjadi kesalahan yang dilakukan sekelompok lebah pekerja. Lebah-lebah pekerja itu, yang bertugas mendapatkan dan menghisap bunga yang lembut dan berbau harum untuk menghasilkan madu, mungkin telah salah memilih dan malah menghisap bunga yang berbau tidak sedap.

Namun, kesalahan ini sangat kecil kemungkinannya dan juga bisa segera diperbaiki. Dari sekawanan lebah itu, ada juga sekelompok lebah lain yang berkedudukan sebagai pemimpin yang akan melihat dan mencium tatkala lebah pekerja kembali ke sarang guna mengetahui apakah mereka telah melaksanakan kewajibannya dengan baik atau tidak. Sekiranya sang pemimpin mengetahui bahwa lebah pekerja tidak melaksanakan pekerjaannya dengan baik, maka ia segera membentuk peradilan kilat. Dengan senjata yang ada di tangannya, ia menghukum mati lebah pekerja tersebut.

Oleh karena itu, kita mendapatkan bahwa setelah Al-Quran me- nawarkan amanat kepada seluruh makhluk dan menuturkan keberatan mereka untuk memikulnya, manusia pun maju untuk menyatakan kesediaan memikul amanat itu dan dengan serta-merta Al-Quran mengatakan, “Sesungguhnya manusia amat zalim dan bodoh.” Dengan demikian, manusia adalah makhluk yang amat zalim dan bodoh. Hal ini disebabkan oleh dua potensi yang ada dalam dirinya, yakni potensi berkembang dan menjadi sempurna pada satu sisi dan potensi untuk jatuh dan menyimpang pada sisi lain. Disebabkan kezaliman dan kebodohan ini kedua potensi itu sama sekali tidak akan terpisah satu sama lainnya.

p: 28

Di dalam Al-Quran terdapat beberapa ayat yang mempunyai kandungan serupa dengan ayat di atas, yakni ayat pada awal surah ad- Dahr, Bukankah telah datang atas manusia suatu waktu dari masa, sedang dia ketika itu belum merupakan sesuatu yang dapat disebut? Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur. Kami hendak mengujinya. Oleh karena itu, Kami jadikan dia mendengar dan melihat. Sesungguhnya, Kami telah menunjukinya jalan yang lurus. Ada yang bersyukur dan ada juga yang kufur (QS 76:1-3).

Apa yang dimaksud dengan ujian dalam ayat di atas? dan Bagaimana caranya? Tidak diragukan lagi bahwa ujian itu dapat terlaksana melalui kewajiban dan tanggung jawab. Artinya, Allah me- letakkan kewajiban di atas pundak manusia, lalu Dia berkata, “Engkau mengetahui bahwa ini jalan dan itu sumur. Jika engkau meniti jalan, maka engkau akan sampai kepada kesempurnaan. Sebaliknya, jika en- gkau pergi ke arah sumur, maka engkau akan menyimpang dan jatuh terjerumus ke dalamnya. Setelah Allah mengatakan, “Kami jadikan manusia mendengar dan melihat,' lalu Dia mengatakan, 'Sesungguhnya telah menunjuki manusia jalan yang lurus. Ada yang bersyukur dan ada pula yang kufur.' Dari sini diketahui bahwa manusia adalah satu- satunya makhluk yang memiliki penciptaan sedemikian mengagumkan.

Penciptaan manusia terdiri atas suatu susunan aneh. Dengan susunan ini, manusia bisa maju pada suatu waktu, dan bisa tertinggal pada waktu lain. Dengan kata lain, ma nusia menciptakan zaman. Ia juga memengaruhi zaman, terkadang dengan kebajikan, dan terkadang dengan keburukan. Manusia berbeda dari binatang yang seratus persen adalah produk zaman.

Dari sini kita sampai kepada pokok pembahasan. Ada dua macam perubahan tuntutan zaman dalam kehidupan manusia. Yang pertama adalah perubahan yang benar dan dibolehkan, sementara yang kedua adalah perubahan yang salah dan tidak dibolehkan. Yang pertama adalah perubahan yang akan mengangkat derajat manusia, sementara yang kedua adalah perubahan yang akan menjatuhkannya.

Satu lagi kesimpulan yang kita dapatkan dari pembahasan ini ialah bahwa sekiranya orang bertanya tentang sikap kita dalam menghadapi perubahan zaman ihwal apakah kita sepakat dengannya atau tidak, maka kita harus menjawab bahwa kita tidak menerimanya seratus persen dan juga tidak menolaknya seratus persen. Sebab, manusialah

p: 29

yang menciptakan zaman. Manusia mampu mengubah zaman menjadi baik, sebagaimana juga ia mampu mengubah zaman menjadi buruk.

Kesimpulannya ialah bahwa kita harus berjalan seiring dan bekerja sama dengan berbagai perubahan zaman yang mengarah pada kebajikan.

Akan tetapi, dengan perubahan-perubahan zaman yang mengarah pada keburukan dan kejahatan, bukan hanya kita tidak boleh bekerja sama, melainkan juga harus menentangnya.

Lantas, timbul pertanyaan: Perubahan-perubahan mana yang mesti kita hitung sebagai mengarah pada kebaikan dan perkembangan mana yang harus kita hitung sebagai mengarah pada penyim pangan dan kerusakan? Dari mana kita bisa mengetahui bahwa suatu peru- bahan keadaan itu baik dan kita mesti bekerja sama atau per ubahan keadaan itu justru buruk sehingga kita harus menentangnya? Apa yang dijadikan sebagai ukuran? Akal merupakan petunjuk jalan yang baik bagi manusia. Allah menganugerahkan akal kepada manusia agar dapat membedakan jalan kesempurnaan dari jalan penyimpangan. Kondisi manusia menunjukkan bahwa terkadang dengan perantaraan bimbingan akal, manusia menempuh jalan yang benar. Dan terkadang disebabkan oleh kebodohan dan pengumbaran hawa nafsu, manusia meniti jalan yang menyimpang.

Ukuran umum ialah bahwa kita memerhatikan dengan teliti apa yang menjadi penyebab terjadinya berbagai macam fenomena yang ada pada semua zaman? Ke mana arah tujuannya?, dan Apa yang dihasilkannya? Kita harus melihat apa yang terjadi pada zaman kita.

Apakah hal itu merupakan buah akal dan ilmu pengetahuan manusia? atau, Apakah hal itu adalah buah dari sesuatu yang lain? Kalau orang mau memikirkan dengan cukup mendalam setiap fenomena yang muncul dan terjadi pada zaman kita ini, ia akan mengetahui bahwa berbagai fenomena itu adalah buah dari akal dan ilmu pengetahuan seluruhnya.

Terkadang hal itu adalah hasil dari ilmu yang terpenjara dan tidak be- bas. Contohnya adalah ilmu fisika. Sebagian ilmuwannya bekerja keras sehingga ilmu ini meraih kemajuan pesat. Salah satu topik yang dibi- carakan ilmu fisika adalah masalah cahaya. Masalah cahaya ini sejak ribuan tahun silam telah menarik manusia untuk mengadakan penelitian ihwal hakikat cahaya. Tatkala manusia melihat sesuatu, Bagaimana ia bisa melihatnya?

p: 30

Bagaimana cahaya memantul dan meredup? Hukum apakah yang berlaku pada cahaya? Hasan bin Haitsam, salah seorang ilmuwan besar Islam dalam bidang ilmu fisika dan matematika, mempunyai penelitian yang mengagumkan seputar masalah cahaya. Banyak orang Eropa mengakui terus terang bahwa sebagian besar pandangan mereka tentang cahaya berasal dari penelitian yang telah dilakukannya. Salah satu buku hasil karyanya, yang berjudul al-Manâzhir, masih bisa kita peroleh sekarang ini. Roger Bacon, salah seorang ilmuwan besar Eropa yang hidup pada abad ke-12 M, mengatakan bahwa semua ilmu pengetahuan yang dimilikinya bersumber dari Ibnu Haitsam asal Andalusia ini. Will Durant, dalam karyanya yang berjudul The Story of Civilization dan juga Gustav Lebon dalam karyanya yang berjudul Sejarah Peradaban Islam dan Arab, dengan tegas mengatakan bahwa guru mereka yang sesungguhnya dalam bidang ilmu fisika adalah Ibnu Haitsam. Mereka telah banyak mengambil manfaat dari buku karyanya.

Tidak diragukan lagi, pembahasan mengenai cahaya telah sedemikian berkembang saat ini.

Dengan mengetahui cahaya berikut seluk-beluknya, manusia belajar tentang cara mengambil gambar dan film. Di sini tampak peranan ilmu pengetahuan. Apakah di sini ilmu pengetahuan telah mengalami kemajuan? Jelaslah bahwa ilmu pengetahuan telah mengalami kemajuan. Kini, apa yang dapat dilakukan manusia dalam memanfaatkan ilmu pengetahuan? Sekarang, perhatikanlah dengan saksama. Ilmu pengetahuan telah memainkan peranannya dalam bentuk berbagai penemuan. Sesekali muncul manusia penyembah hawa nafsu yang memanfaatkan ilmu pengetahuan sebagai alat untuk memeras kantong masyarakat dan moral mereka. Juga ada manusia-manusia yang mengeksploitasi ilmu pengetahuan untuk membuat film-film yang merusak. Dalam ungkapan lain, mereka telah memenjarakan ilmu pengetahuan. Sebab, mereka menggunakan ilmu pengetahuan untuk membuat film-film yang bisa merusak akhlak dan moral manusia. Ketika itu, apakah kita akan menerima film-film bioskop dengan alasan bahwa yang demikian itu adalah produk zaman dan ilmu pengetahuan? Kita katakan tidak, karena film-film itu bukanlah hasil dari ilmu pengetahuan semata, melainkan produk syahwat dan pengetahuan dijadikan sebagai pelayannya.

p: 31

Juga ada contoh lain tentang kimia. Kimia adalah ilmu yang menguraikan karakteristik unsur-unsur benda. Dengan ilmu kimia manusia mampu menciptakan bermacam-macam susunan dan komposisi yang mengagumkan dari unsur-unsur itu. Salah satunya adalah obat- obatan. Ilmu ini maju dan berkembang pesat serta telah memberikan kepada manusia bermacam-macam susunan dan komposisi dengan segala karakteristiknya. Hingga di sini, ilmu ini berkembang dan mengalami kemajuan pesat demi kemaslahatan dan kepentingan umat manusia.

Dalam hal ini, apakah kita harus sejalan dengan ilmu ini berikut segala buah perkembangannya? Memang benar. Sampai di sini kita harus sejalan dan mendukung ilmu ini dengan segala kemajuannya.

Sekiranya ilmu ini telah memasuki suatu periode di mana sekelompok orang yang mengumbar hawa nafsunya mempelajari dan mendalami ilmu ini hingga menjadi pakar dan menjadikannya alat untuk meraci dan menggabungkan beberapa unsur hingga menjadi benda seperti heroin yang jauh lebih jahat dan berbahaya dari opium dan membuat orang kecanduan, maka wanita paling suci sekalipun —tatkala sudah kecanduan heroin dan sangat membutuhkannya, rela menyerahkan dirinya demi mendapatkan sedikit serbuk jahanam itu. Jelaslah bahwa ini adalah bencana bagi umat manusia. Apakah, dalam pembuatan heroin ini, ilmu juga memainkan peranannya? Benar, ilmu mempu- nyai peranan di sini. Namun, perlu diketahui bahwa hal itu bukanlah produk ilmu pengetahuan, melainkan produk syahwat dan hawa nafsu manusia. Ilmu adalah obor di tangan manusia. Ke tempat mana saja obor itu dibawa, tempat itulah yang diteranginya. Yang perlu diingat di sini ialah bahwa untuk apa dan ke mana hendak dibawa obor yang ada di tangan itu? Seorang apoteker berkata kepada dirinya sendiri bahwa ia telah menempuh pelajaran yang tinggi dalam pembuatan obat-obatan. Ketimbang membuka sebuah apotek yang sehari-harinya hanya akan menghasilkan 50—100 tuman (mata uang Iran-peny.), lebih baik ki-ranya kalau ia membuat heroin yang akan menghasilkan 20—30 tuman setiap bulannya. Lalu bolehkah kita mengatakan bahwa heroin adalah produk kemajuan zaman? Dan atas nama tuntutan dan kemajuan zaman, lantas kita bersama-sama menghisap heroin? Al-Quran menyebutkan kedua potensi itu, yakni potensi manusia untuk mencipta dan menemukan sesuatu yang baru. Ini terkandung

p: 32

dalam firman Allah yang mengatakan: Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanat. Dan manusia juga punya potensi untuk melakukan kezaliman dalam firman-Nya: Sesungguhnya manusia amat zalim dan bodoh. Ketika kemampuan manusia untuk mencipta telah bersatu dengan kemampuannya untuk berbuat zalim dan kebodohan, maka dapat dipastikan bahwa kemampuan menciptanya akan menjadi pelayan bagi kemampuannya untuk berbuat zalim. Tatkala kemampuan menciptanya telah menjadi pelayan bagi kemampuan berbuat zalim, maka hasilnya adalah film-film cabul, heroin, dan kejahatan-kejahatan lainnya.

Saya bermaksud mengemukakan contoh lain dalam permasalahan ini. Nama paling tepat yang diberikan pada abad kita sekarang ini ada- lah abad nuklir. Namun, tatkala manusia mengambil keputusan untuk memanfaatkan sekecil apa pun dari kekuatan nuklir guna memenuhi kebutuhan-kebutuhan mendesak hidupnya, para penguasa dunia yang haus kekuasaan pun memaksa para ilmuwan untuk membuat bom nuklir. Dengan bom itu, ia mengancam dan menakut-nakuti siapa saja yang hendak menghirup udara kebebasan.

Apakah kita boleh mengatakan bahwa bom nuklir ini adalah hasil penemuan nuklir dan buah dari abad ini dan sesuai dengan kepentingan manusia? Jika kita harus menyesuaikan diri dengan perkembangan dan tuntutan zaman, lalu mengapa semua manusia menjerit dengan perlombaan senjata yang sedang terjadi sekarang ini? Mengapa orangorang yang mendambakan kebaikan dan perdamaian menyeru dan berkata, “Mari kita melarang pembuatan senjata nuklir! Mari kita memerangi senjata nuklir!" Demikianlah perjalanan suatu ilmu, tetapi bukan ilmu yang be- bas. Di sini juga tampak bahwa kemampuan manusia untuk men cipta berada di tangan orang-orang yang haus kekuasaan. Dengan kata lain, kemampuan manusia untuk mencipta telah menjadi tawanan orang- orang yang haus kekuasaan.

Disebutkan bahwa di Amerika pernah diadakan suatu pesta untuk menghormati Einstein, seorang ahli fisika ternama, dan pesta tersebut dihadiri oleh para ilmuwan. Mereka yang hadir menyampaikan pujian- pujian kepada Einstein di tengah-tengah pembicaraan mereka. Lalu

p: 33

tibalah gilirannya untuk berbicara. Dalam pembicaraannya, Einstein mengatakan, “Anda sekalian mengadakan pesta untuk merayakan seseorang yang telah menjadi penyebab terciptanya bom nuklir di alam ini.” Tentu saja, tatkala membuat penemuan dalam bidang fisikaini, tidak terlintas sama sekali dalam benak Einstein bahwa dengan penemuannya itu ia akan membuat bom nuklir. Namun, maksud penemuannya ditujukan untuk kepentingan dan kesejahteraan umat manusia. Selagi ia masih sibuk dalam laboratorium kerjanya, orang-orang semacam Stalin, Rossevelt, Eisenhower, dan Churchil akan mengeksploitasi ilmu penemuannya itu untuk kepentingan-kepentingan pribadi mereka dalam mengejar kedudukan dan kekuasaan.

Manusia, yang menemukan alat untuk merekam gambar, mem- punyai maksud bahwa ia dapat memberikan manfaat kepada umat manusia dengan alat penemuannya itu. Dengan alat ini, orang dapat merekam berbagai ceramah, perkumpulan, konferensi, dan pelajaran sehingga orang banyak dapat mengambil pelajaran banyak darinya.

Namun sebelum ceramah, konferensi, dan perkumpulan direkam, dunia telah dipenuhi oleh berbagai gambar dan film cabul yang membangkitkan syahwat. Mengapa ini semua? Ini disebabkan potensi penyembahan syahwat yang tersembunyi dalam diri manusia dan te- lah mengeksploitasi ilmu untuk kepentingan-kepentingannya.

Dari sini kita memahami bahwa di samping mempunyai kemajuan dan perkembangan, manusia juga mempunyai kemungkinan untuk menyimpang. Para guru akhlak telah memberitahukan kepada kita sejak berabad-abad yang lalu tentang hal ini. Mereka mengingatkan bahwa ilmu pengetahuan yang dikuasai seseorang tidak menunjukkan bahwa ia akan menggunakannya demi kepentingan dan kesejahteraan umat manusia. Sebab, mungkin saja, ada seorang berilmu yang memanfaatkan ilmunya demi kepentingan syahwatnya.

Imam Alî berkata, “Di sini (beliau menunjuk dadanya), ada banyak ilmu. Akan tetapi, aku tidak menemukan orang-orang yang akan aku ajarkan kepada mereka ilmuku. Benar, aku telah menemukan orang- orang. Sebagian orang yang aku temukan memang bisa dipercaya. Akan tetapi, mereka lambat sekali paham. Sebagian lainnya cerdik. Ketika mereka telah mendapatkan ilmu dariku, mereka akan menggunakan

p: 34

ilmu itu sebagai alat untuk memperoleh kepentingan materi. Ilmu itu mereka jadikan sebagai alat untuk mencapai tujuan-tujuan mereka yang rendah.” Sanai, salah seorang penyair, mengatakan, “Engkau harus takut pada ilmu yang engkau pelajari karena tamak dan rakus. Sebab, engkau tak ubahnya bagaikan seorang pencuri yang memasuki sebuah rumah dengan obor di tangannya. Dengan obor itu, sang pencuri dapat mengambil barang-barang yang paling bagus dan berharga di rumah itu.” Ucapan di atas benar sekali. Hanya lantaran seseorang itu ber- ilmu, lalu kita katakan bahwa semua perbuatannya benar. Tidak de- mikian. Kita harus mengetahui hakikat ilmu yang dimilikinya. Apakah ilmu yang dimilikinya itu merdeka atau terpenjara? Apakah ia meng- gunakan ilmunya pada jalan yang dibenarkan akalnya atau pada jalan lain? atau, Dalam ungkapan Imam Alî a.s., “Menjadikan agama seba- gai alat yang dipergunakan untuk kepentingan dunia.” Ini baru sebatas seorang ilmuwan saja. Bagaimana halnya jika sekelompok ilmuwan bekerja keras dan mengadakan penelitian untuk mencapai kemajuan dan perkembangan, lantas ada sekelompok orang yang memanfaatkan hasil kerja para ilmuwan itu untuk maksud- maksud jahat? Dari sini kita mendapatkan sebuah alat untuk mengukur perubahan- perubahan yang terjadi pada setiap zaman. Apakah perubahan itu baik dan bermanfaat ataukah justru jahat dan merugikan? Dalam berbagai fenomena yang muncul demi kepentingan pribadi-pribadi penyembah syahwat, kita tidak boleh berjalan seiring dan bekerja sama dengan perubahan-perubahan zaman itu meskipun ilmu juga punya peranan dalam membidani kelahirannya. Sebab, bekerja sama dengan per- ubahan-perubahan yang demikian sama artinya dengan kemunduran dan kehancuran.

Jika Anda mengatakan bahwa abad sekarang adalah abad pengetahuan, maka kita akan mengatakan, “Memang benar, sekarang adalah abad ilmu pengetahuan. Akan tetapi, apakah seluruh sisi lain dari wujud manusia, selain ilmu, telah sirna sehingga yang tersisa hanyalah ilmu saja? Apakah manusia cukup hanya sampai pada tahap berilmu saja? Bukankah dalam diri manusia ada kemampuan-kemampuan

p: 35

lain? Perhatikanlah hal berikut ini. Belum pernah ilmu dipenjara dan dieksploitasi di masa lalu seperti di masa kita ini. Karena itu, tidak layak kita mengatakan bahwa masa kita sekarang ini adalah masa ilmu pengetahuan. Harus kita katakan bahwa era sekarang adalah masa pemenjaraan ilmu dan perbudakan ilmu di mana ilmu tidak dibiarkan bebas merdeka. Di masa lalu, ilmu lebih bebas dan merdeka ketimbang masa sekarang. Belum pernah ilmu dan ilmuwan terikat dan terpenjara seperti masa sekarang.

Sekiranya Anda memerhatikan dengan teliti, niscaya Anda mengetahui bahwa seandainya ada seorang ilmuwan menemukan sesuatu yang baru atau ada seorang ahli psikologi mahir. Kekuatan politik yang berkuasa akan segera berusaha mendapatkan dan memaksanya untuk bekerja demi kepentingan mereka. Tidak ada pilihan lain bagi sang ilmuwan itu. Mungkin contoh yang paling tepat dalam hal ini adalah para ilmuwan ahli nuklir. Tidak ada orang yang lebih malang dibandingkan mereka di dunia kita sekarang. Di mana pun di belahan dunia ini, jika ada seorang ilmuwan ahli nuklir terkemuka ditemukan, maka kekuatan politik dunia akan segera mendatangi dan menawannya agar ia menyerahkan pengetahuannya kepada mereka atau terkadang dengan maksud agar pihak musuh tidak bisa memanfaatkannya. Kekuatan politik itu mem- berikan suatu program kepada sang ilmuwan. Mereka meminta kepada sang ilmuwan itu untuk bekerja sesuai dengan program mereka. Ia tidak boleh keluar atau menyimpang dari program yang telah ditetap- kan. Bahkan, ia tidak punya hak hidup kecuali menekuni program itu.

Ilmuwanilmuwan ulung yang mengetahui berbagai rahasia ilmu fisika yang tidak diketahui pihak lain banyak tidak diketahui orang.

Mungkin di Uni Soviet ada beberapa ilmuwan seperti ini (jumlah pasti mereka tidak diketahui karena dirahasiakan). Jumlah yang sama mun- gkin juga ada di Amerika. Setiap ilmuwan senantiasa diawasi oleh ber- puluhpuluh petugas yang senantiasa menjaga dan mengawasinya agar tidak membocorkan rahasia kepada pihak lain. Tidak ada yang lebih sengsara di dunia ini dibandingkan mereka. Mereka tidak mempunyai apa yang saya dan Anda sekalian miliki, yaitu kebebasan. Mengapa? Ini karena mereka dikhawatirkan, suatu saat, akan memberitahukan sedikit informasi rahasia kepada saudara mereka, lalu saudara mereka memberitahukan informasi rahasia itu kepada negara lain,

p: 36

padahal —dalam hal ini— negara itu adalah lawan negara lain tadi.

Jika demikian, masa ilmu pengetahuan apakah ini? Memang benar bahwa masa sekarang ini terkadang disebut sebagai masa ilmu penge- tahuan. Masa sekarang bukanlah masa ilmu pengetahuan yang bebas, melainkan masa ilmu pengetahuan yang terpenjara. Sekarang adalah abad kekuasaan dan kekuatan, bukan abad kekuasaan ilmu penget- ahuan, yang memerintah masyarakat manusia. Abad sekarang adalah abad di mana para ilmuwan dijadikan sebagai alat mencapai cita-cita dan tujuan mereka.

Jika dalam keadaan seperti ini kita katakan bahwa kita tidak boleh menerima secara mutlak semua perubahan dan perkembangan zaman, hal ini tidak berarti bahwa kita menentang ilmu pengetahuan.

Akan tetapi, keadaan ini adalah justru pemberitahuan bahwa periode itu —yang di dalamnya ilmu pengetahuan punya kebebasan, akal pu- nya kebebasan, serta ilmu serta akal berkuasa atas syahwat dan sifat rakus kekuasaan, belum tiba saatnya. Artinya, belum tiba saatnya Einstein menjadi penguasa, sementara Rossevelt menjadi surohannya.

Yang terjadi sekarang justru sebaliknya.

Plato mempunyai pandangan sangat terkenal yang disebut “Kota Utama” (madîmah al-fadhîlah). Ia mengatakan, “Dunia tidak akan me- lihat kebahagiaan, kecuali bila orang-orang ahli ilmu dan hikmah men- jadi penguasa, dan para penguasa menjadi orang ahli hikmah dan ilmu pengetahuan. Selama para ahli hikmah dan pengetahuan berada pada satu tingkatan, dan para penguasa berada pada ting katan lain, maka selama itu pula kebahagiaan tidak akan dapat dirasakan oleh dunia.” Kita, kaum Muslim, meyakini bahwa zaman kebahagiaan hakiki bagi umat manusia adalah zaman munculnya Imam Mahdi. Inilah masa awal dijadikannya akal, bukan hawa nafsu, sebagai timbangan dalam semua aspek kehidupan. Demikian juga, masa ini ada lah masa yang di dalamnya ilmu mempunyai kedudukan khusus dan tidak lagi menjadi tawanan. Imam Alî menggambarkan masa itu sebagai berikut, “Pada masa itu, di waktu pagi maupun petang hari, manusia mereguk minuman hikmah. Tidak ada minuman lain kecuali hikmah.” (Nahi al- Balaghah, khutbah 150).

p: 37

Di dalam kitab al-Kâfî ada sebuah riwayat yang mengatakan bahwa, kelak di masa kemunculannya, Imam Mahdi akan meletakkan tangannya di atas kepala umat manusia sehingga akal mereka bertam- bah.

Mungkin saya tidak mampu menjelaskan hal ini sesuai dengan harapan saya. Hendaknya diketahui, adalah salah kalau kita mengatakan bahwa abad sekarang adalah abad ilmu pengetahuan. Adalah salah kalau kita mengatakan bahwa abad sekarang adalah abad akal. Adalah salah juga kalau kita mengatakan bahwa abad sekarang ada lah abad pemikiran.

Sebab, pada abad sekarang, akal dan ilmu tidak bebas. Dunia sekarang masih bertumpu dan berpijak pada hawa nafsu dan syahwat, sebuah dunia yang berdasarkan pencarian kekuasaan.

Pada bulan yang lalu saya mengadakan perjalanan ke daerah Kazakhstan. Di sana, saya menghadiri peringatan Nishf Sya'ban. Ketika itu saya mengatakan bahwa jika Anda sekalian hendak mengetahui abad apa sekarang ini, dan apa yang berkuasa di tengah-tengah masyarakat, perhatikanlah apa yang terjadi pada grup musik “The Beatles”, di mana empat orang yang tidak berharga sedemikian rupa bisa memenuhi dunia ini dengan teriakan-teriakannya. Berbagai surat kabar kita menulis bahwa manakala kelompok musik ini memasuki negara Amerika, semua peristiwa dan kejadian politik pun kalah dan tertutup oleh pemberitaan tentang kedatangan mereka. Ini adalah gambaran kondisi jiwa rakyat Amerika.

Pada waktu yang sama Wilson, Perdana Menteri Inggris, juga datang berkunjung ke Amerika. Namun, berbagai surat kabar penting seperti The New York Times hanya memberitakan kedatangannya dalam empat baris. Mereka menyediakan beberapa halaman khusus yangmembe- ritakan kedatangan “The Beatles”. Grup musik ini demikian termasyhur sehingga mereka mengatakan bahwa mereka lebih terkenal diban- dingkan Yesus. Apakah fenomena ini merupakan gambaran bahwa abad sekarang adalah abad akal dan ilmu pengetahuan? Saya katakan bahwa abad kita sekarang ini masih abad “The Beatles”, bukan abad Wilson.

Bertolak dari sini, kita dapat menarik kesimpulan bahwa kita masih belum bisa mengatakan bahwa semua fenomena yang ada di dunia sekarang mesti kita benarkan. Jangan sampai istilah “tuntutan-tuntutan zaman” menipu kita. Masih panjang jarak yang harus ditempuh agar kita sampai pada suatu masa yang semua perubahan zaman itu benar.

Hingga di sini saya akhiri pembicaraan ini.

p: 38

MASYARAKAT YANG BERKEMBANG

Dan perumpamaan mereka di dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya, dan tunasnya itu menjadikan tanaman itu kuat, kemudian besar dan tegak lurus di atas pokoknya, sehingga menyenangkan hati penanam-penanamnya (QS 48:29).

p: 39

p: 40

DI dalam ayat ini, Allah mengemukakan perumpamaan bagi orang-orang yang beriman, yakni orang-orang Islam yang mengikuti perintah-perintah Nabi Muhammad. Perumpamaan yang diberikan Allah mempunyai kaitan yang erat dengan pembahasan kita.

Al-Quran mengatakan bahwa perumpamaan orang-orang yang beriman dalam Injil bagaikan tanaman yang sedang mengeluarkan tunas. Namun, tunas itu tidaklah seterusnya demikian. Sedikit demi sedikit, tunas itu makin keluar dari tanah, lalu mempunyai pokok, dan kemudian berdiri tegak di atas pokok itu. Tunas yang tadinya halus dan lunak pun menjadi kuat. Ketika para penanamnya melihat ini, mereka pun terkagum-kagum. Demikian juga, proses perkembangan, kebebasan, dan keluhuran pun menyebabkan bangkitnya kemarahan musuh dan menjadi duri dalam pandangan mereka. Ketika orang- orang kafir melihat kaum Mukmin seperti ini, maka makin bertambah kemarahan mereka. Untuk siapa perumpamaan di atas ditujukan? Al- Quran sendiri memberikan jawaban kepada kita. Yang dimaksudkan dalam ayat ini adalah mereka yang bersama-sama Nabi Muhammad.

Al-Quran mengatakan: Mereka sangat keras pada orang-orang kafir, bersikap lemah lembut pada sesama mereka. Engkau melibat mereka senantiasa ruku'dan sujud.

Perhatikanlah hal berikut ini. Ibadah sama sekali tidak akan terpisah dari Islam. Beberapa orang telah mengenal kajian-kajian sosial Islam. Pengetahuannya itu menyebabkan mereka memandang enteng ibadah. Mereka berada dalam kesalahan besar. Sebab, ibadah adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari Islam secara praktis maupun teoretis. Suatu ibadah tidak mempunyai nilai manakala di pisahkan dari

p: 41

pelajaran-pelajaran sosial, dan begitu juga pelajaran-pelajaran sosial Islam tidak akan mempunyai nilai manakala dipisahkan dari ibadah.

Mereka mencari karunia dan keridhaan dari Allah. Maksudnya ialah bahwa mereka mencari tambahan dari Allah dan tidak merasa cukup dengan yang ada pada mereka. Namun, yang mereka cari tentu bukan seperti yang dicari oleh para penganut materialisme, yakni hanya mencari harta dan materi. Yang mereka cari adalah keridhaan Allah.

Al-Quran juga menambahkan: Tampak bekas-bekas sujud pada wajah- wajah mereka. Maksudnya ialah bahwa ajaran Islam tampak pada wajah mereka, dan bekas-bekas ibadah memantul pada tingkah laku mereka.

Bukan lantaran banyak sujud lantas dahi-dahi mereka mengeras dan menjadi hitam. Akan tetapi, yang dimaksud ialah bahwa ibadah me- ninggalkan bekas pada wajah mereka. Ini menunjukkan bahwa di sana terdapat hubungan erat antara jasad dan roh yang di dalamnya pemikiran, akhlak, dan keyakinan seseorang akan tergambar dalam sosok lahiriah seseorang. Sosok seorang yang senantiasa mendirikan salat berbeda dengan sosok orang yang meninggalkan salat.

Sungguh, betapa agung contoh yang digambarkan Allah mengenai kaum Muslim pada masa-masa awal Islam. Inilah contoh gerak yang mengarah kepada perkembangan dan kesempurnaan. Inilah contoh bagi orang-orang Mukmin yang senantiasa bergerak menuju kemajuan dan kesempurnaan. Allah mengumpamakan mereka dengan tunas tumbuhan yang menyembul dari dalam tanah. Kemudian, tumbuhan itu mempunyai pokok, ranting yang banyak dan ditumbuhi dedaunan, dan akhirnya menjadi pohon yang berbeda dari pohon-pohon lain.

Pohon itu membuat kagum para petani, pengajar, dan guru-guru akhlak yang melihatnya. Mereka bertanya, “Mana mungkin pohon ini tumbuh dan berkembang sedemikian cepat dan mulus?” Manusia-manusia seperti Socrates akan merasa kagum dengan pertumbuhan pohon itu.

Salah satu hal yang membuat dunia heran dan terkagum-kagum ialah pertumbuhan dan perkembangan pesat kaum Muslim. Begitu pula halnya dengan yang mereka capai. Al-Quran memberikan gambaran sebagai berikut: ... dan pohon itu berdiri tegak lurus di atas pokoknya, ... Maksudnya ialah bahwa mereka berdiri kokoh di atas kaki mereka sendiri.

Salah seorang Eropa berkata, “Sekiranya kami memandang tiga hal,

p: 42

pasti di dunia ini tidak ada orang seperti Muhammad." Maksudnya adalah bahwa tidak ada seorang pemimpin di dunia seperti dirinya. Pertama, ia mempunyai tujuan yang agung dan penting. Tujuan yang dibawa- nya demikian agung dan penting sehingga mampu menciptakan per- ubahan besar dalam bidang akhlak, keyakinan, pandangan, dan sistem sosial yang berlaku pada manusia. Kedua, sedikit dan terbatasnya alat dan sarana yang tersedia pada masa itu. Kaum kerabatnya justru bertentangan dengannya. Ia tidak punya harta, kekuatan, orang-orang yang bisa dijadikan sandaran, dan penolong. Seorang demi seorang diislamkannya hingga akhirnya berubah menjadi kekuatan dahsyat di alam ini. Ketiga, cepatnya ia meraih tujuan. Hanya dalam waktu kurang dari setengah abad, ia telah berhasil mengislamkan setengah penduduk bumi dan membuat mereka beriman kepada-Nya. Dari sini, bisa diketahui bahwa tidak ada pemimpin sehebat Rasulullah di muka bumi ini.

Inilah yang dimaksud Al-Quran ketika menyebutkan: Pohon tersebut membuat heran para penanamnya. Para pakar dan spesialis pendidik kemanusiaan dibuat kagum selamanya dengan pesatnya pertumbuhan kaum Muslim, kemerdekaan, dan berbagai keberhasilan yang mereka capai. Oleh Al-Quran, gambaran di atas diperuntukkan bagi kaum Muslim.

Saya ingin mengemukakan satu soal. Apakah sifat-sifat yang dis- ebutkan dalam ayat-ayat Al-Quran di atas hanya khusus bagi kaum Muslim masa-masa permulaan? Apakah sifat-sifat itu tidak bisa dipisahkan dari mereka? atau, Apakah semua itu adalah sifat-sifat Islam sendiri? Dengan kata lain, sekiranya pada suatu kurun waktu atau di kawasan lain ada orang-orang yang memeluk ajaran Islam dan mengamalkan semua aturan dan hukum-hukumnya, apakah mereka juga akan memiliki sifat-sifat yang disebutkan dalam Al-Quran berupa tumbuh, berkembang, sempurna, merdeka, dan membuat kagum orangorang yang melihatnya? Sekiranya demikian, maka semuanya itu adalah sifat dan karakteristik Islam, dan bukan sifat serta karakteristik manusia.

Manusia menjadi demikian disebabkan mereka mengikuti ajarana- jaran keimanan dan keislaman. Islam tidak bermaksud menghentikan kemampuan dan potensi suatu masyarakat. Islam juga tidak bermaksud menjadi dinding penghalang yang menghalangi gerak kemajuan suatu

p: 43

masyarakat. Demikian juga, Islam tidak memerintahkan kaum Muslim untuk tetap tinggal di suatu tempat tanpa bergerak sama sekali. Sama sekali tidak demikian. Islam adalah agama perkembangan. Islam adalah agama yang secara realistis bisa mengantarkan para pengikutnya ke arah kemajuan. Perhatikanlah apa yang telah diberikan Islam pada empat abad pertama masa kehidupannya. Will Durant, dalam karyanya berjudul The Story of Civilization, mengatakan, “Tidak ada peradaban yang mendatangkan kekaguman seperti peradaban Islam.” Islam secara nyata telah menunjukkan sifat dan karakteristiknya. Sekiranya Islam adalah agama yang menyerukan kebekuan dan kejumudan, maka Islam akan membiarkan orang-orang Arab tetap berada pada keadaannya semula. Tetapi, mengapa justru Islam mencakup dan menghimpun berbagai peradaban besar yang ada pada waktu itu? Dari sini, Islam kemudian menciptakan suatu peradaban yang lebih besar. Dengan demikian, Islam adalah agama yang tidak menentang kemajuan zaman.

Gustav Lebon sungguh telah melakukan banyak kajian dalam hal ini. Karyanya juga sangat berharga. Akan tetapi, terkadang ia berbicara aneh. Di sinilah curangnya Barat. Ketika ia masuk ke jantung pembahasan tentang sebab-sebab kemunduran kaum Mus lim, ia menyebutkan bahwa salah satu penyebab kemunduran kaum Muslim adalah pertentangan antara Islam dengan tuntutan-tuntutan zaman. Ia mengatakan bahwa zaman dan masa senantiasa berkembang. Sementara itu, dalam setiap kurun waktu. kaum Muslim menginginkan Islam tetap seperti di saat awal kemunculannya. Ini adalah sesuatu yang mustahil. Alih-alih me- ninggalkan ajaran Islam dan mengikuti perkembangan dan tuntutan zaman, mereka justru berpegang kepada ajaran Islam. Akibatnya, mereka pun mengalami kemunduran dan tersisihkan.

Setiap orang mungkin ingin mengetahui dasar pijakan yang di- gunakan oleh orientalis ini dalam melontarkan dakwaannya itu. Dasar ajaran Islam mana yang telah menyebabkan kemunduran kaum Muslim, yang karena tuntutan zaman telah berubah, dan alih-alih mengikuti tuntutan perkembangan zaman, kaum Muslim malah justru berpegang kepada ajaran Islam dan akibatnya mereka mengalami kemunduran? Dasar ajaran Islam mana, menurut hemat Gustav Lebon, yang tidak sejalan dengan tuntutan-tuntutan perkembangan zaman? Apa yang diperolehnya dari kaum Muslim sehingga ia mengatakan

p: 44

bahwa kaum Muslim menjadi beku dan jumud lantaran mereka tidak mau mengikuti perkembangan tuntutan-tuntutan zaman? Ia mengatakan bahwa salah satu dasar ajaran Islam yang memberikan hasil pada kurun awal Islam dan membuka mata bangsa-bangsa lain sehingga mereka secara berkelompok-kelompok memeluk ajaran Islam, khususnya bangsa-bangsa non-Arab yang berada di bawah penindasan para penguasa dan antek-anteknya, adalah prinsip persamaan. Mereka melihat bahwa Islam tidak melebihkan satu bangsa di atas bangsa lain.

Islam menolak sistem kasta. Inilah yang menyebabkan mereka tertarik dan memeluk ajaran Islam. Prinsip persamaan di atas pada mulanya memberikan keuntungan bagi masyarakat Islam. Setelah periode itu, kaum Muslim juga menginginkan agar sistem persamaan tetap diberlakukan. Akan tetapi, jika mereka menghendaki kekuasaan tetap berada di tangan mereka, maka mereka harus menghapuskan s persamaan itu. Setelah bangsa Arab berkuasa dan bangsa-bangsa lain memeluk agama Islam, mereka terpaksa mendahulukan kepentingan politik ketimbang kepentingan agama. Politik menuntut agar prinsip persamaan dihapus. Bangsa Arab pun mulai mengambil keuntungan dari keringat bangsa-bangsa lain. Mereka mulai menjadikan bangsa- bangsa lain sebagai budak dan pelayan mereka. Dengan demikian, mereka bisa memperkuat pilar-pilar kekuasaan. Inilah politik. Bangsa- bangsa lain tidak tahu soal ini. Mereka memeluk Islam disebabkan melihat prinsip kesamaan dan tiadanya perbedaan antara bangsa Arab dan non-Arab. Bangsa Arab memberikan jalan kepada orang-orang non-Arab agar bergabung dengan mereka dan mengangkat mereka sebagai hakim tingkat pertama. Mereka juga diberi kesempatan untuk menambah dan mendalami pengetahuan. Dengan demikian, secara perlahan-lahan, mereka menjadi kuat dan memegang pos-pos penting dalam kekuasaan bangsa Arab.

Bangsa pertama yang berkuasa atas bangsa Arab adalah orang- orang Iran. Pada masa awal Bani Abbâs berkuasa, ada orang-orang Iran yang ikut duduk dalam pemerintahan seperti Barmaki dan Dzuriyasatain. Kemudian, mereka pun mengangkat kaum kerabatnya dan menggusur posisi-posisi orang Arab. Ini terjadi pada permulaan abad kedua. Tahun-tahun berikutnya adalah masa kemuliaan bangsa Iran ketika Khalifah al-Ma'mûn berkuasa. Karena ibu al-Ma'mûn adalah

p: 45

orang Iran, bangsa Iran pada waktu itu telah mencapai puncaknya.

Konon, pada suatu hari, al-Ma'mûn melewati suatu jalan. Ada seorang Arab datang menemuinya dan berkata, “Wahai Khalifah, anggaplah aku ini sebagai salah seorang dari bangsa Iran!” Keadaan ini terus berlangsung hingga kekuasaan dipegang saudaranya yang bernama Mu'tashim. Pada masa kekuasaan Mu'tashim, keadaan pun berubah.

Suasana permusuhan pada bangsa Arab dan Iran terasa. Ini disebabkan ibu Mu'tashim adalah orang Turki. Mu'tashim memusuhi bangsa Arab karena mereka adalah pengikut Bani Umayyah. Dalam menjalankan siasatnya, Bani Umayyah melebihkan bangsa Arab daripada non-Arab.

Sementara itu, Bani Abbâs umumnya menentang dan memusuhi bangsa Arab karena mengetahui bahwa bangsa Arab adalah pendukung Bani Umayyah. Bani Abbâs telah menghidup-hidupkan bahasa Persi.

Ini disebabkan mereka tidak mau orang-orang Iran tercampur dengan orang-orang Arab. İbrâhîm ibn Imâm telah mengeluarkan surat perintah untuk seluruh kawasan Iran agar membunuh seluruh orang Arab yang dijumpai. (George Jordan dan yang lain-lainnya telah menyebutkan surat perintah ini). Mu'tashim memandang orang-orang Persia sebagai pendukung dan penolong Bani Abbâs keturunan al-Ma'mûn. Oleh karena itu, ia pergi ke daerah Turki. Lalu ia menarik kaum kerabat ibunya dan memberikan kursi kekuasaan dalam jumlah besar kepada mereka. Dengan langkahnya ini, ia menggeser kedudukan orang Arab dan orang Persia sekaligus. Kemudian, ia mendudukkan bangsa lain, yakni bangsa Turki.

Gustav Lebon mempersoalkan mengapa khalifah-khalifah Bani Abbâs, sebagai bangsa Arab, tidak mengikuti politik yang dijalankan Bani 'Umayyah dengan mengutamakan bangsa Arab atas bangsa lain. Gustav Lebone tidak tahu. Bahkan, ia menganggap sesuatu yang merupakan keutamaan Islam sebagai suatu kekurangan, dan ia menjadikannya sebagai alasan bahwa Islam tidak sejalan dengan tuntutan-tuntutan zaman serta menyebabkan kebekuan dan kemunduran kaum Muslim.

Gustav Lebon mengatakan bahwa prinsip persamaan meman baik dari sisi akhlak, tetapi terkadang baik dan buruk dari sisi politik.

Terkadang prinsip persamaan ini sesuai dengan keadaan zaman tertentu, yang membantu agar bangsa-bangsa lain memeluk agama Islam. Namun, terkadang prinsip ini tidak sesuai lagi dengan zaman

p: 46

lain. Di sini, hendaknya kaum Muslim (maksudnya: bangsa Arab) pada masa itu hendaknya tidak berpegang kepada prinsip persamaan itu. Sebab, menurut kacamata politik, suasana tidak mendukung bagi keberadaan prinsip itu.

Gustav Lebon membuat kesalahan fatal. Pertama, ia harus mengetahui bahwa Islam bukanlah sistem politik seperti yang ada di Eropa. Kedua, sekiranya kaum Muslim menjadikan agama Islam sebagai produk politik, maka tidak akan ada lagi yang tersisa dari Islam pada hari ini. Dan juga umat Islam tidak akan berbentuk sebagai suatu umat seperti sekarang ini.

Tujuan Islam ialah menerapkan prinsip persamaan secara nyata dan umum di tengah-tengah manusia. Sekiranya Islam menetapkan suatu aturan yang mempunyai kegunaan untuk sementara waktu, misalnya, untuk mengeksploitasi dan memanfaatkan sekelompok or- ang dan kemudian mengganti peraturan itu, yang demikian bukanlah Islam yang benar dalam artian sesungguhnya, melainkan sistem politik Eropa yang senantiasa mendengung-dengungkan hak asasi manusia, tetapi kemudian meletakkan bangsa-bangsa di bawah kekuasaan mereka.

Inilah keadaan yang kita saksikan sekarang ini. Tatkala bangsa-bangsa lain sudah berada di bawah kekuasaannya, mereka mengatakan bahwa perkataan yang diucapkan itu adalah siasia.

Inilah pola pikir mereka yang mengatakan Islam itu kering dan kaku dan Islam tidak bisa berjalan seiring dengan zaman dan perkembangan politik. Islam datang untuk memerangi sistem politik demikian yang ada di dunia ini. Islam tidak mengakui bahwa yang itu adalah tuntutan-tuntutan zaman. Islam mengatakan bahwa yang de- mikian itu adalah penyimpangan zaman dan kita akan berdiri meme- ranginya.

Apa yang dilakukan oleh Gustav Lebon sama dengan apa yang dilakukan oleh musuh-musuh Imam Alî. Mereka mengatakan bahwa Imam Alî adalah orang yang mempunyai segenap kelebihan. Imam Alî adalah seorang yang suka bekerja, takwa, penyayang, pembela ke- manusiaan, ahli hikmah, dan seorang orator. Namun, kekurangannya hanya satu dan ini adalah kekurangan yang besar, yakni beliau bukan seorang yang pandai dan ahli dalam masalah

p: 47

politik. Mengapa beliau dianggap tidak mengetahui politik? (Dalam pandangan mereka) Imam Alî tidak bersikap teguh dan tidak lentur karena Imam Alî memang tidak menjadikan kepentingan-kepentingan politik sebagai pertimbangan. Di suatu tempat, seorang politikus mesti berdusta atau pun memberi janji dan tidak ditepatinya. Ia menandata- ngani sebuah perjanjian dan kemudian menginjak-injak per- janjian yang ditandatanganinya itu. Seorang politikus harus menampakkan muka manis kepada seseorang agar orang itu mau menyerah. Manakala orang itu sudah menyerah, ia akan segera membinasakannya.

Dalam pandangan mereka, al-Manshûr ad-Dawânîqî adalah seorang politikus, karena ia sanggup memanfaatkan Abû Muslim. Ia membuat perjanjian dengan Abû Muslim bahwa ia akan menyerahkan beberapa urusan kepadanya. Abû Muslim telah bangkit mengadakan gerakan untuk kepentingan al-Manshûr di Khurasan. Kejahatan apa yang tidak dilakukannya demi kepentingan Bani Abbâs di Khurasan? Sayangnya, sebagian orang Iran menganggapnya sebagai pahlawan bangsa. Bangsa Iran tidak mengetahui bahwa berapa banyak Abû Muslim membunuh saudara-saudara mereka. Kita harus tahu bahwa orang yang kita katakan sebagai pahlawan ini telah membunuh banyak orang. Ia membunuh tidak kurang dari tiga ratus hingga empat ratus ribu orang. Bahkan sebagian kabar memberitahukan bahwa ia membunuh tidak kurang dari enam ratus ribu orang. Betapa besar kejahatan yang telah dilakukannya.

Apakah dengan cara memanfaatkan Abû Muslim sebagai algojo lantas al-Manshûr ad-Dawânîqî layak disebut sebagai politikus? Abû Muslim melaksanakan semua perintah dan keinginan al-Manshûr. Ketika sedikit demi sedikit kedudukan Abû Muslim bertambah kuat, al- Manshûr melihat bahwa Abû Muslim akan menjadi musuh dan mem- bahayakan kedudukannya di kemudian hari. Suatu ketika Abû Muslim pergi ke kota Makkah dengan membawa tentara yang sangat besar.

Ketika ia kembali dari kota Makkah, dan sesampainya di kota Rayy, al- Manshûr ad-Dawânîqî menyurohnya untuk menemuinya. Al-Manshûr berkata, “Datanglah menemuiku. Aku ada urusan denganmu!" Akan tetapi, Abû Muslim tidak pergi menemuinya. Al-Manshûr menyu- ratinya untuk kedua kalinya, ketiga kalinya, namun Abû Muslim tetap tidak memenuhi panggilan Khalifah al-Manshûr. Akhirnya, al-Manshûr menulis surat berisi ancaman kepadanya.

p: 48

Abû Muslim merasa ragu apakah ia akan pergi menemui al-Manshûr ataukah tidak. Untuk itu, ia minta pendapat dari orang banyak. Mereka menyarankan agar ia tidak pergi menemui khalifah sebab, hal itu berbahaya. Namun, sebagaimana dikatakan orang, ajalnya telah tiba.

Ia pergi sendirian menemui al-Manshûr sesuai dengan perintah.

Abû Muslim masuk menjumpainya dengan sikap hormat. Setelah ber- tentang keadaannya, al-Manshûr mengubah tekanan suara dan marah kepada Abû Muslim dengan mengajukan pertanyaan, “Mengapa engkau tidak melaksanakan pekerjaan fulan? Mengapa engkau menyalahi perintahku dalam urusan fulan?” dan Begitu seterusnya.

Abû Muslim mengetahui bahwa dirinya telah masuk perangkap. Al- Manshûr sudah bertekad membunuhnya. Abû Muslim memohon ampunan dengan mengingatkan apa yang telah dilakukannya pada musuh-musuh al-Manshûr. Namun, al-Manshûr berkata kepadanya, “Hari ini tidak ada musuhku yang lebih berbahaya dibandingkan dirimu.” Sebelum pertemuan itu, al-Manshûr telah menempatkan para algojonya lengkap dengan senjata di balik pintu dan memberikan perintah kepada mereka bahwa ketika ia memberi isyarat tertentu, maka secara serentak mereka segera menyerang dan membunuh Abû Muslim.

Di saat tengah menghardik Abû Muslim, ia memberikan isyarat kepada para algojonya. Dengan segera mereka menyerang dan membunuh Abû Muslim, lalu memotong-motong tubuhnya hingga menjadi serpi- hanserpihan daging, dan membungkusnya dengan kain. kotor. Memang benar, dalam pandangan mereka, al-Manshûr layak disebut sebagai politikus besar sebab ia tahu cara memenuhi dan mewujudkan ambisi dan keinginan-keinginannya.

Mereka mengkritik Imam Alî karena tidak melakukan apa yang telah dilakukan oleh al-Manshûr. Umpamanya saja, mereka mengatakan, “Mengapa Imam Alî tidak menampakkan muka manis di hadapan Mu'âwiyah? Mengapa Imam Alî tidak menulis surat yang akan membuatnya lalai? dan Mengapa Imam Alî tidak membiarkannya be- rada di tempatnya semula, lalu setelah beberapa lama memanggilnya ke ibukota, dan di sana baru kemudian membunuhnya dengan peren- canaan matang?, Mengapa ia tidak mau berdusta dalam menjalankan politiknya, dan Mengapa ia tidak membedakan seorang dengan seor- ang lainnya?, Mengapa beliau tidak menyuap seseorang?, dan Mengapa Imam Alî tidak

p: 49

memperlakukan bait al-mâl sebagaimana yang dilakukan Mu'awiyah atasnya? Mereka mengatakan bahwa kekurangan yang dimiliki Islam ialah bahwa Islam itu kaku dan tidak sejalan dengan tuntutan dan peru- bahan zaman. Ketika seorang politikus hendak melakukan aktivitasnya dengan bersandar kepada ajaran Islam, maka bisa dipastikan bahwa ia tidak bisa disebut sebagai seorang politikus.

Sebagaimana disebutkan sebelumnya, Islam justru datang untuk memerangi politikus-politikus macam di atas. Islam datang untuk memberikan pelayanan kepada manusia. Islam membela kemanusi- aan. Sekiranya Islam bekerja sama dengan hal-hal macam di atas, maka yang demikian itu bukan lagi Islam, melainkan suatu tipuan.

Islam adalah pembela yang dapat dipercaya. Islam adalah hakikat dan keadilan. Filsafat Islam menekankan bahwa kita harus tegas dan kokoh pada hal-hal menyimpang di atas.

Imam Alî menjalankan politiknya sedemikian rupa sehingga selama berabad-abad mampu berkuasa dalam hati manusia. Imam Alî selalu membela pikiran-pikirannya sehingga menjadi dasar-dasar ajaran yang tetap ada dan kekal hingga saat ini. Jalan yang ditempuhnya menjadi akidah dan keimanan yang tetap terjaga di tengah-tengah umat. Seki- ranya politik yang dijalankan Imam Ali adalah politik yang bertujuan mendapatkan keuntungan sedikit (Mu'âwiyah mengaku terus terang bahwa dirinya karam dalam kenikmatan dunia), niscaya beliau akan gagal dan merugi. Namun, karena beliau adalah seorang yang beriman dan memegang akidah dengan kuat, maka beliau tidak merugi selamanya. Jelas salah kalau pandangan yang mengatakan bahwa se- orang politikus harus menyesuaikan diri dengan warna dan kecende- rungan yang ada pada setiap zaman dengan menamakan segala ben- tuk kelicikan, penipuan, dan makar sebagai kecerdikan dan kesesuai- an dengan zaman. Mereka juga meminta kepada Islam untuk berbuat hal yang sama dan membolehkan para pengikutnya membentuk diri sendiri sesuai dengan warna yang ada pada setiap zaman. Mereka me- nambahkan kekurangan Islam, yaitu Islam mencegah manusia menye- suaikan diri dengan setiap warna yang terdapat pada setiap zaman.

Merupakan kebanggaan bagi Islam bertugas mencegah meluasnya

p: 50

bentuk penyesuaian dengan zaman semacam ini. Keagungan yang dimiliki Husain bin Alî, seorang Imam yang berkuasa dalam hati manusia, dan kekuasaannya bersifat abadi bersama waktu, disebabkan beliau menolak dengan tegas untuk menyesuaikan diri dengan warna yang ada pada zamannya. Seseorang tidak bisa mengatakan bahwa sekiranya yang berkuasa adalah Nabi Muhammad, maka warna yang harus diikuti adalah warna beliau. Namun sekiranya yang berkuasa adalah Mu'âwiyah, maka kita juga harus mencelup diri kita dengan warna Mu'âwiyah. Tentu tidak, kita harus tetap hidup dengan warna Rasulullah. Tatkala Marwan bin Hakam berkata kepada Abû Abdillah, “Aku memberikan nasihat kepadamu agar engkau membaiat Yazid.” Imam tidak mengatakan, “Maslahat saya demikian.” Tetapi yang beliau lihat adalah maslahat Islam. Imam mengatakan, “Salam untuk Islam, karena umat telah mendapat bencana dengan diangkat- nya Yazid sebagai pemimpin.”

p: 51

p: 52

SIKAP JUMUD DAN BERLEBÍH LEBIHAN

Demikianlah Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) sebagai umat pertengahan, yaitu agar kamu menjadi saksi atas manusia, dan Rasulullah menjadi saksi atas kamu (QS 2: 143).

p: 53

p: 54

SALAH satu karakteristik agung yang dimiliki Islam ialah sikap dan jalan tengah. Al-Quran sendiri menyebut kaum Muslim sebagai umat pertengahan. Ungkapan ini mengandung makna yang dalam dan mengagumkan. Inilah umat yang terdidik di bawah naungan Al-Quran -sebuah umat yang benar-benar jauh dari segala bentuk ekstremitas, sikap lemah, dan berlebih-lebihan . Inilah umat yang juga jauh dari kecenderungan ekstrem kanan maupun ekstrem kiri. Pendidikan Al- Quran senantiasa mendorong manusia untuk bersikap menengah dan mengambil jalan tengah.

Masalah yang kita jadikan tema pembahasan kita kali ini ialah masalah kesesuaian dengan perubahan dan tuntutan zaman. Tentang masalah ini, ada pendapat berlebihan, melemahkan, dan pertengahan, yang berdiri di tengah-tengah di antara dua pendapat ekstrem di atas.

Beberapa peristiwa pemikiran yang terjadi di dunia Islam disebabkan adanya sekelompok orang yang, di satu sisi, terlalu berlebihan dan, di sisi lain, yang terlalu meremehkan. Kita sebut mereka sebagai kelompok orang yang keras dan kaku. Sementara itu, lawannya adalah kelompok orang yang terlalu longgar dan menganggap enteng. Saya mengala- matkan kebodohan pada kelompok orang yang keras dan kaku terse- but. Lawannya adalah pendukung fanatik akal. Saya akan memberikan penjelasan tentang hal ini kepada Anda.

Kita mendapati seluruh sejarawan Eropa sepakat bahwa sekiranya tidak ada kekuatan iman pada umat Islam waktu itu, maka mustahil mereka akan meraih kemenangan. Iman sajalah yang menyebabkan mereka meraih kemenangan. Kemenangan yang diraih kaum Muslim ketika itu adalah sesuatu yang mirip mukjizat, yakni mukjizat iman. Pada waktu itu, kaum Muslim sangat memerlukan banyak pejuang yang

p: 55

mempunyai keyakinan dan semangat jihad yang tinggi, serta meyakini bahwa jihad adalah kewajiban asasi dalam Islam.

Di sana dijumpai adanya faktor penentu yang mendatangkan kemenangan, yaitu iman kepada Allah. Keberanian dan kekuatan yang dimiliki itu bersumber dari iman. Iman tumbuh dan berkembang kar- ena salat. Para pejuang memperoleh keberanian dari kalimat: Allâhu akbar (“Allah Mahabesar”), Alhamdulilllâh (“Segala puji bagi Allah”), dan Subhânallâh (“Mahasuci Allah”).

Ketika Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya salat adalah tiang agama”, beliau mengemukakan perumpamaan tentang agama dan salat seperti sebuah kemah. Kemah bisa berdiri dengan adanya bagian- bagian berupa kain terpal, tiang, tambang, dan paku. Kemah itu adalah agama, sementara tiangnya adalah salat. Jika tidak ada tiang, maka tidak akan ada agama.

Adalah salah kalau orang berpikir bahwa pejuang akan mening- galkan jihad lantaran keyakinannya bahwa salat lebih utama dari jihad.

Anda harus membuang jauh-jauh pikiran salah ini dan meluruskannya bahwa salat dan jihad tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Masing- masing tidak akan saling tumpang tindih. Anda harus menegakkan salat agar memperoleh kekuatan untuk dapat maju ke medan jihad. Al- Quran mengatakan: “Mintalah pertolongan dengan perantaraan salat dan kesabaran.” Mengapa kita harus merendahkan salat karena jihad, dan menjadikan salat hanya lebih baik daripada tidur? Sekiranya Anda hendak membeli buah-buahan, terkadang timbul keraguan tentang buah apa yang hendak Anda beli. Misalnya, apakah Anda hendak membeli buah semangka atau buah pir. Kemudian Anda melihat bahwa yang cocok adalah membeli buah semangka. Akan tetapi, masalah salat dan jihad tidak sama dengan masalah ini. Sebab, di sini, kita bisa memisahkan satu sama lain. Sekiranya kita menjumpai sekelompok mujahid yang berpikiran salah seperti ini, maka kita wajib meluruskan mereka.

Umpamanya saja, ada sekelompok orang berharta mengatakan, "Kami akan mengeluarkan harta, tetapi kami tidak akan mendirikan salat.” Islam tidak menerima sikap seperti ini, yakni memisahkan pemberian infak dari kewajiban salat. Islam juga tidak bisa menerima

p: 56

orang yang mengerjakan salat ribuan rakaat dalam sehari agar kewajiban mengeluarkan infak harta gugur dari dirinya. Perlu diketahui bahwa seluruh ajaran dan hukum Islam adalah sebuah kesatuan yang masing- masing bagiannya tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Ajaran Islam tidak ubahnya seperti sesosok tubuh. Setiap bagiannya mempunyai tugas dan peran masing-masing.

Saya menyebutkan bahwa bentuk perbuatan semacam itu untuk menyesuaikan diri dengan tuntutan-tuntutan zaman, sebagai ekstrem- isme (ifrâth) atau, dengan ungkapan lain, sebagai sebentuk kebodo- han. Sebab, hal itu timbul dari tiadanya pemikiran yang benar dan sempurna.

Setiap tahun, Habib Bourgouiba, seorang manusia yang entah harus saya sebut apa, bangkit untuk menghantam puasa. Ia menyuroh masyarakat untuk tidak melakukan puasa dengan alasan bahwa puasa akan mengurangi produktivitas pekerja. Tidak lupa, ia juga menyisipkan pikiran-pikiran Islam yang sangat menaruh perhatian besar pada ma- salah kerja. Ia menyatakan bahwa jika seseorang harus bekerja, segala sesuatu yang akan mengurangi produktivitas kerjanya itu tidaklah baik. Atas dasar perkataannya itu, kita bisa mengatakan bahwa segala sesuatu yang akan memperkuat produktivitas kerja itu baik dan dapat diterima. Jika kita mengumpamakan bahwa minuman khamr akan menjadikan para pekerja bertambah kuat, maka kita harus khamr kepada mereka.

Dituturkan bahwa suatu ketika Walid bin `Abdul Malik atau Wal- id bin Yazid bin `Abdul Malik keluar menuju masjid dalam keadaan mabuk untuk mengerjakan salat berjamaah. Alih-alih mengerjakan salat subuh dua rakaat, ia justru mengerjakannya sebanyak empat t. Sementara itu, kaum Mukmin tidak punya pilihan dan jalan lain kecuali mengikutinya. Usai salat, ia menghadap ke arah jamaah yang hadir dan berkata, “Hari ini saya dalam keadaan benar-benar kuat. Jika kalian ingin, aku siap melakukan salat lebih banyak lagi!” Di mana letak kesalahan Habib Bourgouiba? Orang ini beranggapan bahwa manusia adalah mesin yang harus terus-menerus bekerja.

Semakin kita bisa meningkatkan produktivitas kerja, yang demikian itu lebih baik. Jika ia mau berpikir, ia akan tahu bahwa manusia yang benar-benar melaksanakan ibadah puasa akan

p: 57

mempunyai produktivitas kerja berpuluh-puluh kali lipat. Ia tidak menyadari kekuatan roh dan jiwa manusia.

Dalam lingkungan hidup tempat kita tinggal sekarang, kita telah menyusun program yang mengatur jadwal dan pola makan kita.

Menurut program ini, kita makan sebanyak tiga kali setiap hari. Jika kita tidak makan selama beberapa hari, maka kita tidak akan mampu berjalan. Namun, apakah yang demikian itu merupakan hukum pasti yang tidak bisa berubah dalam kehidupan manusia? Kita telah berubah menjadi tawanan perut dan makanan dengan program yang mengatur kehidupan kita. Jika manusia mau mengubah aturan ini, maka ia pasti akan mampu bekerja dua kali lipat dengan hanya makan setengah jumlah dari makanan yang biasa dimakannya. Mungkin bagi orang-orang tertentu, dengan hanya makan dua buah biji badam (sejenis kacang-peneri) dalam sehari, mereka bisa memperoleh en- ergi yang sama dengan orang yang mengonsumsi makanan sebanyak satu kilogram setiap hari. Seseorang yang mengubah pola dan aturan hidupnya akan mendapatkan keadaan yang lain sama sekali. Mungkin Anda pernah membaca di surat kabar bahwa, beberapa waktu lalu, ada seorang pertapa Budha berdiri se lama dua belas tahun di atas satu kaki. Selama itu, ia tidak pernah tidur atau duduk. ia mengatakan, setelah melaksanakan latihan spiritual (riyâdhah) selama dua belas tahun, rohnya pun menjadi suci. Karena itu, ia kemudian duduk. Lalu diadakan suatu pertemuan besar dan dihadiri oleh para dokter yang memeriksa keadaan orang itu. Mereka mengatakan bahwa tubuh orang itu sehat seratus persen. Kejadian ini menunjukkan bahwa, dengan men- gubah lingkungan dan syarat-syarat yang berkaitan dengannya, aturan kehidupan manusia itu bisa mengambil bentuk lain. Harus saya akui juga bahwa memang ada beberapa kondisi kekecualian. Akan tetapi, hal ini membuktikan bahwa kemampuan potensial yang dimiliki manusia demikian besar dan manusia adalah makhluk yang bisa berubah.

Jika kita simak kehidupan Imam Alî bin Abî Thâlib, kita tahu bagaimana beliau berbicara kepada seorang gubernurnya, 'Utsmân bin Hanîf, dalam surat yang ditujukan kepadanya. Beliau mengatakan, “Sesungguhnya, Imam kalian merasa cukup dengan dunia ini dengan dua pakaian buruknya dan dua kerat roti untuk makannya. Barangkali di antara kalian ada yang berkata, “Kalau hanya seperti ini makanan

p: 58

putra Abî Thâlib, pastilah ia terlalu lemah untuk terjun ke medan laga dan berhadapan dengan musuh tangguh atau bertanding melawan para pemberani! Imam Alî menjawab dugaan itu dengan ungkapan yang sangat mengagumkan. Beliau berkata, “Sungguh, pohon-pohon di padang tandus lebih kuat batangnya dan pohon-pohon yang hijau menawan jauh lebih lunak batangnya.” (Nahj al-Balâghah, surat 45).

Makhluk hidup yang selalu menghadapi berbagai macam kesulit- an pastilah jauh lebih kuat dan tangguh. Tidak ada ketentuan bahwa manusia harus makan tiga kali sehari. Juga tidak ada ketentu an bah- wa jika ia tidak makan sebanyak itu, maka ia akan jatuh sakit. Setiap makhluk hidup yang banyak menghadapi kesulitan pasti lebih kuat dan tangguh.

Berikut ini adalah kisah nyata yang benar-benar terjadi dalam sejarah. Ketika terjadi Perang Shiffin, Perang Jamal, dan Perang Nah- rawan, Imam Alî telah menginjak usia enam puluh tahun. Berbeda dengan kita, di saat memasuki usia 40 tahun, tenaga dan semangat muda kita pun sirna. Ketika menginjak usia 50 tahun, kita merasa su- dah sangat tua dan lemah. Akan tetapi, kekuatan yang dimiliki Imam Alî pada usia 60 tahun sama dengan kekuatan yang beliau miliki ketika berusia 30 tahun. Jika Imam Alî menghadapi 'Amr bin `Abd Wud pada masa mudanya, beliau juga menghadapi Karîz bin ash-Shabâh pada usia 60 tahun. Janganlah Anda mengatakan bahwa Imam Alî adalah manusia istimewa sebab pada masa itu, semua manusia memang de- mikian keadaannya. Mâlik al-Asytar, seorang panglima perang gagah berani dan berusia 60 tahun sewaktu berkecamuk Perang Shiffin, ber- tempur melawan 'Abdullah bin Zubair-seorang pemuda sangat gagah berani—dalam Perang Jamal. Serangan-serangan yang saling mereka lancarkan demikian hebat dan dahsyat sehingga pedang mereka su- dah tidak berbentuk dan tidak bisa digunakan lagi. Kemudian mereka meneruskan pertempurannya dengan pergulatan. Ketika Mâlik ber- hasil menjatuhkan 'Abdullâh dan membantingnya ke tanah, 'Abdullâh berteriak, “Bunuhlah aku dan Mâlik bersama-sama!" Beberapa saat setelah Perang Jamal berakhir, Mâlik bin al-Asytar berjumpa dengan ‘A’isyah, bibi 'Abdullâh. ‘A’isyah mengumpat Mâlik

p: 59

atas apa yang dilakukannya pada keponakannya, yakni ‘Abdullâh. Mâlik bersumpah bahwa ketika itu ia belum makan selama tiga hari dan berkata bahwa sekiranya ia sudah makan, maka ‘Abdullâh tidak akan bisa lepas dari tangannya.

Dalam Perang Khandaq, kaum Muslim membalut perut mereka dengan batu karena rasa lapar. Namun, ketika itu, mereka tetap berperang dengan berani dan tidak ubahnya para pahlawan. Hal serupa ini tidak muncul dari hukum alam dan aturan penciptaan.

Salah satu hikmah yang terkandung dalam ibadah puasa ialah membebaskan manusia dari belenggu syahwat. Sewaktu mengerjakan puasa pada hari-hari pertama di bulan Ramadhan, Anda merasa lemah dan tidak bersemangat. Ini karena Anda tengah berada dalam proses keluar dari hukum yang memanjakan kenikmatan. Namun, pada harihari akhir di bulan Ramadhan, Anda merasakannya tidak berbeda dengan hari-hari biasa di luar bulan Ramadhan. Oleh karena itu, bayangan dan perkiraan yang kita paksakan itu ternyata salah. Ada sebagian orang yang men- olak alasan mereka yang tidak mau berpuasa dan mengatakan bahwa puasa akan menyebabkan dirinya lemah dan sakit. Sungguh bodoh orang yang mengatakan bahwa puasa akan mengurangi produktivitas kerja.

Apakah manusia harus bekerja terus-menerus? Apakah manusia sama dengan alat yang hanya bertugas memproduksi dan bekerja? Tidakkah manusia mempunyai roh dan hati? Tidakkah manusia memerlukan sifat takwa? Tidakkah manusia memerlukan sesuatu yang bisa membantu menyucikan dan mengendalikan sifat dan perilakunya? Apakah manusia tidak memerlukan keinginan akal dan kemanusiaan? Pergi dan tan- yakanlah kepada polisi dan petugas yang mengurusi tindak kejahatan:

Berapa banyak kejahatan dan tindak kriminal berkurang pada bulan Ramadhan? Perhatikan! Berapa banyak peristiwa pembunuhan, bunuh diri, dan perjudian bisa berkurang pada bulan Ramadhan, dan Berapa banyak bertambah segala bentuk amal kebajikan dan kemanusiaan? Semua ini seharusnya Anda perhatikan dengan baik, dan jangan hanya mengarahkan pandangan pada masalah kerja dan kemampuan saja.

Hal-hal di atas itu saya sebut ekstremisme (ifrâth) dan kebodohan.

dan Kita harus berdiri untuk menghadapinya. Mereka yang mengatakan demikian dan menyebutnya sebagai upaya untuk menyesuaikan diri

p: 60

dengan tuntutan-tuntutan dan perubahan zaman adalah orang-orang yang ekstrem dan bodoh. Mereka mengatakan bahwa ibadah puasa hanya diperuntukkan manusia yang hidup pada zaman Rasulullah saja karena mereka tidak dituntut melakukan pekerjaan sebanyak sekarang.

Sementara zaman sekarang telah berubah. Suasana dan kondisi telah berganti. Oleh karena itu, sekarang kita harus menghapuskan kewajiban puasa.

Kebalikan dari segala hal yang bersifat ekstrem di atas adalah sikap jumud dan kaku. Mereka bersikeras pada masalah-masalah yang tidak diridhai Islam. Bahaya yang ditimbulkan oleh sikap jumud dan kaku tidak kalah dibandingkan dengan bahaya yang ditimbulkan oleh ekstremisme. Islam menganjurkan manusia bersikap moderat (i’tidâl).

Dalam masalah penyesuaian diri dengan tuntutan dan perkembangan zaman, seorang Muslim tidak boleh berlaku seperti Habib Bourgouiba dengan mengadakan perubahan dalam masalahmasalah pokok agama demi menyesuaikan diri dengan perubahan dan perkembangan zaman. Demikian pula, seorang ma nusia juga tidak boleh bersikap kukuh dan jumud pada hal-hal yang tidak ada dasarnya dalam agama, seperti mengatakan bahwa barang siapa hendak mengawali pelajaran Al-Qurannya, maka ia harus mengawalinya dari Juz Amma dan seterusnya hingga ia menjadi seorang pengajar.

Apakah hal ini terdapat dalam ucapan Nabi atau para Imam? Ini adalah perbuatan buruk, sebab yang demikian itu menghilangkan ke- hormatan dan kewibawaan Al-Quran. Kita telah belajar dan juga telah melihat hal-hal yang lain. Bagaimana mungkin anak-anak yang tidak mengerti masalah bersuci bisa menjaga Al-Quran dan menghafal Juz ‘Amma? Tak pelak lagi, mereka akan menyobek-nyobeknya. Di sisi lain, kita tidak boleh meninggalkan Juz Amma karena alasan bahwa anak-anak tidak mengetahui dan tidak dapat membaca Al-Quran.

Tatkala telah mencapai kelas dua belas, seorang anak mungkin bisa mengetahui semua pelajaran, kecuali Al-Quran.

Yang pertama adalah sikap jumud, sementara yang kedua adalah sikap kebodohan. Kita harus menjadi umat yang bersikap moderat di antara sikap jumud dan bodoh. Imam Alî mengatakan, “Jalan kanan dan jalan kiri menyesatkan. Jalan tengah itulah yang lurus.”

p: 61

p: 62

JALAN TENGAH

Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu sebagai umat yang adil, agar kamu menjadi saksi atas manusia dan Rasul menjadi atas kamu (QS 2: 143).

p: 63

p: 64

SALAM satu ciri yang harus ada pada umat Islam ialah mengikuti jalan tengah yang berada di antara jalan ifrâfh dan tafrîth, yaitu terlalu berlebih-lebihan dan terlalu mempermudah. Sebuah hadis mengatakan, “Sesungguhnya pada setiap generasi ada sekelompok orang yang bersikap adil dan mengambil jalan tengah. Mereka menolak setiap penyimpangan sekelompok orang yang bersikap berlebih-lebihan dan menolak segala dakwaan dari kelompok pembuat kebatilan.” Hadis di atas mengisyaratkan munculnya kelompok yang bersikap adil pada setiap generasi. Mereka berdiri tegak menghadapi segala ben- tuk penyimpangan dan penyelewengan, baik dari kawan yang cende- rung bersikap berlebih-lebihan maupun lawan yang berbuat kerusakan.

Kerusakan tidak hanya berasal dari musuh, tetapi terkadang juga dari kawan. Bahkan, kadang-kadang juga bahaya yang ditimbulkan kawan jauh lebih besar ketimbang yang datang dari musuh. Kita akan mem- bahas sifat-sifat kedua kelompok itu agar kita dapat menemukan jalan tengah. Kita akan membahas kesesuaian tema Islam dengan tuntutan perkembangan zaman.

Sebelumnya saya telah menyebutkan dua kecenderungan saling berlawanan dalam sejarah Islam. Kedua kecenderungan itu masih terdapat dalam konteks pembahasan kesesuaian tema Islam dengan tuntutan dan perkembangan zaman.

Sikap dan kecenderungan ekstrem masuk ke dalam pengajaran- pengajaran Islam melalui pemikiran sempit yang bersumber dari ke- bodohan. Sementara itu, kecenderungan lain kita kenal dalam bentuk sikap jumud dan kaku yang bertentangan dengan roh dan maksud ajaran Islam. Sikap jumud muncul dari kalangan kawan, yang mungkin bisa kita katakan sebagai sikap sangat hati-hati. Namun, kehati-hatian ini bertentangan dengan ajaran Islam seratus persen, yang juga bisa

p: 65

disebut sebagai kehati-hatian yang kekanak-kanakan. Tentu saja, di sana juga selalu ada sikap tengah yang berdiri di antara dua kecenderungan itu. Jika kita ingin mengetahui kelompok ketiga, maka terlebih dahulu sepatutnya kita memulai pembahasan sikap ifrâth dan tafrîth.

Sebelumnya saya telah menyebutkan dua contoh ihwal sikap dan pandangan bodoh atas perintah-perintah dan ajaran-ajaran Islam.

Terkadang sikap demikian dikenal dengan nama intelektualitas Malahan, kadang-kadang mereka menyebutnya sebagai ijtihad. Pada- hal, sesungguhnya sikap seperti itu, tak lain dan tak bukan, adalah sebentuk kebodohan. Di sini saya juga akan menyebutkan satu contoh lain mengenai masalah ini agar setiap Muslim mengetahui tugas dan kewajibannya dalam menghadapi kecenderungan demikian.

Salah satu pertanyaan yang banyak saya dengar —terutama dalam perjalanan saya terakhir ketika menghadiri peringatan hari Nishfu Sya'bân yang diselenggarakan oleh Fakultas Pertanian sebuah universitas di kota Ahwaz dan karena pertanyaan itu pula akhirnya diselenggarakan beberapa kali pertemuan tanya jawab— adalah masalah haramnya daging babi. Mereka menyebutkan bahwa pengharaman daging babi adalah perbuatan yang sangat bijaksana. Pada masa itu, manusia belum me- ngetahui mikroba yang ada dalam daging babi, yang sekarang dikenal dengan nama cacing bisa menimbulkan penyakit berbahaya bagi orang yang memakannya. Ketika manusia belum mengetahui mikroba yang dikenal dengan cacing pita dan juga cara menghilangkannya, Rasul-ul- lah bisa mengetahui hakikat ini melalui wahyu. Karena itu, Allah memerin- tahkan beliau untuk melarang manusia agar tidak makan daging babi.

Sementara itu, di zaman sekarang dan selanjutnya, ilmu pengetahuan dan industri telah berkembang sedemikian rupa. Dengan perantaraan kemajuan itu, manusia mampu menyingkap misteri banyak mikroba.

Manusia juga mengetahui apa yang harus dilakukannya pada mikroba- mikroba itu dengan berbagai cara sesuai dengan pilihan mereka. Atas dasar pemikiran ini, tidak ada lagi alas an yang kuat untuk memperta- hankan hukum yang mengharamkan daging babi pada masa sekarang ini.

Jika kita makan daging babi sekarang ini, maka kita tidak ber- tentangan dengan hukum Islam. Sekiranya Rasulullah hadir di tengah- tengah kita, dan kita bertanya kepada beliau tentang haramnya

p: 66

memakan daging babi, maka beliau pasti akan menjawab bahwa daging babi sekarang halal dan tidak dilarang.

Menjawab pertanyaan itu, saya mengatakan bahwa sebagian premis dalam perkataan ini benar, sementara sebagian lainnya tidak benar. Perkataan Anda bahwa seluruh hukum Islam mempu- nyai dalil dan alasan itu memang benar. Ini serupa dengan perkataan para ulama Islam yang mengatakan bahwa semua hukum Islam mempunyai hikmah dan alasan, baik yang tampak maupun yang tidak tampak. Menurut ungkapan para ulama fiqih dan ushul fiqih, “Hukum mengikuti serangkaian maslahat dan mafsadah yang nyata.” Jika Islam mengharamkan sesuatu, maka hal itu disebabkan oleh mafsadah dan keburukan yang ada di dalamnya, entah bersifat jasmani maupun rohani. Mungkin juga, hal itu berkaitan dengan kehidupan sosial atau individual. Ringkasnya, di situ ada sesuatu yang menyebabkan pengharaman. Dalam Islam, tidak ada yang disebut pengharaman ta’abbudî (maksudnya: semata-mata pengharaman-penerj.) tanpa ada sebab dan alasan yang mendasarinya. Tak ada seorang ulama Syi'ah pun mengakui adanya haram ta’abbudî. Di kalangan Ahlus-Sunnah, ada sebagian ulama yang berpendapat demikian. Contohnya adalah kalangan Asy'ariyyah yang mempunyai pendapat dan pemikiran yang sangat membahayakan ajaran Islam. Pemahaman mereka tentang tauhid tidak sempurna. Mereka mengatakan bahwa Allah lebih besar daripada harus mengikuti maslahat dalam mengeluarkan semua hukum dan perintah-perintah-Nya. Manusia mungkin saja bisa demikian. Namun, Allah jauh lebih tinggi dan agung dari itu. Allah memberikan perintah dan larangan tanpa perlu alasan. Pemikiran demikian juga pernah ada pada masa para Imam. Mereka menjelaskan kesalahan pandangan ini. Allah tidak mengeluarkan satu hukum pun kecuali sesuai dengan maslahat dan hikmah, entah berupa hukum tasrîkî maupun takwînî.

Keadilan Allah menuntut agar Dia berlaku adil dalam mencipta dan menetapkan syariat. Ketika keadilan disebut sebagai salah satu dasar agama, yang demikian itu disebabkan karena hal ini.

Mereka ini, walaupun nama kelompok mereka masih ada, secara praktis dan realistis sudah sirna. Sekarang ini, kalangan Ahlus-Sunnah menamakan dirinya sebagai kaum Asy'ariyyah. Akan tetapi, keyakinan Asy'ariyyah tidak tampak di tengah-tengah mereka. Secara praktis, mereka bukan pengikut paham Asy'ariyyah.

p: 67

Dengan demikian, pernyataan bahwa pengharaman sesuatu dalam Islam harus mempunyai dalil dan alasan memang benar adanya. Saya mendukung pernyataan ini. Hukum yang mengharamkan makan daging anjing kembali kepada sesuatu yang membahayakan manusia.

Jelaslah bahwa pernyataan ini tidak dijumpai pada kurun awal Islam.

Masih timbul masalah lain. Seandainya ada seorang ulama atau muj- tahid mengetahui bahwa Islam mengharamkan daging babi disebab- kan hanya adanya cacing pita pada daging babi dan ia lantas memberi fatwa tentang halalnya daging babi pada hari ini, maka kita tidak akan menerima hal ini. Seorang mujtahid haruslah matang dan mendalam.

Mungkin saja sebab yang menjadikan alasan pengharaman sesuatu itu berpuluh-puluh jumlahnya, dan ilmu pengetahuan modern hanya mampu menyingkap sebagiannya. Kita telah melihat bahwa ilmu pengetahuan telah menemukan zat penisilin dan faedah-faedahnya. Penemuan ini mendapat sambutan dari masyarakat. Kemudian, setelah sekian tahun, baru diketahui bahwa penisilin mengandung bahaya dan tidak boleh diberikan secara umum karena tidak sesuai bagi sebagian orang yang sakit. Dengan demikian, ilmu menyingkapkan sebagian sisi, dan sebagian sisi lainnya masih belum diketahui.

Kapan seorang mujtahid berkeyakinan bahwa sebab pengharaman daging babi hanya terbatas pada sejenis mikroba yang dikenal dengan sebutan cacing pita? Barangsiapa mengaku demikian, maka ia telah terburu-buru. Sekarang kita beitanya kepadanya, “Apakah Anda yakin bahwa dua puluh tahun mendatang tidak akan ditemukan sesuatu yang baru?” Mungkin saja sifat-sifat dari sebagian hewan akan berpindah kepada orang yang memakannya. Salah satu sifat babi adalah kotor dan jorok. Dalam satu hadis disebutkan bahwa salah satu sifat batin yang dimiliki babi ialah tidak mempunyai rasa malu dan harga diri. Anda mengetahui bahwa terdapat sifat-sifat khusus yang dimiliki masing- masing hewan, seperti sifat amanah pada anjing. Salah satu sifat anjing ialah membalas kebaikan dengan kebaikan. Sifat ini tidak kita temukan pada kucing. Ayam jago dikenal sangat menjaga harga diri. Di sisi lain, kita juga mendapati Imam Alî ar-Ridhâ berkata tatkala menjawab pertanyaan seorang yang bertanya ihwal haramnya daging babi. Beliau berkata, “Karena hal itu akan menghilangkan sifat ghîrah (harga diri)."

p: 68

Apa yang Anda semua saksikan pada masyarakat Eropa hari ini adalah salah satu akibat dari pengaruh memakan daging babi.

Jika Anda menemukan orang yang mengaku-ngaku bahwa dir- inya mengetahui filsafat dan hikmah hukum sesuai dengan keadaannya, maka hal itu menunjukkan ketidakmatangan dirinya. Tentang khamr, mereka mengatakan bahwa minum khamr diharamkan oleh syariat secara keseluruhan pada masa dahulu. Hal ini disebabkan minum khamr akan membahayakan jantung dan hati. Akan tetapi, berbagai eksperimen membuktikan bahwa sekiranya manusia hanya minum khamr sedikit tidak membahayakan dirinya dan malah mendatangkan manfaat. Maka kesimpulannya adalah bahwa khamr halal hukumnya jika sedikit, dan haram hukumnya jika banyak. Ini adalah juga bentuk lain dari kesalahan. Tidak tepat kalau manusia terburu-buru dalam memutuskan masalah seperti ini.

Dahulu, sebagian orang mengatakan bahwa khamr diharamkan karena ia bisa menghilangkan akal seseorang. Sementara itu, bagi kami, khamr tidak menyebabkan kami mabuk. Karena itu, bagi kami, khamr halal hukumnya dan, bagi orang lain, haram hukumnya. Pertama, mungkin saja ada beribu-ribu sebab dan alasan ihwal mengapa khamr diharamkan yang tidak kita ketahui. Kedua, sesuatu yang haram akan tetap haram hukumnya, walaupun tidak ada bahaya sedikit pun yang ditimbulkannya dengan maksud agar manusia tidak melanggar perintah Allah Swt.

Saya akan menyebutkan contoh lainnya. Setelah berakhirnya Perang Dunia I, disebabkan alasan-alasan politik imperialisme, dikumandangkanlah semangat nasionalisme. Wilson mengajukan rencana yang terdiri atas 14 pasal. Salah satunya adalah menghidupkan semangat nasionalisme. Rencana ini tidak hanya ditujukan pada negara-negara Islam saja, tetapi juga kepada seluruh dunia. Rencana ini juga serupa dengan yang diajukan Aristoteles kepada Iskandar Agung. Tatkala Iskandar berhasil mengalahkan dan menguasai dunia secara utuh dan menyeluroh pada waktu itu, ia bermaksud mempertahankan kemenangannya itu.Untukitu, ia meminta Pertimbangan kepada Aristoteles. Aristoteles berkata kepadanya, “Cerai-beraikan dan kuasai mereka.” Setiap kali ia menaklukkan wilayah baru, ia mencerai-beraikan penduduknya dengan cara menjadikan

p: 69

sebagian orang dari mereka sebagai pemimpin. Akhirnya, mereka saling membunuh satu sama lain, sementara Iskandar tetap berada dalam kekuasaan yang lebih tinggi dan lebih kuat dari mereka. Hal serupa juga pernah diajukan Wilson dalam Perang Dunia I. Bangsa- bangsa Islam yang tergabung dalam satu pemikiran dan bernaung di bawah satu panji-manakala ditiup-tiupkan kepada mereka pemikiran dan fanatisme kebangsaan-pasti bakal terpecah-belah. Turki sekarang ini, sebelumnya, adalah imperium 'Utsmâni yang merupakan salah satu negara terbesar di dunia. Negara-negara Arab sekarang dahulu berada di bawah kekuasaan imperium Turki Utsmâni. Di satu sisi, kaum imperialis memanas-manasi para bangsawan Arab untuk bangkit membela bangsa mereka. Sementara itu, di sisi lainnya, mereka mendorong Kemal Ataturk untuk tetap menjaga dan memelihara bahasa dan bangsanya. Kemudian mereka mengubah ucapan. Mereka mengatakan bahwa kami bersandar kepada ras. Agama adalah urusan individu dan sama sekali tidak berkaitan dengan urusan-urusan sosial.

majelis permusyawaratan Turki sama sekali tidak menerima Islam dan mereka tidak setuju kalau Islam dijadikan sebagai agama resmi. Mereka juga mengatakan bahwa Allah tidak mempunyai bahasa khusus. Oleh karena itu, apa perlunya membaca bacaan salat dalam bahasa Arab? Marilah kita menunaikan salat dengan bacaan dalam bahasa Turki. Ini tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Sebab, Islam menginginkan agar manusia berbicara dengan Allah dalam salat, dan Allah Ma- hamengetahui segala sesuatu.

Ini juga adalah sebentuk sikap tergesa-gesa. Agama yang tidak mempunyai bahasa tertentu tidak akan sanggup bertahan. Memang benar bahwa Islam tidak terikat hanya pada satu makna bahasa dalam artian bahwa Islam tidak mewajibkan umatnya untuk berbicara dengan bahasa Arab. Islam tidak menetapkan bahasa tertentu sebagai alat komunikasi dengan pihak lain. Akan tetapi, Islam telah menetap kan suatu bahasa bagi amalan-amalan agama, dan hal itu dimak- sudkan agar bahasa tersebut menciptakan persatuan di tengah-tengah umat. Pada dasarnya, jika kita ingin melihat bangsa-bangsa yang mempunyai berbagai macam bahasa bisa bersatu pada satu titik ter- tentu, hal itu adalah sesuatu yang sangat baik dan merupakan langkah penting dalam usaha menciptakan persatuan umat manusia.

p: 70

Sekiranya Islam mengharuskan umatnya untuk berbicara dengan menggunakan bahasa tertentu, maka yang demikian itu tidak baik.

Setiap bangsa mempunyai adab dan kesusasteraan sendiri yang merupakan bagian dari kekayaan mereka dan kekayaan umat manusia.

Kita harus memelihara bahasa Persia karena merupakan kekayaan dan peninggalan berharga yang bermanfaat bagi dunia, dan bukan karena kita adalah orang-orang Iran serta punya fanatisme kebangsaan, melainkan karena kita mencintai dan menghormati bangsa-bangsa lain. Buku Gulistan karya Sa'di terhitung sebagai kumpulan syair dan hikmah yang merupakan kekayaan bagi segenap bangsa. Demikian juga halnya dengan kitab Matsnawî karya Maulawi. Dalam bahasa Arab, Al- Quran, Nahj al-Balâghah, dan Ash-Shahîfah as-Sajjâdiyyah, mempunyai kedudukan khusus. Terdapat berpuluh-puluh kitab yang ditulis dalam bahasa Arab yang terhitung sebagai kekayaan umat manusia, seperti Dîwan karya Ibn al-Faridh.

Dalam Islam tidak ada seruan yang mengajak seluruh umatnya untuk mempersatukan bahasa mereka. Namun, tidak mustahil kiranya mempersatukan bangsa-bangsa yang berbeda dengan satu bahasa agama. Tentu saja, ini tidak berarti kita bisa mengatakan bahwa bahasa Arab adalah bahasa Allah, wal-'îyâdzu billâh. Allah sama sekali tidak memerlukan bahasa. Sekalipun kita mengucapkannya, Allah tetap mengetahui niat kita. Saya telah menyebutkan sebelumnya bahwa segala sesuatu mempunyai falsafah dan hikmahnya. Inilah yang mestinya kita perhatikan. Dalam syairnya, ketika menyinggung munculnya pemikiran dangkal dalam diri sebagian orang, Ibn Nuwas berkata, Katakan pada mereka yang mengaku tahu ilmu dan filsafat! Kalian memang sudah mengetahui sesuatu, Tetapi, masih banyak hal yang belum kalian ketahui.

Hal ini perlu saya ungkapkan kepada Anda. Tidakkah Anda ketahui bahwa tidak ada satu bahasa pun yang sanggup menerjemahkan ke bahasa lain sama persis seratus persen? Masing-masing bahasa mempunyai karakteristik tersendiri. Sekiranya kita mengumpulkan seluruh sas- trawan Persia untuk menerjemahkan maksud dan karakteristik yang terkandung

p: 71

dalam surah al-Fatihah, mereka tidak akan sanggup melakukannya.

Demikian juga dengan bahasa Persia. Bahasa Persia tidak mungkin diubah menjadi bahasa lain dengan tetap menjaga segala kelembutan dan karakteristiknya. Banyak di antara mereka berusaha mener- jemahkan syair-syair Khayyam ke dalam bahasa lain. Namun, mereka tetap saja tidak mampu. Saya menulis sebuah makalah, lalu seseorang menerjemahkannya ke dalam bahasa Arab. Ketika saya membaca ter- jemahan tulisan itu, menurut saya, itu bukanlah sesuatu yang pernah saya tulis. Survei membuktikan bahwa jika Anda menyampaikan satu perkataan kepada seseorang, lalu orang itu menyampaikannya kepada orang ketiga, kemudian orang ketiga kepada orang keempat, dan de- mikian seterusnya hingga orang ketiga puluh atau keempat puluh, maka pada orang terakhir, ketika mengucapkan per kataan Anda, tampak sudah ada campur tangan dan perubahan sampai-sampai tidak sesuai lagi dengan perkataan pertama. Lantas, bagaimana keadaannya jika hal serupa terjadi dalam berbagai masalah agama? Salah satu kelebihan Islam ialah bahwa matan atau isi yang terkandung di dalamnya masih tetap terjaga. Matan dan isi Al-Quran tetap terpelihara. Matan dan isi doa-doa tetap terjaga, dan kita harus memelihara matan dan isi.

Adalah benar-benar bodoh dan jahil jika orang mengatakan bah- wa karena Allah tidak punya bahasa tertentu, marilah kita mengerjakan salat dengan menggunakan bahasa lain. Begitu banyak contoh campur tangan bodoh yang dilakukan orang dalam agama. Semua orang yang berakal dan memilih jalan tengah harus berdiri tegak menghadapi penyimpangan-penyimpangan seperti ini.

p: 72

ARAL DAN JALAN TENGAH

Dan demikianlah Kami telah menjadikan kamu umat pertengahan, agar kamu menjadi saksi atas manusia dan Rasul menjadi saksi atas kamu (QS2:143) (QS 2: 143).

p: 73

p: 74

PADA bagian sebelumnya, kita telah membahas masalah penting. Kita harus menjauhi dua hal agar kita mampu melaksanakan yang dikehendaki Al-Quran. Yang pertama adalah sikap ifrâth atau berlebih-lebihan dan campur tangan bodoh, yang sebagian contohnya telah saya sebutkan sebelumnya. Yang kedua ialah sikap jumud atau beku, yakni terikat dengan sesuatu yang bukan pada tempatnya.

Dalam kesempatan ini, saya akan menyebutkan contoh lain.

Contoh mengenai campur tangan bodoh dalam masalah agama yang akan saya sebutkan berkaitan dengan kaidah qiyas yang diguna- kan oleh Abû Hanîfah pada abad ke-2 H. Ketika itu, kalangan Ahlus- Sunnah merujuk kepada ulama-ulama mereka dalam berbagai masa- lah fiqih, sebagaimana kita bertaklid kepada para ulama kita pada hari ini. Jumlah ulama Ahlus-Sunnah saat itu banyak. Misalnya, di antara mereka adalah Sufyan ats-Tsauri, Hasan al-Bashrî, dan banyak lagi yang lainnya. Kebanyakan mereka bukan bangsa Arab. Akan tetapi, manusia merujuk kepada mereka. Hal ini disebabkan ketinggian ilmu yang mereka miliki. Dalam beberapa sisi, kajian-kajian yang mereka asuh mempunyai kelebihan dibanding yang lain. Keagungan Islam te- lah menanamkan gagasan dalam benak manusia bahwa semua bangsa dan ras tidak mempunyai kelebihan satu sama lain. Islam menjadikan ketakwaan dan amal perbuatan-dan bukannya kebangsaan-sebagai tolok ukur kelebihan seseorang. Sebagian besar kalangan ulama itu sebelumnya” adalah budak-budak yang kemudian dibebaskan. Mereka mendirikan padepokan-padepokan ilmu yang dihadiri banyak orang guna menimba ilmu dari mereka.

Sejarah berbicara kepada kita bahwa penduduk Mesir meminta kepada 'Umar bin `Abdul Azîz mengirimkan kepada mereka tiga orang ulama ahli fiqih. 'Umar bin Abdul Azîz memenuhi permintaan

p: 75

mereka. Ia mengirimkan tiga orang ulama-dua orang berasal dari budak yang telah dibebaskan dan seorang dari bangsa Arab.

Orang-orang Mesir protes kepada khalifah 'Umar bin `Abdul Aziz ihwal beliau tidak mengirimkan ulama berkebangsaan Arab saja semua-nya atau setidak-tidaknya, dua orang dari mereka berkebang- saan Arab. Khalifah memberikan jawaban kepada mereka, “Ini bukan kesalahanku karena memang tidak ada ulama berkebangsaan Arab yang mempunyai kelayakan untuk kukirimkan. Sekiranya aku menjumpai ada beberapa orang Arab yang mempunyai kemampuan seperti dimi- liki kaum mawâlî (budak yang telah dibebaskan), maka aku pasti akan mengirimkannya kepada kalian.” Hari demi hari, jumlah ulama semakin bertambah banyak. Salah seorang di antaranya adalah Ibn Jarîr ath-Thabarî, seorang penulis kitab sejarah dan tafsir terkenal. Ia adalah seorang ahli fiqih besar di zamannya. Ia punya banyak pengikut. Para pengikut mereka tidak menganggap penting bahwa mereka bertaklid kepada seorang ulama yang masih hidup atau sudah meninggal. Banyak di antara mereka yang bertaklid kepada para ulama yang sudah meninggal. Ketika mereka ditanya, mereka menjawab bahwa mereka bertaklid kepada Sufyân ats-Tsaurî, Ibn Jarîr ath-Thabarî, Abû Hanîfah, dan sebagainya.

Padahal, jarak perbedaan masa yang memisahkan mereka dengan para ulama yang mereka ikuti itu sangat jauh, yakni tidak kurang dari tiga ratus hingga empat ratus tahun.

Pada abad ke-7 H, sejarah menuturkan bahwa di Mesir, pada masa kekuasaan Al-Malik azh-Zhâhir yang aslinya bernama Baibaras, muncul satu pemikiran bahwa karena banyaknya pendapat dan mazhab dalam masalah fiqih telah menyebabkan keresahan dan kera- guan di tengah umat. Maka diambillah keputusan bahwa umat Islam hanya boleh mengikuti empat ulama mazhab saja dan tidak boleh mengikuti ulama lain. Keempat ulama ini adalah Abû Hanîfah, Malik bin Anas, Syâfi’î, dan Ahmad bin Hanbal. Dari keempat orang ini, dua dari mereka adalah orang Arab, dan dua lainnya adalah orang Iran.

Abû Hanîfah adalah orang Iran yang tinggal di kota Kufah.

Sejak saat itu, taklid hanya terpusat kepada mereka berempat dan terus berlangsung hingga hari ini. Sekiranya ditemukan seorang muj- tahid lain yang mampu mengeluarkan fatwa, ia wajib memberikan

p: 76

fatwanya dalam konteks keempat mujtahid di atas. Ia tidak boleh mengeluarkan fatwa yang bertentangan dengan pandangan mereka berempat. Dengan kata lain, fatwa-fatwa keempat mujtahid itu adalah sanad yang dapat dipercaya. Demikianlah, pintu ijtihad telah ditutup di kalangan Ahlus-Sunnah.

Keempat mujtahid di atas mempunyai empat metode penyimpulan hukum (istinbâth) yang berbeda. Abû Hanîfah mempunyai metode instinbâth yang dikenal dengan metode rasional hingga mencapai tingkat ekstrem. Artinya, jika ia hendak mengeluarkan fatwa, ia banyak menyandarkan fatwanya kepada metode argumentasi akal dan sedikit sekali berpijak kepada hadis. Ini disebabkan Abû Hanîfah ber- keyakinan bahwa hadis yang sahih sangat sedikit jumlahnya dan mer- agukan sebagian hadis yang diriwayatkan. Jika disodorkan hadis sahih kepadanya, ia akan mengambilnya. Karena tidak banyak bersandar kepada hadis, dalam menetapkan hukum ia terpaksa banyak berpijak pada argumentasi-argumentasi rasional dengan menggunakan metode qiyâs dalam mengambil kesimpulan hukum. Jadi, metode menarik kesimpulan hukum yang ditempuh Abû Hanîfah adalah qiyâs. Pusat mazhab Abû Hanîfah adalah kota Kufah di Irak.

Rekan sezaman Abû Hanîfah adalah Malik bin Anas yang berpu- sat di kota Madinah. Malik bin Anas berbeda dari Abû Hamfah. Ia sama sekali tidak mempergunakan qiyâs selama hidupnya kecuali sebanyak dua kali. Diceritakan bahwa tatkala ia hendak meninggal, tubuhnya gemetar. Lalu ditanyakan kepadanya hal-hal yang terjadi. Ia menjawab bahwa pernah dua kali ia memberikan fatwa dengan menggunakan qiyâs. Malik bin Anas adalah kebalikan dari Abû Hanîfah, yang banyak bersandar pada hadis. Jika ia tidak menemukan hadis tentang satu masalah, maka ia akan merujuk pada sîrah para sahabat. Jika ia tidak menemukannya juga dalam sîrah sahabat, maka ia akan merujuk pada sîrah generasi sesudah sahabat (tâbi în). Malik bin Anas mempunyai sebuah kitab hadis yang berjudul Al-Muwaththâ', yang ditulis pada abad ke-2 H. Kedua imam mazhab ini hidup sezaman dengan Imam Ja'far ash-Shâdiq. Karena Malik bin Anas tinggal di Madinah, ia sering mengunjungi Imam Ja'far dan sangat menghormatinya.

Kalangan Ahlus-Sunnah menukil perkataan Malik bin Anas yang berbunyi, “Aku belum melihat orang yang lebih utama, lebih

p: 77

bertakwa, dan lebih mulia daripada Ja'far bin Muhammad.” Demikian juga, mereka menukil ucapan Malik bin Anas, dan ucapan serupa juga dinukil oleh para pengikut Ahlul Bait. Malik mengatakan, “Aku terkadang menghadiri majelis Jafar bin Muhammad. Ketika itu, beliau mempunyai tempat duduk, memaksaku untuk duduk di tempatnya, dan menunjukkan kecintaan dan penghormatannya kepadaku yang menyebabkan aku merasa senang." Juga ada sebuah riwayat terkenal yang mungkin Anda juga sudah sering mendengarnya. Riwayat ini juga dituturkan oleh Malik bin Anas.

Ia berkata, “Aku pernah sekali menemani Imam Ja'far ash-Shâdiq pergi ke kota Makkah. Kami berdua sampai ke Masjid Syajarah. Kemudian kami melakukan ihram. Tatkala Imam hendak mengerjakan ihram dan mengucapkan talbiyah, aku memandangnya. Tampak olehku raut wajahnya berubah. Ia hendak mengucapkan sesuatu, tetapi tidak mampu dikeluarkan, seolah-olah suaranya parau. Rasa takut demikian menyelimuti dirinya sehingga hampir-hampir saja ia jatuh ke tanah. Aku menghampirinya. Ternyata, hal itu disebabkan rasa takutnya kepada Allah. Aku berkata kepadanya, Arida harus mengucapkan talbiyah, wahai putra Rasulullah, karena itu merupakan kewajiban syariat. Beliau berkata, “Apakah engkau tahu labbaik? Arti labbaik ialah Aku adalah hamba-Mu yang datang memenuhi panggilan-Mu. Lalu sekiranya Dia menjawabku dengan berkata, “Tidak, Aku tidak menyerumu, apa yang harus aku perbuat?" Abû Hanîfah berada di Irak. Ia adalah juga salah seorang murid Imam Ja'far ash-Shâdiq. Seorang lagi dari keempat imam mazhab di atas ialah Syâfı’î. Ia mengambil jalan tengah di antara metode Abû Hanîfah dan metode Malik bin Anas. Syâfi’î hidup pada masa akhir kehidupan Abû Hanîfah dan Malik bin Anas. Syafi'i adalah murid dari seorang murid Abû Hanîfah, yang tampaknya adalah Abû Yûsuf.

Syâfı'î berguru beberapa lama kepada Abû Yûsuf di Irak. Ia mempelajari fiqih Abû Hanîfah dari Abû Yûsuf. Setelah itu, ia belajar beberapa lama kepada Malik bin Anas. Segenap pemikiran dan keyakinan Syâfi’î berada di tengah-tengah antara keduanya. Syâfi'î tidak mengamalkan qiyâs sebagaimana dilakukan Abû Hanîfah. Demikian juga, ia tidak seperti Malik bin Anas yang sama sekali menolak qiyâs. Syâfi’î pergi ke Mesir. Kemudian rakyat Mesir mengikutinya dan mengamalkan fatwa-

p: 78

fatwanya. Sejak saat itulah rakyat Mesir menjadi pengikut mazhab Syâfi’î.

Yang terakhir dari keempat imam empat mazhab di atas ialah Ahmad bin Hanbal. Ia hidup pada masa lebih terkemudian dibandingkan dengan ketiga orang di atas. Masa hidupnya kira-kira sezaman dengan masa hidup Imam Alî al-Hâdî. Ia mempunyai kitab yang telah dicetak dan berjudul Al-Musnad. Kalangan Wahabi men jadi pengikutnya. Ahmad bin Hanbal lebih keras daripada Malik bin Anas dalam menentang qiyâs dan argumentasi rasional. Fiqih yang dianutnya bisa dikatakan kaku dan ia juga seorang yang sangat fanatik dan teguh. la pernah dipenjara beberapa lama dan dicambuk beserta beberapa orang pengikutnya karena ia mengatakan bahwa Al-Quran bukan makhluk. Ia sama sekali tidak mau mengubah pendiriannya. Ketika akhirnya pemerintahan berganti, Ahmad bin Hanbal pun keluar dari penjara dengan terhormat dan sangat dicintai oleh masyarakat. Ia mempunyai banyak pengikut. Para ahli sejarah menceritakan bahwa ketika ia meninggal, tidak kurang dari 800.000 orang mengiringi dan mengantarkan jenazahnya. Hendaknya jangan dilupakan juga bahwa Abû Hanîfah meninggal dalam penjara. Hanya lantaran kita kaum Syi'ah, lantas kita mengatakan bahwa mereka ada- lah boneka para khalifah. Tidak, tidak demikian. Tidak semua ucapan khalifah mereka terima dan amalkan begitu saja. Mereka teguh me- megang jalan dan pendiriannya. Berapa banyak khalifah menginginkan agar Abû Hanîfah mengeluarkan fatwa yang menyatakan sahnya Dinasti ‘Abbasiyyah. Akan tetapi, ia menolak. Katanya, “Sesungguhnya umat sebelum ini telah berbaiat kepada Bani Hasan, dan baiat mereka itu sah. Karena itu, baiat kepada Bani Abbâs tidak sah.” Betapa sering ia dicambuk dalam penjara. Ia tetap tidak mau memberikan fatwa yang diminta. Demikian juga halnya dengan Malik bin Anas. Di masanya, ia pernah dipenjara dan di cambuk lantaran fatwanya yang menyerang para khalifah. Ia tetap tidak mau mencabut fatwanya itu. Mereka ini adalah bagian dari kebanggaan Islam. Anda perlu mengetahui bahwa Islam tidak mendidik umatnya untuk menjadi boneka para raja dan khalifah.

Fiqih Ahmad bin Hanbal sangat kaku dan sama sekali tidak memberikan peranan kepada akal. Lawannya adalah mazhab Hanafi yang sangat berpijak kepada akal. Abû Hanîfah kelewat berlebih-lebihan

p: 79

dalam memegang argumentasi rasional sampai-sampai akal sendiri pun menolaknya. Satu hal pokok yang harus diperhatikan adalah bahwa dia kurang percaya kepada hadis. Qiyâs yang ditempuh Abû Hanifah bisa disebut sebagai sebentuk kebebasan mengemukakan pendapat dalam masalah agama, yang dapat kita kategorikan sebagai tindakan campur tangan bukan pada tempatnya seperti telah kita bicarakan sebelumnya.

Ahmad Amin dari Mesir, dalam bukunya yang berjudul Dhuhâ at- Islâm, menuturkan sebuah kisah tentang Abû Hanîfah. Ia mengatakan, "Pada satu hari Abû Hanîfah pergi ke tukang cukur untuk memotong jenggotnya. Ketika itu, ada sebagian rambut jenggotnya yang sudah memutih. Abû Hanîfah memerintahkan tukang cukur untuk memo- tong rambut yang sudah memutih dengan anggapan bahwa rambut itu tidak akan tumbuh lagi di tempatnya. Tukang cukur itu berkata kepadanya, “Sekiranya kupotong, rambut ini akan tumbuh lebih ban- yak lagi.” Kemudian Abû Hanîfah berkata, “Kalau begitu, potong saja rambut jenggot yang masih berwarna hitam agar tumbuh lebih banyak lagi!” Sudah menjadi watak dan tabiat manusia bahwa ia tidak ingin rambutnya memutih terutama jika mempunyai istri yang masih muda! Inilah yang disebut qiyâs. Mazhab Abû Hanîfah adalah mazhab qiyâs.

Metode inilah yang membolehkan seseorang mengadakan campur tangan yang tidak semestinya dalam agama. Jika berlangsung terusmenerus, hal ini akan menjadi pukulan berat bagi agama.

Bukan hanya para Imam kita saja yang menentang qiyâs. Malik bin Anas juga menentang qiyâs. Syafi'i juga tidak setuju pada sikap ek- strem Abû Hanîfah dalam menggunakan qiyâs. Demikian pula halnya dengan Ahmad bin Hanbal yang sama sekali tidak mengakui peranan akal, dalam masalah-masalah agama. Jika seseorang mengenal mazhab- mazhab besar Ahlus-Sunnah dan mengetahui metode yang ditempuh Abû Hanîfah dan para mujtahid lainnya dan, kemudian sesudah itu, merujuk pada hal-hal yang telah dikatakan para Imam ihwal metode yang ditempuh Abû Hanîfah dan para mujtahid lainnya atau sama sekali tidak menerima dan tidak mendukung satu pun dari mereka; maka ia pasti akan melihat bahwa para Imam telah menunjukkan cara lain yang benar-benar merupakan kekayaan dan kebanggaan Islam. Inilah salah satu alasan ihwal pentingnya masalah imâmah dan kepemimpinan.

p: 80

Para Imam kita sangat keras menentang qiyâs. Mereka mengatakan, “Jika qiyâs digunakan dalam masalah agama, agama akan terhapus." Para Imam tidak berkata seperti Ahmad bin Hanbal bahwa akal sama sekali tidak berhak mengeluarkan pendapat. Mereka me ngatakan bahwa akal berhak mengeluarkan pendapat. Akan tetapi, qiyâs bukan termasuk metode akal. Para Imam juga tidak seperti Syâfi'î yang mengambil jalan tengah dalam masalah ini. Mereka tidak seperti Malik bin Anas yang sama sekali menutup pintu qiyâs. Namun, pada saat yang sama, mereka mengakui akal sebagai dasar. Ketika merujuk pada fiqih Ahlus- Sunnah, Anda akan melihat bahwa para ulama mazhab Hanafi mengatakan bahwa yang menjadi hujjah atau sumber hukum Islam adalah Al-Quran, sunnah Nabi, ijma' dan qiyâs. Para ulama mazhab Hanbali mengatakan bahwa sumber hukum Islam adalah Al-Quran, Sunnah Nabi, dan ijmâ'. Namun, jika Anda mengkaji fiqih Syi'ah, Anda tidak akan menemukan pandangan demikian. Para ulama Syi'ah mengatakan bahwa hujjah atau sumber hukum Islam adalah Al-Quran, Sunnah Nabi, ijma', dan akal. Yang dimaksud akal di sini adalah jalan tengah antara kejumudan dan kebodohan. Jika kita menggunakan akal dalam menarik kesimpulan hukum, maka hal itu disebabkan akal adalah huj- jah Allah. Diriwayatkan dari salah seorang Imam ma'shûm bahwa Allah mempunyai dua hujjah, yakni yang bersifat lahiriah dan batiniah. Huj- jah lahiriah ialah Al-Quran. Sementara itu, hujjah batiniah adalah akal.

Namun, pada saat yang sama, para Imam sama sekali tidak mengakui qiyâs sebagai hujjah. Ucapan para Imam yang mengatakan bahwa akal adalah hujjah dan bukannya qiyâs adalah jalan tengah yang telah dibukakan para Imam agar kita tidak jatuh pada dua sisi ekstrem. Ke- dua sisi ekstrem itu adalah kejumudan dan menolak peran akal yang dipelopori oleh Ahmad bin Hanbal dan sisi lainnya adalah kebodohan yang diwakili Abû Hanîfah karena menggunakan qiyâs secara berle- bihan. Jalan yang ditunjukkan para Imam adalah ijtihad dalam artian sesungguhnya.

Sayangnya, di kalangan Syi'ah kemudian muncul kecenderungan negatif. Wakil terpenting dari kecenderungan ini adalah kaum Akhbârî, yang -insya'Allah, akan saya kemukakan pada kesempatan berikut.

Di kalangan Syi'ah Imamiyyah, akal tetap merupakan jalan yang ditempuh. Akal merupakan hujjah, bahkan hujjah Allah. Namun, akal punya aturan yang tidak boleh dilanggar. Seseorang tidak boleh —atas nama akal-

p: 81

bebas mengeluarkan pendapatnya dan menganggapnya sebagai hujjah.

Umpamanya saja, salah satu hukum akal ialah menyuroh orang untuk mengikuti sesuatu yang yakin. Al-Quran juga mengatakan hal serupa, Janganlah engkau mengikuti sesuatu yang tidak engkau ketahui dan yakini (QS 17: 36). Dalam ayat lain, Al-Quran mengatakan, Sekiranya engkau mengikuti kebanyakan manusia yang ada di muka bumi, niscaya mereka akan menyesatkanmu (QS 6: 116). Kemudian Al-Quran juga mengatakan, Tidaklah mereka mengikuti sesuatu kecuali hanya persangkaannya (QS 6: 116). Allah Swt menetapkan akal dalam diri manusia sedemikian rupa agar mencegah dirinya dari menempuh jalan itu, sekiranya ia tidak menemukan keyakinan dalam suatu masalah. Al- Quran mengatakan bahwa kepemimpinan akal adalah sebuah mukjizat.

Al-Quran juga menetapkan beberapa hukum-hukum khusus pada akal sepuluh abad jauh sebelum Descartes menetapkannya. Jika kita mengkaji hukum-hukum Descartes yang telah menciptakan kegemparan dunia pada masa itu, maka kita akan menemukan bahwa semuanya itu tak lain adalah apa yang telah dibawa Al-Quran. Salah satu contoh yang dikemukakan Descartes ialah bahwa jika ia hendak menggunakan akalnya, maka aturan pertama akal yang harus diikuti ialah sebelum menemukan ilmu dan keyakinan tentang suatu masalah, maka ia tidak akan mengikutinya. Ia juga bertekad untuk tidak memutuskan suatu perkara berdasarkan ketergesa-gesaan. Ia mengatakan bahwa, sebelum menghukumi sesuatu, akal harus mengetahui lebih dahulu ihwal apakah ia mempunyai dalil dan argumentasi yang cukup guna memutuskan sesuatu. Dengan kata lain, apakah dalil dan argumentasi yang dimilikinya itu sudah cukup memadai atau belum? Misalnya saja, Darwin melihat bahwa manusia berasal dari kera dan memang di sana ada petunjuk-petunjuk yang mengisyaratkan ke arah itu. Namun, di sini, manusia tergesa-gesa dan buru-buru mengatakan bahwa asal-muasal Adam telah ditemukan. Perlu diketahui, Darwin juga mengatakan bahwa ada mata rantai yang hilang di alam ini. Sebagian orang materialis mengatakan bahwa mata rantai yang hilang itu kini telah ditemukan.

Walhasil, seluruh mata rantai itu kini telah bersambung satu sama lain.

Inilah sikap tergesa-gesa dan jalan tengah ialah menjadikan akal sebagai pemimpin. Maksudnya, akal tidak tergesa-gesa dalam menghukumi sesuatu. Jangan cepat-cepat mengeluarkan pendapat tentang

p: 82

suatu masalah selama masih belum jelas duduk persoalannya. Dalam pekerjaan akal, orang tidak boleh menyertakan kecenderungan- kecenderungan dirinya. Sudah menjadi watak manusia untuk menipu akal insani. Sebab, terkadang akal manusia hendak memutuskan suatu perkara dengan benar, tetapi watak kemanusiaan menghendaki lain. Kemudian, watak ini mengabaikan akalnya dan menghilangkan keseimbangannya.

Descartes mengatakan, “Jika seseorang hendak memutuskan suatu perkara, maka ia harus memerhatikan sisi kecenderungan dirinya dan hendaknya jangan sampai lengah dalam hal ini.” Hal ini bisa kita lihat dalam contoh kasus Allamah al-Hillî mengenai sumur najis.

Salah satu hal yang bisa menyesatkan akal manusia dan menyeretnya dalam kesalahan ialah sejarah kehidupan orang-orang saleh. Masalah ini sangat penting dan jangan sampai diabaikan.

Tentang hal ini, Francis Bacon berkata, “Salah satu hal yang bisa menipu akal ialah sejarah perjalanan orang-orang dahulu.” Bahkan, ia menggambarkannya sebagai berhala. Katanya, “Mereka adalah berhala- berhala yang menyesatkan dan menipu manusia, karena-ketika manusia melihat apa yang telah dilakukan kedua orang tuanya-ia pun melaksanakan persis apa yang mereka lakukan. Jalan dan sejarah orangorang dahulu tidak memberikan kesempatan kepada manusia untuk berpikir bebas, bahkan menghalangi manusia untuk menggu- nakan pikiran bebasnya.” Betapa sering Al-Quran menekankan masalah sensitif ini. Al- Quran adalah kitab pertama yang mengisyaratkan hal itu. Pada suatu waktu, dengan pertolongan Allah, saya telah meneliti Al-Quran dan menemukan bahwa setiap Nabi yang diutus kepada kaumnya, ketika sudah berhadapan dengan mereka, berkata, “Kamu memerintahkan kami untuk meninggalkan adat istiadat orang-orang tua kami dan melakukan apa yang kamu kehendaki.” Menjawab pernyataan mereka, seperti disebutkan dalam Al-Quran, para nabi berkata, “(Apakah mereka akan mengikuti juga) walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui dan tidak mendapat petunjuk?” (QS 2: 170). Perhatikan bagaimana akal berbicara di atas.

Yang juga bisa menggelincirkan akal seseorang adalah para pembesar pada setiap zaman yang memengaruhi manusia. Al-

p: 83

Quran menuturkan sekelompok orang yang masuk neraka berkata, “Dan mereka berkata: 'Wahai Tuhan kami, sesungguhnya kami telah menaati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lain me- reka menyesatkan kami dari jalan (kebenaran).” (QS 33: 67). Siapakah para pembesar-pembesar yang dimaksud? Bukankah Allah telah menganugerahkan akal dan mengutus para nabi kepada kalian? Tujuan pembicaraan saya ialah bahwa sikap moderat bisa diper- oleh melalui akal. Dan para Imam kita telah meletakkan dasar di jalan ini. Jika kita tidak mampu secara benar mengikuti jalan mereka, maka hal itu disebabkan kesalahan kita. Apakah kita akan pergi menuju arah kebodohan atau kejumudan? Kita berlindung kepada Allah dari hal demikian itu. Namun, yang perlu dicatat ialah bahwa para imam telah membukakan jalan pertengahan itu bagi kita.

p: 84

KHAWARIj

Dan demikian pula Kami menjadikan kamu sebagai umat pertengahan, supaya kamu menjadi saksi atas manusia dan Rasul menjadi saksi atas kamu (QS 2:143).

(QS 2: 143).

p: 85

p: 86

DALAM bagian sebelumnya, saya mengatakan bahwa sekiranya kita meniti jalan yang telah dibukakan para Imam Ahlul Bait, maka kita akan tetap terjaga dari semua bentuk sikap ifrâth dan tafrîth. Sebelumnya juga, saya telah memberikan contoh tentang cara dan metode fiqih yang ada dalam dunia Islam. Saya menyebutkan mazhab Abû Hanifah yang dibangun atas dasar argumentasi dan pemikir- an spekulatif (zhanniyyah) sebagai contoh kecenderungan sikap ifrâth dan mazhab Ahmad bin Hanbal sebagai contoh kecenderungan sikap tafrîth. Sementara itu, mazhab Malik bin Anas dan Syafi'î, bukanlah contoh jalan tengah. Sebab, kedua mazhab ini hanya menggabungkan dan mengambil kejumudan di satu sisi dan mengambil sikap kebodo- han di sisi lain.

Ada juga fenomena-fenomena lain yang akan saya sebutkan. Setelah itu, saya akan mendiskusikan tema lain. Fenomena ini berhubungan dengan berbagai masalah dalam prinsip-prinsip agama (ushûluddîn).

Sebagaimana dalam masalah-masalah cabang (furu') timbul bermacam- macam aliran, maka begitu pulalah dalam masalahmasalah prinsip (ushủl) timbul bermacam-macam aliran. Ada dua aliran paling masyhur dalam masalah prinsip-prinsip agama (ushûluddîn), yaitu Asy'ariyyah dan Mu'tazilah. Pandangan-pandangan kedua aliran ini sama dengan alir- an-aliran lain yang telah disebutkan di atas. Mu'tazilah adalah contoh dari sikap ifrâth. Sementara itu, Asy'ariyyah adalah contoh dari keju- mudan dan kekakuan. Di zamannya, para eksponen Mu'tazilah terdiri atas orang-orang yang dikenal sebagai kaum pemikir dan intelektual.

Mereka menampakkan dirinya dengan warna demikian dan berlebih- lebihan dalam hal ini. Contohnya adalah masalah jin yang disebutkan dalam Al-Quran. Di dalamnya, ada sebuah surah yang bernama surah Jin. Tentang jin, Al-Quran mengatakan, “Katakanlah

p: 87

(wahai Muhammad): “Telah diwahyukan kepadaku bahwasannya ada sekumpulan jin mendengarkan (Al-Quran)....” (QS 72:1).

Dalam hal ini, kaum Mu'tazilah menolak adanya jin. Secara keseluruhan, mereka menolak segala sesuatu yang bertentangan dengan Al-Quran dalam artian bahwa jika akal mereka tidak sanggup memahaminya, maka mereka segera menolak dan mengingkarinya.

Sementara itu, kaum Asy'ariyyah adalah kebalikan kaum Mu'tazilah. Mereka melihat segala sesuatu dari sisi pemahaman indrawi dan meletakkannya dalam konteks pemahaman ini. Dengan kata lain, mereka menafsirkan dan menerjemahkan segala sesuatu di bawah bayang-bayang arti indrawinya yang dapat diraba.

Umpamanya saja, ketika kita mengatakan bahwa si Fulan telah datang dan mengatakan sesuatu, maka dimaksudkan di sini bukanlah datang dalam pengertian biasa, yakni berjalan di atas dua kaki, melainkan keyakinan dan pemikirannya datang. Mereka sedemikian jumud sampai-sampai memandang ungkapan-ungkapan metaforis (majâzî) tentang Allah dalam Al-Quran sebagai makna yang sebenarnya. Ketika Ahmad bin Hanbal, sebagai seorang pengikut mazhab Asy'ariyyah, ditanya tentang maksud ayat yang berbunyi, Sesungguhnya Allah berada di atas singgasana (ʻarasy), ia menjawab, “Cara (kaifiyyah) keberadaan- Nya tidak diketahui, dan pertanyaan tentang hal ini adalah bid'ah." Maksudnya adalah bahwa Allah duduk di atas singgasana. Sementara itu, pertanyaan ihwal apa hakikat singgasana dan bagaimana Allah duduk di atasnya merupakan sesuatu yang tidak mungkin bisa kita ketahui.

Al-Quran sendiri dengan tegas menyatakan bahwa Allah tidaklah berupa jisim. Dia meliputi segala sesuatu dan senantiasa bersama sesuatu. Jika demikian, bagaimana mungkin Allah punya singgasana tempat Dia duduk di atasnya? Tentang hal ini, Ahmad bin Hanbal mengatakan kepada kita bahwa bukanlah urusan kita untuk membahas bagaimana duduknya Allah di atas singgasana itu.

Sebagai lawan dari sikap ifrâth Mu'tazilah yang meragukan ayat- ayat seperti di atas, kelompok Asy'ariyyah justru sebaliknya. Jika Al- Quran mengatakan bahwa Allah datang, mereka mengatakan bahwa yang dimaksudkan adalah bahwa Allah akan datang pada Hari Kiamat.

Mereka menggambarkan Allah persis sebagaimana manusia dalam

p: 88

keyakinan mereka. Jika seseorang memprotes keyakinan mereka, dan mengatakan bahwa hal itu bertentangan dengan akal, mereka akan menjawab bahwa akal tidak berhak ikut serta dalam masalah-masalah seperti ini.

Di antara dua pandangan dalam ushûluddîn ini, kita menyaksikan bagaimana para Imam kita mempunyai pandangan lain yang berbeda dengan kedua pandangan di atas. Jalan mereka ialah jalan tengah, bukan jalan ifrâth yang tidak pada tempatnya dan juga bukan jalan jumud yang bodoh.

Kali ini, saya akan menyebutkan contoh lain dari kejumudan dan kekakuan yang pernah terjadi dalam sejarah Islam dan meninggalkan luka yang cukup dalam. Fenomena kejumudan pertama yang ditemukan dalam sejarah Islam adalah fenomena Khawârij. Kaum Khawarij telah memberikan pukulan telak kepada Islam, tidak hanya dari sisi bahwa mereka telah mengadakan penyelewengan, pembangkangan, kerusakan dan melakukan kejahatan-kejahatan keji dengan membunuh orang- orang tidak berdosa, yang salah satunya adalah Imam Alî, tetapi juga dari sisi bahwa mereka meninggalkan luka cukup parah yang menyelimuti dunia Islam. Kesimpulannya ialah bahwa mereka adalah orang-orang yang sangat kaku, jumud, dan merasa suci.

Sejarah Khawarij berawal dari sini. Semula, kaum Khawarij adalah kelompok sahabat Imam Alî yang bersama-sama beliau ikut serta dalam Perang Shiffin yang berlangsung selama berbulan-bulan. Secara keseluruhan, perang ini berlangsung sekitar empat belas bulan. Pada hari-hari terakhir dalam perang, tentara Imam Alî hampir meraih kemenangan. Dalam keadaan ini, ‘Amr bin 'Ash, penasihat Mu'âwiyah, mengadakan siasat licik memanfaatkan sekelompok sahabat Imam Alî yang berpandangan sempit dan berwawasan picik. ‘Amr bin 'Ash mengangkat mushaf Al- Quran dan menyerukan kepada pasukan Imam Alî untuk mengadakan arbitrasi (tahkîm) karena ia tahu bahwa sewaktu kedua kubu pasukan ertemu, Imam Alî mengajukan usul kepada Mu'êwiyah untuk berunding agar tidak terjadi perang di antara kaum Muslim.

Ketika itu, Mu'âwiyah menolaknya. Akhirnya terjadilah perang. Perang ini hampir dimenangkan oleh pasukan Imam Alî. Sementara itu, pasukan Mu'âwiyah nyaris tidak tersisa lagi. Dalam keadaan demikian,

p: 89

'Amr bin `Ash memerintahkan untuk mengumpulkan Al-Quran dan menancapkannya di ujung tombak. Mereka berkata kepada pasukan Imam Alî, “Di antara kita ada Al-Quran, kitab Allah.” Ketika sebagian pasukan Imam Alî mendengar seruan ini, mereka segera meninggalkan medan perang dan mengabaikan aturan-aturan yang telah ditetapkan, sehingga strategi dan formasi perang yang teratur rapi pun menjadi berantakan. Padahal, hukum perang mengatakan bahwa pasukan harus tunduk kepada setiap komando atasannya, baik atasannya itu-dalam pandangan mereka-mempunyai kelayakan maupun tidak. Mereka mengatakan, “Al-Quran telah tiba. Kita tidak boleh lagi berperang." Pada saat bersamaan, sekelompok pasukan Imam Alî yang setia kepada beliau tidak menghiraukan seruan ini dan menganggapnya hanya sebagai tipu muslihat. Komandan mereka adalah Malik al- Asytar. Mereka tahu bahwa musuh hampir kalah. Karena itu, mereka melancarkan taktik demikian. Pasukan yang setia kepada Imam Alî bersikeras melanjutkan perang. Akan tetapi, sekelompok pasukan Imam Alî yang tertipu pergi mendatangi beliau dan meminta agar memerintahkan Malik al-Asytar untuk menarik diri dari perang karena kini sudah ada Al-Quran yang menjadi hakim di antara dua kelompok pasukan.

Imam Alî menjawab permintaan mereka dengan mengatakan bahwa itu adalah strategi dan tipu muslihat. Mu’âwiyah bukanlah seorang ahli Al-Quran dan ia tidak meyakininya. Mereka tidak mendengarkan penjelasan Imam Alî dan tetap bersikeras dengan pendiriannya. Mereka mengatakan, “Sekalipun demikian! Sekarang, Al-Quran ada di antara kita dan mereka.” Imam Alî mengatakan, “Aku memerintahkan kalian berperang demi memelihara kehormatan Al- Quran. Memang benar, Al-Quran mempunyai kehormatan. Namun, Al-Quran sesungguhnya adalah wahyu Allah yang ada dalam hatiku.

Al-Quran yang tertulis dalam lembaran-lembaran-kertas itu diam, meski tetap mempunyai kehormatan, tetapi bukan pada tempat-tempat seperti ini. Sekiranya di sana ada pekerjaan yang lebih penting, maka kita dibolehkan mendahulukan pekerjaan itu atasnya. Sekarang ini, kita harus memisahkan Al-Quran sebagai lembaran-lembaran kertas dengan hakikat dan makna Al-Quran yang tertulis di atas kertas! Me- reka tidak mengusulkan hakikat dan ajaran Al-Quran. Yang mereka

p: 90

usulkan adalah tulisan Al-Quran yang mereka gunakan sebagai alat tipu muslihat." Namun, apakah orang-orang berpikiran sempit ini sanggup memahami ucapan Imam Alî? Tidak, mereka tetap memaksa Imam Alî agar memerintahkan Malik untuk menghentikan perang. Akhirnya, Imam Alî memerintahkan Malik untuk menghentikan perang. Malik memberikan jawaban lisan, “Kemenangan kita sudah di depan mata, dan kita akan meneruskan perang." Mereka mengatakan bahwa Malik telah kafir. Mereka mengancam Imam Alî. Sekiranya Malik tidak kembali, maka mereka akan membunuh Imam. Mereka mengarahkan mata-mata pedang mereka kepada Imam Alî dan jumlah mereka terdiri atas ribuan orang! Anda bisa menyaksikan betapa kejumudan berbuat. Anda bisa menyaksi- kan betapa kebodohan bertindak. Anda bisa menyaksikan bagaimana mereka memaksa Imam Alî mengirimkan pesan kepada Malik, “Jika engkau ingin aku hidup, kembalilah!” Kemudian perang berhenti. Mereka mengatakan bahwa di antara mereka ada kitab Allah Swt yang menjadi hakim. Imam pun terpaksa menerima hal itu. Diusulkan bahwa masing-masing kelompok menen- tukan siapa yang akan menjadi wakil. Perundingan dilakukan melalui perantaraan dua orang wakil. Mu'âwiyah memilih 'Amr bin `Ash sebagai wakilnya, sedangkan Imam Alî memilih Ibn 'Abbas sebagai wakilnya.

Kaum Khawarij memprotes keputusan Imam Alî yang menunjuk Ibn ‘Abbas sebagai wakilnya dengan alasan bahwa Ibn `Abbas adalah anak paman beliau. Mereka mengatakan bahwa yang harus dipilih haruslah seseorang yang netral. Imam mengalah dan mengikuti kemauan mereka. Lalu beliau memilih Malik. Mereka tetap menolak orang pili- han Imam. Setelah itu, mereka memilih Abû Musa al-Asy'ari. Arbitrasi (tahkîm) pun terjadi dan berakhir dengan hasil yang memalukan.

Akhirnya, kaum Khawârij menyadari kesalahan mereka. Akan tetapi, mereka menjelaskannya dalam bentuk lain. Mereka tidak mengatakan bahwa kesalahan mereka berawal sewaktu menarik diri dari medan perang. Mereka tidak mengatakan bahwa kesalahan mereka berawal sewaktu memilih Abû Mûsâ sebagai wakil. Kesalah an mereka disebab- kan karena menerima arbitrasi (tahkim). Menerima arbitrasi

p: 91

(tahkim) adalah kekufuran. Menjadikan manusia sebagai hakim adalah kufur, karena tidak ada hukum kecuali hukum Allah”. Hukum adalah milik Allah. Mereka berulang-ulang menyatakan bahwa perbuatan ini, yakni menerima arbitrasi (tahkim), adalah salah. ""Perbuatan kami ini kafir. Kami memohon ampunan kepada Allah dan bertobat kepada-Nya.” Mereka datang kepada Imam Alî dan mengatakan kepada beliau bahwa beliau juga telah kafir. Oleh karena itu, beliau juga harus bertobat.

Imam Alî berkata, “Arbitrasi (tahkîm) itu salah, dan kalian telah melakukan, namun itu kufur.” Mereka mengatakan, “Tidak, arbitrasi (tahkim) itu kufur dan engkau harus bertobat.” Imam tidak memenuhi seruan mereka. Kemudian mereka mengatakan, “Demi Allah, sungguh, laki-laki ini telah kafir.” Mereka memutuskan bahwa Imam Alî telah murtad. Sesudah itu, mereka membangkang dan keluar dari barisan Imam Alî. Karena itu, mereka pun disebut khawârij—orang-orang yang keluar. Kemudian mereka menetapkan hukum-hukum, terutama dalam berbagai masalah prinsip-prinsip agama (ushuluddin). Mereka juga menyusun ilmu fiqih yang sempit, tertutup, dan jauh dari roh dan hakikat agama. Keyakinan-keyakinan dalam fiqih mereka demikian sempit dan kaku sampai-sampai mereka mengafirkan orang-orang Islam yang berada di luar golongan mereka dan juga mereka yang me- lakukan dosa besar. Demikianlah salah satu dari fatwa hukum mereka.

Fiqih mereka benar-benar sempit, kaku, dan samar. Akhirnya, mereka pun sirna dan tidak tampak bekasnya. Ini disebabkan lantaran fiqih mereka tidak realistis dan tidak bisa diamalkan oleh masyarakat.

Sebelumnya, kaum Khawarij eksis dalam setiap periode sejarah Islam.

Mereka juga menentang semua khalifah dan penguasa yang ada pada waktu itu. Tentang 'Utsmân, mereka mengatakan bahwa ia adalah orang baik dalam paruh pertama umurnya. Namun, dalam paroh selebihnya, ia adalah orang jahat. Demikian juga pandangan mereka mengenai Imam Alî bahwa paruh pertama umur beliau adalah baik. Akan tetapi, karena menerima arbitrase (tahkîm), maka Imam Alî telah kafir. Kita berlindung kepada Allah dari hal demikian itu. Mereka memandang bahwa Mu'awiyah lebih jahat daripada Imam Alî. Demikian juga pandangan mereka tentang khalifah-khalifah lainnya, dan mereka membangkang pada para khalifah itu. Semua khalifah memerangi mereka hingga akhirnya mereka tertumpas habis.

p: 92

Menurut ungkapan Imam Alî, kaum Khawarij tidak menyembunyikan niat jahat. Hanya saja, pemahaman mereka salah dan menyimpang dalam menafsirkan sesuatu dan mereka sangat kaku dan jumud.

Karena itu, tentang mereka, Imam Alî berwasiat, “Janganlah kalian membunuh kaum Khawarij sepeninggalanku. Sebab, berbeda antara orang yang mencari kebenaran dan terjerumus dalam kesalahan dengan orang yang mencari kebatilan dan mendapatkannya.” (Nahj al- Balâghah, khutbah 59). Dalam ucapan ini, Imam Alî membandingkan kaum Khawarij dan para pengikut Mu'âwiyah. Beliau mengatakan bahwa ada perbedaan besar antara kaum Khawârij dengan para pengikut Mu'êwiyah. Sebab, kaum Khawarij pada dasarnya adalah orang-orang yang mencari kebenaran tetapi jahil atau bodoh. Sementara itu, para pengikut Mu'âwiyah sejak awal adalah manusia-manusia batil. Imam Alî juga mengatakan, “Aku telah mencabut akar fitnah karena tidak ada orang lain-kecuali diriku-berani melakukan itu." (Nahj al-Balâghah, khutbah 91). Perkataan ini beliau ucapkan sesudah membunuh kaum Khawârij.

Jika kita hendak bersyukur kepada Allah atas suatu hal, maka hendaknya kita bersyukur bahwa Allah tidak menjadikan kita hidup di masa Imam Alî. Sekiranya kita hidup pada masa itu, belum tentu kita punya iman dan akidah setinggi itu. Misalnya saja, jika kita hidup pada masa Imam Alî, mungkin kita mampu berperang di pihak Imam Alî dalam Perang Jamal dan Perang Shiffin. Akan tetapi, janganlah kita percaya bahwa kita akan mampu dan punya keberanian untuk ikut serta bersama Imam Alî dalam Perang Nahrawan melawan kaum Khawârij. Sebab, dalam perang ini, Imam Alî memerangi orang-orang yang senantiasa melakukan salat di tengah malam dan mengerjakan ibadah di siang hari. Pada dahi mereka ada tanda hitam karena banyak melakukan sujud. Siapa berani berperang melawan orang-orang seperti mereka? Hanya Imam Alî saja yang mampu melakukan itu karena beliau tidak melihat sesuatu yang tampak. Namun, Imam Alî menyatakan bahwa mereka bukanlah orang-orang yang suka berdusta dan bersikap riyâ? Mereka juga bukan orang-orang munafik. Sekiranya kaum Khawarij adalah orang-orang yang suka berdusta dan bersikap riyâ', maka

p: 93

urusannya akan menjadi lebih mudah bagi beliau. Mereka adalah suatu kaum yang senantiasa mendirikan salat di tengah malam dan mengerjakan puasa di siang hari. Namun, keberadaan mereka menimbulkan bahaya sangat besar bagi Islam, jauh melebihi bahaya yang ditimbulkan oleh musuh-musuh Islam. Sekiranya Imam Alî tidak mengangkat pedang untuk memerangi kaum Khawarij pada waktu itu, sekiranya yang memerangi mereka itu bukan pribadi Imam Alî dengan segala kedudukan, keimanan, kezuhudan, dan ketakwaannya dan sekiranya tidak ada nash-nash yang datang dari Rasulullah mengenai Imam Ali, maka tidak akan ada seorang khalifah pun berani memerangi mereka. Tidak ada seorang tentara pun berani memerangi kaum Khawârij. Akan tetapi, karena sebelumnya Imam Alî telah memerangi kaum Khawarij, maka urusannya menjadi lebih mudah bagi para penguasa yang datang sepeninggalan beliau. Dalam memerangi kaum Khawarij, mereka bisa menjadikan sikap dan perlakuan beliau pada kaum Khawârij sebagai alasan. Para khalifah yang datang sepeninggalan Imam Alî bisa mengatakan bahwa sekiranya memerangi kaum Khawarij itu bertentangan dengan kebenaran, maka Imam Alî pasti tidak akan melakukan hal demikian. Konon, pada suatu malam, Imam Alî bersama salah seorang sahabatnya berjalan melewati sebuah gang di kota Kufah. Lalu, mereka berdua mendengar suara bacaan Al-Quran yang sangat menyentuh hati. Ayat yang dibaca pemilik suara itu ialah:

(Apakah kamu, wahai orang-orang musyrik, yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadah di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedangkan dia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? (QS 39: 9). Mendengar bacaan itu, sahabatl Imam Alî berkata, “Sungguh berbahagia orang ini! Ucapan selamat dan kebahagiaan baginya!" Imam Alî menoleh kepadanya dan berkata, “Tunggu dahulu! Engkau jangan iri dengan keadaannya!” Kemudian mereka berdua melanjutkan perjalanannya.

Waktu pun berlalu dari peristiwa itu. Akhirnya, terjadi Perang Nahrawan melawan kaum Khawarij. Dalam perang ini, kaum Khawârij mengalami kehancuran total. Setelah perang usai, Imam Alî memeriksa orang-orang Khawarij yang terbunuh. Lalu beliau berkata kepada sahabatnya, “Mayat ini adalah orang yang dahulu melakukan salat ta- hajud dan membaca Al-Quran di malam itu.” Salah satu keyakinan

p: 94

kaum Khawarij dalam masalah amar ma’ruf nahy munkar ialah bahwa mereka sama sekali tidak membolehkan adanya taqiyyah, dengan maksud menggunakan strategi dalam melaksanakan amar ma'ruf nahy munkar. Dalam melakukan amar ma'ruf nahy munkar, kita harus memikirkan manfaat dan mudharatnya. Jika manfaat jauh lebih besar dari mudharatnya, maka kita tidak akan diam berpangku tangan saja.

Kaum Khawarij mengatakan bahwa seseorang harus melakukan amar ma'ruf nahy munkar dalam keadaan bagaimanapun serta menghadapi kesulitan dan bahaya apa pun. Misalnya, Anda dapat menyaksikan betapa salah seorang dari mereka berdiri di hadapan 'Abdul Malik bin Marwan, salah seorang khalifah Bani Umayyah. Ia yakin seratus persen bahwa ucapan sama sekali tidak memengarohi khalifah.

Ia juga tahu bahwa ucapannya itu mungkin saja akan menyebabkan dirinya dibunuh dan tidak ada manfaat yang diperolehnya darinya.

Akan tetapi, ia tetap saja mengatakannya dengan penuh keberanian.

Karena itu, akhirnya ia dibunuh.

Imam Alî adalah faktor utama yang menyebabkan kaum Khawarij sirna. Ini disebabkan lantaran kaum Khawârij tidak berbuat sesuai dengan perasaan dan logika sehat, apalagi dalam masalah amar ma'ruf nahy munkar, yang menuntut perhitungan atas realitas, masalah, dan logika yang benar.

Fenomena kejumudan dan kebekuan berpikir yang muncul di dunia Islam ialah fenomena Khawarij. Jika Anda hendak mengetahui apa yang telah dilakukan kejumudan pada Islam, maka perhatikanlah siapa yang telah membunuh Imam Alî. Orang akan menjawab bah- wa jelas 'Abdurrahman ibn Muljam yang membunuh beliau. Jika kita bertanya ihwal apa yang membunuh Imam Alî, maka kita harus menjawab bahwa yang membunuh beliau adalah kejumudan.

Orang-orang yang membunuh Imam Alî adalah mereka yang senantiasa menghidupkan malam-malam mereka dengan ibadah.

Sungguh, hal ini sangat disayangkan. Imam Alî tetap bersikap baik pada kejahilan dan kebodohan mereka. Beliau tetap memberikan hakhak mereka dari baitul mâl, tetap memberikan kebebasan berpikir dan mengemukakan pendapat. Kebaikan-kebaikan itu tetap tidak sanggup menyentuh hati mereka yang keras sampai akhirnya mereka bersekongkol dan berkomplot untuk membunuh tiga orang. Salah satu

p: 95

di antaranya adalah Imam Alî. Anda mengetahui peristiwa ini secara terinci. Dari tiga orang yang hendak dibunuh, hanya Imam Alî saja yang berhasil dibunuh Ibn Muljam. Itu pun dilakukan dengan bantuan pihak lain.

Ibn Abî al-Hadîd mengatakan, “Jika Anda hendak mengetahui apa hakikat kebodohan dan kejumudan, maka perhatikanlah masalah berikut. Ketika mereka telah menetapkan keputusan untuk mem- bunuh tiga orang, yaitu Imam Alî, Mu'âwiyah, dan 'Amr bin 'Ash serta memutuskan untuk melaksanakan rencananya itu pada malam ke-19 di bulan Ramadhan, mereka lalu mengatakan bahwa mereka akan melaksanakan ibadah kepada Allah. Mereka mengira bahwa perbuatan membunuh yang akan mereka lakukan itu adalah salah satu dari per- buatan kebajikan. Karena itu, alangkah lebih utama kalau perbuatan itu dilakukan pada suatu malam di bulan Ramadhan yang penuh berkah agar mereka akan mendapatkan pahala yang jauh lebih besar.” Maka, pada malam ke-19 di bulan Ramadhan, 'Abdurrahman bin Mul- jam melakukan apa yang seharusnya tidak ia lakukan.

p: 96

FAKTOR-FAKTOR PENYUCI PEMIKIRAN ISLAM

Dan demikian pula Kami menjadikan kamu sebagai umat pertengahan agar kamu menjadi saksi atas umat manusia dan Rasul menjadi saksi atas kamu (QS 2: 143).

p: 97

p: 98

BUKANKAH Anda pernah menyaksikan banyaknya air memancar dari mata air yang bersih dan jernih? Namun, ketika sudah mengalir ke selokan dan sungai, secara perlahan-lahan air itu menjadi tercemar dan kotor. Kadang-kadang, pencemaran yang terjadi pada- nya dapat dilihat oleh mata dan juga terkadang tidak.

Pencemaran yang tampak oleh mata bisa terjadi manakala tanah dan lumpur bercampur ke dalamnya. Kadang-kadang, air itu melewati suatu tempat yang di situ ada sekelompok hewan dan kemudian ber- campur dengan kotoran hewan. Dengan demikian, warna air itu pun akhirnya berubah. Pencemaran yang terjadi padanya mungkin juga tidak bisa dideteksi oleh mata telanjang. Sewaktu Anda melihat dan memeriksanya, air itu tampak bersih dan seolah-olah sama sekali tidak berbeda dari air yang masih ada di mata air. Namun, ketika salah se- orang penduduk mandi menyelam ke dalam sungai itu, ia pun terkena penyakit menular. Padahal, ia tidak melihat sesuatu apa pun dalam air. Sebenarnya, di dalam air itu, ada kuman-kuman sangat kecil yang tidak dapat dilihat oleh mata telanjang, kecuali bila manusia menggu- nakan mikroskop. Kuman-kuman inilah yang menyebabkan air menjadi tercemar. Untuk membuat air sungai itu steril, mungkin diperlukan alat khusus.

Hal serupa juga terdapat dalam urusan-urusan spiritual. Dengan kata lain, semula mata air spiritual itu bersih dan suci dari segala bentuk kotoran dan pencemaran. Namun, karena bersentuhan dengan berbagai corak pemikiran lain, maka mata air ini akhirnya secara per- lahan-lahan menjadi tercemar. Selain itu, pencemaran ini terjadi ka- rena sering berpindah tangan dari satu generasi ke generasi berikut- nya. Pencemaran dan kerusakan ini bisa berupa sesuatu yang tampak oleh mata telanjang

p: 99

dan bisa juga berupa sesuatu yang sama sekali tidak terlihat oleh mata kecuali oleh para ahli spesialis yang membidangi masalah ini. Ini disebabkan mereka memiliki alat yang bisa melihat dan mendiagnosis pencemaran itu. Upaya untuk mensterilkan air yang sudah tercemar ini bisa dilakukan dengan alat tertentu. Begitu juga halnya dengan hal-hal yang berkaitan dengan berbagai masalah spiritual.

Fenomena spiritual terbesar di alam ini adalah agama Islam. Islam telah meniti jalannya. Kita hendak mengetahui apakah ajaran Islam yang telah berjalan selama empat belas abad hingga akhirnya sampai ke kita dapat tercemari oleh berbagai kotoran seperti terjadi pada air di sungai-sungai. Jika ada kemungkinan tercemar, kira-kira peristiwa apa dalam dunia Islam yang mencemari dan mengotori air suci dan jernih ini? Sebelum masuk ke jantung tema pembahasan ini, saya ingin menjelaskan satu hal yang berhubungan dengan masalah ini.

Sebagian besar manusia bukanlah peneliti. Namun, mereka senantiasa berada dalam jantung berbagai peristiwa dan kejadian. Jika Anda menghitung peristiwa-peristiwa penting apa saja yang punya nilai sangat penting dalam kacamata sejarah dan jika Anda menanyakan kepada mereka ihwal peristiwa terpenting yang pernah terjadi dalam dunia Islam, maka yang pertama kali terlintas dalam benak mereka ialah peristiwa penyerbuan bangsa Mongol pada negara-negara Islam pada waktu itu. Memang benar demikian. Peristiwa ini sangat penting Selain itu, yang lebih penting lagi adalah bahwa bangsa Mongol telah menimbulkan kerusakan sangat dahsyat bagi umat Islam secara materi- el maupun spiritual. Betapa banyak orang yang tak berdosa terbunuh dalam penyerbuan keji itu!, Betapa banyak buku dan pustaka yang mereka bakar!, dan Betapa banyak ulama terbunuh dalam penyerbuan ini! Penyerbuan ini sangat keji dan sadis. Begitu besar kerugian yang diderita kaum Muslim. Bahkan kerusakan dan kerugian yang ditimbu- lkan jauh melebihi apa yang bisa dibayangkan. Betapa banyak kaum Muslim terbunuh tatkala itu!, Betapa banyak kota-kota dihancurkan pada waktu itu! dan Betapa banyak bangsa Mongol meratakan kotakota sehingga tidak ada bekasnya sama sekali pada hari ini! Salah satu kota di antaranya adalah Naisabur tempat Jenghis Khan memerintahkan un- tuk membunuh semua orang yang tinggal di kota ini. Bahkan, semua binatang yang hidup di kota itu dibunuh juga.

p: 100

Inilah peristiwa penting. Peristiwa ini jelas dan terlihat oleh pandangan mata. Ini tidak ubahnya seperti pencemaran di sungai- sungai yang bisa dideteksi mata. Di sana juga ada peristiwa-peristiwa yang terjadi di dunia Islam. Secara lahiriah, semua peristiwa ini terli- hat kecil tak ubahnya seperti kuman yang tidak bisa dilihat oleh mata dan hanya dapat dilihat oleh mikroskop. Namun, bahaya yang ditimbulkannya, jika tidak lebih besar dari bahaya Mongol, juga tidak lebih kecil. Saya akan mengemukakan contoh-contohnya kepada An- da.

Pertama, kita harus melihat apakah peristiwa semacam itu pernah ada atau tidak dalam sejarah Islam. Hingga batas-batas tertentu, hal itu tidak mungkin. Jika kita melampaui batas-batas ini, kita pasti akan mengetahui bahwa yang demikian itu mungkin saja terjadi. Batas-batas yang kita katakan tidak mungkin adalah di saat kita berbicara tentang Al-Quran sebagai kitab samawi yang suci dan tulang punggung agama Islam, yang senantiasa terjaga dan terpelihara. Seseorang tidak mampu mengotori Al-Quran dengan menyelewengkan dan menyimpangkannya.

Tidak ada satu tangan dan kekuatan apa pun yang sanggup menodai ayat-ayat Al-Quran. Allah berfirman dalam Al-Quran: Sesungguhnya Kami telah menurunkan Al-Quran dan Kami akan menjaganya. Allah telah menurunkan Al-Quran dengan sebentuk balâghah, fashâhah, dan roh tertentu agar sejak awal Al-Quran terpelihara dalam dada manusia.

Selain itu, Rasulullah juga memerintahkan beberapa sahabatnya untuk menuliskan Al-Quran. Dengan demikian, tidak ada satu tangan pun, baik kawan yang jahil maupun musuh yang pandai mampu mengadakan perubahan dan mengganti kitab suci ini. Dari sini tampak bahwa Al-Quran sanggup berperan sebagai alat untuk menyucikan.

Namun, jika kita melangkah ke sesuatu selain Al-Quran, maka sesuatu itu masih terkena kemungkinan hama pencemaran. Contohnya adalah Sunnah Nabi. Argumentasi yang kita gunakan adalah hadis Nabi sendiri yang diriwayatkan oleh kalangan Ahlus-Sunnah maupun Syi'ah. Hadis ini berbunyi: “Sungguh banyak dusta dan kebohongan dinisbatkan pada diriku.” (Al-Kâfi, jilid I, hlm. 62). Dalam hadis lain Rasulullah juga bersabda, “Sekiranya ada satu hadis datang kepadamu, maka bandingkanlah hadis dengan Al-Quran. Bila hadis itu sesuai dengan kitab Allah, maka ambillah dan bila bertentangan dengannya, maka buanglah.”

p: 101

Inilah hadis yang disabdakan Rasulullah semasa hidupnya. Ketika itu, Islam masih berada dalam masa awal kemunculannya. Di sini, manfaat yang bisa kita peroleh ialah munculnya sekelompok pendusta pada masa itu. Mungkin saja, jumlah pendusta itu tidak banyak. Namun, Rasulullah memperkirakan bahwa, pada masa-masa berikutnya, jumlah mereka akan bertambah lebih banyak lagi. Di masa sekarang, jumlah endusta sangat banyak. Bila seseorang berdusta kepada Rasulullah pada masa beliau, maka yang demikian itu dilakukannya karena masa- lahmasalah kecil atau karena kepentingan-kepentingan pribadi. Karena ingin ucapannya didengar orang lain, maka ia mengatakan bahwa sesungguhnya aku mendengar Rasulullah bersabda begini dan begitu.

Pada zaman sepeninggalan beliau, ber dusta kepada Rasulullah mempunyai dimensi sosial dalam artian bahwa perbuatan ini sudah menjadi alat kaum politikus. Para khalifah berbuat demikian demi kepentingan politik dan kekuasaannya. Untuk itu, mereka mengeluarkan harta yang tidak sedikit jumlahnya.

Mereka mencari para perawi hadis yang mempunyai iman lemah dan menjadi hamba dinar atau dirham. Para khalifah memberi mereka setumpuk harta sesuai dengan permintaan mereka. Sebagai gantinya, mereka diperintahkan untuk membuat hadis palsu yang sesuai dengan keinginan para khalifah. Contoh pembuat hadis palsu adalah Samurah bin Jundub yang diberi uang sebanyak delapan ribu dinar oleh Mu'âwiyah karena mengatakan bahwa ia mendengar Rasulullah bersabda tentang firman Allah: Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridhaan Allah. Dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya (QS 2: 207). Beliau mengatakan bahwa ayat ini diturunkan untuk ‘Abdurrahman bin Muljam! Al-Mahdi, putra Mansur, khalifah ketiga Bani Abbâssiyyah, sangat dikenal menyukai permainan burung, yakni mengadakan perlombaan burung. Kemudian salah seorang perawi hadis penjilat datang menemuinya. Untuk menyenangkan khalifah al-Mahdi, ia mengatakan bahwa ia mendengar Rasulullah pernah bersabda, “Tidak ada perlombaan kecuali pada unta, kuda, dan burung.” Perawi hadis itu menambahkan kata 'burung' pada hadis itu. Al-Mahdi kaget dan tercengang mendengarnya. Ia lalu memberikan uang kepadanya sesuai dengan permintaan.

p: 102

Kejadian-kejadian demikian banyak terjadi di dunia Islam, pekerjaan membuat hadis palsu adalah keahlian orang-orang Yahudi.

Mereka menyebarkan berbagai keyakinan dan pemikirannya melalui hadishadis palsu dan buatan. Dalam Islam, kadar kemunafikan mereka sangat mencengangkan. Mereka menampakkan dirinya sebagai orang-orang Islam. Mereka bergaul dengan kaum Muslim. Namun, di sela-sela itu, eka juga menyebarkan ajaran-ajaran mereka di tengah-tengah kaum Muslim melalui hadis-hadis palsu buatan mereka. Mereka orang-orang Yahudi sangat mahir dalam pekerjaan memalsukan hadis. Demikian juga halnya dengan orang-orang Kristen dan Majusi. Mereka juga ber- buat demikian. Hanya saja, mereka berbuat tidak sebanyak apa yang dilakukan orang-orang Yahudi. Kemahiran mereka dalam menampakkan sikap lahiriah mereka sedemikian mengagumkan sampai-sampai kaum Muslim menyangka bahwa mereka jauh lebih Islami dibandingkan dengan kaum Muslim sendiri. Diceritakan bahwa ada seorang Yahudi yang telah masuk Islam dan punya seorang anak perempuan. Ketika seorang pemuda Yahudi yang telah memeluk Islam datang meminang anak gadisnya itu, ia tidak menerimanya. Ketika orang-orang bertanya ihwal mengapa ia menolak pemuda itu, ia menjawab bahwa, sejak ia masuk Islam, selama lima belas tahun ia terus-menerus berdusta.

Bagaimana mungkin ia bisa menerima dan membenarkan pemuda itu, padahal ia masuk Islam baru tujuh tahun lamanya.

Semua kejadian itu mencemari perjalanan pemikiran. Namun, Islam punya alat untuk mensterilkan kembali sesuatu yang sudah tercemar agar bisa bersih dan suci kembali. Alat pertama yang bisa digunakan untuk membersihkan segala bentuk dan warna pencemaran itu ada- lah Al-Quran. Yang harus kita lakukan adalah membandingkan berbagai ucapan dan hadis itu dengan Al-Quran. Alat kedua adalah akal yang telah dijadikan Allah sebagai argumen (hujjah).

Di samping itu, ada juga alat lain untuk membersihkan dan menyucikan sesuatu yang tercemar itu, yakni hadis-hadis Nabi dan para Imam. Begitu juga halnya dengan sunnah-sunnah mereka yang sudah mencapai derajat mutawâtir, diyakini kebenarannya, tidak samar, serta tidak diragukan barang sedikit pun.

p: 103

Al-Quran adalah tolok ukur untuk menyucikan segala bentuk pencemaran yang terjadi di sepanjang sejarah Islam. Ada dua hal yang menyebabkan kita gembira. Tidak ada seorang pun mengatakan bah- wa agama kita sama dengan agama-agama lain di awal kemunculannya.

Kemudian, disebabkan terjadi berbagai peristiwa dalam sejarah, ajarana- jarannya lantas diselewengkan dan telah menyimpang sebagaimana terjadi pada agama Zoroaster, yang kitab suci aslinya sama sekali tidak diketahui. Begitu pula, sama sekali tidak diketahui sejak kapan Zoroaster pernah hidup di dunia. Demikianlah, agama Zoroaster telah meninggalkan tanda-tanda yang meragukan ihwal hakikat dan realitasnya. Hingga beberapa tahun lalu, keraguan masih menyelimuti keberadaan seseorang bernama Zoroaster. Saat ini juga, masih juga belum berkurang keraguan di seputar ajaran ini. Apakah Zoroaster itu benar-benar seorang manusia yang pernah hidup di muka bumi ataukah hanya sosok manusia khayalan belaka seperti Rustum? Tarohlah ia punya ajaran-ajaran yang benar. Misalnya saja, sebagian dari ajaran-ajarannya adalah Ucapan yang benar, perbuatan yang benar, dan akidah yang benar. Ini bukanlah ajaran. Sebab, ucapan ini bersifat global dan sangat umum sehingga tidak punya makna dan arti. Setiap manusia menganggap bahwa ucapan, perbuatan, dan segenap pemikiran serta keyakinannya adalah benar.

Perhatikanlah semua ajaran dan ideologi yang hidup sekarang ini. Umpamanya saja, ajaran-ajaran kapitalisme memandang bahwa segenap ucapan, perbuatan, dan pikiran mereka adalah benar.

Sementara itu, pada saat yang sama, ajaran-ajaran komunisme —lawan dari kapitalisme, memandang bahwa jalan yang mereka tempuh itulah yang benar. Begitu pula halnya dengan ajaran-ajaran dan ideologi- ideologi lain di dunia ini. Ajaran-ajaran yang bisa disebut sebagai benar- benar hakiki dalam kehidupan tidaklah hanya cukup dengan ungkapan: Ucapan yang benar, perbuatan yang benar, dan segenap keyakinan serta pemikiran yang benar. Hal serupa kita temukan juga dalam agama Kristen dan Yahudi.

Satu-satunya agama yang sanggup menunjukkan dasar-dasar ajarannya kepada dunia tanpa ada penyimpangan dan penyelewengan, serta tetap terjaga, adalah Islam. Rahasia yang menyebabkan demiki- an telah saya sebutkan. Saya tidak ingin mengatakan bahwa belum pernah terjadi

p: 104

penyimpangan yang mencemari dunia Islam. Tidak, tidak demikian.

Akan tetapi, setiap muncul berbagai peristiwa yang menyimpang, maka alatdan sarana penyuci dalam Islam langsung bekerja mengembalikannya lagi pada keadaan semula dan mengatasi pencemaran itu. Alat pertama adalah Al-Quran. Ia adalah alat paling tinggi dalam hal ini. Setelah Al- Quran, kita menjumpai hadis-hadis mutawâtir dari Rasulullah yang diyakini kesahihannya. Bagi para pengikut Ahlul Bait, hadis-hadis mutawâtir berasal dari Rasulullah dan para Imam. Saya menyebutkan hadis-hadis mutawâtir dan sahih lantaran ada juga sebagian hadis sahih dan mutawatir di antara sekian banyak hadis yang diragukan. Hadis- hadis sahih dan mutawâtir adalah argumen kita dan bisa dijadikan sebagai tolok ukur untuk mendiagnosis. Di samping itu, juga ada sesuatu yang lain yang tidak ada salahnya kalau kita sebutkan. Sejak semula, Al-Quran menganggap akal sebagai argumen. Islam tidak pernah bersikap negatif pada akal. Namun, di sana juga ada kelompok- kelompok yang telah dipandang menyimpang dari Islam yang punya pandangan bertentangan dan bertolak belakang dengan pandangan Islam tentang akal. Mereka punya ajaran-ajaran tersendiri. Mereka tidak menjadikan ilmu sebagai ukuran. Salah seorang dari mereka adalah Husain Alî Bahâ’î. Ajaran Baha'i dinisbatkan kepadanya. Contoh dari salah satu ucapannya ialah, “Pejamkan kedua matamu agar engkau bisa melihat keindahanku! Dan tutup telingamu agar engkau bisa mendengar ucapanku!” Sungguh mengherankan! Keindahan apa yang tidak bisa dilihat kecuali dengan menutup mata? Dan ucapan apa yang tidak bisa didengar kecuali dengan hanya menutup telinga? Al-Quran mengatakan, “Bukalah kedua matamu agar engkau bisa melihat keindahanku. Bukalah kedua telingamu agar engkau bisa mendengar ucapanku, dan bukalah belenggu akalmu agar engkau bisa menggapai dan memahami hakikat diriku.” Amat banyak jumlahnya ayat-ayat Al-Quran mencela mereka yang tidak mau menggunakan penglihatan, pendengaran, dan akalnya, sementara mereka tunduk dan menerima karena kebodohan! Al-Quran hanya menyeru kaum Muslim dengan seruan “Wahai orang-orang beriman!” atau “Wahai manusia!” Umpamanya saja, Al- Quran tidak pernah menyeru kaum Muslim dengan panggilan “Wahai domba-domba Allah”, dengan maksud bahwa mereka tidak ada pilihan

p: 105

lain kecuali harus patuh dan tunduk. Salah satu kelebihan yang dimiliki Al-Quran adalah bahwa ia menafsirkan berbagai peristiwa sejarah di bawah cahaya akal dan logika. Ketika Al-Quran menyebutkan perintah salat, ia menyebutkannya bersama-sama dengan hikmah dan filsafat ditegakkannya salat. Tatkala Al-Quran berbicara tentang wujudnya Al- lah, ia membuktikannya dengan argumentasi-argumentasi akal. Allah an: Dan sesungguhnya Kami telah jadikan untuk (isi neraka) Jahannam kebanyakan dari jin dan manusia. Mereka itu ialah orang yang mempunyai hati, namun tidak digunakan untuk memahami sesuatu.

Mereka mempunyai mata, tetapi tidak dipergunakan untuk melihat se- suatu. Dan mereka mempunyai telinga, namun tidak dipergunakan un- tuk mendengar. Mereka itu bagaikan binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat. Mereka itulah orang-orang yang lalai (QS 7: 179).

Al-Quran mempunyai nada yang benar-benar puitis. Pada tiga tempat yang berbeda, Al-Quran menggunakan nada yang hampir sama dengan maksud untuk mengancam. Sebagaimana dalam firman Allah: Sesungguhnya binatang yang seburuk-buruknya pada sisi Allah ialah orang-orang yang bisu dan tuli, yaitu orang yang tidak mau menggunakan akalnya (QS 8: 22).

Inilah perbandingan-perbandingan yang diajarkan Al-Quran kepada kita agar kita mampu meneliti dan memilih. Tidak ada yang harus kita lakukan kecuali meneliti fenomena-fenomena apa yang telah muncul pada sejarah Islam dan kemudian kita mempelajarinya.

Saya sudah berusaha mengemukakan penjelasan dalam diskusi ini bahwa Islam punya alat yang bisa membersihkan ajaran Islam dari berbagai penyimpangan. Namun, saya tidak tahu apakah pen jelasan saya ini bisa dipahami atau tidak. Yang perlu diketahui adalah bahwa Islam tidak selamat dari peristiwa-peristiwa yang mencemarinya sejak kurun awal hingga masa sekarang ini. Jika kita tidak mengetahui berbagai peristiwa dan segala sesuatu yang mencemarkan Islam, dan apa manfaat dari alat tersebut? Meskipun berbagai peristiwa itu tidak jauh lebih berbahaya dari penyerbuan yang dilakukan bangsa Mongol, toh bahayanya juga tidak kurang dari itu. Serbuan bangsa Mongol bisa dikategorikan sebagai pencemaran yang langsung dapat disaksikan kerusakannya oleh mata.

Namun, di sana juga terdapat pencemaran yang tidak terdeteksi oleh

p: 106

mata telanjang. Saya telah menyebutkan kedua itu. Sebelumnya, saya telah membicarakan kaum Khawarij. Saya katakan bahwa malapetaka yang mereka timbulkan tidak hanya bersifat militer belaka dan kemudian berakhir. Akan tetapi, malapetaka yang mereka timbulkan adalah malapetaka agama. Mereka telah membuat fiqih sendiri, yang punya pengaruh pada fiqih seluruh kelompok Islam.

Saya juga telah membahas fenomena ajaran Asy'ariyyah. Mereka adalah kelompok yang sangat kuat berpegang pada sesuatu yang bersifat lahiriah dalam keyakinan tanpa batas. Mereka memutlakkan semua hadis yang dinisbatkan kepada Nabi. Mereka memahami kiasan menurut makna lahiriah atau makna leksikal, meskipun ada beribu-ribu petunjuk yang mengisyaratkan bahwa kiasan atau ungkapan itu bukanlah makna lahiriahnya. Saya telah membaca jilid pertama buku A Literary History of Persia, karya Edward Browne sekali. Dalam buku itu, ia menuturkan sejarah akidah-akidah Islam.

Salah satu di antaranya berkaitan dengan mazhab Asy'ariyyah. Penulis buku ini menukil sebuah hadis dari seorang orientalis Belanda bernama Dozy, yang punya reputasi internasional yang tinggi di kalangan dunia akademis. Dalam hadis itu disebutkan bahwa Rasulullah bersabda, “Kalian akan melihat Tuhan kalian pada hari Kiamat seperti kalian melihat-Nya di malam bulan purnama.” Saya benar-benar heran mulai mencari hadis ini. Saya tidak menemukan hadis ini dalam berbagai kitab hadis. Akan tetapi, saya menemukan hadis ini dalam berbagai kitab ilmu kalam. Ini yang pertama. Yang kedua adalah bahwa redaksi hadis yang dijumpai dalam berbagai kitab ilmu kalam itu berbunyi, “Sungguh, kalian akan melihat Tuhan kalian pada hari Kiamat seperti kalian melihat bulan di malam purnama.” Orientalis itu mungkin berpikir bahwa yang dimaksud dengan kata badr dalam hadis ini adalah Perang Badar atau sesudah itu. Saya tidak berhenti hingga di sini. Saya berusaha keras untuk mengetahui kesahihan hadis ini. Apakah hadis ini benar-benar sahih atau tidak? Singkat kata, saya tidak mendapatkan hadis ini dalam kitab-kitab Imamiyyah sama sekali. Namun, hadis ini bisa ditemukan dalam kitab-kitab golongan Islam lainnya dengan redaksi yang berbeda. Sementara itu, kaum teolog meriwayatkan hadis ini dengan bentuk redaksi lain. Dalam salah satu kitab Ahlus-Sunnah, saya mendapatkan sebuah hadis yang menceritakan bahwa pada suatu

p: 107

hari ada seorang laki-laki mendatangi Rasulullah dan bertanya kepada beliau, “Bagaimana mungkin, wahai Rasulullah, semua manusia bisa melihat Allah pada saat yang bersamaan?” Rasulullah menjawab, “Sama seperti seluruh manusia bisa melihat bulan purnama pada saat yang sama. Bulan itu adalah makhluk Allah. Sementara itu, Allah berada di atas semua makhluk-Nya. Dan Dia bersama seluruh manusia.” Coba Anda simak dan perhatikan dengan cermat bagaimana mereka menyelewengkan hadis. Redaksinya berubah ketika sudah melalui banyak tangan. Betapa hadis itu telah berubah jika dibandingkan redaksi aslinya. Al-Quran segera menjelaskan kepada kita dan mengatakan bahwa Dia tidak bisa dicapai oleh penglihatan mata, tetapi Dia bisa melihat segala yang kelihatan (QS 6: 103).

p: 108

AKHBARIYYAH

Apa yang dibawa Rasulullah, maka ambillah. Dan apa yang dilarang olehnya, maka tinggalkanlah (QS 59:7).

p: 109

p: 110

PADA bagian sebelumnya, kita telah membahas tema risalah Islam yang suci. Pada mulanya, Islam adalah risalah yang suci. Namun, setelah berpindah-pindah tangan dari berbagai generasi manusia selama empat belas abad, ia mengalami pencemaran. Ini adalah suatu kenyataan, entah kita akui maupun tidak. Kita umpamakan risalah Islam sebagai air yang memancar dari mata air. Semula, air ini bersih dan jernih. Namun, dalam perjalanannya, ia pun tercemar dan terkotori.

Telah kita katakan bahwa air mempunyai sifat dapat dibersihkan dan disterilkan oleh berbagai alat. Demikian juga halnya dengan Islam. Ada alat yang mampu membersihkan segala kotoran yang mencemarinya.

Kita juga telah menyebutkan bahwa Al-Quran adalah alat pertama yang bisa digunakan untuk membersihkan dah menyucikan segala macam bentuk pencemaran. Alat ini bisa berperan manakala diperlukan. Al- Quran berguna mencegah semua bentuk perubahan dan penyelewengan yang terjadi dalam Islam. Sesudah Al-Quran, yang berfungsi sebagai alat penyuci adalah Sunnah Nabi yang mutawâtir dan sahih. Sunnah Nabi bisa disebut sebagai alat kedua setelah Al-Quran. Setelah itu, tiba giliran akal. Islam menaruh perhatian pada akal dan mengang- gapnya sebagai argumen (hujjah). Jika kita menggunakan ketiga perangkat di atas, maka kita akan mempunyai sistem kekebalan yang mampu menjaga dan melindungi kita dari segala macam bentuk penyim- pangan dan penyelewengan. Dalam sejarah Islam terjadi banyak pe- ristiwa yang meninggalkan bekas pada pemikiran kaum Muslim. Mungkin saja, kita yang duduk di sini sekarang berada di bawah pengaruh suatu gerak pemikiran yang muncul beberapa tahun sebelumnya. Kita tidak tahu apakah gerak pemikiran ini berasal dari Islam atau tempat lain.

p: 111

Salah seorang penulis berkebangsaan Irak telah menulis dua buah buku yang telah diterbitkan. Buku-buku tulisannya sangat terkenal karena ditulis dalam bahasa yang menarik. Ia mengatakan dalam salah satu bukunya bahwa ia melihat banyak peristiwa yang di dalamnya Muâwiyah turut berperan. Penulis itu berkeyakinan bahwa Mu’âwiyah mampu menciptakan berbagai gerakan penyelewengan yang akibatakibat buruknya masih bisa dirasakan hingga kini, meski semuanya itu sudah tidak ada. Meskipun saya tidak punya kesempatan untuk membahas pemikiran-pemikiran penulis itu namun, dalam kesempatan kali ini, saya bermaksud menuturkan gerakan-gerakan pemikiran yang lain.

Empat abad sebelum kita sekarang ini, di kalangan kita, muncul sebuah kelompok yang dikenal dengan kaum Akhbârî, sebagai lawan dari kaum Ushuli yang mengakui prinsip ijtihad. Gerakan Akhbârî ini telah menguasai pemikiran manusia selama kurang-lebih 2-3 abad. Betapa banyak perang dan pembunuhan yang mereka lakukan, dan sekarang ini, jumlah kaum Akhbârî sangat sedikit.

Sebagai orang yang meyakini masalah ijtihad dan taklid, kita katakan bahwa seorang mukallaf (yang dibebani kewajiban) dapat memilih untuk menjadi mujtahid, muhtâth, atau muqallid. Secara tegas, kita mengakui kebenaran dan keabsahan masalah taklid. Kaum Akhbârî menyerang kaum Ushûlî dalam masalah ijtihad dan taklid. Kaum Akhbârî mengatakan bahwa ijtihad dan taklid adalah perbuatan bid'ah. Sementara itu, kaum Ushuli menolak pernyataan mereka itu dan mengatakan, “Jika kita menolak masalah ijtihad dan taklid, lalu apa yang kita lakukan?” Kaum Akhbârî menjawab, “Kita merujuk kepada hadis-hadis secara langsung guna menentukan hal-hal yang berkaitan dengan agama kita.” Kalangan Ushûlî menentang pernyata an kaum Akhbârî ini. Per- nyataan mereka adalah logis. Mereka me ngatakan bahwa mengelu arkan pandangan dalam masalah-masalah urusan agama memerlukan spesialisasi. Seorang manusia harus lebih dahulu belajar dan menjadi seorang berilmu (âlim) sebelum memberikan fatwa dalam berbagai masalah agama. Umpamanya saja, jika seseorang berniat hendak berkecimpung dalam dunia kedokteran, maka terlebih dahulu ia harus belajar dan mempunyai spesialisasi dalam masalah kedokteran hingga akhirnya ia menjadi dokter. Demikian juga, pekerjaan mengeluarkan fatwa memerlukan ilmu dan spesialisasi. Kaum Akhbârî

p: 112

menjawab, “Kita tidak perlu belajar. Prinsip ijtihad itu sesungguhnya berasal dari dunia Ahlus-Sunnah.” Pada masa pemerintahan Fatah Alî Syah, di kota Teheran, hi- duplah seorang bernama Mirza Muhammad Akhbârî. Telah terjadi malapetaka besar atas dirinya. Ia berasal dari India dan kemudian tinggal di kota Naisabur untuk beberapa lama. Setelah itu, ia datang ke kota Teheran. Kemudian ia pergi berziarah ke tempat-tempat suci dan dibunuh di sana.

Mungkin kita bertanya-tanya, “Di mana dan kapan kaum Akhbârî muncul?" Pada mulanya, kaum Akhbârî muncul melalui tangan sese- orang yang bernama Mullâ Amîn Astar Abadi, yang pernah hidup ber- tahun-tahun di kota Makkah dan Madinah. (Akan tetapi, sejarah orang ini tidak begitu jelas pada masa itu. Juga tidak jelas dengan siapa saja ia berhubungan). Orang ini kemudian mendirikan kelompok Akhbârî ini. Meski bermazhab Syi'ah, ia menyerang ulama-ulama besar seperti Syaikh ath-Thûsî, Allamah al-Hillî, dan al-Muhaqqiq al-Hillî. Namun, dari ketiga orang itu, yang paling keras diserangnya adalah Allamah al-Hillî. Ia diserang bukan karena dosa yang dilakukannya, melainkan karena ucapannya yang menyatakan bahwa tidak semua hadis yang ada di kalangan kita bisa dipercaya. Hadis-hadis ini, bila ditinjau dari sanadnya, bisa dibagi menjadi empat kelompok, yaitu shahîh, muwatstsaq, hasan, dan dha'if.

Hadis shahîh adalah hadis yang diriwayatkan oleh orang-orang Syi'ah yang bisa dipercaya. Hadis muwatstsaq adalah hadis yang diri- wayatkan orang-orang non-Syi'ah tetapi bisa dipercaya. Sementara itu, hadis hasan adalah hadis yang diriwayatkan oleh orang-orang Syi'ah tetapi tidak bisa dipastikan kejujurannya, sedangkan hadis dha'if adalah hadis yang diriwayatkan oleh orang-orang non-Syi'ah dan tidak dapat dipercaya atau, paling tidak, salah seorang darinya tidak bisa di- percaya. Sejarah-sekurang-kurangnya sampai batas-batas tertentu, menunjukkan keadaan perawi hadis selain ada juga orang-orang yang tidak diketahui perihalnya. Kesimpulannya ialah bahwa kita tidak bisa menerima semua hadis yang ada dalam khazanah kita. Kita harus ter- lebih dahulu meneliti dan mengkaji para perawi yang meriwayatkan hadis-hadis itu.

p: 113

Mullâ Amîn Astar Abadi mengatakan, “Dengan pernyataannya itu, Allamah al-Hillî telah mengotak-ngotakkan hadis-hadis kita dan menggugurkan sebagian darinya. Semua hadis yang kita miliki adalah sahih. Jika kita mengatakan bahwa ada sebuah hadis lemah (dha'if), maka yang demikian itu berarti mengkhianati Imam Ja'far ash-Shâdiq.

Mungkinkah ada sebuah hadis lemah yang berasal dari Imam Ja'far ash-Shâdiq, terutama yang ada dalam empat kitab hadis: Al-Kâfî karya Syaikh al-Kulainî, At-Tahdzîb dan Al-Istibshâr karya Syaikh ath-Thûsî, dan Man Lân Yahdhurohu al-Faqih karya Syaikh ash-Shadûq? Jika sebuah riwayat sudah tercantum dalam salah satu dari empat kitab itu, maka kita tidak perlu lagi membicarakannya.” Para mujtahid mengikuti Allamah al-Hillî dalam masalah ini.

Hendaklah diingat bahwa kitab Al-Kâfî dan kitab-kitab sejenis lainnya tidak bebas dari berbagai hadis lemah. Jika seseorang mau melihat kandungan beberapa riwayat yang ada dalam kitab-kitab rujukan itu, maka ia akan mendapatkan kata-kata kosong yang tidak bermakna.

Demikian juga, akan diketahui bahwa sebagian sanadnya lemah.

Misalnya saja, beberapa waktu lalu, saya menelaah hadis-hadis yang berhubungan dengan masalah riba. Saya mendapatkan sebuah hadis mengatakan bahwa seseorang yang mengaku bernama Ali bin Hadis telah berkata, “Aku berkata kepada Abû al-Hasan bahwa seorang wanita bernama Salsabil minta sejumlah uang kepadaku, dan aku bermaksud memberikannya utang agar aku memperoleh keuntungan darinya. Apakah yang demikian itu dibolehkan?” Kebetulan saya juga membaca kitab at-Tahdzîb. Dalam kitab ini, saya menjumpai hadis lain dan saya dapatkan nama orang ini disebut-sebut. Syaikh ath-Thûsî mengatakan bahwa hadis itu sangat lemah. Lantas, apakah hadis itu secara otomatis sahih lantaran Syaikh al-Kulaini menyebutkannya dalam kitab al-Kâfî? Tidak, tidak demikian. Sebab, nurani yang sehat menolak riwayat-riwayat semacam ini. Sungguh disayangkan bahwa kitab-kitab hadis banyak dipenuhi hadis-hadis palsu (maudhû') buatan sekelompok orang yang menyimpang, dan itu mereka lakukan demi memenuhi tuntutan dan kepentingan pribadinya. Salah satu riwayat seperti ini menyebutkan bahwa sekelompok orang hendak memugar dan memperbaiki kubah kuburan Nabi pada zaman Imam Ja'far ash- Shâdiq. Terjadi pertengkaran di antara mereka tatkala mereka hendak

p: 114

mengangkat kubah itu ihwal kita boleh menyaksikan kuburan Rasulul- lah dari atas ataukah tidak. Sebagian dari mereka mengatakan boleh, dan sebagian lainnya mengatakan tidak boleh. Ketika ditanyakan kepada mereka ihwal mengapa tidak boleh melihat kuburan Nabi dari atas, mereka menjawab, “Mungkin saja Rasulullah sedang berduaduaan dengan salah seorang istrinya dan kemudian kita melihatnya.” Ucapan macam apa ini? Mungkinkah seorang Muslim yang awam sekalipun akan mengatakan demikian? Mengatakan bahwa Rasulullah hidup untuk kedua kalinya dan sekarang sedang berdua-duaan dengan salah seo- rang istrinya?! Bisakah seseorang menerima kesahihan hadis ini hanya lantaran diriwayatkan dalam kitab al-Kâfi? Kaum Akhbârî mengatakan bahwa apa saja yang tertulis dalam kitab al-Kâfî adalah sahih.

Sementara itu, para mujtahid mengatakan tidak demikian karena or- angorang yang membuat berbagai hadis palsu ribuan jumlahnya.

Sejarah menuturkan ihwal seorang laki-laki bernama Abî al Khaththâb. Ia adalah seorang ateis dan anti-Islam. Pada akhirnya, ke- jahatan laki-laki ini diketahui. Sewaktu hendak dihukum mati, ia berkata, “Saya telah membuat hadis palsu sebanyak empat ribu hadis di tengah-tengah kalian.” Para mujtahid mengatakan bahwa sekiranya kita menjumpai peristiwa seperti ini, mungkinkah kita bisa me ngatakan bahwa semua hadis yang ada itu sahih? Sejarah sarat dan penuh dengan berbagai peristiwa dan gerakan yang menyimpang. Bagaimana mungkin kita bisa mengatakan bahwa apa saja yang tertulis dalam kitab-kitab adalah sahih? Diriwayatkan dari Yunus bin 'Abdurrahman, salah seorang sahabat besar para Imam. Ia berkata, “Aku berusaha menyusun semua hadis yang mu'tabar. Aku akan menyampaikannya kepada orang lain. Kini, aku sudah melaksanakan apa yang menjadi cita-citaku. Akhirnya, hadis-hadis itu tersusun dalam sebuah kitab.

Kemudian, kitab kumpulan hadis itu kuserahkan kepada Imam Alî ar- Ridhâ. Aku berkata kepada beliau, 'Wahai putra Rasulullah, ini adalah kitab yang memuat dan menghimpun semua hadis yang diriwayatkan dari ayah-ayahmu yang suci.' Imam ar-Ridhâ mengambil kitab itu dan melihatnya. Aku melihat begitu banyak hadis yang beliau coret. Beliau mengatakan bahwa hadis-hadis itu. adalah dusta.” Akan tetapi, kaum Akhban sarna sekali tidak menerima kenyataan ini. Telah berlangsung suatu perselisihan sengit di kalangan

p: 115

para mujtahid dengan kaum Akhbârî. Kaum Akhbârî merupakan gambaran sempurna dari sikap jumud. Sangat disayangkan mengapa mereka mencukupkan diri dengan sikap jumud seperti itu. Mereka bersikap fanatik buta pada hadis. Pada saat yang sama, mereka justru meremehkan tiga sumber syariat Islam lainnya. Sebelumnya, saya telah menyebutkan bahwa ada empat sumber syariat dalam Islam, yakni Al- Quran, Sunnah Nabi, ijma', dan akal.

Kaum Akhbârî tidak berhenti hingga di sini. Mereka juga menyerang dan memprotes akal. Kata mereka, “Bagaimana mungkin akal disertakan dalam masalah-masalah agama? Bagaimana mungkin urusan agama dikaitkan dengan akal, padahal akal telah melakukan ribuan kali kesalahan? Akal tidak berhak sedikit pun berperan dalam urusan-urusan agama. Orang harus menentang akalnya. Jika ada sebuah hadis yang sesuai dan sejalan dengan akal, maka hadis itu lemah, betapapun kuatnya argumentasi yang dimilikinya. Kita harus menghentikan gerak akal.” Ucapan mereka ini sama persis dengan ucapan orang-orang Kristen yang mengatakan, “Akal tidak berhak sedikit pun berperan dalam urusan-urusan agama. Sesungguhnya Allah adalah Yesus Kristus, dan Yesus Kristus adalah Allah. Cukup sampai di sini. Sumber alam ini adalah Allah Yang Maha Esa. Pada saat yang sama, Dia Mahaesa dan sekaligus tiga.” Saya tidak tahu bagaimana mungkin Allah itu Mahaesa dan, pada saat yang sama, sekaligus tiga? Akal menolak logika yang sakit ini. Namun, mereka menolak hukum akal. Mereka mengatakan, “Akal tidak berwenang turut campur tangan dalam urus an-urusan agama.” Demikian juga halnya dengan kaum Akhbârî. Jika ada argumen tasi akal dalam suatu masalah, maka dengan segera mereka menolaknya.

Sangat sengitnya mereka memusuhi akal sampai-sampai mereka mengatakan bahwa akal sama sekali tidak berhak turut campur dalam semua masalah. Seandainya mereka mengatakan bahwa semua air laut bisa ditampung dalam sebuah gelas dan kemudian ada sekelompok or- ang mengatakan bahwa hal itu mustahil serta tidak bisa diterima oleh akal, maka mereka tidak akan menerimanya dan menolak ucapan itu dengan mengatakan, “Akal tidak punya hak sama sekali dalam masa- lah ini." Lantaran kebodohan dan kejahilan mereka ini, musuh-musuh Islam yang cerdik pun mampu mempermainkan mereka. Dengan

p: 116

mudah, mereka membuat hadis-hadis palsu yang mereka inginkan dan kemudian menyebarkannya di tengah-tengah kaum Akhbârî. Orang- orang Yahudi dan orang-orang lain yang punya niat jahat membuat banyak hadis palsu yang kemudian disebarkan kepada mereka.

Kaum Akhbârî sama sekali tidak menanyakan hadis-hadis yang diberikan itu karena mereka sedemikian sederhana dan sangat mudah membenarkan suatu perkara.

Salah satu dari kumpulan hadis itu ialah hadis yang dinamakan dengan silsilah himar. Dalam hadis itu diceritakan bahwa suatu hari Rasulullah datang dan bertemu dengan seekor keledai ... dan seterusnya hingga akhir. Jelas, mereka ini adalah noda memalukan yang mencoreng kening Islam. Sekiranya waktu itu tidak ada para mujtahid, maka mereka akan menjadi beban bagi kaum Muslim.

Kemudian, apa yang mereka lakukan pada Al-Quran? Bagaimana mereka menyampingkan Al-Quran dengan maksud hanya untuk menetapkan kekuatan argumen (hujjah) hadis? Mereka tidak mengatakan bahwa Al-Quran bukan kitab Allah, karena yang demikian itu berada di luar kesanggupan mereka. Namun, mereka mengatakan bahwa Al-Quran mempunyai kedudukan dan derajat yang lebih tinggi dari apa yang bisa dipahami oleh manusia biasa. Hanya para Imam saja yang mampu memahami isi Al-Quran. Dengan kata lain, Al- Quran hanya diturunkan untuk dipahami oleh para Imam saja. Hal itu sudah cukup. Kita harus melihat yang ada dalam hadis-hadis para Imam. Kaum Akhbârî, sebagaimana para mujtahid, mengatakan bahwa sisi lahiriah Al-Quran bukanlah argumen (hujjah). Umpamanya saja, Al-Quran mengatakan: Sesungguhnya khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji dan termasuk perbuatan setan (QS 5: 90). Ini berarti kita harus kembali kepada hadis guna mengetahui apakah dalam hadis ada keterangan yang menjelaskan bahwa meminum khamr dan bermain judi itu diharamkan? Mereka berusaha menyertai perkataan mereka itu dengan keterangan bahwa sesungguhnya yang dijadikan mukhâthah (orang yang dituju) dalam ayat ini bukanlah kita. Dalam ungkapan lain, mereka telah mencampakkan kewibawaan, kedudukan, dan peranan Al-Quran dalam kehidupan manusia agar mengkristal dalam benak se- tiap orang bahwa sumber rujukan satu-satunya yang wajib kita jadikan

p: 117

pegangan adalah hadis. Dengan begitu, kita tidak memerlukan proses ijtihad. Sebab, makna ijtihad ialah menggunakan pikiran. Padahal, makna ijtihad yang benar ialah bahwa kita meneliti dan mengkaji. Al- Quran, mengetahui hadis sahih dan hadis lemah. Kita gunakan akal untuk melihat apa yang dikatakan, dan ihwal ijma' para ulama. Inilah makna ijtihad. Sementara itu, kaum Akhbârî mengatakan, “Tinggalkanlah semua omong kosong itu ... dan tidak ada yang wajib engkau jadikan sebagai sandaran dan hujjah kecuali hadis! Dalam hadis terkadang ada sesuatu yang tidak dijumpai dalam Al-Quran!" Terkadang seseorang datang dan mengatakan bahwa surah al- Hamd atau al-Fatihah yang kita baca dalam salat bukan dalam bentuk sekarang ini, melainkan dalam bentuk lain! Umpamanya saja, dalam surah al-Fatihah, kita membaca: Shirâthal ladzîna an'amta 'alaihim ghairil maghdhûbi 'alaihim wa ladhhdallîn. Sementara itu, ada sebuah hadis menurut dugaan mereka yang mengatakan bahwa ayat itu berbunyi: Shirâtha mâ an'amta 'alaihim ghairil maghdhûbi ‘alaihim waladhdhâllîn. Mereka mengatakan bahwa kita membaca surah al- Fatihah sesuai dengan apa yang disebutkan hadis.

Demikianlah mereka bermain-main dengan Al-Quran serta mengadakan penyimpangan dan penggantian di sana-sini sehingga terciptalah Al-Quran lain dengan berbagai keterangan dan penjelasan dari mereka. Beberapa tahun lalu, mereka berniat mencetaknya. Mereka mulai mencetaknya. Ketika Almarhum Ayatullah Burujerdi menget- ahui yang mereka lakukan, dengan segera beliau memerintahkan un- tuk menghentikan pencetakan itu dan melemparkannya ke laut.

Celakalah sekiranya Al-Quran mereka dicetak dan jatuh ke tan- gan orang-orang Yahudi dan Kristen. Apa yang akan mereka katakan? Mereka akan mencerca kita dan mengatakan, “Bagaimana mungkin kaum Muslim bisa mengaku bahwa dalam Al-Quran mereka tidak ada penyimpangan. Inilah Al-Quran baru yang telah mereka cetak dan jauh berbeda dari kebanyakan Al-Quran yang ada di tangan mereka?”.

Betapa beraninya kaum Akhbârî ketika mengatakan bahwa Al-Quran tidak mu'tabar. Mereka tidak mengatakan, “Jangan engkau membaca Al-Quran.” Mereka mengatakan, “Baca dan ciumlah Al-

p: 118

Quran, tetapi jangan engkau pelajari.” Inilah pukulan telak atas dunia Islam dan, terutama, atas mazhab Ahlul Bait.

Inilah fenomena gerakan kaum Akhbârî yang jahil dan bodoh setengah mati. Gerakan ini telah menjadikan para pengikutnya memandang hadis-hadis sahih dan hadis-hadis lemah sebagai hal yang sama dan tidak berbeda. Inilah fenomena gerakan pemikiran yang bisa membahayakan dunia Islam. Akibat yang ditimbulkannya ialah sikap jumud dalam berpikir. Kebanyakan dari kita di sini masih terjangkiti penyakit ini. Pemikiran yang membahayakan ini bisa menular dan menjangkiti komunitas kita.

Pernah suatu waktu saya berkunjung ke Ayatullah Burujerdi.

Ketika itu, beliau masih tinggal di kota Burjerd. Saya mendengar ucapan serupa. Setelah itu, saya tidak mendengarnya lagi dari orang lain. Sangat disayangkan bahwa ketika itu saya tidak bertanya kepada beliau.

Beliau berbicara tentang kaum Akhbârî. Ketika itu beliau menjelaskan akar sejarah munculnya gerakan pemikiran seperti ini.

Beliau mengatakan, “Saya kira bahwa paham Akhbârî yang tumbuh di belahan dunia timur itu merupakan rembesan dan kepanjangan dari materialisme yang ada di bagian dunia sebelah barat. Kaum materialis berpegang pada filsafat empiris. Mereka sama sekali menolak peran akal sebagai sumber pengetahuan. Mereka mengatakan bahwa kita tidak meyakini sesuatu, kecuali apa yang kita saksikan dan ketahui melalui eksperimen. Mereka adalah pendukung paham empiris dan penentang akal.

Fenomena paham Akhbârî muncul tatkala Iran Shafawi menjalin hubungan erat dengan negara-negara Eropa. Bertepatan dengan itu, di sini juga bangkit gerakan yang menentang peranan akal, bukan dalam bentuk materialisme Barat, melainkan dalam bentuk paham Akhbârî.

Mereka mengatakan bahwa akal tidak punya hak sama sekali dalam urusan-urusan agama.

p: 119

p: 120

GERAKAN KONSTITUSIONAL

Sesungguhnya hukum hanya milik Allah (QS 6: 57).

p: 121

p: 122

PADA bagian sebelumnya, secara berturut-turut kita telah menyinggung dua gerakan pemikiran yang timbul dalam sejarah Islam.

Kedua gerakan pemikiran ini mewakili sikap jumud dan kaku. Salah satunya adalah gerakan Khawarij yang merupakan fenomena kejumudan berpikir pada masa mereka. Gerakan Khawarij kemudian muncul ke atas panggung politik sesudah menentukan sikap atas pemikiran tentang arbitrasi (tahkîm). Mereka mengatakan bahwa arbitrasi dilakukan untuk menentukan khalifah, bukan untuk menyelesaikan perselisihan antara dua orang yang masing-masing mengaku sebagai khalifah sah.

Sekiranya demikian, maka hal itu bertentangan dengan hukum Islam.

Sebab, Al-Quran mengatakan: Sesungguhnya hukum hanya milik Allah.

Semula kaum Khawarij meyakini pemikiran tentang arbitrasi. Namun kemudian mereka menyalahkan sikap mereka sendiri dalam hal itu.

Mereka tidak hanya berhenti hingga di situ. Mereka juga memaksa Imam Alî untuk menerima arbitrasi, lalu menyalahkan beliau, dan berkata bahwa arbitrasi adalah kufur. Mereka meminta Imam Alî untuk bertobat seperti yang telah mereka lakukan. Imam berkata kepada mereka bahwa arbitrasi yang telah dilakukan itu salah, dan sumber kesalahan itu adalah kaum Khawarij, bukan beliau. Namun, arbitrasi itu tidak termasuk dalam kategori kufur, dan beliau tidak melakukan kesalahan.

Gerakan pemikiran kedua ialah kaum Akhbârî. Kedua gerakan pemikiran ini punya banyak kesamaan. Tentang gerakan kaum Akhbârî, saya telah menyebutkan bahwa jalah mereka jauh berbeda dari jalan yang ditempuh para mujtahid. Jika kita hendak mengetahui substansi dasar dari gerakan Akhbârî, maka ketahuilah bahwa sikap dan pemikiran jumud adalah substansi dasar gerakan ini. Sikap dan pemikiran jumud mereka tampak dari sikap mereka tentang ijtihad. Mereka memandang

p: 123

bahwa ijtihad adalah sebentuk usaha menggunakan akal dan pemikiran serta mengadakan analisis dan penafsiran. Dengan kata lain, ijtihad ialah memberikan wewenang kepada akal dalam urusan-urusan agama, dan hal ini adalah suatu yang tidak dibolehkan.

Kaum Akhbârî mengatakan bahwa Al-Quran diturunkan bukan untuk dipahami dan diketahui. Kita tidak berhak merujuk pada Al- Quran secara langsung sebab yang demikian itu hanyalah hak para Imam saja. Yang bisa kita lakukan hanyalah merujuk pada hadis-hadis dan riwayat-riwayat mereka.

Di samping itu, juga ada gerakan pemikiran ketiga, yang ber- hubungan dengan masa kita sekarang ini. Gerakan ini adalah gerakan konstitusional yang tumbuh di kota Teheran. Gerakan ini membagi bangsa Iran menjadi dua kelompok. Yang satu adalah kelompok pen- dukung pemerintahan diktator, dan yang lain adalah kelompok pen- dukung pemerintahan konstitusional. Kalangan politikus juga terbagi menjadi dua golongan. Demikian juga, para ulama tidak luput dari dua pembagian ini. Mereka adalah para ulama besar. Sekelompok orang pendukung gerakan konstitusional menunjukkan dukungan mereka dengan segenap kemampuan. Di sisi lain, pada waktu yang bersamaan, sekelompok lain menentangnya mati-matian sehingga mereka tidak lagi memandang para pendukung gerakan kon stitusional itu sebagai ulama, cendekiawan, pengajar, dan pelajar agama, tetapi sebagai musuh. Jika mereka mendengar bahwa ada seorang pelajar agama tertentu mendukung gerakan konstitusional, maka dengan segera mereka memutuskan hak uang bulanannya. Perselisihan sedikit demi sedikit telah berkembang sedemikian rupa hingga masing-masing pi- hak saling mengafirkan dan memfasikkan satu sama lainnya. Sungguh, inilah fitnah sangat besar di kalangan para ulama sebab ini bukanlah perselisihan antara para ulama dan kaum politikus, melainkan antar- para ulama sendiri ihwal sikap mereka pada gerakan konstitusional.

Sebelum saya memulai pembahasan mengenai hal ini, saya bermaksud mengingatkan satu hal yang sangat mendasar, yaitu bah- wa dalam gerakan konstitusional terdapat dua tema. Salah satu tema itu penting artinya bagi kita. Sementara itu, tema lainnya sama sekali tidak berhubungan dengan kita. Tema yang penting artinya bagi kita ialah faktor-faktor apa yang mendorong lahirnya gerakan konstitusional

p: 124

manakala ditilik dari sisi sosial dan politik? dan faktor-faktor politik luar negeri apa saja yang menentangnya? Tidak diragukan lagi bahwa politik negara-negara besar dunia sekarang ini punya sikap pada gerakan konstitusional dan diktatorial.

Salah satu negara di dunia yang mendukung gerakan konstitusional adalah Iran. Sementara itu, negara besar lainnya mendukung gerakan diktatorial dan mendorongnya untuk mau berhadapan dengan gerakan konstitusional. Jika kita bertanya kepada mereka ihwal sikap dan kebijaksanaan mereka, kita akan mengetahui bahwa negara yang menyokong gerakan konstitusional itu bermaksud memaksakan sistem politiknya kepada Iran. Dan ini telah berhasil seperti kita lihat pada hari ini.

Demikian juga halnya dengan negara besar dunia yang menentang gerakan konstitusional bahwa sikap dan kebijaksanaannya itu disebabkan oleh pengaruh yang selama ini mereka miliki dalam negeri Iran. Mereka bermaksud menentang dan menghadapi pengaruh negara lawan yang hendak memasuki Iran. Karena itu, ada sekelompok orang yang menentang gerakan konstitusional karena mereka memandang bahwa gerakan itu adalah rekayasa dari pihak-pihak asing. Mereka me- lihat dan memandang bahwa gerakan itu bukanlah gerakan konstitusional dalam artian sesungguhnya, melainkan hanya gerakan politik lain yang direkayasa dan dipaksakan oleh tangan-tangan asing.

Demikian juga halnya dengan orang-orang yang menentang sis- tem diktatorial. Ini disebabkan mereka mengetahui kekuatan asing yang berdiri di balik sistem diktatorial itu. Inggris adalah negara yang menyokong sistem diktatorial. Salah seorang yang menentang dengan keras sistem diktatorial dan menjadi pendukung utama gerakan konstitusional ialah almarhum Akhund Khurasânî. Beliau adalah salah seorang ulama besar Syi'ah.

Bisa dikatakan bahwa tidak ada orang yang sanggup menyamai beliau dalam memberikan pelajaran. Tidak kurang dari 1.200 orang mu- rid selalu menghadiri pelajaranpelajaran yang beliau asuh. Di antara para murid yang hadir itu, ada tidak kurang dari tiga ratus atau lebih yang sudah mencapai derajat ijtihad. Beliau adalah seorang ulama yang sangat dikenal derajat ketakwaan dan keimanannya.

Dukungan beliau kepada gerakan konstitusional bersumber dari niat baiknya. Dalam hal

p: 125

ini, tidak ada keraguan sedikit pun. Akan tetapi, manakala ada seseorang yang berkata bahwa dirinya menentang gerakan konstitusional, maka itu bukan berarti menyalahkan almarhum Akhund Khurasânî.

Sementara itu, yang termasuk di antara pemimpin penentang gerakan konstitusional ialah seorang ulama besar dari kalangan para faqih (fuqaha'), yang tak banyak orang mampu menyamainya, yakni almarhum Sayyid Kâzhim Yazdî Thabâthabâ’î. Jika seseorang mendukung gerakan konstitusional, maka itu bukan berarti bahwa ia menentang almarhum Sayyid Yazdî. Sayyid Yazdî menentang gerakan konstitusional mungkin disebabkan beliau mengetahui bahwa di balik gerakan itu tersembunyi tangan-tangan asing sehingga hasil yang akan dicapai tidak akan baik. Jadi, masalahnya di sini bukanlah membenarkan atau menyalahkan ulama-ulama besar, melainkan karena di dalamnya ada banyak kepentingan dan faktor yang ikut campur.

Sekiranya gerakan konstitusional atau gerakan diktatorial ter- masuk dalam masalah ilmiah, maka membicarakan hal ini mungkin dilakukan. Akan tetapi, masalah ini mengandung banyak faktor dan kepentingan yang ikut campur di dalamnya. Kita tidak akan mem- bahas faktor-faktor ini, para pendukung, dan penentangnya. Berbagai hal menunjukkan bahwa orang-orang yang menentang gerakan konstitusional mengatakan bahwa sistem yang akan mereka terapkan bukanlah sistem yang sedang mereka bicarakan. Sistem itu tidak sah menurut syariat dan sama sekali tidak akan sah. Salah seorang dari para penentang itu ialah almarhum Syaikh Fadhullâh Nuri.

Begitulah, munculnya gerakan konstitusional diiringi dengan berbagai peristiwa berdarah. Dalam peristiwa itu beberapa ulama dan mujtahid gugur. Salah seorang di antaranya adalah Syaikh Fadhullâh Nuri yang dihukum mati di tiang gantungan. Ini bukanlah masalah sederhana. Sebab, beliau adalah seorang laki-laki agung. Beliau adalah seorang mujtahid yang tidak diragukan kemampuan ijtihadnya. Beliau berada di puncak ketakwaan dan keadilan.

Kita hendak mengetahui masalah ini dari sisi spesifik dan akan merinci berbagai faktor eksternal. Kita juga akan membicarakan ihwal apakah Iran berpotensi menerimanya atau tidak. Kita juga akan mengandaikan tempat terjadinya peristiwa itu bukan Iran dan zamannya bukan zaman kita sekarang. Dalam ungkapan lain,

p: 126

kita mengandaikan bahwa gerakan konstitusional ini terjadi di salah sebuah negara Islam lain yang para penduduknya punya kesiapan menerima gerakan konstitusional ini dan mengetahui inti pokok gerakan ini. Sebab, sebagian besar orang tidak memahami arti gerak- an konstitusional itu. Para pendukung fanatik gerakan ini mengetuk pintu-pintu rumah penduduk dan berkata kepada mereka, “Apakah kalian mengetahui arti gerakan konstitusional?” Kemudian mereka mengulang-ulang bahwa jika negara kita adalah negara konstitusio nal, maka roti, teh, dan daging bakar (kabab) akan datang sendiri ke rumah- rumah Anda! Seorang yang berpikiran sederhana akan mengatakan, “Mengagumkan! Jadi Anda hendak menjadikan nyonya Masyrutbah (yakni, gerakan konstitusional-penerj.) sebagai budak kita?” Demikianlah, terjadi perbedaan pemahaman ihwal gerakan kon- stitusional. Orang yang berjuang demi gerakan konstitusional pun tidak memahami inti pokok gerakan ini. Begitu pula, orang yang menentang gerakan itu tidak memahami apa yang mereka lakukan. Yang dimaksud dengan tidak berpotensinya suatu bangsa adalah bahwa bangsa itu tidak memahami gerakan tersebut secara benar. Jika kita kembali pada pengandaian kita bahwa seandainya gerakan konstitusional ini terjadi dalam suatu negara yang bangsanya memahami dan mengetahui hakikat gerakan ini dan tidak ada faktor-faktor eksternal yang memengarohi gerakan ini, umpamanya saja, tujuan gerakan ini demi kebaikan, maka masih sesuaikah gerakan konstitusional ini dengan syariat Islam? Masalah ini perlu dikaji dan ditelaah agar tidak ada lagi sikap jumud dan bodoh yang menyelimutinya secara samar-samar. Sebagian orang menyatakan bahwa gerakan konsitusional yang terlepas dari faktor- faktor eksternal tetap bertentangan dengan Islam. Dalam ujaran lain, Islam tidak sejalan dengan gerakan konstitusional. Ini berarti mereka mengatakan bahwa Islam sejalan dengan sistem diktatorial. Atau, sekurang-kurangnya, mereka mengatakan bahwa Islam lebih cocok dengan sistem diktatorial ketimbang sistem konstitusional. Mengapa demikian? Sebelum gerakan konstitusional didefinisikan, maka tidak mungkin bisa dibahas gerakan ini berikut segala sesuatu yang berkaitan dengannya.

Yang dimaksud dengan sistem konstitusional ialah bahwa pemerintah memerlukan serangkaian keputusan dan ketetapan yang

p: 127

akan memudahkan segala macam urusannya. Pemerintah memerlukan instansi-instansi yang menangani berbagai urusannya, persis seperti yayasan pendidikan dan kebudayaan atau sebuah perusahaan yang bergerak dalam bidang perdagangan memerlukan seorang direktur atau dewan direksi yang akan mengurus usaha-usaha dan tugas-tugasnya.

Dengan begitu, pembicaraan yang harus dilakukan sebelum sesuatu ialah bahwa semua pemerintahan memerlukan penanggung jawab untuk menangani urusan-urusannya. Jika kita mengatakan bahwa pemerintahan tidak memerlukan itu, maka kita telah terjatuh dalam paralogisme (mughâlathah) dan menolak sistem konstitusional serta diktatorial sekaligus. Sebab, dalam sistem diktator juga ada orang-orang yang menangani berbagai urusan pemerintahan. Akan tetapi, hanya seorang saja yang menentukan keputusan. Ini berarti bahwa kita telah menolak sistem diktatorial dan sistem konstitusional sekaligus pada satu waktu. Artinya kita mengatakan bahwa kedua sistem itu salah. Jika kita bertanya kepada mereka yang menolak kedua sistem itu sek- aligus ihwal mengapa demikian, maka mereka akan menjawab bahwa keberadaan agama di tengah-tengah kita sudah cukup bagi kita.

Kita tidak memerlukan sesuatu yang lain. Jawaban ini persis seperti yang diucapkan oleh kalangan Khawarij ketika mereka mengatakan bahwa “tidak ada hukum kecuali milik Allah”. Komentar yang diberik- an Imam Alî atas ucapan mereka itu ialah, “(Ini) adalah ucapan yang benar, tetapi maksud yang mereka tuju dari kalimat ini adalah kebatil- an.” (Nahj al-Balâghah, khutbah 40). Kelompok Khawarij mengatakan, “Tidak ada hukum kecuali milik Allah.” Ungkapan ini adalah ungkapan yang benar, tetapi maksud yang mereka inginkan dari kalimat ini adalah sesuatu yang lain. Imam Alî memberikan gambaran tentang kaum Khawarij sebagai berikut, “Akan tetapi, yang mereka katakan ia- lah bahwa tidak ada pemimpin kecuali Allah. Sementara itu, manusia nerlukan pemimpin, yang baik maupun yang buruk.” (Nahj al- Balâghah, khutbah 40). Pemimpin yang baik berada dalam peringkat pertama, sedangkan pemimpin yang buruk berada dalam peringkat derajat kedua. Keberadaan seorang pemimpin yang buruk lebih baik ketimbang tidak ada pemimpin sama sekali.

Dengan demikian, keberadan suatu hukum, walaupun itu hukum agama, tidak memerlukan pemerintahan. Karena itu, pentingnya

p: 128

masalah kekhalifahan disepakati oleh Ahlus-Sunnah maupun Syi'ah.

Begitu juga halnya dengan kaum Khawârij. Pada awalnya mereka menolak kekhalifahan, tetapi kemudian mereka membaiat seorang khal- ifah dari kalangan mereka. Ahlus-Sunnah maupun Syi'ah sepakat bahwa keberadaan agama tidak menghilangkan arti penting keberadaan sebuah pemerintahan. Ahlus-Sunnah, sebagai sebuah mazhab, mem- punyai pandangan dalam hal ini. Sementara itu, Syi'ah mengatakan, “Kekhalifahan hanya layak ditentukan oleh nash yang berasal dari Rasulullah." Misalnya saja, kita memerlukan sebuah pemerintahan. Apakah ini juga berarti bahwa kita memerlukan badan legislatif dan eksekutif? Artinya, kekuasaan untuk menetapkan hukum dan melaksanakannya berada di tangan satu orang. Jika demikian halnya, maka hal ini disebut sistem diktator. Dalam sistem diktatorial, seorang penguasa bertindak selaku pembuat dan pelaksana hukum sekaligus. Sementara itu, sistem konstitusional memisahkan kekuasaan legislatif dari kekuasaan eksekutif dalam artian bahwa kekuasaan legislatif dan kekuasaan eksekutif tidak terpusat hanya pada satu badan atau seseorang saja.

Anggota badan legislatif dipilih melalui suatu pemilihan oleh rakyat.

Pada dasarnya, mereka adalah wakil-wakil rakyat. Tugas mereka ialah menetapkan hukum. Sementara itu, tugas pemerintahan ialah melaksanakan hukum yang telah ditetapkan itu. Demikian juga halnya dengan anggota kabinet. Mereka dipilih oleh wakil-wakil rakyat yang ada di parlemen setelah sebelumnya dicalonkan sendiri oleh presiden.

Pola yang digunakan oleh sistem konstitusional pada dasarnya mengacu pada kekuasaan rakyat. Dalam ujaran lain, semua urusan berada di angan rakyat. Dengan demikian, rakyat berkuasa atas diri mereka sendiri.

Kalangan penentang sistem konstitusional mengatakan, “Tidak, tidak demikian. Mereka menggunakan paralogisme (mughalatha Mereka mengatakan bahwa yang dimaksud dengan sistem diktatorial adalah bahwa seseorang menentukan keputusan dan ia juga yang melaksanakan keputusan itu. Sementara itu, yang dimaksud dengan sistem konstitusional ialah bahwa wakil-wakil rakyat menetapkan keputusan dan anggota kabinet pemerintahan melaksanakan keputusan itu. Masalah bukanlah sekadar penetapan hukum. Jika masalahnya

p: 129

hanya sebatas itu, maka kami tidak akan menentang. Dan mereka benar. Mereka mengatakan bahwa sekiranya sistem konstitusional berada dalam bentuk yang benar, maka yang memilih anggota kabinet pemerintahan adalah rakyat melalui wakil-wakilnya. Wakil-wakil rakyat ini menentukan hukum. Hukum ini ditetapkan berdasarkan syariat dan bukan keinginan dan kecenderungan rakyat. Jadi, hukum ini bersifat positif (wadh'ı) dan memaksa pemerintah untuk melaksanakannya.

Apa kebaikan dari sistem ini? Sistem konstitusional yang selalu disebut-sebut bukanlah sistem konstitusional yang diharapkan. Katakata indah yang senantiasa mereka ulang-ulang itu tak lain hanyalah tipuan belaka. Disebutkan bahwa dalam sistem konstitusional, rakyat memilih wakil-wakilnya, dan wakil-wakilnya itu yang menetapkan hukum. Pernyataan ini sedemikian indah kedengarannya, tetapi jauh dari kenyataan. Memang benar bahwa mereka menetapkan hukum, tetapi tidak sesuai dengan hukum Ilahi. Dengan kata lain, mereka tidak menetapkan hukum yang sejalan dengan kecenderungan manusia.

Kemudian mereka memaksa pemerintah untuk melaksanakannya.

Ini adalah logika yang sejalan dengan para penganut sistem diktatorial. Logika ini mengalahkan logika sistem konstitusional.

Namun, para penganut sistem konstitusional punya jawaban atas pernyataan para penganut sistem diktatorial. Para penganut sistem konstitusional mengatakan, “Menurut hemat kami, sistem kon- stitusional adalah sistem yang menetapkan wakil-wakil rakyat sebagai pembuat keputusan. Dan ini tidak berarti bahwa seorang mujtahid yang hendak menyimpulkan hukum melihat bagaimana hukum Allah berbicara dan kemudian menyampaikan hukum itu kepada pemerintah untuk melaksanakannya. Tidak, tidak demikian.

Wakil-wakil rakyat inilah yang membuat hukum dan keputusan.” Sekarang kita bertanya, “Apakah setiap hukum positif (wadh'î) itu terlarang?” Tidak, kita punya hukum dan undang-undang bernama agama. Agama telah menentukan tugas dan kewajiban manusia pada setiap zaman serta menerangkan hukum-hukum yang bersifat uni- versal (kullî). Agama telah memberikan hak kepada manusia untuk melakukan ijtihad guna menetapkan suatu hukum dan keputusan dengan memerhatikan hukum Ilahi yang bersifat universal itu. Jadi, hukum yang ditetapkan itu tidak bertentangan dengan hukum Ilahi yang

p: 130

universal. Atas dasar ini, kita mengatakan bahwa kita memerlukan lima orang mujtahid yang benar-benar mengetahui kebutuhan-kebutuhan zaman untuk melihat dan memeriksa ketetapan dan hukum yang diba- has dalam parlemen dari segi kesesuaian hukum dan ketetapan itu dengan Islam. Jika suatu ketetapan telah diputuskan dan tampak bahwa ketetapan itu tidak sejalan dengan hukum Islam, maka lima orang mujtahid ini harus menolaknya dan menyatakan bahwa ketetapan itu tidak layak untuk dilaksanakan. Jika ketetapan yang diambil wakil-wakil rakyat itu sesuai dengan hukum Islam, maka ia harus dilaksanakan sebagaimana mestinya. Mereka mengemukakan contoh dalam hal ini dan menyatakan bahwa hukum Islam tidak mengharuskan manusia untuk merujuk langsung kepada Al-Quran dan Sunnah Nabi guna mengetahui pandangan-pandangannya tentang setiap bagian dan rincian dari kehidupan mereka. Contohnya adalah ketetapan yang berkaitan dengan kemajuan dan perkembangan keadaan di beberapa kota atau peraturan yang ditetapkan untuk kelancaran lalu lintas dan penggunaan alat transportasi modern. Jika tidak ada peraturan, maka bisa dipastikan bahwa sistem lalu lintas akan terganggu. Akibatnya, akan terjadi ribuan kecelakaan. Jadi, dalam hal ini, perlu ada berbagai peraturan dan peringatan.

Mengenai berbagai urusan ini dan yang sejenis lainnya, termasuk berbagai masalahrincidalam kehidupan manusia, Islam menyerahkannya kepada manusia. Ini dimaksudkan agar manusia menetapkan peraturan yang mereka pandang perlu. Kita bisa mengibaratkannya dengan posisi seorang ayah dalam sebuah keluarga. Seorang ayah mempunyai hak untuk menetapkan sejumlah peraturan yang berlaku dalam keluarga itu. Hukum Ilahi memandang bahwa seorang ayah adalah kepala rumah tangga yang wajib ditaati oleh semua anggota keluarga. Hukum yang disebut terakhir ini menyatakan bahwa seorang ayah berhak menetapkan peraturan dalam keluarganya dan bukan menghukum mereka. Termasuk hak seorang ayah sebagai pemimpin keluarga adalah menyuroh dan memerintah sebatas ber kaitan dengan kemaslahatan hidup. Bukan hak ayah untuk menguasai anggota keluarga dengan sesukanya. Dalam ungkapan lain, seorang ayah tidak berhak melakukan hal-hal yang bertentangan dengan kepentingan-kepentingan hidup keluarganya. Di sini, timbul pertanyaan. Apakah Allah menetapkan

p: 131

undang-undang yang mengatur masalah-masalah rinci dalam suatu keluarga? Misalnya saja, apakah Allah memerintahkan seorang ayah untuk melakukan suatu pekerjaan tertentu? Jawabannya adalah tidak. Allah mewajibkan anak untuk mematuhi orang tuanya dan mewajibkan orang tua untuk memperlakukan anak- anak dengan baik. Masih ada contoh lain. Sejak dahulu, para pemilik burung dara menetapkan sejumlah aturan untuk berbagai urusan burung daranya itu. Apakah mereka berhak menetapkan peraturan-peraturan itu? Apakah kita akan mengatakan kepada mereka bahwa “tidak ada hukum kecuali hukum Allah”, yakni me reka tidak punya hak mene- tapkan peraturan-peraturan itu? Hal ini berkaitan dengan hukum-hukum parsial (juz’î) dan rincian.

Yang berkaitan dengan masalah-masalah universal (kullî), seperti telah kita sebutkan sebelumnya, adalah bahwa setiap negara memerlukan sebuah badan atau lembaga yang bertugas membuat peraturan dan hukum.

Bila lembaga itu sudah menetapkan suatu keputusan dan hukum, maka mereka harus lebih dahulu mencocokkannya dengan hukum Allah se- belum mereka serahkan kepada lembaga eksekutif untuk melak- sanakannya. Umpamanya saja, lembaga perundangundangan meneta- pkan bahwa hak talak berada di tangan seorang wanita, sementara hukum Allah menetapkan bahwa hak talak berada di tangan seorang pria. Jelas, undang-undang itu tidak benar dan harus diluruskan. Pada saat yang sama, lembaga perundang-undangan berhak menetapkan beberapa ketentuan dan batasan yang menuntut tanggung jawab. Ini juga mengacu kepada hukum positif dan bersifat parsial yang sejalan dengan hukum-hukum Ilahi yang bersifat global. Namun, bila lembaga perundang-undangan hendak menetapkan suatu hukum tanpa meli- hat dan menyesuaikannya dengan hukum Ilahi, maka yang demikian itu adalah perbuatan salah. Jika lembaga itu lebih dahulu melihat dan menyesuaikannya dengan hukum-hukum Allah, maka tidak ada hal yang melarang mereka untuk menetapkan undang-undang dalam berbagai urusan yang bersifat parsial. Misalnya saja, lembaga itu me- netapkan undang-undang yang membolehkan pengiriman mahasiswa ke luar negeri untuk melanjutkan studinya. Ini bukanlah sesuatu yang begitu dipentingkan sehingga Islam harus menyebutkannya.

p: 132

Namun, Islam sendiri menyebutkan dasar-dasar yang bersifat uni- versal dalam kaitan dengan urusan ini dan berbagai hal serupa lainnya.

Misalnya saja, hal itu bisa kita jumpai dalam bab ilmu pengetahuan.

Bila suatu bidang ilmu pengetahuan berada di tangan orang-orang non- Muslim, apakah boleh kaum Muslim menuntut ilmu itu dari mereka? Saya ingat bahwa ada berpuluh-puluh hadis yang membolehkan menuntut ilmu dari non-Muslim. Salah satu hadis itu adalah, “Bagi seorang Mukmin, hikmah adalah barang berharga yang hilang. Ia akan memungut dan mengambilnya di mana saja ia menjumpainya." Kewajiban yang ditetapkan dalam hadis ini terbatas. Juga ada beberapa hal yang mungkin menyertai usaha pengiriman mahasiswa-mahasiswa ke luar negeri. Contohnya adalah penyimpangan moral yang mungkin menjangkiti mahasiswa-mahasiswa yang belajar di sana. Dalam hal ini, perlu diketahui penyebab terjadinya penyimpangan moral agar mudah dicarikan jalan penyelesaiannya. Sebab, seseorang bisa menuntut ilmu di luar negeri dan, pada waktu yang sama, tetap menjaga agamanya. Hal ini juga telah banyak dibuktikan oleh orang-orang beriman yang pergi dan belajar ke luar negeri. Mereka berhasil menyelesaikan studinya dengan baik dengan tetap menjaga iman dan agamanya seperti semula.

Dalam kitab tafsirnya, Thanthawi al-Jauhari menuturkan sebuah kisah yang relevan dengan apa yang telah kita sebutkan. Ia menuturkan bahwa, pada suatu hari, ada seorang wartawan dari sebuah surat kabar ternama sedang berjalan-jalan di ladang di waktu fajar. Tampak olehnya dari kejauhan sesosok bayangan. Kemudian wartawan itu menghampiri bayangan itu. Setelah dekat, terlihat jelas olehnya bahwa bayangan itu adalah seorang mahasiswa Mesir di sebelah air yang sudah membeku jadi es. Waktu itu musim dingin. Terlihat olehnya bahwa mahasiswa itu mengambil tetesan air yang mengalir dari bongkahan es dan digunakannya untuk berwudhu. Betapa kaget sang wartawan melihat pemandangan yang dilihatnya itu. Kemudian ia menulis se- buah artikel dalam surat kabarnya dengan judul “Mesir akan Menguasai Eropa”. Wartawan itu menuturkan dengan lengkap pemandangan yang dilihatnya. Lalu ia berkata, “Jika orang yang mempunyai keteguhan prinsip ini sampai mau berwudhu dengan menggunakan es, maka ketahuilah bahwa keteguhan prinsip seperti ini sudah tidak ada lagi di Eropa."

p: 133

Seandainya manusia tidak punya hak menetapkan berbagai hukum yang mengatur masalah-masalah rinci dalam kehidupannya, hal ini adalah sebentuk kejumudan. Pandangan ini adalah pandangan kaum Akhbârî. Mereka berpandangan bahwa kaurn Muslim tidak memerlukan para mujtahid dan cukup hanya dengan merujuk kepada hadis. Hendaknya tidak dilupakan bahwa hadis-hadis hanya menyebutkan berbagai masalah yang bersifat universal. Para mujtahid bertugas meng- gunakan akal pikirannya untuk menarik kesimpulan berbagai hukum yang bersifat parsial dan rinci dari hukum-hukum yang bersifat global.

Dengan demikian, tidak ada masalah jika sebuah instansi pemerintah menetapkan peraturan kerja yang berlaku di kantornya sesuai dengan undang-undang yang ada.

p: 134

RASULULLAH: PEMBAWA RISALAH, PENENTU HUKUM, DAN PENGUASA

Apa-apa yang dibawa oleh Rasulullah, maka ambillah, dan apa yang dicegah olehnya, maka jauhilah (QS 59: 7)

p: 135

p: 136

ADA tiga kedudukan berbeda yang khusus dimiliki oleh Rasulullah Saw Sekiranya salah satu atau ketiga kedudukan itu berpindah ke tangan orang lain, maka hal itu harus melalui izin dan perantaraan beliau. Rasulullah Saw memiliki tiga kedudukan ini sekaligus dari Allah. Kedudukan pertama ialah kenabian atau kerasulan, yakni kedudukan sebagai pembawa dan penyampai hukum-hukum Allah yang diwahyukan kepada beliau. Beliau berkewajiban menyampaikan hukum-hukum itu berdasarkan firman Allah: Kewajiban Rasulullah tidak lain adalah menyampaikan apa-apa yang telah diwahyukan kepadanya (QS 5:99).

Rasulullah Saw bertugas menjelaskan apa-apa yang telah diturunkan kepada beliau seperti hukum-hukum salat, puasa, zakat, haji, dan berbagai masalah menyangkut transaksi jual beli (mu'âmalah).

Sebagai jawabannya, manusia berkewajiban mematuhi dan menaati apa yang beliau sampaikan.

Kedudukan suci kedua beliau adalah sebagai pertentu dan pemutus hukum. Saya katakan bahwa kedudukan ini sebagai kedudukan suci karena berasal dari Allah. Dengan demikian, Rasulullah Saw berhak menjadi hakim di tengah-tengah manusia. Dengan kedudukan ini, beliau berkewajiban menegakkan kebenaran bila terjadi pertentangan dan perselisihan diantara manusia dengan bersandar pada suatu hukum.

Beliau tidak hanya memiliki kedudukan sebagai nabi saja, tetapi juga sebagai hakim yang bisa memutuskan suatu masalah. Kedua kedudukan ini dipisahkan satu sama lain. Allah berfirman dalam Al- Quran: Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikat-nya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu sebagai hakim terhadap segala perkara

p: 137

yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan di dalam hatinya terhadap keputusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya (QS 4: 65). Ayat ini berkaitan dengan kedudukan Rasulullah Saw sebagai seorang hakim, bukan sebagai seorang nabi.

Terkadang terjadi perselisihan di antara dua orang Muslim. Yang seorang sudah lama masuk Islam atau berasal dari kalangan Muhajirin yang telah meninggalkan seluruh harta dan keluarganya, dan yang lainnya baru masuk Islam. Jika seorang Muhajir ini mengharapkan Rasulullah Saw berpihak kepadanya, maka hal itu bertentangan dengan iman. Iman adalah tunduk dan pasrah pada hukum dan keputusan Rasulullah Saw, apa pun hasilnya.

Kedudukan suci ketiga, yang juga ditetapkan dari sisi Allah, ada- lah sebagai penguasa dan pemegang kendali pemerintahan. Dengan demikian, Rasulullah Saw adalah seorang penguasa dan pemegang kendali pemerintahan. Beliau adalah pengelola masyarakat dan pemimpin yang menangani berbagai urusan mereka. Rasulullah Saw adalah pendiri dan pemimpin pemerintahan. Beliau sajalah yang berhak memberikan perintah dan komando. Seandainya beliau memerintahkan agar diadakan mobilisasi umum, maka perintah beliau ini harus ditaati.

Tidak diragukan lagi, pada sepuluh tahun terakhir dari kehidupannya, Rasulullah Saw telah mendirikan sebuah negara di kota Madinah. Beliau sendiri bertindak sebagai pemimpin. Kedudukan ketiga ini berbeda dari dua kedudukan sebelumnya. Allah telah berfirman dalam Al-Quran:

Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah, Rasul dan ulû al-amr (pemimpin) di antara kamu (QS 4:59).

Ayat ini menekankan pentingnya kaum Muslim merujuk dan mematuhi pemimpinnya. Karena itu, orang-orang Syi'ah meyakini bahwa kata al-amr dalam ayat ini berkaitan dengan masalah kekhalifahan.

Kedudukan ini adalah juga kedudukan Ilahi yang ekstensi (mishdâq)- nya juga harus ditentukan dari sisi Allah.

Namun, di sini ada dua masalah. Pertama, apakah Allah memerintahkan Rasulullah Saw untuk melimpahkan kedudukan- kedudukan itu kepada orang lain sepeninggalan beliau? Jawaban atas pertanyaan ini adalah “Ya”. Namun, kedudukan beliau sebagai nabi, Rasulullah tidak punya pengganti. Sebab, beliau adalah penutup Idn.

p: 138

para nabi. Ihwal kedudukan beliau sebagai penjelas dan penafsir hukum, Rasulullah Saw harus menentukan penggantinya yang akan menjelaskan dan menafsirkan hukum bagi manusia sepeninggalan beliau.

Dua kedudukan ini mempunyai perbedaan sebagai berikut. Seorang nabi mendapatkan wahyu yang diturunkan Allah kepadanya. Sementara itu, orang yang datang sesudah beliau dan berkedudukan sebagai penjelas hukum tidak mendapat wahyu. Ia hanya mengambil dan menjelaskan apa-apa yang telah diturunkan kepada Rasulullah Saw. Kedudukan kedua ini adalah kedudukan imâmah. Dengan demikian, kedudukan imâmah adalah kedudukan sebagai tempat rujukan (marji').

Begitu pula halnya dengan kedudukan sebagai hakim (qâdhî).

Dengan meninggalnya Rasulullah Saw, kedudukan beliau dalam menetapkan hukum (qadha') atau memberikan keputusan hukum (qâdhî) tidak ikut terkubur. Hal ini disebabkan manusia tetap memerlukan seorang pemberi keputusan hukum serta juga pertentangan dan perselisihan di antara mereka akan tetap ada. Dengan demikian, mau tak mau, harus ada penyelesaian atas berbagai perselisihan yang terjadi. Kalangan Ahlus-Sunnah mengatakan bahwa seorang khalifah adalah seorang hakim (qâdhî) dan bisa mengangkat seseorang untuk menduduki jabatan itu. Sementara itu, kalangan Syi'ah mengatakan bahwa kedudukan ini mengikuti kedudukan kepemimpinan (imâmah) dan pemerintahan (hukûmah). Dengan meninggalnya Rasulullah Saw sebagai seorang kepala pemerintahan, kedudukan itu tidak ikut terkubur bersama beliau karena manusia tetap memerlukannya.

Karena itu, saya ingin menjelaskan masalah ini dalam hubungannya dengan pelimpahan kedudukan-kedudukan itu sepeninggalan Rasulullah Saw. Pelimpahan ini harus melalui perantaraan dan penetapan beliau.

Selain itu, juga mesti diperhatikan perbedaan seperti yang telah saya sebutkan, yakni bahwa penjelasan mengenai hukum yang diberikan oleh seseorang yang telah ditentukan oleh Rasulullah Saw dilakukan melalui proses belajar kepada beliau. Sementara itu, beliau melakukannya melalui wahyu yang diturunkan Allah.

Masalah kedua adalah bahwa kedudukan kenabian bersifat pribadi. Dengan kata lain, kedudukan ini bukan persoalan yang bersifat umum dan universal. Kedudukan untuk menetapkan hukum (qadhâ) dan memegang kendali pemerintahan (hukûmah) bersifat umum Rasulullah: Pembawa Risalah, Penentu Hukum, dan Penguasa

p: 139

dan universal. Rasulullah Saw tidak menjelaskan bahwa kedudukan kenabian dan kepemimpinan bersifat umum dan universal. Misalnya saja, beliau mengatakan, “Barangsiapa memiliki sifat-sifat ini, maka ia adalah seorang Nabi atau Imam.” Sebab, mungkin saja sifat-sifat ini ada dalam diri sepuluh orang. Sementara itu, kedudukan dalam menetapkan keputusan (qadhâ) dan memegang kendali pemerintahan (hukumah) bisa ditetapkan secara umum dan universal. Misalnya dikatakan, “Barangsiapa memenuhi syarat-syarat dan sifat-sifat ini, maka ia layak menjadi hakim (qâdhî) di antara manusia.” Hal ini juga disebutkan dalam hadis ihwal penentuan seorang pemimpin. Hadis ini berbunyi, “Barangsiapa meriwayatkan hadis-hadis dari kami, maka kami telah menjadikannya sebagai hakim atasmu.” Karena itu, barangsiapa mendapatkan sifat-sifat ini ada pada dirinya, yakni berilmu (film), adil ('adâlah), dan menjaga diri (warâ'), maka ia dapat mengatakan bahwa dirinya telah ditentukan oleh Allah untuk menempati kedudukan itu. Ini disebabkan Rasulullah Saw telah menyebutkan sifat-sifat umum yang ada pada diri beliau. Kaum Syi'ah mengatakan bahwa syarat pertama yang harus ada pada seorang hakim (qâdhî) adalah bahwa ia haruslah seorang mujtahid. Syarat lainnya adalah bahwa ia harus lahir dari pernikahan sah. Kemudian, ia harus mempunyai sifat adil ('adâlah). Maksudnya adalah bahwa ia patuh dan terikat pada hukum-hukum syariat dalam semua aspek kehidupannya, entah berkaitan dengan pekerjaannya sebagai hakim (qâdhî) maupun dalam kehidupan sosial dan individualnya. Sementara itu, sekarang ini, ada sebagian orang yang mengatakan bahwa yang terpenting bagi seorang hakim (qâdhî) adalah bahwa ia bisa dipercaya dalam pekerjaannya. Jika seorang hakim (gâdhi) adalah peminum khamr, maka hal itu tidak ada urusannya dengan kita. Sementara Islam memandang bahwa kedudukan ini demikian suci sehingga seseorang yang lahir dari perbuatan zina, meski seluruh perbuatannya suci, maka ia tetap tidak berhak menempati kedudukan itu. Imam adalah seorang yang memberikan penjelasan ihwal hukum-hukum Allah sepeninggalan Rasulullah Saw. Namun dengan kegaiban Imam terakhir, kepada siapa manusia harus merujuk? Di sini Imam menetapkan wakilnya secara umum dan mengatakan, “Perhatikanlah orang yang meriwayatkan hadis-hadis kami. Jika orang itu benar-benar memerhatikan halal dan

p: 140

haram kami, maka kami menjadikannya sebagai hakim atas kamu.” (Ushûl al-Kâfî, jilid I, hlm. 67).

Sekiranya ada orang yang mengaku bahwa dia mempunyai hak untuk menetapkan kedudukan tersebut pada seseorang, maka kita akan mengatakan bahwa kedudukan ini adalah kedudukan yang suci yang hanya Allah Swt saja yang berhak menentukan siapa yang berhak mendudukinya.

Ketiga kedudukan itu,yakni menjelaskan, menetapkan hukum (qadha') di tengah-tengah manusia, dan memegang kendali urusan mereka-bersifat suci yang ditentukan oleh Allah secara langsung maupun tidak langsung. Hingga di sini tidak ada perbedaan dalam dasar-dasar Islam.

Jika ada seseorang mengaku dirinya sebagai pemberi fatwa dan memerintahkan manusia untuk beramal sesuai dengan fatwanya, maka Anda harus mengetahui bahwa kedudukan ini adalah kedudukan yang suci. Karena itu, kita harus melihat ihwal apakah orang itu sudah memenuhi syarat-syarat yang telah dijelaskan Allah ataukah belum.

Apakah penjelasan itu juga disampaikan oleh Nabi-Nya dan kemudian beralih-sepeninggalan beliau melalui para Imam—kepadanya? Apakah ia benar-benar menjadi ekstensi (mishdâq) bagi syarat-syarat tersebut di atas? Jika memang demikian keadaannya dan ia sesuai dengan apa yang dikatakan oleh para Imam, “Barangsiapa di antara para faqih mampu menjaga dirinya, memelihara agamanya, meninggalkan hawa nafsunya, dan menaati perintah Tuhannya, maka manusia wajib bertaklid dan merujuk kepadanya” (Al-Ihtijâj karya ath-Thabrasî, jilid II, hlm. 263), maka ia punya kelayakan untuk memberikan fatwa dan menempati kedudukan sebagai otoritas dalam berbagai masalah keagamaan (marja'iyyah). Jika tidak demikian halnya, maka akan kita katakan bahwa kedudukan itu tidak boleh diserahkan kepada siapa saja yang kita kehendaki. Pokok bahasan seperti ini selalu ada di sepanjang sejarah Islam dan bukan hanya khusus untuk masa sekarang ini. Jadi, kedudukan kepemimpinan (imâmah) dan otoritas ilmiah dalam berbagai masalah keagamaan (marja'iyyah ‘ilmiyyah) merupakan kedudukan khusus.

Masih segar dalam ingatan saya bahwa almarhum Ayatullah Burujerdi berulang kali mengingatkan masalah ini. Beliau mengatakan

p: 141

bahwa dalam hal ini ada dua masalah. Jika kita pisahkan dua masalah satu sama lain, perselisihan antara Ahlus-Sunnah akan selesai dan kemaslahatan ada di pihak kita. Kedua masalah ini adalah kekhalifahan (khilâfah) dan kepemimpinan (imâmah). Dalam masalah kekhalifahan, kita mengatakan bahwa yang seharusnya menjadi khalifah sepeninggalan Rasulullah Saw adalah Imam Alî. Ahlus-Sunnah berkeyakinan bahwa kekhalifahan adalah hak Abû Bakar. Ini adalah perbedaan dan perselisihan. Masalah kedua adalah kepemimpinan (imâmah). Artinya, kita tidak hanya membahas kedudukan Rasulullah Saw sebagai seorang khalifah. Rasulullah Saw mempunyai kedudukan yang lain, yaitu sebagai nabi dan penjelas hukum. Sekarang, adakah seorang yang ahli dalam menjelaskan hukum Allah sepeninggalan beliau dalam artian bahwa ucapannya menjadi argumen (hujjah) bagi kita? Jika ada, siapakah ia? Kemudian Ayatullah Burujerdi mengatakan, “Beberapa riwayat dan hadis menjelaskan bahwa Rasulullah Saw telah menetapkan Imam Alî sebagai seorang khalifah dan hakim sepeninggalan beliau.” Sementara itu, berbagai riwayat dan hadis lainnya mengisyaratkan soal lain juga, yakni bahwa Rasulullah Saw telah menetapkan Imam Alî sebagai otoritas rujukan (marji') untuk mengetahui hukum-hukum Allah sepeninggalan beliau. Kita katakan kepada kalangan Ahlus-Sunnah bahwa kita tidak membahas masalah kekhilafahan sepeninggalan beliau dengan Anda sekalian. Masalah ini telah selesai pada zamannya. Tidak akan pernah kembali lagi ihwal siapa yang menjadi khalifah: Imam Alî atau Abû Bakar. Marilah kita tutup file ini dan marilah kita lupakan. Namun, masih ada masalah lain yang berkaitan dengan ucapan siapa yang harus menjadi argumen (hujjah) bagi kita sepeninggalan Rasulullah Saw Hadis sahih mengatakan, “Sesungguhnya, telah aku tinggalkan untukmu dua pusaka sangat berharga, yaitu kitab Allah (Al-Quran) dan ‘itrah-ku, Ahlul-Baitku.” (Shahîh Muslim, jilid VII, hlm. 122).

Hadis ini menunjukkan tempat rujukan yang berkaitan dengan kehidupan kita sekarang ini. Jika kita ingin mengetahui hukum-hukum syariat yang berlaku atas kita, maka kita harus merujuk kepada 'itrah.

Bukankah Rasulullah Saw telah mengatakan bahwa kata 'itrah menjadi argumen atas kalian sebagaimana ucapanku menjadi argumen atasmu? Jawabannya ialah ya, dan Rasulullah Saw telah mengatakan itu. Dengan demikian, kita tidak membahas masalah khilafah dan zi'âmah. Namun,

p: 142

yang hendak kita tekankan sekarang adalah masalah ini. Mengapa kita melelahkan diri dengan masalah kekhalifahan? Namun tentu kita akan tetap mempertahankan keyakinan kita dalam masalah ini, yakni bahwa yang berhak memegang kekhalifahan sepeninggalan beliau adalah Imam Alî. Sekiranya kekhilafahan itu dipegang oleh orang yang berhak menduduki, maka bisa dipastikan bahwa tidak akan terjadi apa yang telah terjadi pada Islam selama ini. Namun, pokok bahasan hanya bersifat teoretis (nazharî) yang berhubungan dengan masa lalu.

Dalam masalah penetapan hukum (qadha'), Imam Alî adalah juga seorang hakim (qâdhî) sepeninggalan Rasulullah Saw. Para khalifah yang ada pada waktu itu tidak ikut campur dalam masalah penetapan hukum (qadha') karena memang sangat sulit. Masalah penetapan hukum (qadha') memerlukan ilmu. Oleh karena itu, pada masa kekhalifahan Abû Bakar dan, terutama pada masa 'Umar, mereka senantiasa merujuk kepada Imam Alî manakala mengalami kesulitan dalam memecahkan suatu masalah dan meminta Imam Alî untuk menyelesaikannya.

Setelah umat Islam tersebar luas, maka keadaan menuntut banyaknya para hakim (qâdhî) pada setiap kota dan daerah. Di sini, masalah kekhalifahan (khilâfah) dan penetapan hukum (qadhâ') ben- arbenar sudah terpisah. Ketika itu, seorang khalifah hanya menduduki kedudukan kekhalifahan. Sementara itu, kedudukan hakim (qâdhî) di pusat pemerintahan berada di tangan orang lain. Demikian juga, perlu diutus hakim-hakim yang adil ke berbagai tempat. Setelah itu, kedudukan penetapan hukum (qadha') punya arti sangat penting.

Seseorang yang memangku jabatan ketua para hakim (qâdhî al-qudhât) yang pertama dalam dunia Islam ialah Abû Yûsuf, seorang murid dari Abû Hanîfah. Saya telah menuturkan kepada Anda bahwa Abû Hanîfah tidak mau bekerja sama dengan Dinasti 'Abbasiyyah. Namun, sesudah itu, salah seorang muridnya yang bernama Abû Yûsuf masuk dan mau bekerja sama dengan Dinasti ‘Abbasiyyah. Kemudian, ia diangkat sebagai orang yang pertama menduduki pos ketua para hakim, yang mungkin pada hari ini bisa kita sebut dengan pos ketua Mahkamah Agung. Sejak saat itu, kedudukan penetapan hukum (qadha') berganti dengan nama dan pakaian yang berbeda. Saya tidak tahu apakah tradisi seperti ini sudah ada sebelum kedatangan Islam. Akan tetapi, yang jelas ialah bahwa kebiasaan demikian ini muncul pertama kali semasa

p: 143

pemerintahan Hârûn al-Rasyîd. Sejak zaman itu, para ulama sudah berbeda dengan pakaian mereka yang khas.

Dalam diskusi kita sebelumnya tentang gerakan konstitusional, masih ada sesuatu hal yang perlu saya utarakan di sini. Dalam diskusi kali ini, perlu kiranya kita memberikan jawaban atas dua masalah berikut. Yang pertama adalah masalah penetapan hukum. Apakah seseorang-selain Allah-berhak menetapkan suatu hukum? Dalam diskusi itu, kita sudah menyebutkan bahwa jika yang dimaksud berhak menetapkan hukum di sini ialah menetapkan hukum yang bertentangan dan berlawanan dengan hukum Allah, maka ia sama sekali tidak berhak. Dan jika ia tetap menetapkan hukum juga, maka hukum itu batil. Namun, jika yang dimaksud dengan menetapkan hukum di sini bersumber dari hak-hak yang telah dibenarkan oleh hukum Allah, yaitu menetapkan hukum-hukum yang bersifat parsial (juz'î), maka yang demikian itu sama sekali tidak dilarang.

Masalah lainnya berkaitan dengan kedudukan sebagai pemimpin pemerintahan. Tidakkah dalam masalah ini selayaknya Allah yang menentukan? Di sini saya akan menyebutkan ihwal mengapa demikian.

Bagaimana Islam menentukan syarat-syarat bagi seorang yang hendak memimpin dalam artian bahwa jika ia memenuhi syarat-syarat itu, maka ia berhak menjadi pemimpin pemerintahan? Dengan demikian, hak memimpin pemerintahan pada asalnya bukan hak Allah. Pandangan ini adalah lawan dari pandangan Khawarij yang mengatakan bahwa kepemimpinan hanyalah milik Allah dalam artian bahwa Allah sendiri yang memimpin secara langsung. Maka, pemerintahan yang boleh tegak di tengah-tengah manusia adalah pemerintahan yang memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh Islam. Jika seorang pemimpin atau sebuah pemerintahan memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan itu, maka ia dapat memerintah, meskipun tidak ditentukan langsung dari sisi Allah. Ini tidak ubahnya seperti seorang mufti yang berhak mengeluarkan fatwa, sekiranya ia mendapati dirinya memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan.

Demikian juga halnya dengan masalah penetapan hukum. Di sini kita harus lebih dahulu melihat ihwal apakah Islam telah memberikan wewenang kepada seseorang untuk itu. Misalnya saja, seseorang tidak boleh mengatakan bahwa Islam membolehkan siapa saja untuk

p: 144

menetapkan hukum dan peraturan khusus yang berlaku pada keluarga dan juga hukum apa saja lantaran Islam tidak menetapkan peraturan itu. Kemudian, atas dasar itu, seorang anak mengatakan bahwa dirinya akan membuat sebuah peraturan yang mengharuskan ayahnya menaati semua keinginannya atau seorang ibu mengatakan demikian. Tidak, tidak demikian. Memang benar bahwa Islam tidak menetapkan peraturan rinci ihwal sebuah keluarga. Akan tetapi, Islam menetapkan siapa yang menjadi kepala keluarga, dan kepala keluarga inilah yang membuat peraturan. Demikian juga halnya dengan yayasan-yayasan sosial. Mereka yang mendirikan yayasan itu dan juga yang memilikinya berhak menentukan peraturan-peraturan yang berlaku di yayasan itu.

p: 145

p: 146

TUNTUTAN ZAMAN I

Allah Swt telah menurunkan air (hujan) dari langit, maka mengalirlah air di lembah-lembah menurut ukurannya, maka arus itu membawa buih yang mengembang (QS 13:17).

p: 147

p: 148

DALAM beberapa bagian sebelumnya, diskusi kita berkenaan dengan sejarah kaum Muslim. Kita telah menyebutkan bahwa telah muncul berbagai macam aliran pemikiran di dunia Islam.

Dan kita telah menegaskan bahwa aliran-aliran pemikiran yang muncul itu mestilah disebut sebagai gerakan ekstrem (ifrâth) atau kebodohan.

Sebab, tampak pada mereka suatu sikap berlebih-lebihan dan berbagai perbuatan tak bertanggung jawab dalam urusan-urusan agama. Kita juga mengemukakan berbagai contoh yang relevan dalam diskusi kita.

Selain itu juga, kita telah menyebutkan munculnya beberapa aliran pemikiran lain, yang merupakan refleksi dari sikap jumud dan kaku berikut berbagai contoh yang relevan. Semua yang telah kita sebutkan di atas berkaitan dengan masa lalu. Diskusi-diskusi itu pada dasarnya baru merupakan pendahuluan agar kita mengetahui tanggung jawab kita atas kenyataan zaman kita ini. Janganlah kita lupa bahwa pokok bahasan kita ialah masalah kesesuaian dengan perubahan-perubahan hidup. Sebab, dua corak pemikiran yang telah kita sebutkan mungkin juga bisa muncul dalam kehidupan kita sekarang. Yang pertama ialah sikap ekstrem dan berlebih-lebihan (ifrâth) dan kebodohan. Yang kedua ialah sikap jumud dan kaku. Seorang Muslim harus mengambil sikap pertengahan, yaitu. berdiri di antara kedua corak pemikiran itu dengan merujuk kepada Al-Quran. Kita semua wajib mengetahui dan menentukan tanggung jawab kita dalam menghadapi segala bentuk sikap jumud dan kebodohan. Dengan kata lain, karena kita adalah orang-orang Muslim, maka kita punya sikap dalam menghadapi berbagai perubahan yang terjadi. Dan sikap yang kita ambil haruslah benar dan jauh dari ekstremitas dan kejumudan. Sikap ini memerlukan tolok ukur yang benar. Tanpa adanya ukuran yang benar, mustahil kita bersikap demikian. Dan kita akan tetap berada dalam masalah yang

p: 149

masih bersifat umum, yakni kita tidak boleh bersikap berlebih-lebihan (ifrâth) dan berkekurangan (tafrîth). Karenanya, tolok ukur apa yang mesti digunakan agar kita merasa yakin bahwa kita adalah umat yang mengambil sikap pertengahan sebagaimana disebutkan Al-Quran? atau, Apakah justru kita adalah umat yang mempunyai sikap bodoh dan menyimpang? Apakah yang dimaksud dengan perubahan-perubahan zaman itu? Sejak awal, hal itu berarti bahwa zaman senantiasa berada dalam perkembangan. Dalam setiap periode, setiap waktu, atau setiap abad, terjadi berbagai perubahan khusus. Dengan kata lain, setiap zaman punya tuntutan dan kebutuhan yang berbeda. Kita sekarang berada pada paroh kedua abad ke-20 M. Kita menyaksikan bahwa berbagai tuntutan dalam periode sekarang jauh berbeda dari periode sebelumnya. Jika kita menanyakan arti semua ini, maka akan kita katakan bahwa kadangka- dang kita menyebut semuanya itu sebagai kemunculan sesuatu yang baru pada abad sekarang ini. (Tuntutan berarti munculnya sesuatu yang baru). Dengan demikian, periode sekarang ini punya tuntutan dan perkembangan khas. Setiap kali muncul sesuatu yang baru, maka hal itu adalah tuntutan dan kebutuhan zaman. Efek dari berbagai tuntutan zaman adalah munculnya sesuatu yang baru pada zaman itu. Karenanya, kita harus menyesuaikan diri dengan berbagai tuntutan zaman dan munculnya berbagai fenomena baru. Inilah satu bentuk penafsiran dan saya akan menyebutkan makna yang dikandungnya.

Penafsiran lain dari tuntutan zaman adalah istilah lain dari tuntutan manusia yang muncul pada setiap zaman. Maksudnya ialah keinginan, hasrat, dan watak mereka dalam artian bahwa tuntutan dan keinginan manusia itu senantiasa berbeda-beda, sesuai dengan perbedaan setiap zaman. Pada setiap zaman manusia punya rasa dan keinginan yang berbeda. Contohnya adalah perubahan model sepatu dan pakaian pada setiap zaman. Dengan terjadinya perubahan model, maka terjadi juga perubahan pada keinginan-keinginan manusia. Ini berarti bahwa seseorang harus menyesuaikan diri dengan setiap perubahan yang terjadi dalam setiap periode dan ia harus mengikuti kecenderungan serta selera umum yang sedang berlaku. Ini seperti kata pepatah lama, “Jika engkau tidak ingin mendapat malu, maka bergabunglah dengan orang banyak.” Jika orang banyak memilih suatu bentuk atau cara

p: 150

kehidupan tertentu, maka janganlah Anda menyimpang dari mereka.

Jika perubahan zaman berarti seperti kedua penafsiran di atas, maka manusia akan berubah menjadi tawanan dari berbagai perubahan zamannya. Bila kita memegang arti atau penafsiran pertama, maka kita senantiasa harus mengikuti setiap fenomena baru dalam zaman yang kita alami.

Di sini, timbul berbagai pertanyaan. Apakah semua fenomena baru yang muncul pada setiap abad itu baik dan senantiasa mengarah kepada kemaslahatan dan kebahagiaan manusia? Apakah manusia sudah diciptakan sedemikian rupa sehingga segala sesuatu yang baru itu pasti bergerak menuju kebaikan dan kemajuan baginya? Apakah suatu masyarakat tidak mungkin jatuh ke dalam penyimpangan dan penyelewengan? Tidak mungkinkah sesuatu yang baru itu akan menjerumuskan manusia ke dalam penyimpangan dan keruntuhan? Memang benar bahwa semuanya itu mungkin saja bisa demikian. Sebab, setiap fenomena yang muncul dalam tiap-tiap zaman bisa menimbulkan kebaikan dan kemaslahatan bagi manusia, sebagaimana juga bisa ulkan kehancuran dan kemudharatan baginya. Buktinya adalah munculnya para reformis pada setiap zaman yang bangkit menentang zamannya. Selain itu, ada juga manusia-manusia reaksioner yang selalu bangkit melawan zamannya. Perbedaan di antara kedua golongan itu ialah: seorang reaksioner bangkit menentang kemajuan yang terjadi pada zamannya, sementara seorang reformis bangkit menentang kerusakan dan penyelewengan yang muncul pada zamannya.

Kita menggolongkan Sayyid Jamaluddîn Asadabadi sebagai re- formis. Demikian juga, semua ulama bisa dikelompokkan ke dalam kalangan reformis. Mereka telah bangkit menentang kondisi yang berlaku pada zamannya. Mereka tidak tunduk pada lingkungan zamannya. Mengapa mereka kita namakan sebagai reformis? Karena kita menolak keyakinan bahwa semua fenomena baru yang muncul dalam kehidupan manusia itu baik, atau juga perkataan bahwa di mana saja suara mayoritas berbicara, maka di situ ada kebenaran dan kebaikan. Kita mengatakan bahwa Sayyid Jamâludîn telah bangkit melawan kerusakan dan penyelewengan yang banyak disuarakan manusia pada zamannya. Sebaliknya, barangsiapa membaca sejarah pemimpin kaum Akhbârî yang telah saya ceritakan sebelumnya, maka

p: 151

mereka ini bisa juga disebut kaum konservatif atau kaum reaksioner.

Dengan kata lain, mereka bangkit menentang kemajuan yang muncul pada zaman mereka.

Dengan demikian, setiap zaman memiliki kalangan reformis dan kalangan reaksioner. Sementara itu, fenomena-fenomena baru yang muncul dalam setiap zaman dapat membawa warna kemajuan, dan dapat juga membawa warna kemunduran. Dengan adanya kenyataan ini, maka tertolak kesahihan perkataan yang banyak tersebar bahwa setiap orang wajib menyesuaikan diri dengan zamannya berikut segala perubahan dan berbagai tuntutannya. Saya telah menjelaskan filsafat dan rahasia dalam masalah ini sebelumnya. Dalam bagian sebelumnya, saya telah mengatakan bahwa Allah membedakan penciptaan manusia dan hewan. Allah menciptakan manusia sebagai makhluk yang bebas, mempunyai kemampuan memilih, dan mencipta sesuatu yang baru. Pada waktu yang sama, Dia telah menjadikan hewan sebagai makhluk yang tetap berada dalam kondisi tak berubah. Kemudian Allah meletakkan dalam diri masing-masing hewan suatu organ tertentu yang disebut insting. Hewan diciptakan dalam keadaan tidak memiliki kebebasan, kemampuan memilih, dan mencipta sesuatu yang baru. Hewan tidak akan mengalami kemajuan dan kemunduran dalam masalah sistem penciptaan. Bahkan, hewan senantiasa berada dalam keadaan seba- gaimana ia pertama kali diciptakan.

Sejarah membuktikan bahwa sejak manusia pertama kali men- genal sarang lebah, sistem yang berlaku pada sekawanan lebah dahulu masih berlaku hingga sekarang. Bahkan tidak ada perubahan sedikit pun. Sementara itu, peradaban manusia telah jauh berbeda dari sistem yang dahulu dimilikinya. Manusia telah mengalami ke majuan pesat dan spektakuler, sedangkan sistem yang berlaku pada sekawanan lebah masih seperti dahulu. Tidak ada kemajuan dan kemunduran. Tidak ada penyimpangan ke kanan maupun ke kiri. Akan halnya manusia, ia diciptakan dalam keadaan mempunyai kebebasan, mampu memilih, dan menciptakan sesuatu yang baru.

Allah telah berfirman di dalam Al-Quran: Sesungguhnya Aku menciptakan manusia sebagai khalifah di muka bumi (QS 2: 30). Allah menyebut manusia sebagai khalifah. Mengapa sebutan ini dikenakan kepada manusia? Mengapa sebutan ini tidak dialamatkan kepada

p: 152

lebah atau hewan-hewan yang lain? Apa yang menyebabkan Allah menganugerahkan kepada manusia kemampuan untuk mencipta sehingga ia mampu memainkan peranan yang bisa memengaruhi alam ini. Padahal, kita tahu bahwa kehidupan manusia dimulai dari nol. Kemudian secara berangsur-angsur manusia mengalami kemajuan dalam kehidupannya. Perhatikanlah, dengan izin Allah, apa yang telah diciptakan manusia dengan kedudukannya sebagai khalifah Allah. Manusia harus meletakkan peradabannya atas dasar program dan kemampuan mencipta yang dimilikinya. Kemampuan yang dimiliki manusia dalam menciptakan berbagai jenis dan model mobil baru setiap tahun merupakan dalil atau petunjuk atas kemampuan yang dianugerahkan kepadanya. Dengan kemampuannya ini, ia bisa maju dan berkembang serta meraih derajat kemajuan paling tinggi lantaran manusia diciptakan dalam keadaan bebas dan punya kemampuan memilih. Hal serupa bisa juga menyebabkan dirinya jatuh dan kembali ke masa silam. Sebab, jalan kemunduran memang tidak tertutup di belakang dirinya. Imam Alî berkata, “Jalan kanan dan jalan kiri menyesatkan. Jalan tengah itulah yang lurus.” (Nahj al-Balâghah, khutbah 16).

Sebagaimana manusia punya kemungkinan untuk meraih ke- majuan dan kesempurnaan, maka begitu pulalah ia punya kemam- puan untuk jatuh dalam kemunduran dan kehancuran. Atas dasar ini, kita tidak bisa mengatakan bahwa semua fenomena yang muncul pada suatu zaman, yang kita sebut fenomena zaman, adalah baik.

Karena itu, mengikuti tuntutan-tuntutan zaman dalam artian seperti ini adalah salah belaka. Kita harus waspada dan berhati-hati. Kita harus mempertimbangkan fenomena-fenomena itu dan mengukurnya dengan timbangan-timbangan lain. Jika semuanya itu baik, maka kita mengambilnya. Jika sebaliknya, maka kita harus meninggalkannya.

Oleh sebab itu, kita tidak dapat menerima tuntutan-tuntutan zaman yang didasarkan atas kecenderungan dan selera manusia. Kita tidak mengikuti suara mayoritas persis seperti mode sekarang yang banyak ditulis dalam berbagai surat kabar. Apa yang dimaksud dengan fenomena zaman? Heroin adalah salah satu fenomena zaman. Pada zaman sebelumnya, heroin tidak ada. Dengan kemajuan pesat dalam ilmu

p: 153

kimia, mereka lalu membuat bubuk laknat ini. Begitu juga, model- model pakaian mini adalah salah satu fenomena abad sekarang ini.

Mereka berdalih bahwa orang-orang sekarang menginginkan model demikian. Apakah semua yang diinginkan manusia itu baik dan benar? Lantas, pembicaraan beralih pada masalah hukum potong tangan bagi seorang pencuri. Layakkah hukuman ini? Mereka akan mengatakan, “Apa kata Anda? Dunia sekarang tidak menerima hal itu. Perbuatan mencuri adalah kejahatan sosial.” Sekarang kita bertanya, “Apakah kita harus mencegah pencurian?” Semua orang akan menjawab, “Tentu.” Kita katakan kepada mereka bahwa Islam telah menetapkan hukuman bagi seorang pencuri. Secara praktis telah dibuktikan bahwa jika hukuman potong tangan ini diberlakukan, maka akar kejahatan pencurian hilang dari tengah-tengah masyarakat. Para jamaah haji tahu dengan baik bahwa, lima puluh tahun lalu di padang pasir Jazirah Arab, ada banyak penyamun dan perampok yang tidak segan-segan membantai para jamaah haji. Mereka tidak segan-segan merampok kafilah haji yang terdiri atas 500 orang. Ketika empat orang dari para perompak itu dihukum potong tangan, kita bisa menyaksikan betapa padang pasir yang luas itu kini hidup tenang. Dengan adanya kenyataan ini, sekarang Anda tetap mengatakan bahwa hukuman itu tidak rele- van lagi dengan dunia hari ini. Kita kembali bertanya. Apakah dunia sekarang, yang menyatakan hukuman potong tangan sebagai hal yang tidak sesuai, telah memberikan formula pemecahan yang lebih baik dari ini? Sekiranya mereka telah memberikan formula pemecahan yang lebih baik, maka kita akan menerima formula pemecahan yang mereka ajukan itu. Di sini mereka mengatakan bahwa kita menerima hukuman potong tangan itu. Namun, tidakkah para pencuri itu harus dididik lebih dahulu? Apakah kita mengatakan bahwa mereka tidak perlu dididik lebih dahulu? Pembicaraan tentang pemberlakuan hukuman potong tangan itu ditujukan kepada orang-orang yang tidak mengindahkan pendidikan dan tetap melakukan pencurian. Apakah cukup hanya dengan pendidikan dan pengajaran, lantas bentuk-bentuk kejahatan bisa dicegah? Jika demikian halnya, maka tidak tersisa satu pun ke- jahatan di dunia sekarang ini. Ini menjadi petunjuk bahwa pendidikan dan pengajaran saja tidak cukup menangani masalah ini. Pada tahun lalu dipublikasikan laporan resmi bahwa di Jerman Barat telah terjadi lebih dari delapan puluh serangan bersenjata yang dilakukan kepada

p: 154

beberapa bank dan tempat-tempat penukaran valuta asing. Sementara itu, keadaan di Amerika sudah sedemikian parah sehingga disebutkan bahwa telah dibuka sekolah yang khusus mengajarkan cara dan teknikteknik mencuri. Apa yang telah dilakukan dunia sekarang dalam usaha untuk mencegah terjadinya pencurian? Mereka hanya mengatakan bahwa dunia sekarang tidak menyukainya.

Saya ingat sebuah cerita tentang seorang pasien. Setiap orang mengusulkan dokter kepadanya dan mengatakan bahwa dokter yang diusulkan itu baik baginya. Salah seorang di antara mereka mengatakan bahwa ia mengetahui seorang dokter yang belum pernah ada tandingannya dan lebih baik darinya. Mereka bertanya kepadanya, “Bagaimana Anda mengetahuinya?” Ia menjawab, “Suatu ketika, ada seseorang terkena suatu penyakit. Dokter-dokter ahli tidak sanggup menyembuhkan penyakitnya. Mereka memberikan resep obat kepada si pasien. Kemudian mereka mengubah resep itu. Akan tetapi, tetap saja mereka tidak berhasil menyembuhkannya. Lalu seseorang datang menemui para dokter itu dan menunjukkan bahwa ada se orang dokter lain. Kemudian mereka pergi dan menjemput dokter yang disarankan itu. Ketika dokter yang dijemput itu sudah datang, dengan sangat yakin dan berani, ia menyalahkan dokter-dokter itu dan mengatakan, “Anda sekalian harus membawa pasien ini segera ke rumah sakit untuk dioperasi.” Tidak lebih dari satu jam, dilakukan operasi pada pasien itu.

Hingga di sini, orang yang bercerita itu diam. Salah seorang bertanya ihwal yang terjadi pada si pasien. Ia berkata, “Tidak terjadi apa-apa.

Hanya saja, pasien itu meninggal." Kemudian, mereka berkata padanya, “Jadi semua yang engkau ceritakan itu hanya dengan maksud untuk membunuh pasien?!” Diketahui bahwa orang gila itu telah berada di bawah pengaruh dokter sampai-sampai tidak bisa berpikir lagi dalam masalah ini. Ia senantiasa mengulang-ulang ucapannya bahwa para dokter telah datang dan pergi berulang-ulang. Kemudian dokternya datang dan menyelesaikan tugasnya.

Yang bisa dipetik dari peristiwa ini ialah bahwa seorang Muslim tidak boleh melakukan suatu perbuatan atas dasar pengaruh istihsân.

Imam Alî mengatakan, “Janganlah engkau merasa takut dan cemas berada di jalan petunjuk hanya lantaran orang yang mengikuti jalan itu berjumlah sedikit.” (Nahj al-Balâghah, khutbah 199).

p: 155

Manusia harus punya kepribadian bebas. Dalam banyak keadaan, orang-orang yang tidak punya kepribadian inilah yang harus bertanggung jawab atas berbagai musibah yang dialami umat manusia.

Mereka tidak berani menentang suara mayoritas. Masih ada kisah lain yang ingin saya tuturkan kepada Anda. Saya pernah menghadiri sebuah majelis yang diselenggarakan untuk memperingati suatu kejadian.

Dalam majelis itu, saya melihat salah seorang ulama besar tengah sibuk menghitung nilai dari huruf-huruf abjad. Kemudian saya menegurnya.

Mereka mengatakan bahwa dari ayat: Sesungguhnya orang-orang yang berbuat kejahatan akan dibalas atas kejahatan yang mereka lakukan — jika dihitung nilai huruf-hurufnya, akan diperoleh nama Abû Bakar dan 'Utsmân. Atau bisa juga, misalnya, nama sebuah kota dan nama Hasan pada kesempatan lain. Mereka kemudian menyimpulkan bahwa Hasan harus tinggal di kota itu. Saya katakan bahwa sesungguhnya hal itu tidak ada dasarnya. Kemudian salah seorang yang hadir di majelis itu mengkritik pernyataan saya. Ia adalah seorang ulama yang sangat disegani. Saya tetap tidak menerima kritikannya itu. Ia tetap menolak pernyataan saya dan mengatakan bahwa dirinya juga telah menyaksikan suatu peristiwa di tengah-tengah hadirnya salah seorang ulama besar.

Kemudian ia menyebutkan kejadian itu dengan mengatakan, “Pada suatu tahun, saya berada di sebuah kota menghadiri majelis yang juga dihadiri oleh para ulama besar. (Ia menyebut nama-nama ulama yang hadir). Kemudian datang seseorang yang telah menghitung nilai huruf-huruf yang ada dalam ayat suci Al-Quran yang berbunyi: Se- sungguhnya bumi Kami wariskan kepada hamba-hamba-Ku yang saleh (QS 21: 105). Ayat ini berkaitan dengan munculnya Imam Mahdi dan mereka mengatakan bahwa perhitungan nilai huruf-huruf dalam ayat ini menunjukkan bahwa masa kemunculan Imam Mahdi bertepatan dengan tahun 1361 HS (Hijriyyah Syamsiyyah).

Ada juga penafsiran lain tentang makna tuntutan zaman. Penafsiran ketiga ini mengatakan bahwa yang dimaksud dengan tuntutan zaman adalah tuntutan hakiki yang senantiasa muncul pada setiap zaman yang selalu berubah-ubah. Ketika itu, kebutuhan-kebutuhan manusia menuntut sesuatu yang lain.

Anda semua mengetahui bahwa kebutuhan merupakan poros aktivitas dan kegiatan manusia. Dengan kata lain, Allah telah

p: 156

menciptakan manusia dengan berbagai kebutuhan yang senantiasa menyertai dirinya seperti kebutuhan makanan, pakaian, tempat tinggal, pertanian, pertekstilan, alat-alat transportasi, bepergian, sarana-sarana apresiasi seni, dan kebutuhan-kebutuhan lainnya. Dengan demikian, masalah kebutuhan adalah masalah yang serius. Manusia mau tidak mau harus bergerak dan melakukan aktivitas di bawah bayang-bayang pemenuhan berbagai kebutuhannya. Jika tidak demikian, maka zaman akan melindas dirinya. Sekiranya dalam batas-batas ini seseorang ingin menyebutnya sebagai suatu keharusan zaman, maka silakan saja ia menyebutnya demikian. Di sini ada beberapa kebutuhan manusia yang bersifat permanen dan tidak berubah. Dalam menghadapi keadaan ini, manusia harus mengatur jiwanya dan memberikan petunjuk-petunjuk moral kepada dirinya. Perkara-perkara ini adalah sesuatu yang tidak berubah pada setiap zaman. Dalam hal ini, manusia harus membina hubungan dengan Zat yang telah menciptakannya. Hubungannya dengan Allah juga bersifat tetap dan permanen. Hubungan manusia dengan Allah juga berkaitan dengan beberapa hubungan lain yang menghubungkan manusia dengan makhluk-makhluk lain seperti binatang, tumbuh-tumbuhan, dan bumi. Apa yang menjadi hak manusia dalam kaitannya dengan tumbuh-tumbuhan yang ada di alam ini? Apa hak tumbuh-tumbuhan? Ini merupakan kebutuhan-kebutuhan yang bersifat tetap dan tidak berubah.

Akan tetapi, manusia juga memerlukan berbagai alat dan sarana yang bisa memenuhi kebutuhan-kebutuhan tetapnya itu. Berbagai sarana dan alat itu berbeda satu sama lain karena semuanya sesungguhnya adalah hasil ciptaan dan penemuan manusia. Agama tidak mengkritik alat-alat dan sarana-sarana itu. Agama hanya menetapkan tujuan yang hendak dicapai dan jalan yang akan mengantarkan pada tujuan itu.

Penentuan alat dan sarana yang dapat memenuhi kebutuhan-kebu- tuhan manusia itu berada dalam batas-batas kewenangan akal. Di sini, akal memainkan peranannya secara bertahap. Setiap hari, akal mam- pu menciptakan dan menemukan alat atau pun sarana yang lebih baik dari sebelumnya. Dengan hukum atamm dan akmal (hukum yang le- bih mencakup dan lebih sempurna, menurut ‘Allâmah Thabấthabâ’î), manusia senantiasa ingin sampai pada tujuannya dengan perantaraan jalan yang lebih dekat dan mudah. Di berbagai tempat kebutuhan manusia akan alat

p: 157

dan sarana berubah-ubah-yakni, pada hari ini alat tertentu menjadi kebutuhan manusia, sementara besok ditemukan lagi alat yang lebih sempurna—alat dan sarana sebelumnya tidak lagi menjadi kebutuhan.

Di sini, kebutuhan zaman harus berubah. Dalam masalah-masalah semacam ini, sangat benar kalau kita menyebutnya sebagai kebutuhan dan tuntutan zaman. Tidak ada kebutuhan hakiki dan benar-benar nyata yang ditentang oleh Islam. Yang diperangi Islam hanyalah penyimpangan dan penyelewengan.

Ketika traktor sudah ditemukan dan seseorang mengatakan bahwa saya akan membajak tanah dengan menggunakan kerbau, maka dalam hal ini kita bisa menyalahkan orang itu. Lain halnya jika yang datang adalah kebudayaan rok mini, maka kita harus mencegah dan menghadapinya. Kita tidak bisa menerima film-film erotik dan porno yang menyebabkan kaum wanita senang keluyuran ke luar rumah sebagai suatu tuntutan zaman. Alat dan sarana yang ditemukan manusia bisa digunakan untuk mencapai tujuan-tujuan halal maupun haram.

Alat dan sarana-sarana ini tidak bisa berbicara dan berpikir. Contohnya adalah alat pengeras suara yang berguna untuk mengeraskan suara.

ini bisa digunakan untuk mengeraskan suara-suara zikir kepada Allah maupun suara-suara kekufuran. Demikian juga halnya dengan radio dan televisi. Keduanya bisa menyiarkan program apa saja yang diberikan kepadanya, entah berbagai ucapan buruk maupun perkataan Al-Quran.

Jika seseorang memprotes alat-alat yang bisa mendekatkan manusia pada berbagai tujuan mulia dan mengatakan bahwa dirinya tidak akan menggunakan alat-alat itu lantaran telah digunakan orang- orang tertentu untuk mencapai berbagai tujuannya yang jahat, maka dapat dipastikan bahwa ia bakal kalah dan gagal total.

Umpamanya saja, Anda mengatakan bahwa Anda, sebagai seorang Muslim, bermaksud merealisasikan tujuan-tujuan Islam dan, untuk itu, Anda akan berjihad di jalan Allah. Namun, Anda tidak akan menggunakan senjata-senjata modern yang digunakan pada abad sekarang ini. Anda menggunakan pedang dan bukan senapan, meriam, dan granat. Anda pasti bakal kalah dan tidak akan sampai kepada tujuan Anda sama sekali.

Inilah yang dimaksud dengan tuntutan dan perkembangan zaman.

p: 158

Hendaknya Anda tidak mencampuradukkannya dengan selera dan keinginan mereka. Kebutuhan-kebutuhan primer bersifat tetap pada semua umat manusia. Sementara itu, kebutuhan-kebutuhan sekunder yang akan menyampaikan manusia dalam mendapatkan kebutuhan- kebutuhan primernya senantiasa berubah-ubah. Kebutuhan zaman berkata kepada tuannya, “Wahai tuan, sesungguhnya aku telah berubah. Jika engkau tetap menolak dan mengingkari perubahan maka engkau akan gagal. Orang lain telah dapat melontarkan suara mereka kepada penduduk yang berjumlah 23 juta (seluruh penduduk Iran pada waktu itu) dan engkau tidak pernah mendengarkan radio selama hidupmu, padahal anakmu yang baru mencapai usia tiga tahun telah mendengarkan apa yang disiarkan dalam radio. Tidak akan ada seorang pun yang mendengar kan perkataanmu. Di sini engkau kalah.” Tidak terpikir sebelumnya oleh seorang ilmuwan yang telah menemukan alat untuk merekam suara bahwa alat itu akan digunakan untuk merusak akhlak manusia dengan perantaraan musik dan sebagainya. Ia menciptakan alat itu untuk merekam berbagai ceramah, pidato, dan muktamar yang diselenggarakan dalam rangka menyebarluaskan ilmu pengetahuan. Namun, kita tidak bisa menyalahkan alat rekam itu. Akan tetapi, yang demikian itu adalah perbuatan manusia yang memiliki tujuan-tujuan mulia tetapi tidak menggunakannya untuk mencapai segenap tujuannya itu. Demikian juga, kita tidak bisa menyalahkan film. Tatkala industri perfilman sudah ditemukan, manusia-manusia yang sadar tidak menggunakannya untuk tujuan-tujuan mereka yang mulia. Kemudian, datanglah sekelompok manusia yang menggunakannya untuk tujuan-tujuan jahat yang jauh lebih berbahaya dari heroin dan lebih memabukkan.

Sekarang, jika kita mampu menghentikan kegiatan mereka yang me- rusak ini, tentu keadaannya akan sangat baik. Namun, jika tidak mungkin, marilah kita berlomba dengan mereka. Caranya, tentu saja, bukan dengan menayangkan film-film tentang Baitullâh di tempat- tempat yang juga ditayangkan film-film lain.

Inilah kesalahan mereka yang sebelumnya tidak memikirkan bagaimana menggunakan film-film itu untuk kehidupan manusia yang sah dan bermanfaat. Kita wajib menggunakan film-film itu sebagai alat dan sarana kehidupan beragama sebelum orang lain menggunakannya

p: 159

untuk menyebarluaskan film-film mereka. Dirikanlah lembaga dakwah yang bertugas membuat film-film yang baik. Dan bersainglah dengan film-film mereka. Sekiranya kita mampu mencegah munculnya film- film yang rusak, maka alangkah baiknya! Kemudian, apakah film-film yang baik itu hanya menceritakan jamaah haji saja? Ketika Anda bisa memproduksi film-film yang baik dan bermutu, maka Anda bisa menarik perhatian dan minat para pemuda. Adakah film yang lebih agung dari film tentang penciptaan manusia? Kita belum pernah memproduksi film yang menceritakan keajaiban sperma atau kehidupan bunga mawar. Sekiranya kita mem- buat film yang menggambarkan bagaimana gerak dan detak jantung, maka kita akan melihat pengaruh apa yang akan terjadi! Allah Ma- hamengetahui. Semuanya mengajarkan tauhid. Sekiranya ada sekelom- pok orang dari kalangan kita bertanya tentang tuntutan dan fenomena zaman sekarang, maka kita akan katakan kepadanya bahwa ini adalah salah satunya. Film tidak berdosa, bahkan bisa menjadi alat pandang dengar dalam pengajaran.

Ketika muncul alat pengeras suara untuk pertama kalinya, betapa banyak sekali orang yang menggunakannya untuk berteriak. Konon, di antara para penceramah pemberi nasihat, tuan filsuf adalah orang pertama yang menggunakannya. Ia bercerita, “Engkau tidak tahu apa yang dilakukan orang-orang ketika aku menggunakannya. Mereka meletakkan alat pengeras suara pada salah satu majelis yang mulia.

Ketika itu, tiba giliran penceramah sebelumku. Ketika penceramah itu berdiri, ia berkata kepada panitia, “Jauhkan corong setan ini dariku!' Mereka pun mengangkatnya. Namun, pembicaraan penceramah itu tidak bisa didengar dan dipahami oleh jamaah yang hadir karena jumlahnya sangat banyak. Ketika tiba giliranku dan aku sudah sampai di mimbar, aku pun berkata, 'Ambilkan corong setan itu!" Tidakkah Anda perhatikan sikap mereka? Mereka telah menjatuhkan nilai dan kedudukan agama. Sekarang, siapa lagi yang mengatakan bahwa alat pengeras suara adalah corong setan?!

p: 160

TUNTUTAN ZAMAN II

Sesungguhnya makhluk yang paling buruk di sisi Allah ialah orang-orang yang bisu dan tuli, yang tidak mengerti apa pun (QS 8:22).

p: 161

p: 162

PADA bagian sebelumnya, kita telah membahas masalah tuntutan zaman. Dalam kesempatan itu, kita telah menjelaskan makna dari kata “tuntutan zaman” agar masalahnya bisa dipahami dengan sempurna. Suatu saat kelak, jika kita berhadapan dengan salah satu dari dua kelompok ini-yakni kelompok jahil dan jumud yang mener- ima segala sesuatu berlabel tuntutan zaman serta berusaha meyakinkan orang lain agar menerimanya juga atau dengan kelompok yang sama sekali menolak segala sesuatu berlabel tuntutan zaman serta menganggap perkataan itu sebagai sesuatu yang tertolak-maka kita dapat mengu- pas duduk persoalannya secara benar di hadapan mereka. Atas dasar pertimbangan inilah saya berniat mengulang tema pembahasan.

Kita telah menyebutkan bahwa salah satu penafsiran yang bisa dilakukan atas masalah tuntutan zaman adalah bahwa tuntutan za- man merupakan segala bentuk fenomena, kejadian, dan perkara yang tersebar luas dalam setiap zaman. Jika muncul suatu fenomena pada zaman tertentu dan fenomena itu bersifat khusus bagi zaman itu serta zaman itu terbilang baru bila dibandingkan dengan zaman sebelumnya, maka fenomena itu harus diterima. Kesimpulannya ialah bahwa setiap fenomena yang muncul pada zaman baru haruslah diterima. Sebab, ini merupakan suatu kemajuan dan perkembangan. Kita telah menjelaskan bahwa perkataan demikian ini salah. Fenomena-fenomena yang mun- cul pada setiap zaman bisa dibagi menjadi dua. Fenomena-fenomena itu mungkin bersumber dari kemajuan dan perkembangan serta mun- gkin juga bersumber dari penyimpangan. Kedua kemungkinan ini sen- antiasa ada dalam kehidupan manusia di setiap zaman. Dengan kata lain, kita tidak mungkin menerima sesuatu hanya lantaran sesuatu itu baru. Kita juga tidak mungkin menolak sesuatu hanya karena sesuatu itu lama.

p: 163

Kebaruan sesuatu tidak bisa menjadi petunjuk bahwa sesuatu itu baik atau pun buruk. Demikian juga, lamanya sesuatu tidak dapat dijadikan ukuran bahwa sesuatu itu baik atau buruk. Jadi, ukuran baik atau buruk dari sesuatu tidak bisa dilihat dari sisi lama atau barunya. Betapa banyak sesuatu yang lama tetapi bernilai baik dan mesti kita ambil.

Begitu pula, betapa banyak sesuatu yang baru tetapi bernilai buruk dan mesti kita tolak.

Penafsiran lain atas tuntutan zaman adalah selera dan kesenangan manusia yang hidup pada suatu zaman tertentu. Terkadang pada suatu zaman manusia gandrung kepada sesuatu, tetapi tidak gandrung kepada sesuatu lainnya. Di sini, apakah manusia harus menyesuaikan diri dengan tuntutan zaman, yakni dengan selera manusia zaman tertentu? Jawabannya adalah tidak. Penafsiran kedua ini juga tidak benar. Sebab, selera sebagian besar manusia pada suatu zaman tertentu mungkin saja buruk. Betapa banyak peristiwa terjadi di mana selera dan kecenderungan sebagian besar manusia merupakan penyimpangan. Kita juga telah membahas masalah ini. Namun, di sana juga ada penafsiran lain tentang makna tuntutan zaman-suatu penafsiran yang mesti kita pikirkan. Dengan penafsiran ini kita mesti menerima tuntutan zaman sebagai suatu keharusan, yakni tuntutan zaman sebagai kebutuhan za- man. Agar bisa sampai pada tujuan-tujuan nyata dalam setiap zaman, manusia memerlukan berbagai masalah. Berbagai masalah itu adalah kebutuhan-kebutuhan sekunder manusia. Dengan kata lain, manusia punya serangkaian kebutuhan tetap. Dari sela-sela kebutuhan ini, muncul serangkaian kebutuhan lainnya. Disebabkan oleh kebutuhan- kebutuhan sekundernya, manusia berusaha mencari alat dan sarana yang senantiasa berubah dan berkembang serta akhirnya menjadi le- bih sempurna. Inilah yang menyebabkan terjadinya perubahan dalam masyarakat manusia. Tuntutan zaman berarti perubahan zaman yang disebabkan berubahnya berbagai kebutuhan zaman. Umpamanya saja, pada musim dingin manusia perlu menghangatkan diri. Selama masih ada empat musim di dunia ini, kebutuhan itu akan tetap ada. Namun, sesuatu yang dijadikan alat penghangat oleh manusia itu berbeda-beda.

Suatu waktu, alat yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan ini adalah arang. Arang adalah satu-satunya alat yang digunakan manusia untuk menghangatkan dirinya. Ketika itu, arang mempunyai harga

p: 164

yang begitu tinggi. Namun, apakah arang merupakan kebutuhan pokok manusia ? Arang hanyalah alat manusia untuk menghangatkan dirinya.

Kemudian, melalui serangkaian penyelidikan, ditemukanlah minyak.

Karena minyak lebih murah harganya dan lebih mudah digunakan, maka manusia pun memilih minyak sebagai alat untuk menghangatkan diri. Arang dan minyak adalah kebutuhan sekunder manusia. Sementara itu, kebutuhan primernya adalah menghangatkan diri. Inilah sebuah contoh kecil.

Atas dasar ini, kemudian dikatakan bahwa tuntutan-tuntutan zaman berubah. Anda pun bisa menemukan contoh-contoh lain di mana berbagai kebutuhan manusia berubah dalam artian bahwa telah ditemukan sebuah alat yang lebih baik dan lebih murah guna melakukan suatu pekerjaan. Tuntutan-tuntutan zaman dalam pengertian ini bisa diterima oleh setiap orang yang berilmu dan berakal.

Apa yang saya kemukakan di sini merupakan kesimpulan dari pembahasan pada bagian sebelumnya. Kali ini, saya akan mengutarakan pembahasan tentang tema bahwa manusia punya serang kaian ke- butuhan tetap dan kebutuhan tak tetap atau berubah-ubah. Mungkin di sini ada sebagian orang yang mengatakan bahwa semua kebutuhan manusia itu senantiasa berubah-ubah. Dengan ungkapan lain, tidak ada kebutuhan manusia yang bersifat tetap. Ini berarti bahwa tidak ada sesuatu di dunia ini yang selalu menjadi kebutuhan manusia di se- tiap zaman. Mereka mengatakan bahwa segala sesuatu tidak berbeda dengan arang. Manusia hanya membutuhkannya pada zaman tertentu saja dan tidak membutuhkannya pada zaman lain. Karena manusia sudah tidak memerlukannya lagi, maka mau tak mau ia akan sirna.

Hal itu berlaku disebabkan oleh hukum determinisme sejarah. Ruang lingkup yang mereka katakan itu mencakup berbagai persoalan bersifat materiel maupun spiritual. Namun, ketika membahas agama, mereka tidak bersedia membahasnya dengan metode itu, yakni ihwal apakah keberadaan agama merupakan suatu kemestian atau bukan? Mereka mengatakan bahwa kami sama sekali tidak berurusan dengan masalah ini. Agama telah muncul pada zaman saat manusia memerlukannya.

Ketika itu, agama dipandang sebagai kebutuhan manusia. Akan tetapi, karena semua kebutuhan ia, tanpa kecuali, tidak akan tetap selamanya, maka kebutuhan manusia pada agama sedikit demi sedikit terhapus.

p: 165

Tatkala kebutuhan manusia pada agama sudah terhapus, maka mau tidak mau agama pun bakal terhapus. Ini tidak berbeda dari masalah arang. Logika demikian ini banyak dianut orang. Inilah logika kaum materialis dan kaum komunis. Mereka mengatakan bahwa tidak ada suatu kebutuhan yang bersifat tetap dan langgeng di dunia ini. Ratusan pemuda, bahkan ribuan pemuda, yang tersesat oleh perkataan ini.

Namun, dalam hal ini, kita mesti memisahkan masalah ini.

Dasar hukum masalah ini dapat dijelaskan melalui dua metode.

Yang pertama adalah metode yang bercorak filosofis. Yang kedua adalah metode yang bercorak sosiologis. Penjelasan yang bercorak filosofis adalah segala sesuatu yang ada di dunia ini senantiasa beru- bah. Tidak ada sesuatu pun yang langgeng di dunia ini. Sementara itu, penjelasan yang bercorak sosiologis adalah berikut segala sesuatu yang ada dalam masyarakat lahir dari berbagai kebutuhan manusia.

Kebutuhan-kebutuhan manusia senantiasa berubah. Kesimpulannya ialah bahwa segala sesuatu dalam masyarakat itu bersifat sementara.

Penjelasan pertamayang bercorak filosofis menyatakan bahwasegala sesuatu senantiasa berubah. Apakah pernyataan ini benar? Ungkapan dan pernyataan ini salah. Akan tetapi, jika yang mereka maksudkan dari pernyataan ini adalah semua alam materi berikut seluruh senyawa ma- teri di dunia ini, maka pernyataan mereka ini benar.

Artinya, di dunia ini, Anda tidak akan menemukan suatu materi yang tidak berubah bentuknya dan akan tetap demikian selamanya.

Apakah gunung yang Anda saksikan sekarang, pada mulanya, mempunyai bentuk yang sama dan akan tetap sama hingga waktu yang tidak terbatas? Tidak, tidak demikian. Apakah laut yang berbentuk seperti sekarang ini dahulunya juga berbentuk demikian? Tidak, tidak demikian. Dan apakah laut itu akan tetap seperti sekarang ini? Tidak, sama sekali tidak. Para filsuf Islam sejak zaman dahulu memandang ayat Al-Quran: Dan kamu lihat gunung-gunung itu, kamu sangka dia tetap di tempatnya, padahal ia berjalan sebagaimana jalannya awan. (Begitulah) perbuatan Allah yang membuat dengan kokoh tiap-tiap sesuatu (QS 27: 88) sebagai rujukan perubahan yang terjadi dalam segala sesuatu dan dalam semua benda di alam ini. Dengan bersandar kepada petunjuk, (Begitulah) perbuatan Allah yang membuat dengan kokoh

p: 166

tiap-tiap sesuatu, ayat Al-Quran itu mengatakan, “Engkau mengira bahwa gunung-gunung yang engkau lihat ini diam dan tidak bergerak.

Sesungguhnya gunung-gunung ini senantiasa bergerak dan berkem- bang persis seperti awan yang engkau lihat senantiasa berada pada suatu posisi.” Jelaslah bahwa Al-Quran menyebut gunung hanya sebagai contoh.

Artinya, segala sesuatu pun demikian juga. Salah seorang filsuf mengatakan bahwa tidak ada seorang pun yang mandi dua kali di satu sungai. Maksudnya ialah bahwa jika Anda mandi di sebuah sungai dan ketika Anda datang mandi untuk kedua kalinya, maka air yang sekarang bukanlah air yang Anda gunakan untuk mandi dahulu. Begitu juga, Anda yang sekarang bukanlah Anda yang kemarin. Dengan demikian, tidak ada orang yang mandi di sebuah sungai dua kali, alam ini senantiasa berubah.

Ilmu geografi memberikan kesaksian bahwa Laut Kaspia sekarang, misalnya, telah mengalami perubahan jika dibandingkan dengan keadaannya empat puluh tahun silam yang pantainya makin menjorok ke darat. Petunjuk-petunjuk ilmu pengetahuan mengatakan bahwa pada zaman dahulu terdapat jalan darat yang menghubungkan kita dengan Amerika. Namun, perubahan-perubahan yang terjadi secara berangsur- angsur di bumi kita telah menciptakan sebuah lautan yang begitu luas dan memisahkan kita dari Amerika. Tidak ada daratan yang tetap dan tidak mengalami perubahan. Begitu juga, tidak ada lautan yang tetap dan tidak mengalami perubahan. Udara panas dan dingin kota Teher- an sekarang tidak sama dengan kota Teheran lima puluh tahun silam.

Lima puluh tahun lalu, kota Teheran terasa dingin. Kini, kota Teheran terasa panas. Sebaliknya, beberapa daerah yang dahulunya panas kini berubah menjadi dingin. Segala sesuatu di dunia akan mengalami penu- aan. Unsur kecil yang bernama atom juga mempunyai saat kelahiran, saat masa muda, dan saat masa tua. Artinya, radiasi yang dimiliki sebuah atom secara perlahan-lahan akan hilang. Kemudian muncullah atom-atom lain di dunia ini. Tidak ada satu pun materi yang kekal di dunia ini. Mungkin masa hidup yang dimiliki masing-masing mereka berbeda. Namun, secara pasti, tidak ada satu pun yang bersifat kekal.

Al-Quran mengatakan: Kami tidak menjadikan hidup abadi bagi seorang manusia pun sebelum kamu (Muhammad). Jika engkau mati, apakah mereka akan kekal? Tiap-tiap diri akan merasakan

p: 167

kematian (QS 21:34-35).

Jika kata nafs (diri) yang ada dalam ayat Al-Quran di atas kita terjemahkan sebagai zat, yakni bahwa segala sesuatu yang ada akan mati, maka apakah perkataan ini benar, yakni bahwa segala sesuatu senantiasa berubah? Tidak, tidak demikian. Sebab, mungkin saja ada sesuatu di dunia ini yang tidak mengalami perubahan sebagaimana terjadi pada benda atau materi. Salah satu yang tidak mengalami perubahan seperti terjadi pada benda-benda materi ialah roh. Tubuh seorang manusia akan menua dan lama-kelamaan akan sirna. Namun tidak demikian halnya dengan rohnya.

Ilmu pengetahuan membuktikan bahwa tubuh manusia merupakan kumpulan unsur sangat kecil yang disebut sel. Seluruh sel yang ada dalam tubuh manusia terbagi dalam dua kelompok, yaitu sel-sel otak dan sel-sel bukan otak. Sel-sel bukan otak mengalami perkembangan dari muda menjadi tua dan kemudian mati. Para ilmuwan dahulu maupun sekarang menerima teori ini. Tentang sel-sel otak, para ilmuwan mengatakan bahwa sel-sel ini tidak akan mati. Hanya saja, volumenya akan mengalami perubahan. Jika Anda memerhatikan seorang manusia, maka tidak ubahnya Anda memerhatikan sebuah masjid.

Jika bangunan masjid itu diganti, maka lantainya juga diganti. Begitu juga, dinding-dindingnya telah diganti. Orang yang belum pernah melihat masjid itu mungkin akan menyangka bahwa masjid itu adalah masjid yang dahulu pernah dilihatnya. Padahal, sudah tidak tersisa satu bagian pun dari masjid yang pernah dilihatnya itu. Kenyataannya ialah bahwa masjid ini bukan masjid yang dahulu. Demikian juga halnya jika kita berpikir tentang tubuh seorang manusia. Tubuh manusia pasti mengalami perubahan beberapa kali dalam masa hidupnya. Artinya, kita memandang tubuh manusia sama seperti memandang bangunan sebuah masjid yang diruntuhkan. Kemudian masjid itu dibangun lagi dari awal. Meskipun tubuh kita mengalami perubahan beberapa kali dalam hidup ini, tetap hakikat yang tidak mengalami perubahan dalam diri kita, yakni hakikat “aku”, yang merupakan kepribadian manusia.

Hakikat inilah yang tidak berubah. Sebab, dalam tubuh kita ini masih ada sebuah hakikat tetap. Hakikat tetap itulah yang membentuk kepribadian kita.

Abû Alî Sînâ atau Ibn Sînâ punya seorang murid bernama

p: 168

Bahmaniyar. Disebutkan bahwa muridnya ini berasal dari daerah utara.

Sebelum menjadi murid Abû Alî Sînâ, ia beragama Zoroaster. Kemu- dian, ia masuk Islam dan menjadi salah seorang murid Abû Alî Sînâ yang terkenal. Dalam salah satu ceramahnya, ia membahas zaman. Ia mengatakan bahwa zaman adalah bagian dari hakikat segala sesuatu.

Karena zaman berubah, maka segala sesuatu pun berubah. Abû Alî menanggapi ucapan muridnya ini dengan mengatakan, "Tidak, ucapan ini tidak benar.” Muridnya mengatakan, “Benar, itulah kenyataan sesungguhnya.” Abû Alî Sînâ tetap tidak menerima pendapat muridnya.

Kemudian, sang murid mengajukan pertanyaan yang tidak dijawab oleh Abû Alî Sina. Lalu muridnya bertanya, “Mengapa Anda tidak menjawab pertanyaanku?” Abû Alî Sînâ mengatakan, “Ambillah jawaban dari orang yang engkau tanya!” Sang murid pun berkata, “Aku bertanya kepada Anda.”Abû Alî Sînâ menjawab, “Menurut keyakinanmu, engkau telah bertanya kepada orang yang sudah tidak ada lagi dan telah berubah seiring dengan perubahan zaman. Demikian juga, orang yang bertanya sudah tidak ada lagi sekarang. Kalau begitu, jawaban siapa engkau kehendaki? Di sini, engkau harus puas bahwa kepribadian manusia adalah hakikat yang tetap dan tidak berubah. Kepribadianmu hanya satu, yakni bahwa engkau adalah muridku.” Sekarang kita akan membahas masalah roh. Masalah ini saya bahas semata-mata hanya untuk menjelaskan bahwa dasar filsafat yang mereka pegang, yakni bahwa segala sesuatu mengalami perubahan dan tidak ada sesuatu pun yang bersifat tetap, adalah keyakinan yang tidak benar. Sesuatu yang bertolak belakang dengan pernyataan mereka ini adalah masalah roh.

Masalah lain yang perlu dijelaskan adalah pernyataan, “Segala sesuatu berubah.” Sementara itu, pernyataan bahwa “semua hukum dan undang-undang berubah” adalah masalah lain lagi. Hukum adalah dasar terjadinya perubahan. Kita mengatakan bahwa tidak ada satu pun bentuk yang bersifat tetap di dunia ini. Namun, apakah suatu hukum tertentu juga akan berubah? Tidak, hukum itu tetap dan tidak akan berubah.

Umpamanya saja, Darwin berkeyakinan bahwa ia telah menemukan rangkaian hukum berkenaan dengan makhluk hidup. Sekarang, kita bertanya kepada Darwin. Apakah ia —yang meyakini bahwa segenap benda dan makhluk di dunia ini senantiasa berubah-juga meyakini

p: 169

bahwa rangkaian hukum yang ditemukannya itu juga berubah? Artinya, apakah perubahan juga terjadi pada seorang anak kecil hingga tumbuh menjadi seorang dewasa? Dalam ungkapan Darwin sendiri, apakah berbagai spesies mengalami perubahan dari segi spesiesnya? Artinya, suatu spesies secara berangsur-angsur akan berubah menjadi spesies lain? Sekarang, pertanyaan serupa juga kita tujukan pada rangkaian hukum yang ditemukan Darwin. Apakah rangkaian hukum ilmiah yang ditemukan Darwin juga berubah? Jawabannya ialah tidak. Rangkaian hukum itu adalah hukum-hukum alam yang bersifat tetap sejak masa awal hingga akhir dunia ini. Rangkaian hukum itu berlaku pada dunia, sama seperti hukum gravitasi yang bersifat umum dan tetap. Jika kita mengatakan bahwa pribadi Nabi Muhammad berikut tubuhnya bersifat kekal, boleh jadi seseorang mengatakan bahwa berdasarkan hukum filsafat yang mengatakan “Tidak ada sesuatu yang bersifat tetap", maka Rasulullah tidak kekal. Namun, perlu diingat bahwa pembahasan kita tidak berkaitan dengan pribadi. Pembahasan kita berkaitan dengan hukum dan Al-Quran adalah hukum. Sekiranya ada orang yang mengatakan bahwa lembaran-lembaran kertas yang di atasnya ditulis ayat-ayat Al-Quran tidak akan rusak, kita justru mengatakan tidak.

Kertas adalah benda, dan benda pasti akan rusak. Hanya saja, Al-Quran sebagai suatu kumpulan undang-undang dan hakikatnya tidak akan sirna.

Hukum dan undang-undang bukanlah benda. Benda akan rusak dan sirna. Sementara itu, hukum dan undang-undang yang sesuai dengan hakikat kenyataan akan tetap dan abadi. Sekiranya suatu hukum tidak sesuai dengan hakikat kenyataan, maka sejak awal ia bukanlah hukum yang benar. Kesimpulannya, sama sekali tidak ada penghalang bahwa manusia mempunyai serangkaian hukum yang bersifat tetap dan abadi.

Kami mengakui bahwa benda akan sirna. Al-Quran mengatakan:

Semua yang ada di bumi ini akan binasa (QS 55: 26). Dalam ayat yang lain, Al-Quran mengatakan: Apabila matahari digulung. Dan apabila bintang-bintang berjatuhan (QS 81: 1-2).

Yang demikian itu terjadi manakala matahari dan bintang sudah melemah. Sementara itu, laut sudah tidak berbentuk lagi sebagai laut.

Memang benar, Al-Quran mengatakan bahwa tidak ada benda atau materi di alam ini yang bersifat abadi. Namun, perlu juga diingat bahwa yang kita bahas bukanlah sesuatu yang berkaitan dengan benda. Kita

p: 170

membahas hukum. Kita mengatakan bahwa pada diri manusia ada serangkaian hukum samawi. Serangkaian hukum ini bersifat tetap dan abadi. Sungguh, suatu kesalahan besar! Orang mengatakan bahwa buruknya sesuatu disebabkan karena lamanya. Mereka mengatakan bahwa sistem feodalisme telah usang. Karena itu, sistem ini buruk.

Dari pernyataan ini, tampak seolah-olah bahwa sistem feodalisme pada mulanya adalah baik lantaran baru. Kemudian ia buruk karena sudah lama. Mereka berpikir bahwa hal ini tidak ubahnya seperti mobil.

Sebuah mobil bernilai baik karena modelnya baru. Namun, ketika mobil itu telah lama, nilainya pun menjadi buruk. Apakah hukum dan sistem juga demikian halnya? Artinya, jika suatu sistem itu baru, maka ia bernilai baik, dan jika telah lama, maka sistem itu buruk? Masalah seperti ini sama sekali tidak berhubungan dengan lama maupun baru.

Sejak awal, sistem feodalisme memang buruk sama seperti sekarang ini. Demikian juga, sekarang ini sistem feodalisme adalah buruk sama seperti pada awalnya. Apakah maksud dari kalimat bahwa sesuatu menjadi usang? Dengan alasan berikut, mereka menganggap bahwa segala kebiasaan lama adalah buruk. Mereka berkata ihwal berapa banyak manusia memakai pakaian lama. Apakah segala sesuatu punya hukum sebagaimana baju dan sepatu? Sekarang cobalah keluarkan kapas yang menyumbat telinga mereka.

Kerangka filsafat seperti ini tidak cocok dengan undang-undang dan prinsip-prinsip pokok (ushûl), tetapi sesuai dengan benda. Kita akan menyebutkan suatu masalah yang mengandung penjelasan dalam ben- tuk lain, yang telah saya kemukakan sebelumnya. Tidak mungkin saya membahasnya kali ini. Masalah itu adalah kebutuhan. Hanya saja, di sini, saya akan menjelaskannya secara selintas. Pada kesempatan lalu kita telah menjelaskan bahwa manusia memiliki serangkaian kebutuhan tetap dan tidak tetap atau selalu berubahubah. Untuk bisa membuk- tikan bahwa semua kebutuhan, tanpa kecuali, berubah-ubah, mereka menempatkan masalah ini dalam sebuah kerangka yang mereka buat.

Bahkan, kaum komunis sekarang ini tidak mau menerima perkataan atau dasar itu. Mereka mengatakan bahwa segala sesuatu yang ada dalam masyarakat manusia —entah ilmu pengetahuan, seni, industri, hukum, agama, moral, politik, hak-hak keluarga, dan sebagainya- merupakan salah satu cabang atau ranting

p: 171

dari sebuah pohon. Pohon ini hanya mempunyai sebuah akar. Bila akar pohon ini mengalami perubahan, maka semua cabang dan ranting pohon itu pun berubah. Mereka mengatakan bahwa akar tunggal dari pohon itu adalah masalah-masalah ekonomi. Dengan kata lain, mereka mengatakan bahwa semua yang dituntut dan dicari manusia semata- mata hanya disebabkan oleh berbagai kepentingan ekonominya. Dalam masalah ekonomi, ada alat-alat produksi. Perubahan yang terjadi dalam alat-alat produksi menyebabkan terjadinya perubahan dalam masalah moral dan nurani. Sebab, semuanya itu adalah produk dari alat-alat produksi.

Inilah dasar pernyataan mereka. Namun, sekarang terbukti bah- wa hukum seperti ini adalah suatu kesalahan besar dan amat fatal.

Sebab, kesimpulan dari pernyataan mereka ialah bahwa semua amal dan perbuatan manusia dilakukan demi perut mereka semata. Selalu terlintas dalam pikiran saya bahwa mereka adalah orang-orang asing yang berbicara tentang kemanusiaan. Mereka menyusun serangkaian program hak-hak manusia bagi kita dan juga selalu berbicara tentang pengakuan atas kemanusiaan pria dan wanita. Mereka membicarakan kita ihwal bagaimana kita memberikan ungkapan tentang manusia.

Jika kita mengatakan demikian, maka hal itu benar adanya. Sebab, kita meyakini firman Allah: Sesungguhnya Aku akan menjadikan seo- rang khalifah di muka bumi. Kita menganggap manusia sebagai khal- ifah Allah. Kita menjumpai sebuah ayat Al-Quran yang mengatakan:

Sungguh Kami telah muliakan keturunan Adam. Engkaukah yang pu- nya keyakinan bahwa apa saja yang dilakukan manusia hanyalah sematamata karena perutnya? Engkaukah yang mengatakan bahwa akar dari semua perilaku manusia adalah kebutuhan perutnya? Apa artinya kemanusiaan bagimu? Engkaukah yang mengatakan bahwa seni, ilmu pengetahuan, akhlak dan moral, spiritual, agama, dan ibadah, adalah produk kebutuhan-kebutuhan perut? Jika demikian, di mana letak de- rajat kemanusiaan itu? Apa bedanya manusia dengan seekor hewan? Di samping mempunyai perut, manusia juga mempunyai akal dan hati. Banyak sekali hal yang dilakukan manusia bukan didorong oleh perutnya, melainkan disebabkan akalnya memerintahkan demikian.

Betapa banyak per buatan yang dilakukan manusia, di samping didorong oleh kepentingan-kepentingan ekonominya, juga disebabkan

p: 172

ia mempunyai agama. Kita tidak mengatakan bahwa ekonomi sama sekali bukan merupakan faktor penyebab. Namun, kita mengatakan bahwa manusia banyak mempunyai faktor dan karena dorongan faktor- faktor itu, manusia berbuat sesuatu. Kita mengatakan bahwa ibadah dan menyembah Tuhan merupakan lampu penerang dalam hati manusia. Sikap mengorbankan kepentingan-kepentingan materi adalah salah satu sikap yang mulia. Para ulama telah menempatkanny di atas kepentingan-kepentingan ekonomi agar sampai kepada ilmu pengetahuan. Beberapa waktu sesudah Abû Alî Sînâ dipenjara dan kemudian dibebaskan, raja pun paham bahwa orang telah berkata jelek tentangnya. Kemudian ia memerintahkan agar Abû Alî Sînâ dipang- gil. Namun, Abû Alî Sînâ sama sekali tidak mau keluar dari tempat persembunyiannya. Ia berkata kepada para muridnya untuk tidak keluar.

Ia mengatakan kepada murid-muridnya bahwa yang sedang mereka lakukan itu beberapa kali jauh lebih baik daripada kedudukan sebagai menteri, pemimpin, dan uang. Abû Alî Sînâ punya pembantupembantu yang senantiasa mengajaknya untuk ke luar. Namun, ia sama sekali tidak mau. Akhirnya, secara rahasia, mereka memberikan kabar dan datang membawa Abû Alî Sînâ. Manusia mampu menutup mata dari berbagai kepentingan ekonominya. Mereka mengatakan bahwa semua kebutuhan senantiasa berubah lantaran mereka menganggap bahwa semua kebutuhan hanyalah berkaitan dengan kebutuhan lainnya. Se- genap perkataan dan pernyataan ini hanyalah kebohongan belaka.

p: 173

p: 174

PERUBAHAN PERUBAHAN ZAMAN DALAM SEJARAH ISLAM

Dan bahwa ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan yang lain, karena jalan-jalan itu akan mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya (QS 6: 153).

p: 175

p: 176

PADA bagian sebelumnya, kita telah menyebutkan bahwa untuk mengetahui logika dan kritikan-kritikan lawan serta mampu menguraikan pandangan-pandangan mereka guna memberikan jawaban, maka mau tidak mau kita harus menyelami intisari pemikiran- pemikiran mereka.

Kita telah menyebutkan bahwa sekelompok orang yang kita sebut sebagai orang-orang jahil dan bodoh mempunyai sebuah pandangan yang senantiasa mereka ulang-ulang dalam ucapannya. Mereka mengatakan bahwa dunia ini adalah dunia perubahan dan pergerakan.

Tidak ada sesuatu pun berada dalam suatu keadaan dalam dua waktu.

Dengan demikian, tidak ada satu pun di dunia ini yang bersifat tetap dalam artian sesungguhnya. Setelah itu, mereka mengatakan bahwa disebabkan oleh keadaan demikian, yakni tidak ada satu pun di dunia yang tetap dan kekal, maka keberadaan segala sesuatu mempunyai batas waktu tertentu. Bagaimana mungkin agama Islam akan tetap ada dan kekal? Saya telah menyebutkan jawaban untuk menolak pernyataan mereka yang bercorak filosofis. Jawaban itu adalah sebagai berikut. Bahwa segala sesuatu di dunia senantiasa berubah dan menjadi tua mengandung makna bahwa segala sesuatu yang berbentuk materi demikian keadaannya. Artinya, semua benda di alam ini akan berubah dan menjadi tua. Hanya saja, perlu diingat bahwa pembicaraan kita bukanlah berkisar pada seputar masalah materi atau benda. Seandainya ada seseorang mengaku bahwa ia akan hidup kekal atau ada yang mengatakan bahwa lembaran-lembaran kertas tempat ditulisnya ayat- ayat Al-Quran itu kekal dan tidak akan rusak, maka ucapan itu salah dan teori mereka bisa diterapkan dalam hal ini. Namun, perlu diingat bahwa pembicaraan kita bukan berkisar pada masalah pribadi, kertas, dan tinta. Pembicaraan kita berkaitan dengan masalah hukum dan

p: 177

serangkaian hakikat kenyataan. Misalnya saja, kita mengatakan bahwa sikap konsisten (istiqamah) menyebabkan mengundang datangnya keridhaan Allah. Dengan kata lain, sikap konsisten (istiqâmah) adalah baik bagi manusia. Hukum diperuntukkan bagi kehidupan manusia.

Hal-hal semisal ini tidak mengalami perubahan. Namun, di sini kita menyebutkan satu persoalan lain yang berkaitan dengan berbagai perubahan kebutuhan hidup. Karena kebutuhan-kebutuhan berubah, maka hukum dan undang-undang pun harus berubah berdasarkan kebutuhan. Secara umum, telah disebutkan bahwa kebutuhan- kebutuhan primer manusia tidak berubah. Sementara itu, kebutuhan- kebutuhan yang bersifat cabang pun berubah. Saya telah berjanji bahwa sekarang saya akan membahas masalah ini.

Salah satu karakteristik suci Islam adalah bahwa ia senantiasa memberlakukan berbagai kebutuhan tetap manusia sebagai sesuatu yang tetap. Ia meletakkan berbagai kebutuhannya yang berubah di belakang berbagai kebutuhannya yang bersifat tetap. Menurut keyakinan saya pribadi, inilah sebuah sistem mengagumkan yang digunakan dalam Islam. Selama 23 tahun Rasulullah menjadi rasul. Dari 23 terse- but, beliau hidup di Makkah selama 13 tahun, dan kemudian di Mad- inah selama 10 tahun. Seluruh masa kehidupan Rasulullah Saw - di mana semua ucapan, perbuatan, dan diam beliau yang dapat dipandang sebagai sandaran, tidak lebih dari 23 tahun. Itu dari segi waktu atau zaman yang merupakan topik pembahasan kita sekarang ini.

Dalam rentang selama dua puluh tiga tahun, zaman telah mengalami perubahan. Ketika berada di Makkah, beliau menghadapi suasana dan keadaan tertentu. Ketika pindah ke Madinah, beliau menghadapi suasana dan keadaan lain lagi. Di Makkah, sebelum wafatnya Abû Thâlib dan Khadijah, ada suasana dan keadaan tertentu. Sementara itu, setelah kepergian mereka berdua, maka beliau menghadapi keadaan lain. Tiga tahun pertama dalam masa awal pengangkatannya sebagai rasul mempunyai keadaan dan suasana tertentu, hingga kemudian turun ayat Al-Quran yang memerintahkan: Maka sampaikanlah secara terang-terangan segala apa-apa yang diperintahkan kepadamu, dan berpalinglah kamu dari orang-orang musyrik (QS 15: 94). Dengan

p: 178

turunnya ayat ini, keadaan pun berubah, dan Rasulullah Saw mengganti metode dakwahnya.

Ahlus-Sunnah membagi masa kehidupan Rasulullah Saw menjadi beberapa periode. Misalnya mereka mengatakan bahwa dalam periode sejak tahun pertama pengangkatan beliau menjadi rasul hingga masuk Islamnya 'Umar dan keadaan Islam pun berubah. Mereka juga mengakui periode masuk Islamnya Hamzah. Atas dasar pertimbangan ini, keadaan kaum Muslim sangat parah. Dengan masuknya Hamzah ke dalam Islam, posisi kaum Muslim bertambah kuat. Dengan sendirinya kaum Muslim mengubah taktik dan strategi yang mereka gunakan. Demikian juga, mereka membagi periode Madinah menjadi sebelum dan sesudah Per- ang Badar, sebelum dan sesudah pembebasan (futûh) Makkah. Dalam kurun waktu 23 tahun, telah terjadi 4 atau 5 kali perubahan dalam za- man. Dan setiap satu dari kelima perubahan zaman itu menyebabkan terjadinya per ubahan pada kondisi kaum Muslim. Semua perubahan zaman itu terjadi hanya dalam kurun waktu 23 tahun. Namun, bagi kaum Syi'ah, masa ke-ma'shûm-an itu berlangsung selama 273 tahun, yakni 23 tahun masa kenabian Rasulullah. Ahlus-Sunnah punya masa ke-ma'shûm-an ini dan kaum Syi'ah juga punya. Sementara itu, kaum Syi'ah masih punya 250 puluh tahun masa ke-ma'shûm-an, tetapi tidak dipunyai oleh Ahlus-Sunnah. Periode ke-ma’shûm-an ini terbentang sejak tahun 10 H hingga tahun 250 H, yakni tahun wafatnya Imam Hasan al-'Askarî. Masa dua ratus lima puluh tahun adalah masa para Imam ma’shûm. Kehidupan mereka adalah hujjah bagi kaum Syi'ah. Ahlus- Sunnah hanya mempunyai dua puluh tiga tahun, yakni masa kenabi an Rasulullah dan menjadi hujjah buat mereka. Telah kita sebutkan bah- wa dalam masa 23 tahun Rasulullah telah mengalami 4 atau 5 warna zaman yang berbeda. Sudah tentu, kurun waktu 250 tahun lebih banyak mempunyai warna-warna perubahan dibandingkan kurun waktu 23 tahun. Karena itu, bagi kaum Syi'ah, problem tuntutan za- man bisa diselesaikan.

Mungkin Anda menemukan perbedaan metode atau cara yang digunakan oleh Rasulullah atau salah seorang Imam dengan metode yang digunakan oleh Imam Alî bin Abî Thâlib. Anda mengetahui Perubahan- Perubahan Zaman dalam Sejarah Islam

p: 179

bahwa Imam Hasan memilih untuk berdamai, sementara Imam Husain memilih untuk berperang. Anda melihat Imam Ali bin Abî Thâlib hanya memiliki dua pakaian yang sangat sederhana, sementara pakaian yang dikenakan oleh Imam Alî Zainal Abidin adalah pakaian yang mahal. Bahkan, setiap tahun beliau membuat pakaian baru.

Dalam sejarah kehidupan Rasulullah Saw, dua hal yang berbeda ini tidak pernah ditemukan. Dalam kitab al-Kâfî disebutkan bahwa pada suatu hari Sufyan ats-Tsaurî datang menjumpai Imam Ja'far ash- Shâdiq. Ketika itu, Imam Ja'far mengenakan pakaian berwarna putih yang sangat halus tak ubahnya seperti kulit ari telur. Sewaktu Sufyân ats-Tsaurî melihat pakaian yang dikenakan Imam, ia memprotes dan mengatakan, “Mengapa Anda mengenakan pakaian ini?” Imam Ja'far berkata, “Apakah yang seperti ini aib?” Sufyân berkata kepada Imam Ja'far, 'Apakah Anda ingin menjadi ahli dunia?” Imam Ja'far menjawab, “Semua kenikmatan dunia diperuntukkan bagi orang-orang saleh, bukan bagi orang-orang fasik. Wahai Sufyân, mungkin engkau sedang sakit sehingga mengatakan sesuatu atas dasar tujuan tertentu, atau juga mungkin engkau melakukan kesalahan. Jika engkau salah, maka aku akan memberikan penjelasan kepadamu.” Setelah itu Sufyân bangkit dari majelis Imam Ja'far dan pergi.

Beberapa saat kemudian datang serombongan para pemikir ke- pada Imam Ja'far dan berkata, “Sufyân tidak mampu memberikan jawaban kepadamu, namun kami datang untuk berdiskusi dengan- mu.” Imam berkata, “Baiklah. Jika kita hendak mengadakan pem- bahasan, apa tema pokok bahasan kita?” Mereka berkata, “Al-Quran.” Imam Ja'far berkata, “Tidak ada yang lebih utama dari Al-Quran, tetapi dengan syarat bahwa kalian semua memahaminya.” Setelah itu, Imam Ja'far berkata, “Aku tahu tema pembahasan yang terlintas dalam pikiran kalian, yakni sekitar masalah kehidupan Rasulullah dan para sahabat. Yang terlintas dalam benak kalian ialah bahwa Rasulullah dan Imam Alî tidak pernah mengenakan pakaian seperti ini.” Mereka ber- tanya, “Lalu mengapa Anda mengenakannya?” Imam Ja'far men jawab pertanyaan mereka dengan mengatakan, “Sesungguhnya kalian tidak tahu bahwa masalah pakaian tidak berhubungan dengan masalah Islam, tetapi berkaitan dengan masalah zaman. Sekiranya Nabi hidup pada zamanku sekarang ini, niscaya beliau akan mengenakan pakaian

p: 180

seperti yang kukenakan ini. Begitu juga, sekiranya aku hidup pada zaman Nabi, maka aku akan mengenakan pakaian seperti yang beliau kenakan. Dalam hal ini, sesuatu yang mendasar dalam Islam ialah rasa simpati dan empati. Kaum muslim wajib merasakan juga penderitaan yang dialami sesama saudaranya. Seorang muslim wajib memberikan hak-hak saudaranya yang menjadi kewajiban di pundaknya. Inilah masalah yang bersifat tetap dalam setiap zaman. Seorang muslim wajib bersandar kepada Allah, bukan kepada harta. Inilah arti yang sebenarnya dari sifat zuhud." Kemudian Imam Ja'far menambahkan, “Tentang bagaimana seharusnya seseorang memilih pakaian yang akan dikenakannya, yang demikian itu adalah sesuatu yang berkaitan dengan zaman. Di zaman Rasulullah, kondisi kaum Muslim secara umum sangat sulit. Pada Perang Tabuk, tentara Islam disebut 'usrah atau pasukan susah. Mereka disebut demikian karena pasukan yang terdiri atas 30.000 orang ini pergi berperang tanpa membawa perbekalan. Untuk menghilangkan rasa lemah dalam hati mereka, setiap 3 atau 4 orang tentara cukup mengenyangkan perutnya dengan hanya sebiji kurma. Dalam Perang Badar jumlah tentara kaum Muslim terdiri atas 313 orang. Pedang yang dimiliki tidak lebih dari 40 pedang, sedangkan kuda yang mereka miliki hanya berjumlah 3 atau 4 ekor. Sementara itu, pihak musuh terdiri atas 900 atau 1.000 orang tentara. Setiap hari, mereka memotong beberapa ekor unta un- tuk makanan mereka. Ahli Suffah sedemikian fakirnya sehingga pakai- an penutup aurat yang dimilikinya untuk salat hanya sehelai. Dengan sehelai pakaian yang ada di tubuhnya itu, mereka mengerjakan salat secara tertib dan bergantian. Ketika Rasulullah Saw datang ke rumah Sayyidah Fâthimah dan melihat ada tirai yang tergantung, beliau segera meninggalkan rumah putrinya itu. Suatu saat, Sayyidah Fâthi- mah mengerti persoalannya. Ia segera menarik tirai yang targantung itu dan melepas gelang emas yang melingkar di tangannya. Kemudian ia datang menjumpai Rasulullah Saw dan menyerahkan kedua benda itu kepada beliau agar diinfakkan kepada kaum fakir miskin. Inilah yang disebut dengan ajaran prihatin atau ikut merasakan kesulitan yang diderita orang lain. Pada zaman Rasulullah Saw, sikap prihatin menuntut kita untuk tidak menemukan sebuah tirai di rumah siapa pun, sedangkan pada zaman sekarang, ketika kaum Muslim telah berubah menjadi

p: 181

kekuatan besar di dunia, maka kehidupan manusia telah berubah. Akan tetapi, aku tetap menjaga diri agar tidak sampai keluar dari batas-batas yang wajar. Pakaian yang kukenakan sekarang adalah pakaian yang biasa dikenakan pada zaman sekarang ini.” Maksudnya, tidak ada pakaian tertentu yang mempunyai dasar dalam Islam. Islam tidak mewajibkan umatnya untuk mengenakan pakaian tertentu. Bahkan, dalam Islam, ada suatu ajaran yang memerintahkan umatnya untuk mengenakan pakaian yang sesuai dengan masa dan keadaan seseorang tinggal.

Ajaran ini bersifat tetap dan mengubah kewajiban manusia untuk menyesuaikan dengan perubahan zaman. Jika dalam pandangan Islam sesuatu itu merupakan dasar, ia tidak akan mengalami perubahan. Bila Islam tidak memberikan tanda tangan yang menetapkan bahwa suatu pakaian harus dikenakan, pakaian itu hanyalah aplikasi dari sesuatu yang telah ditandatangani Islam.

Dengan demikian, di sini, zaman mengubah kewajiban seseorang.

Sekiranya tidak demikian, dan setiap masalah bersifat parsial (juz'î), maka mustahil Imam Ali bin Abî Thâlib beramal dengan suatu cara dan Imam lainnya beramal dengan cara lain. Beribadah kepada Allah merupakan dasar. Demikian juga halnya dengan sikap takut kepada Allah dan sikap ikut peduli dengan penderitaan orang-orang miskin.

Perbuatan yang dilakukan Imam Alî bin Abî Thâlib juga dilakukan oleh Imam Alî Zainal Abidin. Imam Alî bin Abî Thâlib sibuk melakukan ibadah sejak malam hingga waktu subuh. Pada sebagian malam, beliau melakukan salat sebanyak seribu rakaat. Hal serupa dilakukan oleh Imam Alî Zainal Abidin. Imam Alî bin Abî Thâlib senantiasa mengunjungi orang-orang miskin di malam hari. Hal serupa juga dilakukan oleh Imam Alî Zainal ‘Abidin dan Imam Alî ar-Ridhâ. Para Imam sangat memerhatikan kehidupan orang-orang miskin. Tentang cara seseorang harus berpakaian, yang demikian itu berkaitan dengan masalah zaman.

Mu'attib, yang mempunyai dapur menghadap rumah Imam Ja'far ash-Shâdiq, berkata, “Suatu malam, aku melihat seseorang keluar dari rumah Imam. Setelah aku lihat, ternyata orang yang keluar itu adalah Imam Jaʼfar ash-Shâdiq. Aku tidak memperkenalkan diriku kepada beliau, karena aku tidak mendapat izin. Namun aku berkata dalam hati bahwa aku akan mengikutinya secara diam-diam, karena

p: 182

mungkin ada musuh yang hendak mencelakakannya. Demikianlah akhirnya aku mengikuti beliau. Aku melihat ada beban di pundaknya.

Ketika beban di pundaknya itu jatuh, Imam mengucapkan zikir. Ketika itu, aku datang menemuinya dan mengucapkan salam kepadanya.

Imam Ja'far ash-Shâdiq bertanya, “Apa yang sedang engkau lakukan di sini?” Aku menjawab, “Aku melihat Anda keluar dari rumah dan aku tidak ingin membiarkan Anda sendirian.” Setelah itu, aku mengumpulkan barang yang tadi jatuh dari pundaknya. Barang itu adalah makanan yang diletakkan dalam kantong. Aku berkata, “Biarkan aku yang menggantikan diri Anda untuk mengangkat barang-barang ini, wahai junjunganku.” Imam Ja'far berkata, “Apakah engkau sanggup membawa bebanku pada hari Kiamat kelak?” Kemudian kami berdua melanjutkan perjalanan hingga sampai ke sebuah rumah di daerah Dzil Bani Sa'idah. Tampak bahwa penghuni rumah itu adalah orang-orang miskin. Aku melihat Imam Ja'far membagi-bagikan roti kepada mereka.

ertanya kepada beliau, “Apakah mereka itu orang-orang Syi'ah?" Beliau menjawab, “Bukan.” Aku berkata kepada beliau, “Mereka bukan orang-orang Syi'ah. Tetapi Anda demikian memerhatikan mereka.” Beliau menjawab, “Sekiranya mereka itu orang-orang Syi'ah, saya juga akan membawakan garam bagi mereka.” Masalah kepedulian pada nasib orang-orang miskin bukan hanya khusus bagi zaman Imam Ja'far ash-Shâdiq dan Imam Alî bin Abî Thâlib. Sikap kepedulian seperti ini berlaku pada setiap zaman.

Mengapa Imam Hasan mengambil jalan untuk berdamai, sementara Imam Husain tidak mau berdamai? Bahkan, di sini, mengapa kita mempertanyakan masalah ini hanya terbatas pada kedua Imam ini saja? Marilah kita melangkah lebih jauh. Mengapa Imam Alî bin Abî Thâlib tidak bangkit memberontak sewaktu masa kekhalifahan ‘Umar? Mengapa beliau tidak memberontak pada masa kekhalifahan ‘Utsmân? Akan tetapi, ketika orang berbondong-bondong datang dan membaiat beliau, beliau langsung bangkit dengan kokohnya. Padahal, dalam keyakinan Imam Alî, Mu'âwiyah adalah perampas kekhilafahan.

Mengapa demikian? Karena dalam Islam ada prinsip lain, yakni prinsip demi menjaga dan memelihara kesucian Islam. Prinsip ini lebih didahulukan daripada yang lain. Ketika Islam mengatakan bahwa Imam Alî bin Abî Thâlib adalah khalifah, apakah hal itu dimaksudkan untuk

p: 183

melemahkan atau justru menguuatkan Islam? Jelaslah bahwa Islam mengatakan demikian dengan maksud memperkuat Islam. Sekiranya umat manusia, ketika itu, menerima wasiat Rasulullah Saw dan para sahabat melakukan itu serta berbaiat kepada Imam Ali bin Abî Thâlib, dan kemudi’an beliau menjadi khalifah dengan persyaratan-persyaratan itu, maka keinginan Rasulullah Saw terlaksana. Rasulullah Saw telah mengangkat Imam Alî untuk kursi kekhalifahan. Namun, sangat disayangkan bahwa peristiwa yang terjadi sepeninggalan beliau justru sebaliknya. Para sahabat telah berusaha mendapatkan keuntun- gankeuntungan dari masalah ini. Pada masa itu, manusia baru masuk Islam, dan Islam belum masuk ke dalam segenap mereka. Di luar Jazirah Arab, nama Islam masih sangat baru. Kepentingan Islam menuntut keadaan yang benar-benar stabil. Maka langkah pertama yang wajib dilakukan adalah memerangi orang-orang yang kembali murtad.

Kedua, mereka yang datang dari tempat jauh tidak mampu memahami masalah ini. Mereka beranggapan bahwa Abû Bakar dan Alî bin Abî Thâlib berada dalam posisi sederajat. Kepentingan Islam menuntut demikian, walaupun harus jatuh pada sebuah kesalahan. Orang yang memiliki hak kekhalifahan harus memandang dengan hati penuh luka.

Mereka diam bukan karena menjaga keselamatan dirinya, melainkan karena pertimbangan kemaslahatan kaum Muslim. Kepentingan Islam menuntut Imam Alî sebagai seorang yang mempunyai hak agar ikut mengerjakan salat di belakang Abû Bakar. Hal serupa beliau lakukan pada masa kekhalifahan 'Umar. Beliau menjawab semua pertanyaan dan masalah yang dilontarkan umat pada waktu itu. Dalam keyakinan Imam Alî bin Abî Thâlib, prinsip yang terpenting ialah menjaga kemuliaan Islam. Karena itu, terlukanya hati beliau jauh lebih utama demi menjaga dan memelihara kehormatan Islam atau sekurang-kur- angnya, perbuatan yang beliau lakukan itu lebih sedikit bahayanya bagi Islam.

Akan tetapi, masalah terus bergulir dan kondisi-kondisi zaman telah berubah. Akhirnya, Islam telah mendunia. Begitu juga, pribadi Mu'awiyah tidaklah seperti pribadi Abû Bakar dan 'Umar. Mu'awiyah dan Abû Sufyân telah memerangi Islam selama bertahun-tahun.

Dengan demikian, masalahnya jadi berbeda. Di sini, Imam Alî bin

p: 184

Abî Thâlib memerangi Mu'awiyah. Kemudian datang masa Imam Hasan. Pada masa Imam Hasan, banyak peristiwa yang terjadi waktu itu, berbagai kelemahan menyelimuti sahabat-sahabat beliau.

Seandainya Imam Hasan bangkit menentang Mu'âwiyah, maka beliau akan terbunuh, tetapi bukan dengan cara mulia sebagaimana terjadi pada Imam Husain. Dersama tujuh puluh pengiringnya, Imam Husain mati syahid dengan cara mulia dan dalam kondisi khusus.

Kesyahidannya telah mengairi Islam selama 1400 tahun. Pada zaman Imam Hasan, orang-orang Syi'ah sudah merasa lelah dan tidak berdaya. Sekiranya Imam Hasan tetap memaksakan diri bangkit guna melanjutkan perlawanannya pada Mu'âwiyah, maka suatu saat akan terdengar kabar bahwa mereka menyerahkan Imam Hasan ke- pada Mu'êwiyah. Masyarakat belum tahu betul siapa Mu'âwiyah dan Bani Umayyah. Mu'âwiyah telah berkuasa selama dua puluh tiga tahun. Setelah Mughirah bin Syu'bah dan Ziyad melakukan kerusakan lan membunuh orang-orang, baru masyarakat sadar akan kesalahan mereka. Mengapa mereka tidak menyambut seruan Imam Alî bin Abî Thâlib pada masanya? Mereka telah melakukan kesalahan besar karena telah menyerahkan Imam Hasan kepada Mu'âwiyah. Karena itu, sesudah terjadinya peristiwa Karbala, sekelompok masyarakat yang menamakan dirinya dengan kelompok Tawwâbun bangkit. Pemimpin mereka adalah Mukhtar. Kesadaran masyarakat dan pengetahuan mereka akan hakikat pemerintahan Bani Umayyah adalah salah satu faktor pendukung bangkitnya Imam Husain. Selain itu, kondisi Yazîd berbeda dari kondisi Mu'êwiyah. Dalam seluruh perbuatannya, Mu'âwiyah mengenakan jubah kemunafikan, sementara Yazîd mengenakan jubah kekufuran.

Mu'âwiyah senantiasa menyembunyikan perbuatan buruknya. Ia menjaga penampilan lahiriahnya. Ia tidak minum khamr di depan umum. Ia juga tidak bermain-main dengan anjing. Sementara itu, Yazîd adalah seorang pemuda gila yang tidak menutupi semua perbuatan kejinya. Menurut anggapan manusia, ia adalah khalifah pengganti Rasulullah. Yazîd banyak minum khamr hingga mabuk. Ia sering mengucapkan kata-kata keji kepada Nabi Saw. Sekiranya tidak terjadi peristiwa Karbala, dan Imam Husain tidak bangkit menentangnya, dan juga sekiranya Yazîd tidak mati, dan ia berkuasa selama dua puluh tahun, maka Islam pasti bakal sirna. Dengan demikian, suasana dan kondisi pada masa Imam Hasan dengan masa Imam Husain sangat

p: 185

jauh berbeda. Program yang telah dilakukan oleh Imam Hasan juga dilakukan oleh Imam Husain dan sebaliknya. Hanya saja, bentuk perbuatan mereka saja yang berbeda, sedangkan roh dalam keduanya tetaplah sama.

p: 186

IJTIHAD DAN MEMPER DALAM AGAMA

Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan tentang agama, dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya (QS 9: 122).

p: 187

p: 188

SALAH seorang pemikir dunia Islam yang hidup pada abad terakhir ini adalah Iqbal Lahore. Ia berasal dari negeri India dahulu, yang sekarang bernama Pakistan. Ia tumbuh dan berkembang di bawah bimbingan sebuah keluarga yang taat dalam mengamalkan ajaranajaran Islam. Ia mampu menguasai ilmu-ilmu modern dan juga ilmuilmu tradisional. Namun, satu hal yang pantas mendapat per- hatian adalah bahwa ia punya semangat keislaman yang sangat tinggi dan berkebalikan dengan para mahasiswa Iran yang sangat kagum, dan banyak terpengaruh oleh kebudayaan Barat. Iqbal Lahore telah mencapai derajat keilmuan yang sangat tinggi, terutama di dalam bidang filsafat. Ia telah banyak menulis buku dalam bahasa Inggris, dan karya-karyanya dijadikan pegangan dan sumber rujukan oleh kaum orientalis. Ia senantiasa membela Islam dan mengatakan bahwa hanya Islam sajalah satu-satunya jalan yang bisa menyelamatkan dunia ini.

Padahal, pada waktu yang sama, ia adalah seorang reformis dan tahu banyak tentang pemikiran-pemikiran modern. Ia banyak mengubah syair. Namun, diskusi kita kali sekarang tidak berkaitan dengan hal ini.

Iqbal Lahore berkata, “Ayahku telah mengucapkan sepatah kata yang menjadi pelajaran bagiku. Suatu hari, aku sedang sibuk membaca Al-Quran. Ayah bertanya kepadaku, Apa yang engkau kerjakan?' Kujawab, 'Membaca Al-Quran.' Lalu ayahku berkata, 'Bacalah Al-Quran seolah-olah telah turun kepadamu! Ucapan ayahku ini bagaikan pahatan yang digoreskan di atas batu dan meninggalkan bekas sangat mendalam di dalam hatiku. Sejak saat itu, aku tidak pernah melewatkan satu ayat Al-Quran pun. Aku selalu merenungkan dan mendalami makna dan arti yang terkandung dalam ayat-ayat Al-Quran.”

p: 189

Iqbal pernah mengucapkan sepatah kata yang saya kira sesuai untuk saya ucapkan di sini. Ucapannya itu berkenaan dengan masa- lah ijtihad. Ia mengatakan, “Ijtihad adalah kekuatan penggerak bagi Islam.” Anda menyaksikan bagaimana sebuah mobil bisa bergerak.

Tanpa ada kekuatan penggerak, mustahil mobil itu bisa bergerak. Kita juga menjumpai sebuah ucapan Abû Alî Sînâ dalam kitabnya, asy- Syifa' dalam pokok bahasan tentang dasar-dasar kemasyarakatan dan keluarga. Abû Alî Sînâ mengatakan, “Kebutuhan-kebutuhan yang muncul dalam kehidupan manusia tidak akan pernah berakhir. Dasar- dasar Islam bersifat tetap dan tidak berubah. Bahkan, Islam memandang bahwa dasar-dasar ini tidak mungkin diubah. Dasar-dasar ini adalah kumpulan hakikat yang wajib menjadi bagian pondasi kehidupan manusia dalam setiap zaman. Islam punya program konkret. Masa- lahmasalah cabang (furû') tidak terbatas jumlahnya.” Ia juga mengatakan, “Karena itu, ijtihad sangat urgen dan pen- ting. Dalam setiap zaman, harus ada orang-orang spesialis dan benar-benar tahu cara menerapkan dasar-dasar Islam pada berbagai masalah zaman yang senantiasa berubah. Mereka juga harus mengetahui kategori suatu masalah dalam kerangka dasar-dasar Islam.” Kebetulan bahwa ijtihad termasuk salah satu masalah yang telah kehilangan rohnya. Masyarakat mengira bahwa ijtihad atau tugas seorang mujtahid adalah meneliti dan mempelajari masalah-masalah yang memiliki hukum yang sama dalam setiap zaman. Umpamanya, apakah seseorang yang hendak bertayamum cukup melakukannya dengan sekali tepukan ataukah wajib dua kali tepukan di atas tanah? Pendapat yang kuat mengatakan bahwa sekali tepukan sudah cukup, sementara sebagian lainnya berpendapat bahwa wajib melakukan dengan dua kali tepukan. Dan juga dalam masalah-masalah lain yang serupa dengan itu. Sementara itu, masalah-masalah seperti ini tidak punya arti sangat penting bila dibandingkan dengan penerapan dasar- dasar yang sesuai pada berbagai masalah baru. Karena itulah, Abû Alî Sînâ memandang bahwa ijtihad sangat penting artinya. Ia mengatakan, “Atas dasar ini, ijtihad harus terus ada sepanjang masa.” Pemikiran seperti ini bertentangan dengan pandangan kelompok Ahlus-Sunnah. Waktu itu, kalangan Ahlus-Sunnah membatasi hak ijtihad pada beberapa gelintir orang saja. Pandangan Ahlus-Sunnah ini

p: 190

berbeda dari pandangan Syi'ah. Kalangan Syi'ah mengatakan bahwa ijtihad adalah sebuah pintu yang harus tetap terbuka dalam setiap zaman. Dalam pandangan Syi'ah, Abû Hanifah, Malik bin Anas, Syâfı’î, dan Ahmad bin Hanbal, adalah empat orang mujtahid yang punya kemungkinan untuk salah dalam melakukan ijtihad mereka.

Di dalam Al-Quran, ada sebuah ayat yang berbunyi demikian:

Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang beriman untuk pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan agama ....

(QS 9: 122).

Ada pembahasan tentang penafsiran ayat ini. Mengapa ayat Al- Quran menyebutkan kata yatafaqqahûn (memahami hukum)? Ketika menyebutkan kata yatafaqqahûn, maksud yang diinginkan oleh ayat itu adalah masalah ijtihad. Ayat ini menyebutkan masalah ijtihad dengan ungkapan demikian. Al-Quran menyebut ijtihad sebagai upaya untuk memahami hukum-hukum agama karena ilmu mempunyai pengertian luas. Secara umum, kata tafaqquh tidak digunakan di setiap tempat.

Kata ini digunakan di beberapa tempat yang mengacu pada manusia yang punya kedalaman ilmu. Dengan kata lain, ilmu yang sederhana disebut ilmu, tetapi tidak disebut tafaqquh. Raghib al-Ishfahani mengatakan, “Tafaqquh bermakna menggunakan ilmu lahiriah untuk bisa menggapai ilmu batiniah. Makna tafaqquh dalam agama ialah mengetahui dan memahami agama bukan dengan pengetahuan yang dangkal atau sederhana. Agama punya raga dan roh. Dalam tafaqquh, manusia tidak hanya cukup mengetahui raga agama saja." Terkadang kita menemukan beberapa hadis dengan kandungan sebagai berikut, “Tidak tersisa dari Al-Quran kecuali hanya pelajaran lahiriah saja, dan tidak tersisa dari Islam kecuali hanya tulisannya saja." Ketika Imam Alî bin Abî Thâlib membahas masalah Bani Umayyah, beliau mengatakan, “Perumpamaan Islam pada waktu ini adalah seperti.

wadah berisi cairan. Setelah itu, mereka membalikkan wadah itu dan menumpahkan semua isinya sehingga menjadi kosong.” Sebagian dari hukum-hukum agama punya bentuk seperti wadah, dan sebagian lainnya punya bentuk seperti air. Wadah memang penting. Namun pentingnya wadah itu dikarenakan ada air di dalamnya. Jika ada wadah, maka air tidak akan tumpah. Jika tidak ada air dan hanya ada wadah saja,

p: 191

wadah itu seolah-olah tidak ada. Melalui ucapannya ini, Imam Alî ingin mengatakan bahwa Bani Umayyah telah mengosongkan Islam.

Mereka telah menghilangkan semua isi ajaran Islam, dan mereka hanya meninggalkan kulitnya saja bagi masyarakat. Ungkapan lainnya ialah, “Mereka mengenakan pakaian Islam untuk maksud jahat. Dengan cara ini, mereka menguliti Islam dari karakteristiknya, dan itu juga menyebabkan Islam sebagai bahan olok-olokan.” Hal ini memberikan pemahaman kepada kita bahwa me- ngenakan pakaian Islam itu bisa dilakukan dengan dua cara, yaitu:

pertama, mengenakannya tanpa muatan dan karakteristik Islam dan, kedua, mengenakan pakaian Islam dengan mengandung arti.

Salah seorang sahabat menukil kisah berikut ini. Katanya, “Suatu hari, aku ditimpa kesulitan besar untuk menunaikan suatu urusan kecil yang tidak merepotkan. Akan tetapi, urusan itu sangat pen- ting artinya bagiku. Aku mendatangi salah seorang sahabat. Ia berkata kepadaku, 'Engkau harus menunaikan salat berjamaah?” Mungkin orang mengatakan bahwa Islam telah memerintahkan umatnya untuk mengerjakan salat berjamaah secara berulang-ulang. Perintah ini menghilangkan nilai kebutuhan seorang Muslim. Perintah ini sa- lah. Adakah bedanya antara kita mengerjakan salat secara berjamaah dengan kita mengerjakan salat secara sendirian? Jawabannya ialah bahwa Islam memerintahkan umatnya untuk mengerjakan salat secara berjamaah agar kaum Muslim - dengan perantaraan salat ber- jamaah, mampu mencapai suasana kerohanian dan spiritualitas yang tinggi dan agar sebagian mereka menaruh perhatian pada or- ang lain. Jika Anda mengerjakan salat secara berjamaah, maka Anda akan beroleh ganjaran sangat besar. Rasa kasih sayang di antara Anda sekalian akan semakin bertambah. Sebagian di antara Anda berusaha memenuhi kebutuhan yang lainnya. Salat berjamaah adalah kulit yang di dalamnya tersembunyi sebuah inti. Inti itu adalah kasih sayang sosial dan kepedulian pada nasib dan keadaan orang lain.

Ini menunjukkan bahwa Islam punya kulit dan isi, punya sisi lahiriah dan batiniah. Karena itu, tafaqquh adalah wajib. Tafaqquh bermakna bahwa manusia berusaha memperoleh inti. Ijtihad adalah kekuatan penggerak bagi Islam. Ijtihad adalah sesuatu yang sangat penting pada setiap zaman dan waktu. Roh Islam adalah roh yang

p: 192

tetap tidak berubah pada setiap zaman. Hal ini tak ubahnya seperti jasad manusia yang senantiasa berubah tetapi rohnya selalu tetap dan tidak berubah. Perkataan ini tidak akan menimbulkan suatu anggapan bahwa tuntutan-tuntutan zaman bertentangan dengan hukum Islam.

Saya akan menyebutkan satu contoh di sini. Al-Quran mengatakan:

Dan siapkanlah olehmu untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang engkau sanggupi, dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang, yang dengan itu kamu dapat menggetarkan musuh-musuh Allah Swt, musuh-musuhmu, dan orang-orang selain mereka yang engkau tidak mengetahuinya (QS 8: 60). Ayat ini menolak anggapan di atas dengan tegas dan sempurna. Agama Islam memiliki kekuatan.

Ini juga diakui oleh orang lain. Will Durant mengatakan, "Tidak ada agama yang menyeru kepada kekuatan sebagaimana dilakukan Islam.” Islam mengatakan, “Jadilah engkau orang-orang kuat dan mulia. Islam tidak suka kelemahan dan orang-orang lemah. Islam memerintahkan umatnya untuk menyiapkan diri dengan apa yang mereka mampu dalam menghadapi musuh-musuh mereka. Tujuannya adalah agar engkau menjadi kuat dari sisi materi sehingga membuat takut musuhmusuhmu.” Sekarang Anda mengetahui rasa takut sebagaimana yang telah diciptakan negara-negara besar dalam hati-hati manusia! Al-Quran mengatakan bahwa kaum Muslim wajib mempunyai kekuatan yang bisa membuat takut orang-orang di luar Islam sehingga tidak terlintas sedikit pun dalam benak mereka untuk memerangi kaum Muslim.

Sekelompok orang menginginkan kekuatan dan kekuasaan untuk menyerang sebagian lain. Sementara itu, sebagian lainnya lagi mengin- ginkan kekuatan dan kekuasaan untuk menghadapi serangan dan agresi pihak lain. Al-Quran selamanya tidak memerintahkan kaum muslim menyusun kekuatan untuk melakukan agresi. Sebab, Al-Quran mengatakan: Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil (QS 5:8).

Namun demikian, Islam tidak akan membiarkan orang lain me- lakukan agresi. Inilah salah satu perintah. Ketika kita menelaah Sunnah Nabi, kita akan mendapatkan serangkaian adab dan kebiasaan yang berlaku di zaman Nabi Saw. Dalam fiqih, telah disebutkan ihwal ini di bawah judul “Perlombaan dan Memanah”. Di dalam Islam dianjurkan

p: 193

untuk melakukan perlombaan dan kemampuan memanah. Yang dimaksud dengan perlombaan di sini adalah pacuan kuda. Sementara itu, yang dimaksudkan dengan memanah ialah menembak dengan anak panah atau dengan api. Islam telah mengharamkan segala bentuk pengambilan keuntungan maupun kerugian, kecuali dalam perlombaan pacuan kuda dan memanah. Ini merupakan bagian dari musallamât fiqih kita. Tradisi dan kebiasaan demikian ada dalam agama kita. Terkadang kita bersikap jumud dan mengatakan bahwa ayat yang mengatakan:

Persiapkanlah olehmu segala kekuatan-kekuatan yang kamu mampu adalah sebuah perintah. Dan perintah untuk melakukan perlombaan berkuda adalah sebuah perintah lain. Artinya, bila Nabi Muhammad memerintahkan untuk belajar memanah dan menunggang kuda, maka Anda juga harus mengajarkan kedua hal itu kepada anak-anak Anda.

Ini adalah kesenangan yang dimiliki Rasulullah, yakni memanah dan menunggang kuda. Dengan demikian, masalah ini harus tetap ada di tengah-tengah kita dan dalam bentuk demikian. Tidak, tidak demikian masalahnya. Ketika memerintahkan: Persiapkanlah olehmu segala kekuatan yang kamu mampu, Islam menyuroh agar umat Islam tetap berada dalam kondisi kemampuan dan kekuatan tinggi pada setiap zaman. Ayat ini bukan berarti bahwa memanah dan menunggang kuda merupakan dua hal pokok, melainkan aplikasi dari perintah dalam ayat di atas. Dengan kata lain, perintah tetap seperti tersebut dalam ayat itu. Sementara itu, menunggang kuda dan memanah adalah realisasi lapangan dari perintah tersebut. Islam tidak mengatakan bahwa menunggang kuda dan memanah adalah pokok perintah. Islam mengatakan bahwa pokok perintah ialah agar kaum Muslim tetap dalam keadaan memiliki kekuatan dan kesiapan. Kita tidak ingin mengatakan bahwa masalah menunggang kuda dan memanah itu bukan pokok perintah karena berasal dari Nabi Saw. Kita tidak ingin memisahkan perintah Allah dari perintah Nabi Saw. Masalah yang penting adalah:

perintah yang diinginkan oleh Islam dari suatu perintah praktis dan perintah praktis apa yang diinginkan oleh Islam dari suatu perintah? Ini adalah masalah yang berkaitan dengan tafaqquh dalam agama agar manusia bisa mengetahui maksud dan tujuan suatu perintah.

Ada contoh lain dalam kitab Nahj al-Balâghah. Dituturkan bah- wa seseorang datang kepada Imam Alî bin Abî Thâlib dan memprotes

p: 194

beliau, “Mengapa Anda tidak mengecat jenggot Anda? Tidakkah Anda mendengar bahwa Rasulullah Saw berkata, 'Catlah rambutmu yang sudah memutih!" Ia bertanya ihwal mengapa Imam Alî tidak berbuat demiki- an. Imam Alî menjawab, “Perintah ini tidaklah bersifat pokok pada es- ensinya. Perintah ini dikeluarkan untuk tujuan tertentu di zaman Ra- sulullah Saw, tetapi tidak ada di zaman sekarang. Maksud dan tujuan dari perintah itu adalah bahwa ketika itu jumlah kaum muslim sedikit, sementara dalam barisan pasukan kaum muslim ada banyak orang yang sudah lanjut usia dan jenggot mereka telah memutih semuanya.

Ketika itu, pihak musuh melihat pasukan kaum muslim dari kejauhan bahwa beberapa orang dari pasukan kaum muslim adalah orang-orang yang sudah lanjut usia, dan itu tampak dari jenggot-jenggot mereka yang sudah memutih. Dengan demikian, mental musuh bertambah kuat. Sementara itu, kekuatan mental punya peranan sangat penting dalam sebuah perang. Rasulullah berpandangan bahwa jika orang- orang lanjut usia ini turun ke medan perang dalam keadaan demikian, maka musuh-ketika melihat kondisi mereka-akan semakin tinggi semangat juangnya. Karena itu, Rasulullah Saw bersabda, “Catlah rambut dan jenggot kalian agar musuh tidak mengetahui usiamu yang telah lanjut." Perintah ini diberikan karena kebutuhan di masa itu. Sement- ara itu, kondisi demi kian tidak ada pada zaman sekarang. Oleh sebab itu, setiap orang bebas melakukan apa yang dikehendaki dalam masa- lah ini.

Dalam contoh di atas terdapat roh dan roh ini harus tetap ada dalam setiap zaman. Roh itu adalah bahwa kita tidak boleh melakukan suatu perbuatan yang akan memperkuat mental musuh, baik di dalam maupun di luar perang. Karena itu, kita harus menghilangkan berbagai kelemahan dan kekurangan kita. Kita jangan melakukan perbuatan- perbuatan yang mendatangkan kesan bahwa kita adalah kaum yang lemah dan tidak berdaya. Inilah prinsip yang tetap dan tak berubah.

Kaum Muslim di zaman Rasulullah Saw melaksanakannya di lapangan dengan cara mencat rambut dan jenggot mereka. Namun, bentuk pelaksanaan demikian tidak bersifat tetap dalam setiap zaman. Inilah makna tafaqquh dalam agama dan makna punya penglihatan dalam masalah agama.

Salah satu kelebihan yang dimiliki Islam adalah menyesuaikan masalah dengan kebutuhan-kebutuhan zaman. Islam telah mengaitkan

p: 195

berbagai kebutuhan yang selalu berubah dengan berbagai kebutuhan yang bersifat tetap. Ada relevansi masalah ini dengan seorang mujtahid yang mendalami agama. Artinya, mereka bertugas menemukan benang merah yang menghubungkan kedua jenis kebutuhan itu. Pada pundak mereka terletak kewajiban menjelaskan hukum Islam. Inilah kekuatan penggerak dalam Islam.

Salah satu bentuk sikap jumud yang ditunjukkan oleh kaum Akhbârî ialah bahwa mereka meletakkan ujung sorban dan mengikatnya di bawah leher. Kita pun menjumpai perintah demikian. Almarhum al- Faidh al-Kâsyânî, selain seorang yang cenderung pada metode Akhbârî, adalah juga seorang setengah filsuf. Masalah ini telah memberikan cahaya khusus kepadanya. Kata iqti'âth (yakni, mengikat ujung sorban pada bagian atas kepala-penerj.) adalah lawan kata dari tabattuk (yakni, meletakkan dan mengikat ujung sorban di bawah leher-penerj.). Di sini almarhum al-Faidh al-Kâsyânî sampai pada roh dan jasad, pada kulit dan inti masalah. Almarhum al-Faidh al-Kâsyânî mengatakan bahwa, pada zaman itu, salah satu syiar musuh dan orang-orang musyrik ialah nengikatkan ujung sorban mereka di atas kepala mereka. Kemudian tidak ada seorang pun dari kaum muslim yang melakukan hal seperti itu. Kaum muslim justru melakukan hal sebaliknya dengan mengikat ujung sorban mereka di bawah leher. Satu hal penting yang bisa diambil dari peristiwa ini adalah bahwa kaum Muslim tidak boleh menggunakan syiar orang lain. Masalah ini berlaku ketika kaum Musyrik menjadikan hal itu sebagai syiar mereka. Akan tetapi, pada masa sekarang ini, ketika tidak ada lagi kaum Musyrik yang punya syiar demikian, maka mengikat ujung sorban di bawah leher juga sudah kehilangan artinya.

Apakah ini berarti bahwa melalui perkataannya itu—almarhum al- Faidh al-Kâsyânî telah menghapus suatu hukum Islam? Sama sekali tidak. Namun, yang dimaksudkan ialah memahami inti permasalahan.

Hal ini berarti bahwa almarhum al-Faidh al-Kâsyânî telah memahami makna ijtihad dengan baik sebagaimana dikatakan oleh Iqbal Lahore.

Menurut Iqbal, ijtihad adalah kekuatan penggerak Islam. Ini juga seperti pernyataan Abû Alî Sînâ bahwa ijtihad adalah sesuatu yang sangat penting di setiap zaman. Artinya, seorang mujtahid harus memahami masalah dengan baik dan bisa memisahkan isi dari kulitnya.

p: 196

Contoh lainnya adalah sebagai berikut. Jika seseorang bertanya, “Apakah topi laken itu haram atau tidak? Apakah jas dan celana panjang itu haram atau tidak?” Maka kita akan menjawab, “Dahulu di zaman tertentu, semuanya itu hukumnya haram, dan di zaman sekarang tidak haram. Sebab, ketika itu, topi laken hanya khusus dipakai oleh orang- orang asing. Tradisi yang ada pada waktu itu ialah bahwa orang yang mengenakan topi tersebut di tempat-tempat tertentu adalah orang Kristen. Demikian juga, pakaian berupa celana panjang dan jas punya kesan dan arti demikian. Pada masa ketika topi laken itu menjadi simbol dan syiar mereka, jika ada seorang Muslim mengenakannya, maka ia telah melakukan perbuatan haram. Akan tetapi, setelah topi jenis ini sudah menjadi suatu hal yang biasa di seluruh dunia, dan bukan lagi merupakan simbol khusus bagi orang-orang Kristen, dan juga pakaian tersebut telah dikenakan oleh semua orang dari berbagai agama, maka hukum haram yang ada pada topi itu kini telah tercabut.

Dengan demikian, mengenakan topi atau pakaian itu bukan lagi suatu perbuatan haram. Di sini, tidak diperlukan kedatangan seorang Nabi baru dan juga hukum Islam tidak akan terbagi menjadi dua bagian.

Dalam pandangan saya, salah satu mukjizat yang dimiliki ajaran Islam ialah masalah ijtihad. Makna ijtihad bukan berarti bahwa seseorang duduk dan kemudian berbicara semaunya. Islam punya berbagai sisi yang sebagian telah saya sebutkan. Islam punya karakteristik berikut peraturan-peraturannya yang tidak bertentangan dengan rohnya. Islam bisa bergerak sendiri. Bukan kita yang menggerakkannya. Islam sendiri punya serangkaian undang-undang yang bisa berubah dan bersifat tidak tetap. Akan tetapi, karena undang-undang yang bisa berubah- ubah itu dikaitkan dengan undang-undang yang bersifat tetap dan tidak berubah, maka kebebasan sama sekali tidak akan terlepas dari tangannya. Sebab, nikmat terbesar dari tafaqquh dalam bidang agama menyebabkan manusia bisa melihat masalah dengan jelas.

p: 197

p: 198

KAIDAH KESESUAIAN (MULAZAMAH)

Mengapa tidak pergi dan tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama, dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya (QS 9:122).

p: 199

p: 200

PADA bagian sebelumnya, kita telah menyebutkan bahwa salah satu hukum yang ada dalam ajaran Islam yang suci ialah hukum tafaqquh.

Hukum tafaqquh ialah mengetahui ajaran Islam secara mendalam, bukan dengan pengetahuan dangkal dan hanya sebatas permukaan saja. Hukum tafaqquh telah memberikan pemahaman kepada kita bahwa Islam mempunyai suatu karakteristik yang hanya akan menjadi jelas dengan perantaraan hukum tafaqquh. Karakteristik yang dimiliki ajaran Islam itu ialah bahwa hukum-hukum Islam punya dimensi lahir dan dimensi batin. Jelas di sini jangan sampai ada kesalahan. Kita mengatakan bahwa ada dimensi lahir dan dimensi batin dalam hukum-hukum Islam, yakni hingga batas-batas yang telah saya sebutkan pada bagian sebelumnya dan juga pada bagian sekarang ini. Saya akan menyebutkan sebuah contoh lain yang menunjukkan bahwa Islam menerima tafaqquh dan ijtihad. Bisa diterapkannya kemampuan dan kemungkinan ijtihad dan tafaqquh dalam Islam adalah suatu cabang yang menunjukkan kedalaman yang dimiliki hukum-hukum Islam serta juga membuktikan bahwa, dalam hukum-hukum Islam, ada beberapa masalah tersembunyi yang hanya bisa diketahui melalui proses tafaqquh dan ijtihad. Salah satu masalah yang senantiasa menjadi pokok bahasan kaum Muslim sejak masa awal Islam adalah tidak ada hukum dalam Islam yang hanya bersifat ta'abbudî, yakni benar-benar kosong dari hikmah dan hanya bersifat buatan atau tanpa dilandasi hikmah tertentu. Di sini, kita le- bih dahulu menjelaskan maksud dari kata ta'abbud. Makna ta'abbud di sini ialah bahwa kita dilarang menjadi orang yang tidak mengamalkan suatu hukum selama hikmah yang terkandung di dalamnya belum diketahui. Kita harus menjadi orang-orang yartg muta'abbid. Artinya, kita mengamalkan semua hukum yang sudah ditentukan oleh agama, baik sudah kita ketahui hikmahnya maupun belum. Namun, tidak ada

p: 201

yang namanya sikap ta’abbud semata-mata dalam agama. Maksudnya ialah bahwa tidak ada hukum yang kosong dari hikmah. Setiap hukum pasti mempunyai hikmah. Karena itu, di kalangan para ulama, ada dua kaidah yang saling bertentangan dan mereka sebut kaidah kesesuaian (mulâzamah). Mereka, para ulama, mengatakan bahwa selalu ada kesesuaian (mulâzamah) antara hukum akal dan hukum syariat. Ini berarti bahwa segala sesuatu yang dihukumi penting oleh akal pasti ju dihukumi demikian oleh agama dan sebaliknya. Dengan kaidah ini, jika akal menyingkap adanya suatu maslahat tertentu dalam suatu masalah (penyingkapan ini bersifat pasti dan yakin, dan bukan penyingkapan yang hanya berupa dugaan dan perkiraan), maka dalam hal ini kita wajib menetapkan bahwa Islam pun menetapkan hukum yang sama dengan hukum yang ditetapkan oleh akal, meskipun hukum itu belum sampai kepada kita. Dalam beberapa masalah, para ulama fiqih mengeluarkan fatwa tanpa dalil atau argumentasi syariat. Mereka memberikan fatwa hanya dari sudut pandang bahwa akal menghukumi demikian, Umpamanya saja, dalam ilmu fiqih, ada sebuah pokok bahasan yang dikenal dengan sebutan wilâyah al-hâkim (kekuasaan seorang hakim- penerj.), yang berarti bahwa seorang hakim agama (hâkim syar'î) punya hak dan kekuasaan (wilâyah) dalam banyak masalah. Ketika seseorang meninggal dan tidak meninggalkan wasiat, sedangkan tidak ada hukum syariat yang berbicara tentangnya, lantas apa tugas dan kewajiban anak- anaknya? Para ulama mengatakan bahwa seorang hakim agama (hâkim syar'î) mestilah menentukan tugas dan kewajiban atas anak-anak itu manakala tidak ada satu ayat Al-Quran atas hadis pun berbicara tentang hal ini. Sebab, Islam adalah agama yang tidak akan membiarkan suatu kemaslahatan manusia tanpa ada taklif atau kewajiban. Hukum apa saja yang ditetapkan oleh akal juga ditetapkan demikian oleh Islam. Makna kalimat ini ialah bahwa, dalam setiap tempat atau masalah yang telah ditetapkan hukumnya oleh syariat, akal pun menetapkan hukum sesuai dengan tempat atau masalah itu. Misalnya, jika syâri' (yang menetapkan syariat) mengatakan bahwa hukum daging babi adalah haram, maka akal memahami ihwal mengapa daging babi itu haram hukumnya. Ini bukan berarti bahwa, dalam setiap hukum syariat, ada sebuah sandi. Jika sandi ini diberitahukan pada akal, maka akal pun akan membenarkannya. Inilah yang disebut dengan kaidah kesesuaian (mulâzamah).

p: 202

Atas dasar kaidah ini, para ulama mengatakan bahwa setiap hukum Islam, entah wajib, mustahab, haram, dan makroh, pastilah disebabkan pertimbangan atas suatu maslahat atau untuk menolak suatu bahaya tertentu. Karena itu, hukum-hukum Islam punya karakteristik sangat bijaksana. Islam tidak akan mengatakan sesuatu yang tidak ada artinya.

Ada hubungan sangat erat antara Islam dan akal— suatu hubungan yang tidak dimiliki oleh agama-agama lain. Jika Anda bertanya kepada para ulama agama lain ihwal apakah ada hubungan antara agama dan akal, maka mereka akan menjawab tidak ada. Jadi, sama sekali tidak ada hubungan antara akal dan agama. Agama Kristen mengawali masalah ini dengan trinitas. Jika kita mengatakan kepada mereka bahwa hal itu tidak sesuai dengan akal, maka mereka akan menjawab, “Biar sajalah.” Ketika mereka berbicara tentang keimanan dan sikap ta’abbud, yang mereka maksudkan ialah mengabaikan peranan akal dan menerima agama secara buta. Dalam Islam, tidak ada penerimaan secara buta dan bertentangan dengan akal. Meskipun, tentu saja, ada penerimaan di luar jangkauan akal sebagaimana telah kita sebutkan, pada intinya tetap sesuai dengan akal. Akal mengatakan bahwa, dalam beberapa tempat atau masalah yang tidak Anda pahami, maka Anda harus menerima ucapan lebih besar. Inilah yang telah memberikan sifat kekal pada agama Islam. Sebab, dengan demikian, selalu muncul hukum-hukum yang senantiasa bergerak dalam Islam.

Dalam istilah para ulama fiqih, ada sebuah kaidah yang disebut kaidah al-ahamm (yang lebih penting) dan al-muhimm (yang penting).

Artinya, jika seseorang menghadapi dua hukum agama dan tidak mampu mengamalkan kedua hukum itu secara bersamaan, maka ia wajib memikirkan yang lebih penting dari kedua hukum itu, serta kemudian ia mengorbankan hukum yang lebih sedikit nilai pentingnya demi hukum yang lebih banyak nilai pentingnya. Dalam masalah ini, ada sebuah contoh yang sangat terkenal dan senantiasa dituturkan kepada para pelajar agama. Kisah itu adalah sebagai berikut. Anda mengetahui bahwa di sebidang tanah ada sebuah kolam dan Anda melihat ada seorang anak jatuh ke dalamnya. Sementara itu, tidak ada orang lain yang bisa menolong anak selain Anda sendiri. Di sini, Anda bisa melakukan dua pilihan, yaitu memasuki kawasan tanah itu tanpa ada keridhaan dari pemiliknya dengan maksud menolong anak yang

p: 203

jatuh tenggelam ke dalam kolam atau Anda tetap berdiri dan tidak memasuki kawasan tanah itu hingga akhirnya anak itu mati tenggelam di kolam. Kaidah itu mengatakan bahwa Anda harus membandingkan tingkat kepentingan menjaga kehormatan harta orang lain dengan tingkat kepentingan menyelamatkan nyawa orang lain. Di sini jelas bahwa menolong nyawa orang lain itu lebih penting. Untuk itu, Anda harus mengorbankan sesuatu yang kecil untuk sesuatu yang lebih besar.

Masih ada contoh lain. Seandainya ada seorang wanita yang bukan muhrim mengalami kecelakaan. Misalnya saja, ia tertabrak mobil dan jatuh tersungkur. Wanita itu harus segera dibawa ke rumah sakit. Jika kita menunggu datangnya salah seorang muhrimnya, maka nyawa wanita itu mungkin tidak akan tertolong. Di sisi lain, diharamkan menyentuh badan seorang wanita yang bukan muhrim. Di sini, apa yang harus kita lakukan? Kita akan tetap diam dan menunggu sampai salah seoran muhrim wanita itu datang dan membawanya ke rumah sakit, ataukah kita segera memasukkannya ke dalam mobil dan membawanya ke rumah sakit untuk segera dioperasi? Demikian juga, seorang dokter ahli bedah tentu akan membuka pakaian yang menutupi wanita itu untuk melakukan operasi pada perut wanita yang jelas bukan muhrimnya itu.

Banyak kejadian menceritakan bagaimana seorang wanita hamil sulit melahirkan anak dalam kandungannya, sementara para bidan sudah tidak mampu lagi menanganinya dan menyarankan agar wanita itu segera dibawa pada seorang dokter untuk dioperasi bedah. Apakah dalam keadaan seperti ini kita akan melakukannya? Tentu saja kita akan melakukannya. Tidak mungkin seseorang bersikeras mengatakan bahwa ia tidak akan mengizinkan orang lain menyentuh tubuh istrinya, dan mati itu lebih baik baginya. Apakah sikap sang suami itu benar? Sama sekali tidak benar. Ia harus membiarkan tubuh istrinya disentuh oleh tangan seorang yang bukan muhrim disebabkan pertimbangan darurat. Dalam masalah ini, kita wajib mengetahui ihwal apakah Islam memandang keselamatan nyawa manusia sebagai lebih penting, ataukah masalah disentuhnya tubuh seorang wanita oleh seorang laki- laki yang bukan muhrim itu lebih penting. Jelas bahwa yang pertama lebih penting. Hanya saja, dalam hal ini, saya juga perlu menyebutkan satu hal, yakni seringnya terjadi pembangkangan yang tidak bisa diterima oleh Islam. Misalnya saja, seorang wanita yang hendak melahirkan, tanpa ada sebab dan kesulitan, mengatakan bahwa ia tidak

p: 204

ingin melahirkan pada seorang bidan. Ia ingin melahirkan pada seorang dokter. Saya telah menyebutkan contoh ini dalam pokok bahasan lain yang di dalamnya para wanita menuntut kesamaan dalam semua urusan dengan laki-laki. Akan tetapi, mengapa mereka tidak mau menerima dalam urusan ini? Karena tugas melahirkan anak hanya ada pada wanita dan tidak ada pada seorang laki-laki. Mungkin para wanita mengatakan bahwa penyebab terbelakangnya kaum wanita dalam semua urusan itu disebabkan mereka tidak diberikan kesempatan untuk memainkan peranannya sepanjang sejarah. Mereka, kaum wanita, mengatakan bahwa sekiranya mereka diberi kesempatan untuk memainkan peranannya dalam masalah politik, niscaya Anda akan melihat betapa pesat kemajuan yang telah dicapai oleh kaum wanita. Seandainya dikatakan kepada mereka bahwa pekerjaan yang paling cocok bagi kaum wanita adalah bekerja di pabrik dan merawat orang sakit, maka mereka akan mengatakan, “Tidak, tidak ada perbedaan.” Kita me- ngatakan bahwa salah satu pekerjaan yang ada di dunia ialah pekerjaan melahirkan. Pekerjaan ini, sejak awal, hanya dilakukan oleh kaum wanita. Dengan demikian, pekerjaan melahirkan hanya khusus berhubungan dengan wanita. Inilah yang pertama.

Yang kedua adalah bahwa, di sepanjang sejarah, hanya kaum wanita sajalah yang melakukan pekerjaan itu. Karena itu, mengapa se- orang wanita harus pergi kepada seorang laki-laki untuk melahir kan kandungannya? Sikap wanita ini menjadikan kita paham bahwa laki- laki lebih punya kemampuan dibandingkan wanita. Ini hanyalah kesimpulan yang bisa diperoleh dari sikap dan tindakan yang diambil oleh wanita di atas. Dengan tegas saya katakan bahwa saya tidak bisa menerima bahwa laki-laki lebih memiliki kemampuan dalam urusan melahirkan anak dibandingkan wanita. Namun, yang ingin saya buk- tikan di sini ialah bahwa sikap dan tindakan wanita itu hanya didasari oleh hawa nafsu saja. Tujuan saya menyebutkan contoh itu bukanlah untuk mengatakan bahwa tidak ada perbedaan dalam dua masalah di atas. Kesimpulannya adalah apakah seorang wanita yang hendak melahirkan bisa pergi kepada seorang laki-laki untuk melahirkan ana- knya? Jelas tidak. Bidan yang menangani proses persalinan wanita itu haruslah seorang wanita. Namun, jika proses persalinan itu mengalami kesulitan dan akan membahayakan nyawa wanita itu, maka wanita itu harus dibawa kepada

p: 205

dokter ahli bedah. Salah satu masalah yang banyak dipertanyakan, terutama oleh para mahasiswa dari perguruan tinggi, dan masalah ini telah dijadikan alat untuk menghantam Islam dan mengatakan bahwa Islam tidak sesuai dengan zaman adalah masalah donor bagian-bagian anggota tubuh manusia. Mereka mengatakan bahwa jika seseorang berpegang teguh kepada agamanya dalam masalah ini, maka ia akan tertinggal kereta peradaban. Salah satu ilmu yang berkembang di dunia ini adalah ilmu kedokteran dan salah satu cabang terpenting yang menjadi asas ilmu kedokteran, sejak zaman dahulu, adalah ilmu anatomi tubuh manusia. Seorang mahasiswa fakultas kedokteran harus melakukan pembedahan atas sesosok mayat karena ini merupakan salah satu program studinya. Pembedahan anggota tubuh mayat bisa dijumpai di mana saja di dunia ini. Yang demikian ini dilakukan bukan sebagai tujuan, melainkan sebagai tuntutan ilmu pengetahuan. Sejak zaman dahulu, mereka membedah dan mengadakan penelitian atas tubuh mayat. Terkadang juga, yang demikian itu mereka lakukan pada seorang manusia yang masih hidup dan juga atas binatang. Jelaslah bahwa pembedahan yang dilakukan atas binatang mendatangkan manfaat dan membantu. Akan tetapi, tidak semua binatang punya struktur anatomi tubuh dan sistem yang sama dengan ma nusia. Tidak diragukan lagi, hasil dan manfaat dari pembedahan dan penelitian atas tubuh manusia tidak akan terpenuhi hanya dengan mengadakan pembedahan dan penelitian atas tubuh binatang. Di sisi lain, kita mengetahui bahwa jenazah seorang Mukmin itu terhormat dalam pandangan Islam. Bila seorang Mukmin meninggal, maka tidak ada se- orang pun berhak untuk menelantarkan jenazahnya. Bahkan, di sana, ada beberapa kewajiban yang mesti segera dilakukan, yang merupakan pendahuluan sebelum jenazah itu dimakamkan seperti memandikan, mengafani, dan kemudian memakamkannya. Pertama, jenazah seor- ang Muslim harus dimandikan, lalu dikafani, disalatkan, dan-setelah itu-baru dikuburkan. Kita tidak boleh menunda dalam melaksanakan serangkaian kewajiban itu. Dengan adanya peraturan demikian ini, bagaimana mungkin kita melakukan pembedahan dan penelitian atas anatomi tubuh manusia? Masalah ini tidak begitu penting. Kita mengatakan bahwa kaidah yang telah kita sebutkan sebelumnya bisa diterapkan di sini. Pertama,

p: 206

Islam mengatakan bahwa badan seorang Mukmin itu terhormat.

(Namun, perlu juga diingat bahwa wajib hukumnya menguburkan semua jasad manusia, meskipun jasad seorang kafir. Walaupun tidak wajib memandikannya dan juga melaksanakan kewajiban-kewajiban lain sebelum pemakaman, tetap haram hukumnya membiarkan jenazah seorang kafir tanpa dikuburkan). Anda mengatakan bahwa kemajuan ilmu kedokteran bergantung pada operasi pembedahan anatomi tubuh manusia. Pengetahuan tentang berbagai penyakit berikut cara dan metode penyembuhannya sangat bergantung pada dilakukannya operasi pembedahan atas tubuh. Kita mengatakan bahwa, dalam pandangan Islam, masalah kedokteran termasuk dalam kategori masalah yang hukumnya wajib kifayah sebagaimana juga menguburkan mayat adalah wajib kifayah juga.

Adalah wajib hukumnya di tengah-tengah masyarakat ada sekelompok orang yang memiliki keahlian dalam bidang kedokteran.

Jika penemuan sesuatu yang bisa mengungkap suatu penyakit dan menemukan obat penyembuhnya, berdasarkan proposisi, adalah wajib hukumnya, maka sesuatu itu pun punya hukum wajib juga. Jadi, dalam pandangan Islam, ada dua kewajiban di sini. Seorang mahasiswa Muslim harus mengetahui bahwa ketika ia melakukan pembedahan mayat itu, maka yang demikian itu berarti bahwa ia tengah melakukan kewajiban kifayah. Tujuan ilmu kedokteran ini bisa dilaksanakan dengan melakukan pembedahan atas tubuh seorang non-Muslim. Ada banyak orang asing (orang kafir,penerj.) yang bersedia memberikan tubuhnya setelah mati untuk kepentingan ilmu kedokteran. Dengan demikian, mereka bisa melakukan pembedahan atas tubuh orang non-Muslim. Di sini, sama sekali tidak ada masalah dan pada waktu yang sama kebutuhan ilmu kedokteran bisa dicapai. Jika kemudian ditanyakan lagi bahwa orang-orang kafir tidak bersedia menyerahkan tubuh mereka atau sulit untuk mendapatkannya, maka kita akan mengatakan bahwa, dalam pandangan Islam, apakah kemajuan ilmu kedokteran itu lebih penting, ataukah kehormatan tubuh seorang Mukmin yang lebih penting, maka kita akan menjawab bahwa kemajuan ilmu kedokteran tentu jauh lebih penting. Di sini kita wajib mengorbankan sesuatu yang lebih kecil demi sesuatu yang lebih besar. Jelaslah bahwa di sini ada beberapa rincian kecil yang bisa dianalisis dan dibahas setiap mujtahid. Seorang ulama

p: 207

di zaman sekarang ditanya tentang masalah ini. Kemudian ia menjawab demikian. Tarohlah misalnya jumlah jasad non-Muslim tidak cukup memadai dan yang ada hanyalah jasad kaum Muslim semua. Di sini juga masih ada perbedaan antara jasad kaum Muslim itu. Jika si pemilik jasad itu adalah seorang Muslim taat, maka jasadnya lebih banyak memiliki kehormatan persis sebagaimana keadaannya sewaktu mereka masih hidup. Sebab, kehormatan yang dimiliki oleh setiap Muslim yang masih hidup tidaklah sama. Apakah kehormatan yang dimiliki oleh Ayatullah Burujerdi sama dengan kehormatan yang dimiliki oleh seorang Muslim biasa? Jelas tidak. Tidak menghormati beliau (yakni, Ayatullah Burujerdi-penerj.) sama dengan tidak menghormati seluruh kaum Muslim. Sebab, beliau adalah pemimpin dan simbol kaum Muslim pada masanya. Dengan demikian, sesuatu yang jelas adalah bahwa, di antara kaum Muslim, ada orang yang jasadnya lebih terhorma dibandingkan dengan jasad orang Muslim lainnya. Seandainya ada seribu jasad orang Muslim biasa dan ada satu jasad dari seorang seperti Ayatullah Burujerdi, maka yang wajib dijadikan sebagai alat penelitian adalah seribu jasad orang Muslim biasa itu. Bahkan, di antara jasad orang-orang Muslim biasa, ada perbedaan antara jasad yang ada ke- luarganya dengan jasad yang tidak diketahui siapa keluarganya.

Ini membuktikan bahwa Islam adalah agama yang senantiasa berhait-hati. Islam senantiasa memperhitungkan yang penting dengan yang lebih penting. Islam mengatakan bahwa, ketika diperlukan, korbankanlah sesuatu yang sedikit nilai pentingnya demi sesuatu yang mempunyai nilai pentingnya yang lebih besar. Inilah salah satu hal yang menjadikan Islam sebagai agama yang fleksibel. Bukan kita yang memberikan fleksibilitas ini, melainkan memang sudah demikian Islam tercipta dan datang kepada kita. Jika kita memaksa untuk menjadikannya lunak dan fleksibel, maka kita tidak mempunyai hak untuk itu. Akan tetapi, Islam sendirilah yang membentuk fleksibilitas ini bagi dirinya-suatu bentuk perhitungan yang diberikan Islam sendiri kepada kita—. Selain kaidah al-ahamm dan al-muhimm, juga ada kaidah lain. Ketika kita memerhatikan Islam, kita akan mendapatkan serangkaian hukum-hukum yang jelas dan sampai kepada kita. Islam memberikan hukum-hukum itu dalam berbagai bentuk dan keadaan serta kemudahan sedemikian. Misalnya, Islam mengata kan kepada

p: 208

kita, “Berpuasalah kamu! Berwudhu dan salatlah kamu! Mandilah kamu!” Hukum-hukum ini bersifat wajib dan muakkad. Akan teta Islam mengatakan bahwa sekiranya engkau sakit dan tidak mampu mengerjakan salat sambil berdiri, maka salatlah kamu sambil duduk.

Sekiranya engkau menjawab, “Aku sakit hingga aku tidak mampu mengerjakan salat sambil duduk, sebagaimana yang engkau katakan.” Maka, Islam akan menjawab, “Lakukanlah salat olehmu sambil berbaring, dan salat bagimu hanya mengucapkan zikir. Apabila dokter mengatakan bahwa engkau juga tidak boleh berkata-kata, maka kewajiban yang ada di pundakmu hanyalah melakukan salat dengan isyarat.” Di sini tidak ada lagi tempat untuk alasan dan keberatan. Beberapa tahun lalu, ada seorang ulama tinggal di salah satu tempat suci. Disebabkan penyakit parah yang dideritanya, ia datang ke Teheran. Kemudian matanya dioperasi. Operasi itu berhasil. Akan tetapi, para dokter melarangnya untuk mandi. Orang alim ini tetap bersikeras dan mengatakan bahwa para dokter itu tidak paham. Setelah beberapa waktu, ia kembali ke kota Qum tanpa izin dari dokter. Di sana, ia masuk ke kamar mandi dan kemudian mandi. Akhirnya, jahitannya menjadi basah dan timbullah infeksi. Tak lama kemudian, matanya buta. Apakah orang ini telah menerapkan hukum-hukum syariat atau malah sebaliknya telah menyalahinya? Jelaslah bahwa apa yang telah dilakukannya itu menyimpang dari hukum-hukum Islam. Islam mengatakan kepadamu, “Sekiranya wudhu akan membahayakan dirimu, maka lakukanlah tayammum, dan salatmu malah jadi batal kalau engkau berwudhu.

Jika para dokter mengatakan bahwa puasa itu berbahaya bagi dirimu atau setidaknya dikhawatirkan akan membahayakan dirimu, maka saat itu engkau tidak dapat mengatakan, 'Mengapa demikian? Bagaimana mungkin aku harus berbuka?! Ketahuilah, jika engkau berpuasa, maka puasamu akan batal, dan engkau wajib meng-qadha-nya.” Yang jelas, hukum-hukum Islam mempunyai bentuk-bentuk yang berbeda sehingga manusia sendiri merasa terheran-heran. Ini disebabkan karena kepentingan-kepentingan yang beragam. Perhitungan kaidah al-ahamm dan al-muhimm mengatakan kepada manusia, “Lakukanlah salat qashar dan janganlah engkau berpuasa ketika berada dalam per- jalanan. Al-Quran mengatakan: Barangsiapa di antara kamu sakit atau sedang berada di dalam perjalanan, maka

p: 209

hendaklah ia berpuasa pada hari-hari yang lain sebanyak bilangan hari puasa yang ia tinggalkan (QS 2: 185). Jika ditanyakan ihwal mengapa demikian, maka ayat tersebut juga berbicara tentang sebabnya itu.

Ayatnya berbunyi: Allah menginginkan kemudahan bagimu dan tidak menginginkan kesulitan bagimu (QS 2: 185).

Syariat Islam adalah syariat yang mudah dan toleran. Namun, ke- banyakan manusia tidak menerimanya. Ketika kewajiban puasa masih baru turun pada masa awal Islam, telah terjadi Perang Badar di bulan Ramadhan. Rasulullah Saw berkata kepada para sahabatnya, “Kalian tidak wajib berpuasa karena kalian sedang berada dalam perjalanan." Ketika itu, orang-orang mengatakan, “Bagaimana mungkin kami boleh tidak berpuasa di bulan Ramadhan?” Mereka merasa berat kalau harus berbuka di bulan Ramadhan. Almarhum Syaikh 'Abdul Kanrn di hari- hari terakhir hidupnya tertimpa penyakit dan ketidakberdayaan. Namun, terkadang beliau tetap melaksanakan puasa di bulan Ramadhan. Or- ang-orang berkata kepada beliau, “Yang Anda lakukan ini bertentan- gan dengan fatwa Anda sendiri. Dalam fiqih, Anda mengatakan bahwa sekiranya salah seorang di antara kita merasa khawatir akan tertimpa bahaya, maka ia tidak boleh berpuasa. Bahkan, bagi laki-laki maupun perempuan yang sudah lanjut usia, ada pokok bahasan tentang mereka dalam masalah puasa. Bagi mereka ini, ada kekecualian, walaupun tidak ada kemungkinan bahaya jika mereka berpuasa. Puasa tidak wajib atas mereka kalau puasa itu menyebabkan mereka harus menanggung kesulit- an.” Almarhum Syaikh 'Abdul Karim menjawab, “Memang benar de- mikian dalam fatwaku. Namun, kebiasaan umum orang yang berpuasa tidak akan mengizinkan aku makan ketika waktu puasa. Masalahnya memang demikian. Akan tetapi, hukum Islam bukan itu.” Ini dimaksudkan agar kita memahami bagaimana Islam menye- suaikan dirinya dengan berbagai macam keadaan. Bukan kita yang menyesuaikan Islam dengan keadaan-keadaan yang berbeda itu. Me mang, ada berbagai amal yang kita inginkan sendiri sebagaimana tel- ah kita sebutkan, yakni masalah ucapan hayya ‘alâ khairil ‘amal dalam azan. Kita ingin menghapuskannya dari azan salat, lalu kita meng- gantinya dengan ucapan lain, misalnya, kita mengerjakan salat dalam bahasa Turki. Semua ini adalah kebodohan. Islam telah menetapkan

p: 210

beberapa pertimbangan dalam ajaran-ajarannya yang benar. Kita wajib mendalaminya dalam hal ini. Kita juga wajib membuka penglihatan kita dan memanfaatkan perhitungan-perhitungan yang telah ditetapkan oleh Islam.

p: 211

p: 212

IMAM ALI: SOSOK KEPRIBADIAN ABADI

Demi matahari dan cahayanya di pagi hari Dan bulan apabila mengiringinya (QS 91: 1-2).

p: 213

p: 214

DISKUSI kita dalam bagian-bagian sebelumnya berkaitan dengan masalah hukum-hukum yang tetap dan yang berubah. Kita telah menyebutkan bahwa hukum-hukum dasar dan hukum-hukum fitrah bersifat tetap dan tidak berubah. Selain itu, ada juga serangkai- an hukum yang berkaitan dengan berbagai kondisi dan keadaan, waktu, dan tempat. Hukum-hukum jenis kedua adalah cabang dari hukum-hukum jenis pertama. Hukum-hukum cabang inilah yang bisa berubah-ubah.

Umpamanya saja, kita bisa mengibaratkan seluruh hukum itu seperti sebuah pohon. Pohon itu punya akar, batang pokok, dahan, ranting kecil, dan daun. Akar dan batang pokok adalah dua bagian yang menjadi dasar bagi pohon tersebut dan tegak berdiri selama ber- tahuntahun. Sementara itu, daun-daunnya hanya terkait dengan tahun tertentu saja. Ketika memasuki tahun kedua, daun-daun itu akan gugur. Akar dan batang pokok inilah yang menghasilkan dedaunan setiap tahun. Diskusi ini berhubungan dengan berbagai hukum dan kaidah yang mesti terus kita lanjutkan. Akan tetapi, kali ini, kurang sesuai kiranya jika kita tidak mendiskusikan sosok kepribadian pemimpin orang-orang bertakwa, yakni Imam Alî bin Abî Thâlîb.

Seperti telah kita ketahui, ada dua macam hukum yang berlaku dalam kehidupan manusia, yakni hukum yang bersifat tetap dan hukum yang berubah-ubah. Demikian juga halnya dengan sosok kepribadian manusia. Ada sekelompok orang yang menjadi sosok kepribadian segala zaman. Mereka menerangi segala zaman dengan cahaya. Tak ada satu zaman pun mampu menghapus dan membuat sosok kepribadiannya usang. Namun, selain itu, ada juga orang-orang yang hanya berhubungan dengan suatu zaman dan hanya dilahirkan untuk suatu kurun waktu

p: 215

tertentu. Selama kurun waktu itu masih berjalan, kepribadian itu masih memancarkan sinarnya. Semua orang berbondong-bondong pergi kepadanya. Tidak ada satu kurun waktu pun mampu menandingi kurun waktu yang dialaminya. Namun, ketika keadaan telah berubah, dengan sendirinya orang itu jatuh dan terhapus dari panggung sejarah secara keseluruhan. Manusia pun bersikap dingin kepadanya. Di sini, saya tidak akan memberikan contoh-contoh kepribadian ini. Saya bahwa Anda sendiri mampu menentukan orang-orang yang termasuk kelompok pertama dan orang-orang yang termasuk kelompok kedua.

Terkadang Anda menyaksikan munculnya seorang pribadi yang bersinar dalam bidang tertentu hingga ia menjadi bahan pembicaraan banyak orang. Manusia membicarakan dirinya dan selalu memuji serta menyanjungnya. Seketika itu juga, namanya merambah ke segenap penjuru bumi ini. Akan tetapi, mungkin periode orang ini hanya berlangsung selama 10, 20, atau 50 tahun. Akhirnya, namanya pun tenggelam, usang, dan sirna ditelan masa. Contoh kepribadian seperti ini bisa kita temukan dalam berbagai sosok kepribadian dalam bidang politik. Tiba-tiba saja, ia menjadi seorang yang lapang.

Kepribadian seperti ini juga dapat kita jumpai dalam pribadi-pribadi ilmiah. Manusia mengagungkan dan menyembahnya serta para ilmuwan mengultuskannya. Namun, akhirnya, sosok ke pribadian ini pun jatuh dan hilang ditelan masa.

Dalam bidang ilmu pengetahuan, tidak ada seorang pun sanggup menyamai kedudukan Aristoteles. Filsuf Yunani yang sangat terkenal ini adalah lautan ilmu pengetahuan yang dalam, entah itu ilmu hewan, matematika, kedokteran, maupun astronomi. Ia demikian terkenal di zamannya sehingga diberi julukan sebagai guru manusia atau profesor dalam semua cabang ilmu pengetahuan. Sedikit demi sedikit, kedudukannya makin bertambah kuat dan kokoh sampai-sampai tak ada seorang filsuf atau ilmuwan pun berani berbeda pendapat dengan Aristoteles. Jika demikian halnya, maka manusia akan berkata kepadanya, “Apakah engkau berbeda pendapat dengan Aristoteles?” Dalam pengantar kitab al-Hikmah al-Masyriqiyyah, seorang sekaliber Ibn Sînâ mengatakan, “Dahulu kami tidak berani mengemukakan berbagai keyakinan spesifik dengan mengatakan apa adanya. Kami justru mengemukakannya di sela-sela keyakinan Aristoteles agar manusia bisa

p: 216

menerimanya. Sekiranya kami tidak berbuat demikian, maka tidak ada seorang pun mau menerima pendapat kita. Sebab, bagaimana mungkin ada pendapat bertentangan dengan pendapat Aristoteles!” Ibnu Rusyd adalah seorang Aristotelian fanatik. Ia sangat memusuhi Ibn Sînâ lantaran sebagian besar keyakinannya tidak sesuai dengan keyakinan Aristoteles dan mengemukakan berbagai keyakinan khasnya sendiri.

Orang-orang Eropa mengatakan bahwa Aristoteles sangat ahli dalam ilmu alam, sedangkan Ibn Rusyd sangat memahami Aristoteles. Sebab, Ibn Rusyd inilah yang mengenalkan Aristoteles kepada orang- orang Eropa. Ibn Rusyd juga telah memberikan komentar atas berbagai warisan Aristoteles yang akhirnya sampai pada orang-orang Eropa abad ke-11 dan ke-12 M. Salah satu faktor yang telah menyebabkan terjadinya lompatan dalam ilmu-ilmu modern sekarang ialah penerjemahan yang dilakukan oleh Ibn Rusyd dan lainnya. Pertanyaannya sekarang ialah: Apakah sosok kepribadian semacam Aristoteles ini masih tetap hidup seperti pada masanya? Tidak. Bahkan akhir-akhir ini, berbagai pemikiran Aristoteles telah mereka benamkan ke dalam air. Belakangan ini, di Timur, muncul orang-orang yang menghormati Aristoteles. Akan tetapi, mereka menyerang banyak teori dan pemikiran Aristoteles.

Mereka mencangkokkan berbagai pemikiran lain ke dalam pemikir- anpemikiran Aristoteles. Sementara itu, di Barat, mereka berbuat lebih parah lagi. Mereka menyerang Aristoteles kelewat berlebihan sampais- ampai mereka mengatakan bahwa Aristoteles bertanggung jawab atas penyimpangan yang terjadi dalam pemikiran manusia. Mereka mengatakan bahwa kemunduran ilmu pengetahuan dalam sejarah manusia disebabkan oleh Aristoteles. Ia telah menghentikan laju perjalanan ilmu pengetahuan selama dua ribu tahun. Ini berarti bahwa Aristoteles telah terhapus. Sosok kepribadian Aristoteles memang benar-benar sudah terhapus oleh masa. Anda baru menemukan nama para ilmuwan Islam maupun non-Muslim sesudah tidak kurang dari 80% pemikirannya terhapus. Ibn Sînâ sendiri menyatakan bahwa separoh dari pemikiran nya telah usang dan hampir terhapus. Di zaman sekarang, mereka malah menertawakan pemikiranpemikiran Ibn Sînâ.

Jika orang memerhatikan kitab al-'Uddah karya Syaikh ath-Thûsî dan membandingkannya dengan kitab ar-Rasâ’il karya Syaikh al- Anshârî, maka ia akan menyimpulkan bahwa kitab al-'Uddah harus disimpan dalam perpustakaan karena sudah termasuk

p: 217

dalam peninggalan-peninggalan lama. Kitab ini sudah tidak dipandang sebagai layak untuk diajarkan dan telah terhapus. Demikian juga halnya dengan Syaikh ash-Shadûq dan Muhaqqiq al-Hillî. Anda tidak akan pernah menjumpai seseorang yang kitabnya tetap hidup terus-menerus 100%. Bahkan, banyak di antara para ulama sendiri menghapus ucapan- ucapan mereka yang telah lalu meskipun hal itu mungkin dilakukan tanpa ada niat lebih dahulu. Namun, di antara manusia, ada sosok-sosok kepribadian yang tidak bisa usang dan terhapus. serta selalu menarik manusia di sepanjang zaman.

Ayat Al-Quran yang saya bacakan pada awal pembicaraan saya adalah: Demi matahari dan cahayanya di pagi hari. Dan demi bulan apabila mengiringinya (QS 91: 1-2). Makna lahiriah dari ayat di atas adalah matahari dan bulan yang sehari-hari biasa kita lihat. Akan tetapi, ada ungkapan yang sangat indah dalam sebuah hadis yang menafsirkan ayat ini. Hadis itu mengatakan bahwa yang dimaksud dengan matahari adalah Rasulullah Saw, sementara bulan adalah Imam Alî, penerus dan pantulan cahaya Rasulullah Saw tentang Al-Quran. Rasulullah Saw bersabda, “Al-Quran berjalan sebagaimana matahari dan bulan beredar.” Maksudnya ialah bahwa persis seperti halnya matahari dan bulan yang tidak hanya berhenti di suatu tempat tertentu di muka bumi dan menerangi tempat tertentu juga, maka begitu pulalah halnya dengan Al-Quran yang tidak hanya ditujukan pada sekelompok manusia ter- tentu. Al-Quran bukan hanya ditujukan pada suatu bangsa tertentu saja, melainkan juga sebagai sebuah kitab yang selalu memancarkan sinar dan cahaya. Jika sewaktu-waktu manusia jauh dari Al-Quran, maka itu bukan berarti Al-Quran telah sirna. Namun, akan muncul kaum lain di dunia ini yang menaruh perhatian jauh lebih besar pada Al-Quran dari kaum sebelumnya. Salah satu mukjizat yang dimiliki Al-Quran bagi para pembacanya adalah hubungan antara Al-Quran dengan berbagai penafsirannya. Al-Quran diturunkan sejak empat belas abad lalu dan juga mulai ditafsiran sejak abad pertama Hijrah. Ketika itu, ada banyak kalangan mufassir Al-Quran seperti 'Abdullâh bin Abbâs dan ‘Abdullâh bin Mas'ûd. Kemudian, dalam periode Tâbi’în, ada mufassir-mufassir Al- Quran lainnya seperti Sudda dan Ibn Syibrimah. Dalam setiap zaman, manusia memahami Al-Quran dengan apa yang mereka tafsirkan dari Al-Quran. Setelah berlalunya suatu periode dan ketika ilmu manusia

p: 218

sudah berubah, manusia datang dengan berbagai penafsiran baru dan menghapus penafsiran-penafsiran sebelumnya. Manusia menemukan bahwa penafsiran-penafsiran yang lalu telah habis periodenya dan tidak layak lagi untuk dikaji. Namun demikian, Al-Quran tetap hidup.

Manusia mengetahui bahwa Al-Quran bisa sejalan dengan berbagai penafsiran yang dilakukan pada zaman sekarang. Malahan, mereka memandangnya sebagai lebih utama jika dibandingkan penafsiran- penafsiran terdahulu. Ini berarti bahwa Al-Quran senantiasa bergerak maju dan meninggalkan penafsiran sebelumnya untuk kemudian pindah ke tempat lain. Di abad ke-2 H, mereka juga menulis berbagai tafsir Al-Quran. Di abad ke-3 H, ilmu pengetahuan berkembang sedemikian sehingga manusia menjadi lebih berpengetahuan. Kemudian mereka menulis kitab-kitab tafsir lain. Sekarang ini, manusia menemukan bahwa kitab-kitab tafsir modern jauh lebih banyak kesesuaian dengan Al-Quran ketimbang kitab-kitab tafsir terdahulu. Bahkan kitab-kitab tafsir terdahulu itu tidak dapat dihidupkan kembali, walau dengan harga berapa pun. Al-Quran berkembang tahun demi tahun dan menyampingkan kitab-kitab tafsir sebelumnya.

Kini, Anda bisa menyaksikan bahwa ketika seorang ilmuwan atau pemikir menelaah dan meneliti Al-Quran, ia akan merasakan bahwa Al-Quran adalah sebuah kitab yang sangat bagus untuk ditelaah dan mendatangkan kelezatan manakala dibaca. Edward Browne, seorang orientalis terkenal, berkata dalam buku A Literary History of Persia, jilid pertama. Ia memaparkan sejarah pemikiran bangsa Iran. Dalam pembahasan itu, ia membicarakan keadaan bangsa Iran pada masa awal Islam. Disini, kajiannya sangat bagus. Namun demikian, ia juga membuat kesalahan, yang seharusnya tidak pantas bagi orang sekaliber dirinya.

(Seorang pakar dalam masalah budaya, tatkala memasuki kebudayaan orang lain, mungkin saja melakukan kesalahan). Namun, dengan bagus ia mengatakan, “Saya berusaha sekuat tenaga, dalam buku ini, agar tidak membuat kesalahan besar yang telah dilakukan oleh sebagian orang dari kalangan bangsa saya. Kesalahan itu —yang ditujunya adalah Sir John Malcolm yang menulis buku Sejarah Iran, adalah tidak menulis apaapa tentang dua abad kurun awal Islam. Mereka hanya menulis bahwa, setelah dua abad kurun awal Islam itu, muncul Dinasti Thâhiriyân, Sâmâniyân, dan kemudian Shafawiyân. Dalam dua abad pertama kurun

p: 219

awal Islam itu, bangsa Iran belum membentuk pemerintahan. Ketika itu, pemerintahan berada di tangan bangsa Arab. Maksud dari kalimat ‘ketika itu, bangsa Iran tidak membentuk pemerintahan' ialah bahwa mereka tidak memiliki kekhalifahan dan kerajaan. Akan tetapi, pada dasarnya, mereka punya pemerintahan mirip kekhalifahan. Bangsa Iran mempunyai menteri-menteri yang kekuasaannya menyamai seorang khalifah seperti Baramikah atau Dzi Riyâsatain. Sementara itu, mak- sud dari kalimat 'dua abad pertama kurun awal Islam' ialah masa diam adalah bahwa bangsa Iran belum menerima agama Islam dengan tulus dan antusias. Ketika itu, suasana politik menyelimuti pikiran mereka.

Untuk itulah mereka diam tanpa pemerintahan selama beberapa lama.

Ini adalah pernyataan Sir John Malcolm dari Inggris. (Pernyataan ini dikemukakan di Iran dalam kitabnya. Mereka menyebutnya sebagai abad bisu). Dengan terpaksa, mereka menanggung Islam dengan segala kemampuan yang mereka miliki. Pernyataan ini dilontarkan oleh seorang Inggris dan kemudian dibantah oleh seorang Inggris lainnya dan menyebutnya sebagai suatu kesalahan. Akan tetapi, bangsa Iran bersikeras dengan pernyataan ini. Edward Brown mengatakan bahwa ia akan berusaha untuk tidak jatuh pada kesalahan. Sebab, jika kita mer- ujuk sejarah Iran, niscaya kita akan mendapatkan bahwa bangsa Iran telah melakukan aktivitas besar dalam dua abad pertama kurun awal Islam. Tidak ada satu bangsa lain pun pernah melakukan itu dalam se- jarah. Bagi bangsa Iran, dua abad pertama masa kurun Islam bukanlah abad diam, melainkan abad kreatif dan hidup.

Memang benar pernyataan yang dilontarkan oleh Edward Brown. Jika Anda mengkaji periode masa Dinasti Sasanid atau periode masa sebelumnya, pasti Anda akan mendapatkan bahwa, pada masa itu, Iran sedang berada dalam puncak kebesarannya. Pada masa itu, Ir- an adalah sebuah imperium besar yang senantiasa berhadapan dengan imperium Romawi. Anda akan mendapatkan bahwa bangsa Iran sepanjang sejarah tidak pernah mendapatkan setengah kemajuan ilmu pengetahuan sebagaimana dalam dua abad itu. perlu dicatat juga bahwa masa dua abad itu adalah masa kebebasan yang dimiliki bangsa Iran.

Saya tidak bermaksud membela penguasa Arab yang ketika itu adalah penguasa Bani Umayyah karena keadaan mereka sudah jelas bagi kita.

Pada waktu yang sama, ketika Bani Umayyah berkuasa, bangsa Iran memiliki kebebasan

p: 220

dari segi ilmu pengetahuan dan kebudayaan yang belum pernah dicapai sebelumnya.

Satu hal lain yang dibicarakannya di atas kepada kita adalah masalah agama Zoroaster. Ia mengatakan, “Bagaimana mungkin kedatangan Islam menghapus agama Zoroaster dan bahkan huruf alfabet Pahlevi diganti dengan huruf alfabet Arab?” Lantas, ia juga menambahkan bahwa mungkin sebagian orientalis ingin menggambarkan bahwa Islam diterima oleh bangsa Iran dengan paksa. Namun, sejarah menunjukkan bahwa bangsa Iran dengan penuh kerelaan dan keinginan menerima agama Islam dan melepaskan agama Zoroaster.

Selanjutnya, ia mengatakan bahwa yang benar adalah demikian. Setelah itu, ia mengatakan, “Sebagai orang asing dan tidak beragama Islam maupun Zoroaster, ketika kita meletakkan Al-Quran di hadapan kita dan membandingkannya dengan kitab agama Zoroaster, yakni Zand Pozand (mereka mengatakan bahwa kitab ini milik Zoroaster, meskipun sebenarnya tidak ada dalil pasti yang bisa membuktikan pada kita bah- wa kitab itu milik Zoroaster), maka kita akan mendapatkan kenyataan bahwa tidak ada sesuatu pun yang bisa dibandingkan. Al-Quran ada- lah kitab yang hidup. Di zaman sekarang pun, Al-Quran adalah kitab yang hidup. Tidak ada seorang pun yang bisa mengatakan bahwa ia tidak membutuhkan Al-Quran. Sementara itu, peninggalan Zoroaster bukanlah sesuatu yang layak dikaji." Kemudian, ia juga menambahkan bahwa bangsa Iran bukanlah bangsa yang buta selama seribu tahun.

Mereka mampu melihat Al-Quran di satu sisi dan kitab Zoroaster di sisi lain. Mereka mampu melihat bahwa keduanya tidak bisa diband- ingkan. Mereka pasti akan memilih Al-Quran. Ini merupakan petunjuk tentang kemajuan yang dimiliki bangsa Iran. Ini juga menunjukkan bahwa bangsa Iran, selain memiliki rasa cinta pada bangsanya, tidak dibutakan olehnya. Mereka tidak mau mencampakkan kebenaran hanya lantaran fanatisme kebangsaan, padahal dikenal bahwa bangsa Iran tidak pun- ya hubungan begitu baik dengan bangsa Arab dari sisi kebangsaan. Jelaslah bahwa keduanya adalah dua bangsa dan dua ras yang berbeda. Ini ada- lah watak manusia. Kita menyaksikan bahwa penduduk dua desa yang berbeda punya fanatisme pada desanya. Demikian juga halnya dengan penduduk dua kota dan bahkan penduduk dua negara yang berbeda.

Ini adalah salah satu sifat manusia yang tidak bisa dihilangkan

p: 221

secara keseluruhan, kecuali dalam beberapa keadaan tertentu. Sebagian bangsa menjadi buta penglihatannya karena fanatisme kebangsaannya.

Artinya, mereka demikian fanatik dengan bangsanya sampai-sampai mereka menolak kebenaran di saat berjumpa dengan kebenaran ini.

Namun, sebagian bangsa lain, meskipun memiliki rasa cinta pada dirinya sendiri, tidak dibuat buta olehnya. Inilah kebanggaan bangsa Iran. Kecintaan pada bangsa tidak menyebabkan mereka buta. Mereka tidak mengatakan bahwa mereka tidak mau menerima Al-Quran lantaran tidak diturunkan kepada mereka atau muncul di tengah- tengah mereka. Mereka mengatakan bahwa hal itu baik dan mereka mesti mengambilnya. Sekiranya muncul suatu ajaran yang tidak mereka yakini sebagai suatu kebenaran, maka mereka akan memeranginya sebagaimana terjadi pada ajaran Manu. Mereka memerangi Babul dan membunuh Afsyin yang ketika itu berkedudukan sebagai panglima tentara Iran. Yang jelas, bangsa Iran adalah bangsa yang mau menerima kebenaran yang ditemuinya meskipun berasal dari luar. Ini persis sebagaimana mereka lakukan pada Islam. Jika mereka melihat suatu kebatilan, maka mereka akan memeranginya meskipun berasal dari tengah-tengah mereka. Ini merupakan petunjuk akan kemajuan dan kecerdasan bangsa Iran. Saya tidak ingin mengutarakan perkataan Edward Brown mengenai Al-Quran.

Imam Ali bin Abî Thâlib bukanlah pribadi yang hanya khusus untuk zaman tertentu, melainkan punya kaitan dengan segala zaman.

Dalam diri Imam Alî, ada kepribadian, keadaan, segi, dan ucapan yang tidak akan usang, kendati zaman terus berlalu. Dengan demikian, Imam Alî memiliki dua bagian kepribadian, yakni pribadi yang kekal dan pribadi yang senantiasa berubah sesuai dengan berlalunya waktu.

Khalil Gibran, seorang Arab Kristen dari Lebanon, menghabiskan masa hidupnya selama dua belas tahun di Amerika. Ia telah menulis beberapa buku yang sangat berharga dan sangat sedikit tandingannya dalam bahasa Arab maupun Inggris. Kendatipun beragama Kristen, ia sangat mengagumi pemimpin orang-orang bertakwa, Imam Alî bin Abî Thâlib. Saya telah membaca karya-karyanya. Ketika ia hendak menyebutkan pribadi-pribadi besar yang pernah ada di dunia ini, ia menyebut dua nama, yakni 'Isa al-Masîh a.s. dan Imam Alî bin Abî Thâlib. Salah satu kalimat yang diucapkan tentang Imam Alî ialah,

p: 222

“Saya tidak habis mengerti rahasia dunia ini ihwal bagaimana mungkin sebagian orang mampu mendahului zamannya hingga tingkatan ini." Ia mengatakan, “Menurut keyakinan saya, Alî bin Abî Thâlib bukan berasal dari zamannya.” Artinya, zaman itu bukanlah zaman Imam Alî bin Abî Thâlib. Dengan kata lain, zaman itu tidak berhak atas Imam Alî.

Sungguh, ia telah dilahirkan sebelum zamannya. Ia juga mengatakan, “Menurut keyakinan saya, Alî bin Abî Thâlib adalah satu-satunya orang dari bangsa Arab yang senantiasa berada di samping roh universal (ar-rûh al-kullî) alam semesta ini.” Artinya, beliau adalah orang yang senantiasa berada di sisi Tuhan, yang selalu bersama dengan roh universal alam semesta ini siang dan malam.

Imam Alî mengatakan, “Meskipun demikian, demi Allah, bumi ini takkan pernah kosong dari para petugas Allah yang membawa hujjah- Nya (Qâ’im lillâh bi hujjah), baik yang tampak dan dikenal maupun yang cemas terliput oleh kezaliman atas dirinya. Dengan demikian, segenap hujjah dan tanda Allah tidak akan pernah jadi batal.” Setelah itu, Imam Alî meneruskan, “Hakikat ilmu menghujam dalam lubuk kesadaran nurani mereka, sehingga tindakan mereka pun berdasarkan roh keyakinan. Bagi mereka, hidup zuhud, yang dirasa keras dan sukar oleh orang-orang yang suka hidup mewah, terasa lembut dan lunak. Hati mereka tenteram dengan segala sesuatu yang justru menggelisahkan orang-orang jahil. Mereka hidup di dunia ini dengan tubuh-tubuh yang tersangkut di tempat-tempat amat tinggi ...” (Nahj al-Balâghah, hikmah 147).

Di sini, kita mengerti betapa sulit masalah ini. Imam Alî bin Abî Thâlib dengan kepribadian semacam ini harus menghadapi kaum Khawarij. Sungguh, ini adalah masalah yang sulit dibayangkan! Demikian juga halnya dengan peristiwa Perang Shiffin. Kesulitan apa yang lebih berat dari ini? Peristiwa kaum Khawarij dan sebagainya mendorong beliau menulis surat kepada salah seorang sahabatnya, “Kini, engkau menyaksikan betapa hari-hari serasa demikian sulit bagiku, sementara engkau juga telah pergi!” Sungguh, bagi Imam Alî bin Abî Thâlib, kematian justru kesenangan dan kebahagiaan.

p: 223

p: 224

RELATIVITAS AKHLAK

Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan tentang agama (QS 9: 122).

p: 225

p: 226

SEBUAH ucapan dinisbatkan kepada Imam Alî bin Abî Thâlib berbunyi demikian, “Janganlah engkau mendidik anak-anakmu de ngan akhlak dan perilakumu, karena mereka diciptakan untuk suatu zaman yang bukan zamanmu.” Artinya, Anda terikat dengan suatu zaman, sementara anak-anak Anda juga terikat dengan zaman sesudah Anda. Akhlak Anda baik tetapi terikat dengan zaman Anda.

Akhlak yang wajib mereka miliki haruslah baik pada zaman sesudah Anda.

Di sini ada dua pertanyaan. Pertama, apakah ucapan ini benarbenar berasal dari Imam Alî? Dari mana sanad ucapan ini? Apakah maksud ucapan itu? Kedua, dengan menutup mata ihwal siapa yang mengu- capkan kata-kata ini, apakah ucapan ini mempunyai pemahaman yang jelas atau tidak? Sama halnya pertanyaan pertama, jawabannya ialah bahwa kita belum menemukan ucapan ini hingga sekarang dalam kitab-kitab yang bisa dijadikan pegangan. Kita menemukannya dalam kitab-kitab yang tidak dijadikan pegangan. Demikian juga, kita tidak menemu kan suatu bukti yang menunjukkan bahwa ucapan itu bersumber dari Imam Alî.

Ini berarti bahwa kita tidak menemukannya dalam kitab Nahj al-Balâghah dan kitab hadis yang empat. Bahkan, kita tidak menemukannya jlalam kitab-kitab hadis yang ditulis kemudian dan memuat juga hadis-hadis lemah seperti Bihâr al-Anwâr. Namun, belakangan ini, ucapan itu tersebar luas. Penisbatan ucapan ini pada Imam Alî belum berlangsung lebih dari lima puluh atau enam puluh tahun sejak sekarang. Bahkan, ucapan itu tidak ada dalam kitab-kitab yang ditulis seratus tahun lalu.

Saya menemukan ucapan itu secara kebetulan dalam sebuah kitab se- jarah beberapa tahun lalu. Dalam bab yang menjelaskan ihwal Plato, buku itu mengatakan bahwa Plato pernah berkata, “Janganlah engkau mendidik anak-anakmu dengan akhlakmu, karena mereka diciptakan untuk

p: 227

suatu zaman yang bukan zamanmu.” Dari sini, saya bisa memahami bahwa orang yang pertama kali menisbatkan ucapan itu pada Imam Alî mempunyai dua kemungkinan. Mungkin ia melakukan kekeliruan atau sengaja melakukannya dengan maksud tertentu. Terkadang beberapa orang yang bermaksud memperkuat dan menyebarkan keyakinannya menggunakan suatu ucapan yang bukan berasal dari pemimpin agama.

Akan tetapi, mereka kemudian menisbatkan ucapan itu pada salah seorang pemimpin agama. Menurut pertimbangan lahiriah, ucapan itu bukan berasal dari Imam Alî. Namun, kita tetap tidak bisa mengatakan bahwa ucapan itu pasti bukan berasal dari Imam Alî. Sebab, menurut ungkapan pelajar agama, tidak ditemukannya sesuatu tidaklah membuktikan bahwa sesuatu itu tidak ada. Tidak semua kata-kata yang diucapkan oleh Imam Alî beredar di tengah-tengah kita. Dalam hal ini, kita hanya bisa mengatakan bahwa kita tidak punya bukti ihwal bahwa ucapan itu berasal dari Imam Alî. Jadi, tentang apakah ucapan itu berasal dari Imam Alî atau bukan tidak akan kita bahas sekarang ini.

Akan tetapi, yang kita bahas adalah: Apakah kandungan dan isi ucapan itu benar atau tidak? Ada suatu pokok bahasan yang sejak dahulu telah dibicarakan oleh para ulama dan filsuf. Pokok bahasan itu juga punya tema yang sama, yakni relativitas akhlak. Artinya, akhlak termasuk dalam masalah- masalah yang bersifat relatif. Kita tidak bisa mengatakan bahwa sebagian akhlak bernilai baik secara mutlak, sementara sebagian akhlak lainnya bernilai buruk secara mutlak. Maksudnya, kita tidak bisa mengatakan bahwa sebagian akhlak itu bersifat baik secara mutlak di segala zaman dan tempat, dan sebagian akhlak lainnya bersifat buruk secara mutlak di segala zaman dan tempat. Akan tetapi, akhlak yang baik hanya bersifat baik pada zaman, tempat, dan kondisi tertentu saja. Demikian juga, akhlak yang buruk hanya bernilai buruk pada zaman, tempat, dan kondisi tertentu saja. Karena itu, pandangan ini disebut dengan istilah relativitas akhlak dan punya banyak pengikut, sama seperti halnya dengan relativitas keadilan. Keadilan adalah sesuatu yang bernilai baik dalam pandangan semua manusia. Apakah keadilan punya pemahaman yang bersifat mutlak atau relatif? Pemahaman keadilan yang bersifat mutlak berarti bahwa kita bisa mengatakan bahwa suatu perbuatan itu bersifat adil dan baik.

p: 228

Mungkin saja, pandangan orang yang mengatakan, “Jangan engkau didik anak-anakmu dengan akhlak dan perilakumu” meyakini relativitas akhlak. Artinya, sebagian akhlak dan perilaku Anda memang bernilai baik tetapi tidak bermanfaat. Pokok bahasan tentang relativitas akhlak dan keadilan akan saya paparkan nanti. Sekarang saya ingin menyampaikan bahwa pandangan tentang relativitas akhlak ada- lah dusta belaka. Artinya, tidak semua yang disebut akhlak atau mora- litas itu bersifat relatif. Akan tetapi, dari penyataan di atas mungkin ada makna lain yang dikehendaki dalam kata lâ tuaddibû (janganlah engkau mendidik). Di sini, saya harus menjelaskan masalah ini.

Kita punya serangkaian persoalan yang disebut adab atau adat kebiasaan. Kita juga punya serangkaian persoalan yang dikenal dengan akhlak. Akhlak bukanlah adab atau adat kebiasaan. Jika yang dikehendaki oleh orang yang mengatakan, “Jangan engkau didik anak- anakmu dengan akhlakmu,” maka ia salah. Akan tetapi, mungkin yang dimaksud dengan ucapan itu ialah, “Jangan engkau didik anak- anakmu dengan adab atau adat kebiasaanmu, tetapi perhitungkanlah mereka dengan perhitungan masa depan.” Singkat kata, kita harus membedakan akhlak dan adab. Akhlak adalah serangkaian hal yang berkaitan dengan diri atau jiwa manusia. Akhlak berhubungan dengan sistem dan cara manusia mengatur naluri dalam dirinya. Akhlak berkenaan dengan sistem pembentukan dan pembinaan dirinya. Atau, bisa juga dikatakan bahwa manusia punya serangkaian perkara yang disebut akhlak, yang berfungsi mengatur naluri dalam dirinya. Manusia punya naluri bermacam-macam. Para ulama dahulu mengatakan bahwa manusia punya tiga kekuatan pokok (terkadang mereka menyebutkan ada empat), yakni kekuatan akal (quwwah al-'aqli), kekuatan syahwat (quwwah asy-syahwah) (yang dimaksud di sini bukan hanya terbatas pada syahwat birahi saja), dan kekuatan amarah (quwwah al-ghadhah).

Demikianlah mereka menyusunnya. Mereka mengatakan bahwa kekuatan syahwat bertugas menarik manfaat dan keuntungan. Kekuatan inilah yang memaksa manusia untuk senantiasa berusaha meraih segala kepentingan-kepentingannya. Yang kedua adalah kekuatan amarah, yakni kekuatan untuk menolak. Kekuatan amarah inilah yang mencegah manusia dari segala sesuatu yang buruk dan membahayakan dirinya.

Sebagaimana dalam jasad manusia ada kekuatan untuk mencegah

p: 229

atau menolak, maka begitu pula halnya dalam jiwa manusia. Ketika manusia memakan dan menelan makanan, makanan itu masuk ke dalam lambung dan dicerna, dan kemudian itu masuk ke dalam usus. Sari-sari makanan itu dihisap melalui dinding-dinding usus, sedangkan ada sisa-sisa yang tidak dibutuhkan oleh tubuh manusia.

Kekuatan yang menolak dalam tubuh manusia bekerja mengeluarkan sisa-sisa makanan itu. Demikian juga halnya dengan roh dan jiwa manusia.

Di samping itu, juga ada kekuatan lain yang dikenal sebagai kekuatan akal, yakni kekuatan untuk melakukan perhitungan. Setiap kekuatan hanya mampu melakukan tugas sebatas dirinya sendiri saja. Umpamanya, kekuatan makan yang ada pada manusia hanya bertugas makan saja dan tidak bisa melakukan tugas lain. Ia hanya bisa merasakan kelezatan. Demikian juga halnya dengan kekuatan seks. Ia hanya bertugas melakukan aktivitas seksual saja. Begitu pula halnya dengan kekuatan rnarah. Akan tetapi, di sini perlu ada perhitungan yang mengatur aktivitas kekuatan-kekuatan itu. Manusia harus mengatur kekuatan-kekuatan yang ada dalam dirinya. Jika Anda membiarkan dan membebaskan salah satu kekuatan di atas, maka ia akan melakukan apa saja yang dikehendakinya. Kebebasan yang Anda berikan kepada kekuatan itu akan merusak anggota-anggota tubuh lainnya. Misalnya saja mata. Mata mendapatkan kelezatan dengan memandang sesuatu, tetapi sama sekali tidak mau melakukan pertimbangan. Lidah mengatakan, “Aku mendapatkan kelezatan dengan memakan suatu anan. Sekarang, ambilkan makanan itu agar aku bisa mendapatkan kelezatan.” Di sini harus ada perhitungan lain. Ia jangan hanya mau melulu merasakan kelezatan saja, tetapi juga harus memerhatikan apa yang akan terjadi pada anggota-anggota tubuh lainnya dan kemanusiaan dirinya. Manusia harus mengatur kekuatan-kekuatan yang dimilikinya itu. Ia harus menempatkan akalnya sebagai pengatur tubuhnya agar bisa memberikan hak kepada yang memang berhak. Inilah yang dimaksud dengan menga tur naluri.

Tujuan dari pengaturan atas berbagai naluri ialah menguasai setiap naluri di bawah pengawasan akal. Inilah yang dimaksudkan dalam hadis bahwa mata, tangan, pencernaan, dan segenap naluri punya hak masing-masing. Inilah juga salah satu kewajiban agama.

p: 230

Sebab, akal tidak akan sanggup jika harus melakukannya sendirian.

Agama bertugas memberikan kewajiban kepada masing-masing naluri untuk mengatur dan membagi haknya masing-masing. Berbagai aturan dan kewajiban itulah yang dinamakan akhlak. Namun, hal itu tidak hanya sebatas di sini saja. Artinya, akhlak yang buruk tidak hanya bersumber dari sisi ini saja. Sebab, satu bagian mendapat porsi lebih besar, sementara bagian lainnya mendapat porsi lebih kecil. Pemberian hak dan porsi yang tidak seimbang pada masing-masing anggota tubuh akan mendatangkan dampak yang tidak diinginkan. Ini tak ubahnya seperti apa yang terjadi dalam masyarakat. Berbagai kerusakan yang timbul dalam masyarakat disebabkan tidak ada keseimbangan dalam pembagian hak dan kewajiban di antara berbagai golongan. Jika sebuah kelompok mendapatkan seluruhnya, sementara kelompok lain tidak mendapatkan apa-apa, maka yang demikian itu akan mendatangkan kerusakan atas kedua kelompok itu dan akhirnya akan memicu timbulnya berbagai kerusakan dan problema di tengah masyarakat.

Sebagai contoh, bahwa pertama yang akan muncul dalam kelompok masyarakat yang mengambil porsi lebih banyak adalah bahwa mereka akan menjadi sebuah kelompok zalim yang sama sekali tidak memiliki kebaikan. Jika mereka tidak jadi demikian, maka anak-anak mereka justru akan menjadi demikian. Kelompok masyarakat ini tidak akan bisa mempertahankan status quo hingga tiga atau empat generasi.

Bahaya yang akan muncul dalam kelompok masyarakat yang tidak mendapatkan apa-apa adalah bahwa mereka merasa telah bekerja dan bersusah payah, tetapi hasilnya menjadi bagian orang lain. Tidakkah kondisi ini akan mendatangkan rasa iri di antara mereka? Selanjutnya, ini akan mendorong mereka untuk melakukan berbagai bentuk kejahatan, pembunuhan, pendirian berbagai partai, pemberontakan, dan pertumpahan darah. Betapa banyak peristiwa terjadi di mana seorang pembantu rumah tangga membunuh semua penghuni rumah tempat ia bekerja. Yang menyebabkan ia tega berbuat demikian adalah bahwa ia merasa betapa para penghuni rumah hidup dalam keadaan berkecukupan dan mewah, sementara dirinya dalam keadaan sebaliknya.

Keadaan ini jelas menimbulkan kepedihan dalam dirinya. Lama- kelamaan, kepedihan ini semakin menumpuk dan menjelma menjadi timbunan mesiu yang sewaktu-waktu bisa meledak. Kita banyak membaca dalam surat kabar bahwa seorang pembantu membunuh

p: 231

tuannya, anak laki-laki, dan anak perempuan tuannya. Ini disebabkan mereka tidak memperhitungkan semua perbuatan dan kemewahan mereka di hadapan pembantunya itu.

Keadaan serupa bisa juga kita temukan dalam berbagai kekuatan pada diri manusia. Jika seseorang hanya memerhatikan sebuah kecenderungan dalam dirinya dan mengabaikan kecenderungan lain, maka kecenderungan yang terabaikan itu akan memberontak pada kecenderungan yang selalu dimanja dan diperhatikan. Hal ini akan merusak manusia itu sendiri. Karena itu, Islam mengatakan bahwa Anda harus memenuhi segenap hak yang dimiliki masing-masing kekuatan dalam diri Anda. Inilah yang menyebabkan timbulnya persoalan. Anda mengaku bahwa, dalam diri Anda, ada roh dan jasad. Roh Anda punya hak sebagaimana jasad Anda juga punya hak. Anda mengatakan bahwa, dalam diri Anda, ada naluri beragama dan beribadah. Sementara itu, pada waktu yang sama, dalam diri Anda ada juga syahwat. Islam mengatakan kepada Anda bahwa Anda harus memberikan hak dan bagian keduanya, dan jangan mengorbankan yang satu demi yang lainnya. Janganlah Anda berpikir bahwa jika Anda mengabaikan kekuatan syahwat dalam diri Anda dan hanya sibuk melakukan ibadah, maka kekuatan syahwat itu akan diam. Tidak, tidak demikian, bahkan kekuatan syahwat itu akan semakin membangkang. Para Paus mengharamkan dirinya untuk menikah, dan ini berarti menelantarkan satu lapisan dari berbagai lapisan yang terdapat di dalam kesatuan badan manusia. Marilah kita memerhatikan pengaruh-pengaruh negatif dan begitu juga kejahatan- kejahatan yang muncul dalam sejarah karena peraturan itu. Saya kira bahwa Tatcher disebut-sebut sebagai anak haram dari salah seorang Paus. Kita tidak bisa mengatakan bahwa Paus adalah seorang yang jahat. Akan tetapi, kita mengatakan bahwa cara yang ditempuh Paus adalah salah. Saya membaca dalam sebuah majalah bahwa disebabkan karena pertimbangan-pertimbangan politik para petugas memeriksa rumah salah seorang pendeta. Tatkala mereka memeriksa rumah itu, mereka menemukan ruangan bawah tanah yang diisi oleh sebelas orang wanita yang sedang disembunyikan.

Persoalan demikian juga ada dalam badan manusia. Akhlak ialah sistem pembagian dan pengaturan hak-hak yang dimiliki oleh masing- masing naluri dalam diri manusia. Sekarang, apakah akhlak-yang

p: 232

merupakan sistem pengaturan dan pembagian hak-hak setiap naluri dalam diri manusia-akan berubah dengan perubahan zaman? Artinya, hak yang dimiliki mata, lambung, dan hak manusia untuk mendapatkan kedudukan, akan berubah? Apakah sistem pembagian dan pengaturan hak dalam tubuh manusia itu bisa berubah sehingga kita mengatakan, “Jangan engkau didik anak-anakmu dengan akhlak-akhlakmu”, yang berarti bahwa sistem itu harus mengatur dan membagi hak-hak yang berbeda pada anak Anda dengan apa yang telah dilakukan atas diri An- da?” Tidak, masalah ini hanya satu dan tidak mengalami perubahan pada setiap zaman. Sebab, manusia tidak berubah. Jika naluri manusia mengalami perubahan dibandingkan keadaan seratus tahun lalu, maka pembagian hak-hak itu juga akan mengalami perubahan. Akan tetapi, manusia adalah makhluk yang bersifat tetap dari sisi ini. Di sepanjang sejarah, manusia adalah makhluk yang satu dari sisi ini.

Namun ada masalah lain, yakni adab atau adat kebiasaan. Adab atau adat tidak bertugas membagi dan mengatur hak-hak dan bagian-bagian yang dimiliki masing-masing naluri. Adab atau adat berkaitan dengan urusan-urusan mata pencaharian yang diperlukan manusia. Urusan mata pencaharian tidak termasuk dalam masalah-masalah akhlak. Dalam hal ini, kita bisa menamakan adab itu dengan seni atau kemahiran yang mesti dipelajari. Misalnya saja, seorang manusia wajib mempelajari cara menulis (Anda tahu bahwa pengetahuan cara menulis termasuk masalah seni).

Artinya, seseorang harus belajar untuk memperolehnya. Ada hadis dari Rasulullah Saw, “Hak seorang anak atas ayahnya ialah memberinya nama yang baik, mengajarkannya menulis, dan menikahkannya bila telah mencapai akil baligh.” Kemampuan menulis adalah sebuah seni.

Dengan kata lain, kemampuan menulis termasuk dalam masalah adab atau kemahiran. Ke mampuan menjahit termasuk dalam masalah adab atau kemahiran atau juga dikatakan termasuk dalam masalah seni.

Kemampuan menunggang kuda dan berenang termasuk masalah seni.

Macam-macam adab itu akan mengalami perubahan seiring dengan perubahan zaman. Di sini, seorang manusia tidak mungkin bisa mendidik anak-anaknya dengan adab atau kemahiran yang berlaku di zamannya. Bisa saja zaman Anda menuntut manusia untuk belajar menulis, sementara di zaman mendatang kemahiran menulis itu sudah tidak diperlukan lagi disebabkan alat untuk menulis dan alat untuk

p: 233

merekam gambar sudah ditemukan. Mungkin saja pada zaman Anda kemampuan menulis saja sudah mencukupi. Akan tetapi, pada zaman mendatang, kemampuan itu saja tidak mencukupi. Pada zaman yang akan datang, seseorang juga harus belajar bagaimana menulis dengan mesin ketik. Pada zaman Anda, mungkin kuda adalah alat transportasi untuk mengangkut barang. Karena itu, Anda harus belajar menunggang kuda. Namun sekarang, keadaan telah berubah. Yang diperlukan sekarang ialah mengemudikan mobil. Pada zaman Anda, keahlian mengemudikan mobil tidak ada. Akan tetapi, pada zaman anak Anda sekarang, tidak ada artinya mereka diajari cara menunggang kuda. Yang mereka perlukan adalah kemampuan mengemudikan mobil. Perkataan bahwa anak-anak Anda harus mempelajari semua yang Anda ketahui sama sekali tidak berlaku. Janganlah Anda mendidik anak-anak Anda dengan adab atau keahlian-keahlian yang Anda miliki, karena mereka diciptakan untuk suatu zaman yang bukan zaman Anda.

Kadang-kadang, mungkin disebabkan kebodohan dan keju- mudannya, seseorang mengatakan bahwa anaknya harus menjadi tukang kayu seperti dirinya. Ia tidak mengetahui bahwa di sana ada pekerjaan yang seratus kali jauh lebih mendatangkan manfaat bagi kehidupan dunia dan akhirat anaknya.

Perkataan orang tua itu adalah sebentuk kejumudan. Perhitungan yang berlaku di sini ialah adab atau keahlian. Dengan demikian, apakah akhlak akan mengalami perubahan dengan berubahnya zaman? Sama sekali tidak. Namun, apakah tuntutan-tuntutan zaman bisa mengubah adab atau kemahiran? Jawabannya adalah 'ya'.

Yang termasuk dalam ruang lingkup adab ialah segala sesuatu yang banyak dikenal di tengah-tengah masyarakat. Di sini, kita tidak bisa mengatakan bahwa hal-hal tersebut bernilai baik maupun buruk.

Umpamanya saja, masing-masing bangsa mempunyai adat dan tata cara khusus dalam melaksanakan pesta pernikahan. Masing-masing bangsa mempunyai adat dan tata cara dalam menghormati tamu. Ada suatu ucapan yang disandarkan kepada Imam Alî, “Wahai anakku, jika engkau tinggal di suatu negeri, maka bergaullah engkau dengan adat dan kebiasaan mereka.” Jika Anda pergi ke suatu tempat dan melihat bahwa masyarakat setempat makan sambil berdiri, maka Anda mesti makan sambil berdiri. Jika Anda hidup di tengah-tengah bangsa Arab, maka

p: 234

Anda melihat bahwa, ketika menerima tamu, mereka melakukannya secara bergantian. Sementara itu, di sini, jika seseorang mengundang tamu, maka ia harus punya tempat yang cukup untuk menampung semua tamu yang datang. Akan tetapi, di sana keadaannya berbeda. Di sana, bisa saja seseorang mengundang banyak tamu ke rumahnya yang sempit dengan cara meletakkan makanan di hadapannya ketika seorang tamu datang. Sesudah selesai makan, tamu itu pun berlalu. Di Iran, keadaannya berbeda. Tamu-tamu yang diundang harus dikumpulkan lebih dahulu di sebuah tempat. Sesudah berkumpul, baru diletakkan makanan di hadapan mereka. Jika kita pergi ke daerah mereka, maka kita harus melakukan apa yang mereka lakukan. Tidaklah terpuji kalau seseorang bersikeras dan mengatakan bahwa ia hanya akan melakukan adat dan kebiasaan dirinya saja.

p: 235

p: 236

IBADAH ADALAH KEBUTUHAN TETAP MANUSIA

Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan tentang agama, dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya (QS 9: 122).

p: 237

p: 238

SECARA mum, manusia harus memiliki sikap dan pemikiran kritis. Sikap dan pemikiran kritis ini bukan berarti menghitung-hitung aib dan kekurangan. Arti sikap dan pemikiran kritis ialah menanyakan dan membahas sesuatu agar bisa diketahui yang benar dari yang tidak benar. Umpamanya saja, sikap kritis atas sebuah kitab bukan berarti bahwa seseorang harus menghitung kelemahankelemahan kitab itu.

Akan tetapi, ia harus mengemukakan semua kelebihan maupun kekurangan kitab itu. Seseorang harus bersikap kritis atas semua kabar yang didengarnya dari orang lain. Artinya, ia harus menganalisis dan mengkaji semua kabar yang didapatkannya itu. Jika ada suatu ucapan yang masyhur di tengah-tengah manusia, maka hal itu bukan berarti bahwa manusia wajib menerima ucapan itu, meskipun disampaikan dengan cara indah dan meyakinkan. Terlebihlebih lagi dalam urusan- urusan agama, manusia wajib bersikap kritis.

Dalam bagian-bagian sebelumnya, kita telah membicarakan masalah hadis. Kita telah menyebutkan bahwa Rasulullah Saw bersabda dalam suatu hadisnya, “Jika engkau mendengar sebuah hadis, maka bandingkanlah dengan Al-Quran. Jika hadis itu sesuai dengan Al- Quran, maka ambillah. Jika tidak sesuai dengannya, maka tinggalkanlah hadis itu.” Hadis ini memerintahkan kita untuk bersikap kritis. Juga ada sebuah hadis lain. Saya tidak akan menyebutkan matannya dan hanya menuturkan kandungan dari hadis ini yang diriwayatkan para Imam kita dari Nabi Isâ al-Masîh a.s. Kandungan hadis ini adalah s berikut, “Wahai para pelajar, engkau harus menjadi orang yang punya sikap kritis. Janganlah engkau menerima sesuatu atas dasar sikap membuta, entah yang mengatakannya itu orang saleh ataupun orang jahat.” Di tengah-tengah hadis itu, ada perkataan, “Jadilah engkau orang-orang yang bersikap kritis.” Juga ada sebuah hadis yang akan saya

p: 239

sebutkan secara umum. Hadis ini berkaitan dengan ashhâb al-kahfi yang kisahnya direkam dalam Al-Quran sebagai berikut: Sesungguhnya mereka itu adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Tuhan mereka.

Kami tambahkan kepada mereka petunjuk, dan Kami telah meneguhkan hati mereka (QS 18: 13-14).

Yang masyhur ialah bahwa ashhâb al-kahfi adalah para pedagang.

Yang diketahui manusia, pekerjaan mereka ialah menukar emas dengan perak dan sebaliknya. Akan tetapi, para Imam kita meluruskan pemahaman salah ini. Para Imam mengatakan, “Mereka (ashhâb al- kahfi-penerj.) adalah pedagang ucapan.” Artinya, mereka adalah para ahli hikmah. Mereka dinamakan sebagai ahli hikmah karena mereka senantiasa menganalisis setiap kata yang sampai kepada mereka.

Kewajiban memperdalam ilmu agama yang diperintahkan dalam ayat Al-Quran berikut: Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan agama, mengharuskan seseorang untuk benar-benar bersikap kritis sehingga ia selalu menganalisis setiap ucapan yang berkaitan dengan agama yang disodorkan kepadanya. Hal serupa terjadi atas ucapan yang telah saya nukilkan sebelumnya. Saya telah menyebutkan bahwa ucapan itu dinisbatkan kepada Imam Alî, yang berbunyi, “Janganlah engkau mendidik anak-anakmu, .... Ucapan ini benar-benar indah dari sisi kata. Karena itu, manusia menerimanya dan begitu tersebar di semua tempat.

Saya teringat sebuah cerita dan saya ingin menuturkannya kepada Anda. Ketika saya berumur tiga belas atau empat belas tahun, saya sudah membaca sebagian pengantar bahasa Arab. Setelah terjadi suatu peristiwa terkenal di Khurasan dan pesantren (hawzah ‘ilmiyyah) di kota Masyhad sudah musnah secara total, orang-orang yang menyaksikan peristiwa dan keadaan itu mengatakan bahwa para ulama telah tenggelam dan tidak mungkin akan bisa muncul kembali. Kemudian, peristiwa itu terus bergulir hingga pada suatu waktu mereka membutuhkan seorang penulis. Mereka mengundang saya. Saya menulis sebuah makalah.

Ketika itu, di daerah yang saya tempati ada seorang laki-laki yang punya kedudukan penting. Ia membaca makalah saya dan menoleh kepada saya dengan pandangan menyayangkan bahwa mengapa saya menjadi seorang pelajar agama. Ia mengatakan sesuatu dan menasihati saya.

p: 240

Katanya, “Sungguh telah berlalu zaman di mana orang-orang pergi ke kota Najaf dan ke kota Qum untuk belajar ilmu-ilmu agama, yang dengan itu mereka bisa mencapai berbagai kedudukan tinggi. Sungguh telah berlalu zaman itu. Imam Alî mengatakan, 'Didiklah anak-anakmu sesuai dengan tuntutan zaman.” Kemudian ia mengatakan, “Apakah orang yang duduk di belakang meja itu punya enam jari?” Lalu, ia juga mengatakan sesuatu yang telah saya keluarkan dari benak saya. Hanya saja, ketika itu, saya tidak mendengar nasihat dan ucapan lakil- aki itu. Kemudian saya pergi ke kota Qum dan tinggal selama lima belas tahun. Setelah itu, saya datang ke kota Teheran. Kitab pertama yang saya terbitkan ialah kitab Ushûl al-Falsafah. Ketika itu, orang yang saya sebutkan di atas telah menduduki kursi di parlemen. Kini, ia sudah menjadi orang pintar dan paham. Semula, keadaannya tidak begitu baik. Akan tetapi, setelah beberapa tahun, keadaannya berubah.

Kejadian yang pernah saya alami di atas telah berlalu selama delapan belas tahun ketika kitab Ushûl al-Falsafah terbit. Saya mengirimkan satu salinan kitab Ushûl al-Falsafah itu kepadanya. Namun, ia sudah lupa bahwa dirinya pernah memberikan nasihat kepada saya untuk tidak melanjutkan pelajaran yang saya tekuni. Setelah membaca kitab itu, ke mana saja ia pergi, ia selalu memuji dan menyanjung saya. Bahkan, ia pernah memuji saya secara langsung di hadapan saya. Dalam benak saya, selalu terlintas keinginan untuk mengatakan bahwa Anda dahulu menasihati saya untuk tidak melanjutkan pelajaran saya. Sekiranya waktu itu saya mengikuti nasihat Anda, maka sekarang ini saya tetap masih menjadi penulis di salah satu kantor. Namun, justru sebaliknya, Anda sekarang memuji saya sampai tingkat seperti ini." Memang, di sana, ada ungkapan-ungkapan indah yang menarik minat dan perasaan sehingga bisa tersebar sedemikian cepat seperti kecepatan listrik. Hal ini terjadi pada sebagian orang. Mereka menggunakan berbagai macam alat dan sarana serta berusaha menjadikan sesuatu yang akan datang sebagai sesuatu yang indah dan baik bagi dirinya. Sementara itu, sebagian orang lainnya bernasib buruk. Demikian juga halnya jika Anda memerhatikan berbagai kalimat dan ucapan. Sebagian kalimat bernasib baik. Tanpa punya nilai, kalimat itu sedemikian cepat tersebar di tengah-tengah manusia laksana listrik yang demikian cepat menyebar di tengah-tengah

p: 241

masyarakat. Di sisi lain, ada beberapa kalimat yang beratus-ratus kali lipat diucapkan dibandingkan kalimat sebelumnya, tetapi tidak bernasib baik sehingga tidak bisa tersebar. Salah satu kalimat atau ucapan yang bernasib baik ialah ucapan, “Janganlah engkau mendidik anak-anakmu dengan akhlakmu.” Sebelumnya, saya telah mengemukakan bahwa jika kalimat itu diartikan sesuai dengan pemahaman sekarang, maka ucapan itu salah. Namun, kalimat itu punya arti dan pemahaman lain yang mungkin saja benar dan tidak seperti pemahaman dan arti sekarang ini. Kita telah membedakan antara akhlak dengan adab atau adat. Adab bukanlah akhlak. Jika demikian halnya, kata adab dalam ucapan itu bisa diartikan sebagai seni, adat, atau kemahiran. Selain itu, kata ini juga mengandung arti akhlak, sifat-sifat jiwa yang khusus, dan sistem yang mengatur cara manusia bisa memberikan bagian kepada masingmasing kekuatan dalam jiwanya. Setiap orang wajib mempelajari sejumlah kemahiran dan keahlian hingga batas-batas tertentu. Artinya, ia wajib mempelajari keahlian dan keterampilan sebatas mendatangkan manfaat pada kemanusiaan dan hanya sebatas memungkinkan dirinya untuk menjalankan dan mengendalikan hidupnya. Dalam mempelajari kemahiran dan keahlian, seseorang harus mengikuti perubahan dan perkembangan zaman. Jika di sini kita mengatakan, “Jangan engkau didik anak-anakmu dengan adabmu,” maka ungkapan itu benar. Atau, kita mengatakan, “Janganlah engkau didik anak-anakmu dengan keahlian dan kebiasaanmu,” maka perkataan itu benar karena hidup selalu berubah. Di sini, seseorang janganlah bersikap keras kepala dalam mendidik anak-anaknya dengan keahlian maupun kemahiran yang telah dikuasainya. Sebab, mungkin saja keahlian atau kemam- puan yang dimilikinya bakal muncul pada masa yang akan datang dalam bentuk lebih baik dan canggih.

Masalah lain juga telah disebutkan. Melalui berbagai pertanya- an yang diajukan kepada saya, jelaslah bahwa masalah adab dan adat kebiasaan perlu dijelaskan lebih jauh. Adab dan adat kebiasaan juga bisa dibagi menjadi dua kelompok, yaitu jenis adab dan jenis adat kebiasaan yang punya warna syariat yang telah menjelaskannya sebagai sesuatu berhukum mustahab. Berdasarkan pandangan bahwa syariat tidak akan memberikan suatu hukum tanpa ada hikmah dan manfaat, maka kita harus menjaga masalah-masalah

p: 242

yang telah disunnahkan oleh Islam sebagai suatu ajaran. Umpamanya saja, dalam bagian sebelumnya, sebagai jawaban atas pertanyaan salah seorang yang hadir, saya menyampaikan bahwa Islam telah menyebutkan serangkaian tata cara makan. Islam bukanlah agama protokoler. Jika Islam menyebutkan serangkaian adab dan tata cara makan, maka hal itu dilakukan dengan pertimbangan adanya kebaikan di dalamnya. Misalnya, Islam mengatakan bahwa mustahab hukumnya seseorang melamakan duduk di depan hidangan makanan. Mustahab hukumnya, ketika makan, seseorang mengunyah makanannya dengan baik. Mustahab hukumnya, ketika seseorang hendak makan, mengucapkan kalimat bismillâh dan, setelah makan, mengucapkan kalimat alhamdulillâh. Mustahab hukumnya membasuh tangan sebelum dan sesudah makan. Semuanya ini bukanlah serangkaian protokoler, melainkan sesuatu yang punya hakikat. Segenap peraturan itu membuat manusia jadi sehat. Gigi, lambung, dan syaraf manusia juga menjadi hat. Islam tidak hanya memerhatikan dimensi roh saja. Memakan makanannya dengan tergesa-gesa akan menimbulkan penyakit bagi manusia. Ini adalah perhitungan yang tidak hanya khusus bagi suatu zaman tertentu dan tidak untuk zaman lain, tetapi juga berlaku bagi segala zaman. Islam mengatakan bahwa mustahab hukumnya seseorang memasukkan suapan kecil ke dalam mulutnya. Mustahab hukumnya seseorang membasuh tangannya sebelum dan sesudah makan. Juga mustahab hukumnya seseorang mengunyah makanannya dengan baik.

Ada sebuah hadis yang menuturkan bahwa Imam Alî punya sebidang tanah pertanian. Abû Nizar menukil hadis ini dan mengatakan bahwa, pada suatu hari, Imam Alî datang ke kebun. Beliau mengambil sebuah bunga dan kemudian memasukkannya ke dalam sumur. Cukup lama Imam Alî melakukan pekerjaannya di dalam sumur. Dan itu dilakukannya dengan tidak tergesa-gesa. Ketika beliau keluar dari sumur, terlihat keringat mengucur dari kepala dan wajahnya. Kemudian Imam berkata kepadaku, “Apakah ada makanan di sana?” Kujawab, “Ada, wahai Imam. Ada buah labuh di sini. Aku akan membawanya kepada Anda." Imam Alî mengatakan, “Bagus, bawakan buah labuh itu kepadaku." Kemudian, Imam Alî pergi ke sungai, lalu mencuci kedua tangannya dengan sabun hingga benar-benar bersih. Ketika hendak minum air dengan kedua tangannya, beliau berkata, “Kedua tanganku

p: 243

adalah wadah yang paling bersih.” Inilah kebersihan. Mustahab hukumnya, ketika selesai makan, seseorang membersihkan sisa-sisa makanan yang tertinggal di sela-sela giginya. Begitu juga, mustahab hukumnya seseorang menggosok giginya. Persoalan-persoalan ini tidak terbatas pada satu tempat dan zaman tertentu.

Manusia harus menyadari satu masalah ini. Terkadang ada sekelom- pok orang yang bersikap jumud beranggapan bahwa Islam, sebagai agama yang lengkap dan mencakup keseluruhan harus mempunyai pandang- an tentang semua urusan, bahkan yang sangat kecil sekalipun. Tidak, masalahnya tidak demikian. Islam punya pertimbangan lain. Ajaran Islam menuntut untuk tidak memberikan hukumnya dalam banyak perkara. Ini bukan berarti bahwa suatu masalah tidak punya hukum sama sekali. Akan tetapi, yang dimaksud ialah bahwa manusia diberi kebebasan untuk meletakkan hukumnya. Ada sebuah hadis yang berbunyi, “Allah sangat suka agar manusia juga bebas dalam berbagai masalah yang di dalamnya ia diberi kebebasan.”Maksudnya ialah bahwa hendaknya manusia menganggap kebebasan yang diberikan sebagai kebebasan juga. Dalam hadis lain, Imam Alî berkata, “Sesungguhnya Allah telah meletakkan larangan-larangan yang tidak boleh dilanggar.

Karena itu, janganlah engkau melanggarnya. Allah telah meletakkan serangkaian kewajiban yang harus dilakukan. Maka, janganlah engkau meninggalkannya. Begitu juga, dalam beberapa masalah, Allah bersikap diam. Namun, itu bukan karena lupa. Maka janganlah engkau kemu- dian menetapkan kewajiban-kewajiban tertentu yang memberatkan- mu.” (Nahj al-Balâghah, hikmah 105).

Dengan demikian, tema yang telah saya paparkan adalah serang- kaian adab dan adat kebiasaan yang berlaku di tengah-tengah masyarakat. Jika seseorang melakukannya, maka hal itu tidak akan merusak dan juga memperbaiki dirinya. Demikian juga halnya jika ia meninggalkan serangkaian adab dan adat kebiasaan itu. Masalah itu didiamkan oleh Allah. Dalam diri manusia ada suatu kecenderungan yang sama sekali tidak bisa dilepaskan dari dirinya. Kecenderungan itu adalah kecenderungan pada serangkaian upacara dan adat. Ada sebuah rahasia yang tersembunyi dalam masalah ini. Jadi, di sini, kita bisa mengatakan bahwa kita harus melakukan perkara ini.

p: 244

Masalah inilah yang saya rasa penting untuk saya jelaskan dalam bagian ini. Dalam bagian ini, secara khusus, saya ingin membicarakan salah satu akhlak yang bersifat tetap, umum, dan tidak menerima perubahan maupun penghapusan. Demikian juga, zaman sama sekali tidak bisa memberikan pengaruhnya kepadanya. Topik yang kita maksud ialah tentang ibadah dan ketaatan. Ibadah merupakan salah satu kebutuhan manusia. Apa yang dimaksud dengan ibadah? Ibadah ialah suatu keadaan yang ada dalam diri manusia. Dari sisi batin, manusia mengarahkan perhatiannya kepada Zat yang telah menciptakannya dan juga menggenggam wujudnya dalam kekuasaan-Nya. Manusia membutuhkan Zat itu. Pada hakikatnya, ini merupakan perjalanan yang ditempuh manusia dari makhluk kepada pencipta-Nya. Terlepas dari semua faedah dan pengaruh yang ditimbulkannya, iba dah merupakan salah satu kebutuhan jiwa manusia. Tidak dilaksanakannya ibadah akan menimbulkan ketidakseimbangan dalam jiwa manusia. Dalam hal ini, saya akan memberikan contoh sederhana. Jika kita hendak meletakkan dua wadah di kedua sisi punggung seekor hewan, maka kedua wadah itu harus seimbang. Tidak boleh satu wadah penuh berisi barang, sementara wadah lainnya dibiarkan kosong. Dalam jiwa manusia, ada ruangan- ruangan kosong. Dalam hati manusia, ada banyak tempat kosong.

Setiap kebutuhan yang tidak terpenuhi akan membuat jiwa manusia gelisah dan tidak seimbang. Sebelumnya, saya telah mengemukakan bahwa jika manusia berniat menghabiskan seluruh umurnya dengan hanya melakukan ibadah dan tidak mau memerhatikan berbagai kebutuhan lainnya, maka kebutuhan-kebutuhan yang tidak terpenuhi itu akan berontak, menyakitkan, dan membuatnya resah. Sebaliknya juga demikian. Sekiranya manusia sepanjang hidupnya hanya berusaha memenuhi keinginan-keinginan materi saja dan tidak mau sama sekali mem perhatikan kebutuhan-kebutuhan spiritualnya, maka roh dan jiwanya senantiasa berada dalam keadaan resah dan memberontak. Di masa mudanya, Nehru adalah seorang yang sama sekali tidak beragama.

Namun, pada masa-masa akhir hidupnya, keadaannya berubah. Ia mengatakan, “Aku merasakan ada sebuah ruangan hampa dalam hatiku dan juga di alam ini, yang tidak mungkin bisa kupenuhi kecuali dengan masalah-masalah spiritual. Terjadinya berbagai goncangan dan keresahan di alam ini disebabkan kekuatan-kekuatan spiritual yang telah dilemahkan. Inilah yang menyebabkan tidak ada lagi keseimbangan

p: 245

di alam ini.” Kemudian ia melanjutkan, “Goncangan-goncangan ini tampak lebih dahsyat terjadi di negara Uni Soviet. Ketika masyarakat kelaparan, rasa lapar itu tidak akan membiarkan masyarakat untuk memikirkan berbagai masalah lain. Mereka hanya berpikir tentang kebutuhan materi mereka saja. Tatkala kehidupan mereka telah mapan, muncul di tengah-tengah mereka suasana keresahan dan kekosongan jiwa. Ketika mereka telah selesai melakukan suatu pekerjaan dan mereka menganggur, maka mereka mulai berpikir hal yang harus mereka lakukan untuk mengisi waktu kosongnya itu? Inilah awal musibah yang menimpa mereka." Kemudian ia melanjutkan ucapannya, “Saya berpikir bahwa tidak mungkin mereka memenuhi waktu-waktu kosong dengan sesuatu yang lain kecuali berbagai urusan spiritual. Kehampaan inilah yang ada dalam diriku.” Jelaslah bahwa manusia benar-benar membutuhkan ibadah dan ketaatan. Berbagai penyakit jiwa banyak merajalela di zaman sekarang. Hal ini disebabkan manusia jauh dari ibadah. Kita belum mengkaji masalah ini.

Namun, yakinlah bahwa masalah ini benar-benar ada. Terlepas dari semua pertimbangan, salat adalah dokter yang senantiasa siap melayani penghuni sebuah rumah. Jika olah raga sangat bermanfaat bagi kesehatan badan, jika air bersih sangat penting dan diperlukan oleh seisi penghuni rumah, jika udara bersih sangat dibutuhkan oleh setiap orang, dan jika makanan sehat dan bergizi diperlukan oleh setiap orang, maka ketahuilah bahwa sa- lat juga sangat penting bagi keselamatan dan kesehatan manusia. Anda mungkin tidak tahu bahwa banyak orang bisa membersihkan jiwanya sekiranya mereka mengkhususkan satu jam saja dari sehari semalam untuk mengadu dan bermunajat kepada Tuhannya. Dengan demikian, unsur-unsur yang akan meresahkan jiwa manusia bisa dikeluarkan dengan perantaraan salat. Di salah sebuah majelis, saya pernah mengatakan bahwa hendaknya Anda tidak mengatakan bah wa Islam adalah agama sosial dan hendaknya Anda tidak katakan bahwa Islam adalah agama akhlak.

Mengapa? Sebab Islam adalah agama yang mencakup semua itu. Islam mengajarkan kepada kita pelajaran-pelajaran sosial yang lebih utama.

Allah berfirman dalam Al-Quran: Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka al-kitab dan neraca (keadilan) supaya

p: 246

manusia dapat melaksanakan keadilan (QS 57: 25). Dalam ayat lain, Allah juga berfirman: Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul dari tengah-tengah mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, menyucikan mereka dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan hikmah (QS 62: 2).

Apakah di sini berarti bahwa Islam memandang rendah nilai yang dimiliki ibadah karena Islam demikian tinggi memandang nilai yang terkandung dalam ajaran-ajaran sosial? Sama sekali tidak. Islam tidak mengecilkan arti ibadah, meskipun hanya sebesar biji sawi. Bahkan, Islam tetap menjaga kedudukan dan derajat ibadah di atas segala se- suatu ini. Dalam pandangan Islam, ibadah merupakan pokok ajaran. Jika ibadah tidak dilaksanakan secara benar, maka masalah-masalah sosial dan akhlak juga tidak akan benar. Jika ibadah tidak diwujudkan, maka kedua ajaran tersebut, yaitu ajaran akhlak dan ajaran sosial, tidak akan bisa berubah menjadi realitas di alam nyata. Janganlah Anda membe- narkan perkataan bahwa, mungkin saja, di dunia ini seseorang adalah seorang Muslim yang baik dari segi akhlak dan sosial, namun bukan seorang Muslim yang baik dari sisi ibadah. Kita tidak mengakui bahwa pada diri seseorang yang tidak mengerjakan salat ada ciri-ciri seorang Muslim. Imam Alî berkata, “Tidak ada sesuatu yang mencapai derajat salat setelah beriman kepada Allah.” Rasulullah Saw pernah bersabda, “Salat tidak ubahnya seperti mata air hangat yang ada dalam rumah seseorang. Di situ ia mandi sebanyak lima kali dalam sehari dengan menggunakan air hangat itu.” Imam Alî berkata, “Engkau harus menepati salat, dan engkau harus memeliharanya.” (Nahj al-Balâghah, khutbah 197).

Allah memerintahkan kepada Rasulullah Saw: Dan perintahkan- lah keluargamu untuk mendirikan salat dan bersabarlah kamu dalam mendirikannya (QS 20: 132). Dalam ayat lain, Allah juga berfirman: Se- sungguhnya Tuhanmu mengetahui bahwasanya kamu berdiri (mengerjakan salat) kurang dari dua pertiga malam, atau seperdua malam, atau se- pertiganya. Dan (demikian pula) segolongan orang-orang yang bersama kamu (QS 73: 20). Begitu juga, dalam ayat lain, Allah berfirman: Dan pada sebagian malam hari dirikanlah salat tahajud olehmu, sebagai ibadah tambahan bagimu. Mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkatmu kepada kedudukan yang terpuji (QS 17: 79).

p: 247

Seorang manusia tidak akan menjadi manusia sempurna tanpa melakukan ibadah. Nabi tetaplah seorang Nabi. Namun, beliau tetap mengerjakan ibadah, ketaatan, dan istighfâr. Imam Ja'far ash-Shâdiq berkata, “Setiap kali Rasulullah Saw duduk dalam suatu majelis, beliau mengucapkan istighfar sebanyak dua puluh lima kali. Yang beliau ucapkan ialah: Astaghfirullâh rabbî wa atûbu ilâih, yaitu aku memohon ampun kepada Allah yang merupakan Tuhanku, dan aku bertobat kepada-Nya.” Alî bin Abî Thâlib adalah seorang Amir al-Mukminin, dan yang hal itu disebabkan beliau ada lah seorang pribadi yang lengkap dan mencakup.

Beliau adalah seorang pemimpin yang adil dan juga seorang ahli ibadah yang senantiasa melaksanakan ibadah di pertengahan malam. Ibadah- ibadah yang dilakukannya itu telah memberikan kekuatan sedemikian rupa kepada Ali bin Abi Thâlib, yakni, misalnya, cahaya yang senantiasa menerangi hatinya. Kita jangan sampai melupakan nilai yang terkandung dalam ibadah. Suatu hari, beberapa tahun sesudah kesyahidan Imam Alî bin Abî Thâlib, Adî bin Hatim datang menjumpai Mu'awiyah.

Mu'âwiyah tahu bahwa Adî bin Hatim adalah salah seorang sahabat dan pembantu terkemuka Imam Ali bin Abi Thâlib. Karena itu, Mu'êwiyah memaksanya mengatakan sesuatu guna menjelekkan Im- am Alî. Ia berkata, “Wahai Adî, mana putraputramu? (Adî bin Hatim punya tiga orang putra yang sudah mencapai usia pemuda dan mereka telah gugur sebagai syahid membela Imam Alî dalam Perang Shiffin).

Dengan ucapannya ini, Mu'âwiyah bermaksud membuat Adî bin Hatim sedih dan mengungkapkan ketidakpuasannya pada Imam Alî.

Adî bin Hatim menjawab, “Mereka telah mati syahid membela Alî bin Abî Thâlib ketika berperang melawanmu. Waktu itu, engkau berada di bawah panji kekufuran.” Mu'âwiyah berkata, “Wahai Adî! Alî tidak berlaku baik kepadamu.” Adi bin Hatim menjawab, “Bagaimana mung- kin?" Mu'êwiyah berkata, “Ia menjaga putra-putranya dan membiarkan putra-putramu terbunuh.” Adi menjawab, “Wahai Mu'âwiyah! Justru akulah yang tidak berlaku baik kepada Alî bin Abî Thalib. Seharusnya Alî tidak boleh terkubur di dalam tanah, sementara aku masih hidup.

Alangkah baiknya kalau aku yang mati duluan, sementara Alî masih hidup.” Mu'êwiyah melihat bahwa permusuhan dan tipu muslihatnya tidak mendatangkan manfaat. Salah satu cara yang digunakan oleh Mu'âwiyah ialah bahwa jika ia tahu bahwa cara keras yang digunakannya tidak akan mendatangkan manfaat, maka ia

p: 248

akan mengubahnya dengan cara halus. Mu'êwiyah berkata, “Wahai Adî, waktu pembicaraan semacam itu telah berlalu. Karena engkau telah lama bergaul dengannya, maka ceritakanlah kepadaku tentang sifat- sifat dan perihal Alî bin Abî Thalib.” Adî bin Hatim berkata, “Wahai Mu'âwiyah, maafkan aku.” Kemudian Mu'awiyah berkata, “Tidak, engkau harus menceritakannya.” Adî bin Hatim berkata, “Baiklah, aku akan menceritakan apa yang kuketahui, bukan apa yang engkau sukai.” Mu'âwiyah berkata, “Silakan.” Kemudian Adî bin Hatim mengawali pembicaraannya tentang Alî bin Abî Thâlib. Ia berkata, “Salah satu kelebihan yang dimilikinya ialah bahwa ia adalah seorang yang seluruh wujudnya memancarkan ilmu dan hikmah. Wahai Mu'awiyah! Sesungguhnya Alî adalah seorang yang lemah lembut di hadapan orang-orang lemah. Namun, ia akan berubah menjadi orang kuat dan perkasa di hadapan orang-orang zalim. Alî bin Abî Thâlib tidak pernah sombong, meskipun duduk di tengah-tengah kita. Ia duduk dalam posisi yang sama sekali tidak berbeda dengan orang lain. Namun Allah telah menganugerahkan kepadanya kharisma yang meresap dalam hati manusia sampai-sampai kami tidak akan berbicara sebelum minta izin darinya." Sesudah itu, Adî bin Hatim meneruskan ucapannya, “Wahai Mu'êwiyah! Aku ingin menuturkan kepadamu peristiwa yang kulihat dengan mata kepalaku sendiri. Suatu malam, aku melihat Alî bin Abî Thâlib sedang melakukan ibadah di mihrab.

Aku mendapatkan Alî bin Abî Thâlib tengah tenggelam dalam dekapan Tuhan-Nya. Sambil memegangi janggutnya, ia menyesalkan dunia dan neraka, lalu bergumam, 'Wahai dunia, tipulah orang lain selain diriku.” Demikianlah Adî bin Hatim menuturkan perihal Alî bin Abî Thâlib.

Ucapannya mengharu biru hati Mu'âwiyah yang keras membatu. Ia mengambil sapu tangannya untuk mengusap air mata yang membasahi kedua pipi dan mukanya. Ketika itu, Mu'êwiyah berkata, “Sungguh, dunia ini mandul untuk bisa melahirkan seorang seperti Alî bin Abî Thalib.” Sungguh, musuh telah saksikan berbagai keutamaannya. Dari dir- inya berbagai keutamaan bisa disaksikan musuh.

Imam Ali bin Abî Thâlib adalah seorang yang berbagai keutamaannya diakui oleh musuh-musuhnya.

p: 249

p: 250

ANALISIS ATAS PANDANGAN RELATIVITAS KEADILAN

Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata, dan telah Kami turunkan bersama mereka Al- Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat menegakkan keadilan (QS 57:25).

p: 251

p: 252

POKOK bahasan kita kali ini adalah masalah keadilan.

Apakah keadilan bersifat relatif atau mutlak? Saya akan menyebutkan lebih dahulu relevansi pokok bahasan kali ini dengan pokok bahasan dalam beberapa bagian sebelumnya. Diskusi kita dalam beberapa bagian sebelumnya berkaitan dengan tuntutan-tuntutan zaman. Se- belumnya, kita telah menyebutkan beberapa hal yang punya tuntutan- tuntutan berbeda. Hal-hal ini selalu berubah. Akan tetapi, ada juga sejumlah kebutuhan atau tuntutan yang tetap dan tidak berubah dalam segala zaman. Semuanya ini harus dijaga dan penyimpangan yang dilakukan suatu zaman dalam berbagai masalah membuktikan bahwa zaman itu telah rusak dan menyimpang. Dengan kata lain, ada dua bagian dalam kebutuhan-kebutuhan manusia, entah sebagai individu maupun anggota masyarakat. Sebagian kebutuhan manusia bersifat tetap dan permanen. Sebagian kebutuhan lainnya bersifat tidak tetap dan berubah. Dalam hal ini, kita wajib memerangi dua kelompok or- ang. Kelompok pertama adalah orang-orang yang tidak meyakini bahwa zaman bisa mengalami perubahan. Mereka mengatakan bahwa kebutuhan-kebutuhan manusia bersifat tetap dan tidak berubah dalam setiap zaman. Mereka ini kita sebut orang-orang jumud dan keras kepala. Kelompok kedua adalah orang-orang jahil dan bodoh. Mereka berkeyakinan bahwa semua hal, tanpa kecuali, pasti berubah. Dalam pandangan orang-orang jumud, tidak ada satu pun bisa berubah sesuai dengan tuntutan-tuntutan zaman. Sementara itu, dalam keyakinan orang-orang jahil dan bodoh, tidak ada satu pun bersifat tetap dan kekal di alam ini. Pokok bahasan ini telah kita diskusikan dalam bagian-bagian sebelumnya.

Orang-orang jahil dan bodoh punya dua hipotesis setengah filosofis. (Sebab, di kalangan para pemikir,

p: 253

ada juga hipotesis seperti ini. Saya menyebutnya demikian agar kaum Muslim sadar, menaruh perhatian, dan punya jawaban sebelum mereka menjadikannya sebagai tema). Dalam hal ini, ada dua hipotesis. Jika seseorang menerima kedua hipotesis ini, maka ia harus menerima pernyataan mereka bahwa tidak ada satu hukum dan undang-undang pun bersifat tetap. Kedua hipotesis ini adalah relativitas akhlak dan relativitas keadilan. Akhlak berkaitan dengan keadaan manusia dan sistem yang mengatur semua naluri dalam dirinya. Sementara itu, keadilan berkaitan dengan sistem sosial. Pandangan yang meyakini relativitas akhlak mengatakan bahwa tidak mungkin dan tidak ada satu nilai akhlak pun berlaku selamanya dalam kehidupan manusia. Dengan demikian, tidak ada satu pun ajaran akhlak yang sanggup terus bertahan dalam kehidupan manusia. Sementara itu, pandangan yang meyakini relativitas keadilan mengatakan bahwa keadilan bersifat relatif.

Karena itu, tidak ada satu pun ajaran keadilan yang mampu terus bertahan untuk selamanya. Sekarang, kita mesti menjelaskan kedua pandangan ini.

Berkenaan dengan relativitas keadilan, kita harus membahas pengertian kata relativitas (nisbiyyah) dalam ungkapan itu lebih dahulu. Yang disebut relatif adalah membandingkan sesuatu, sifat, atau keadaan dengan yang lainnya. Umpamanya saja, besar dan kecil adalah dua sifat yang relatif. Jika Anda ditanya tentang ukuran besar dan kecil, bisakah Anda menentukannya secara mutlak? Kadang-kadang orang mengatakan bahwa hari ini ia melihat seekor kambing besar. Kadang- kadang juga ia menekankan betapa besarnya kambing itu sampai- sampai ia mengatakan bahwa kambing yang dilihatnya itu sebesar anak sapi. Ada seekor kambing berukuran sedang. Jika kambing ini sudah mencapai ukuran sebesar anak sapi, maka ia telah berumur setahun.

Artinya, kambing ini sudah masuk dalam ukuran besar. Namun, sekiranya Anda melihat ada seekor unta sebesar sapi, maka Anda akan mengatakan betapa kecilnya unta itu. Anda menyebut seekor kambing sebesar anak sapi sebagai kambing besar. Akan tetapi, pada saat yang sama, Anda mengatakan bahwa seekor unta yang berukuran sebesar sapi adalah kecil. Bagaimana mungkin sesuatu yang berukuran sebesar anak sapi dikatakan besar, sementara sesuatu yang berukuran sebesar sapi disebut kecil, padahal sapi jelas lebih besar daripada anak sapi?

p: 254

Begitu pula dengan jarak. Jauh dan dekat bersifat relatif. Terkadang Anda mengatakan kepada orang yang tinggal di dekat Markas Angkatan Udara (di Teheran) bahwa rumahnya sangat jauh. Di saat lain, Anda me- ngatakan bahwa Qum dekat dengan Teheran (berjarak 140 kilometer). Jika kita membandingkan jarak sesuatu dengan jauhnya rumah, maka Markas Angkatan Udara lebih jauh jaraknya dari sini. Namun, jika kita membandingkan jarak kota, maka orang akan mengatakan bahwa Qum dekat dengan Teheran. Sebab, jauh dan dekat itu bersifat relatif. Artinya, tidak ada ukuran pasti dan universal bisa ditetapkan pada jauh dan dekat.

Namun, kita katakan bahwa sesuatu itu jauh atau dekat bila dibandingkan dengan sesuatu dalam ukuran tertentu. Semuanya ini berubah ses dengan apa yang dibandingkannya dan, dengan demikian, bersifat relatif.

Karena itu, kita tidak bisa memberlakukan hukum atau aturan univer- sal atas hal-hal seperti ini. Namun, hal-hal yang demikian itu bersifat mutlak. Meskipun ada sekelompok orang yang menolak pernyataan ini mengatakan bahwa tidak ada sesuatu pun yang bersifat mutlak, perlu diketahui bahwa pandangan ini salah. Lepas dari itu, ada sebagian hal yang bersifat mutlak seperti bilangan dan ukuran. Apakah bilangan dua puluh baru bisa disebut sesudah dibandingkan dengan sesuatu? Jika saya mengatakan 20 kacang atau 20 bintang, apakah keduanya ini ber- beda dari sisi bilangan? Tidak. Dari segi bilangan, keduanya berjumlah sama. Dari segi jumlah atau kuantitas, keduanya juga sama. Demikian juga halnya dengan ukuran jika dibandingkan dengan zaman. Ukuran itu bersifat mutlak. Umpamanya saja, kita mengukur sehelai bahan kain dengan ukuran meter, dan mereka menentukan ukuran 1,8 meter, atau mereka mengatakan bahwa tinggi manusia 1,8 meter. Ukuran 1,8 meter tidak akan berubah pada setiap orang dan segala zaman.

Sementara itu, ada perbedaan dalam besar dan kecil. Kini, jelaslah bah-wa, bagi kita, ada sebagian hal yang bersifat relatif, dan sebagian lagi bersifat mutlak.

Sekarang kita akan melihat ihwal apakah keadilan itu bersifat re- latif atau mutlak. Sekiranya keadilan bersifat relatif, maka ini berarti bahwa pernyataan orang-orang jahil dan bodoh itu benar. Dengan kata lain, kesimpulannya ialah bahwa pemahaman keadilan berbeda sesuai dengan perbedaan dalam masyarakat manusia. Pada setiap zaman,

p: 255

keadilan mempunyai bentuk dan pengertian khusus. Dengan demikian, kita tidak mungkin bisa meletakkan suatu hukum atas keadilan itu.

Agama atau ajaran mana pun tidak mungkin bisa meletakkan hukum dan mengatakan bahwa inilah keadilan yang harus dilaksanakan di se- tiap tempat dan zaman. Paling tinggi, yang bisa dilakukan agama atau suatu ajaran hanyalah meletakkan hukum keadilan bagi suatu tempat atau zaman tertentu saja. Keadilan tidak mungkin berupa sesuatu yang tunggal di semua zaman dan tempat, persis sebagaimana kita tidak bisa meletakkan ukuran besar ataupun kecil pada setiap perkara.

Jika pernyataan itu benar dan bahwa ke adilan itu bersifat relatif, maka pernyataan mereka adalah benar. Namun, jika pernyataan mereka tidak benar dan keadilan bersifat mutlak, pernyataan kita pun benar.

Kita harus mengetahui hakikat keadilan. Dari definisi keadilan, kita akan paham ihwal apakah keadilan itu bersifat relatif atau mutlak sesuai dengan apa yang saya dapatkan, kita bisa mendefinisikan arti keadilan dalam tiga cara. Pertama, keadilan berarti persamaan dan kesamaan karena keadilan berasal dari kata al-'adl yang berarti persamaan. Kata itu telah disebutkan dalam Al-Quran dengan arti per samaan. Allah berfirman: Kemudian orang-orang yang kafir menyamakan (sesuatu) dengan Tuhan mereka (QS 6:1).

Kadang-kadang kita mendefinisikan keadilan sebagai persamaan.

Benarkah definisi ini? Jawabannya adalah: apakah yang dimaksud dengan persamaan (al-musâwâh)? Dan persamaan dalam apa? Sebagian orang mendefinisikan keadilan sebagai persamaan. Mereka mendefinisikan persamaan sebagai memberi hak hidup manusia pada tingkat yang sama dalam semua kenikmatan. Arti per samaan ialah bahwa manusia beroleh makanan dari jenis yang sama. Kekayaan yang mereka miliki adalah sama dan tanpa ada perbedaan sedikit pun. Rumah dan tempat tinggal mereka serupa. Model dan jenis mobil yang mereka kendarai haruslah sama. Singkat kata, semua manusia harus memiliki segala sesuatu dari jenis yang sama. Yang demikian akan mengantarkan mereka pada ke- bahagiaan. Misalnya saja, harta dan kekayaan adalah salah satu unsur yang melahirkan kebahagiaan. Demikian juga, rumah dan kehidupan bisa mendatangkan kebahagiaan. Begitu juga halnya dengan yang lain.

Menurut pandangan ini, keadilan ialah bahwa manusia harus sama dari berbagai hal yang bisa mendatangkan kebahagiaan. Jika

p: 256

kita menafsirkan keadilan dalam pengertian ini, maka yang demikian itu tidak benar. Keadilan seperti ini sama sekali tidak benar. Bahkan, ini adalah sebuah kezaliman. Mengapa? Alasan pertama ialah bahwa keadilan, dalam pengertian di atas, tidak akan mungkin dapat terlaksana karena sebagian hal yang akan mendatangkan kebahagiaan itu ada di hadapan kita, dan sebagian lain tidak kita dapatkan di hadapan kita. Dengan demikian, kita tidak mungkin membagi kedua hal itu sama. Sebab, sesuatu yang bisa mendatangkan kebahagiaan bukan hanya terbatas pada harta, kendaraan, makanan, dan hal-hal sejenisnya. Semuanya ini hanyalah salah satu bagian penyebab datangnya kebahagiaan. Aristoteles mengatakan bahwa sesuatu yang bisa mendatangkan kebahagiaan ada sembilan (atau lebih dari sembilan). Tiga penyebab pertama yang dapat mendatangkan kebahagiaan ada dalam tubuh, tiga penyebab berikutnya ada dalam roh atau jiwa manusia, dan tiga penyebab terakhir ada di luar diri atau wujud manusia. Tiga penye bab kebahagiaan pertama yang ada dalam tubuh adalah kesehatan, kekuasaan, dan kemampuan. Demikian juga halnya dengan kecantikan yang khusus bagi wanita. Tiga penyebab kebahagiaan kedua yang ada dalam roh atau jiwa manusia adalah keadilan, hikmah, dan pengetahuan. Kebahagiaan yang dimiliki seorang berpengetahuan dengan seorang yang tidak berpengetahuan tidaklah berada pada derajat yang sama. Yang terakhir ialah keberanian.

Yang dimaksud dengan keberanian di sini tidaklah berupa kekuasaan dan kekuatan, melainkan kekuatan dan keteguhan hati. Tiga penyebab kebahagiaan terakhir yang ada di luar diri manusia adalah harta dan kekayaan, pangkat dan kedudukan dalam masyarakat, suku, atau keluarga. Nilai semua penyebab kebahagiaan di atas tidaklah sama pada setiap manusia. Dengan demikian, jika kita hendak membagi sama rata segala sesuatu yang menyebabkan timbulnya kebahagiaan dalam diri manusia, maka hal itu tidak mungkin dilakukan dalam beberapa hal. Misalnya, kita bisa saja membagi-bagikan harta kekayaan berikut segala sesuatu yang menghasilkannya secara merata kepada seluruh manusia. Namun, yang demikian ini tidak bisa kita lakukan dalam hal-hal lainnya. Misalnya saja, mungkinkah kita membagi kedudukan secara merata di antara seluruh manusia? Di negara-negara komunis seperti Uni Soviet dan Cina, kita jumpai seorang seperti Mao Tse Tung

p: 257

dan Chou En Lai, yang sangat terkenal dan termasyhur di seluruh dunia.

Akan tetapi, rakyat tidak mungkin memperoleh kedudukan yang sama.

Dengan kata lain, mereka tidak mungkin membagi penghormatan secara sama rata di antara mereka. Mereka tidak mungkin bisa membagi kecintaan sesama mereka secara merata. Mungkinkah mereka bisa membagi anak di antara mereka secara sama? Sama sekali tidak.

Mungkin kritikan di atas bisa ditolak dengan mengatakan bahwa yang kita maksud dengan keadilan di sini adalah keadilan dalam berbagai urusan yang setidak-tidaknya masih berada dalam jangkauan kekuasaan manusia. Artinya, keadilan yang dimaksudkan di sini adalah keadilan dari sisi ekonomi atau sesuatu yang berkaitan dengan ekonomi.

Sebagai jawabannya, kita juga mengatakan bahwa yang demikian itu juga bukanlah keadilan. Apakah semua manusia diciptakan dengan membawa potensi dan kemampuan yang sama? Apakah semua manusia punya potensi akal dan pemikiran yang sama? Apakah potensi mereka dalam seni itu sama? Apalagi, potensi, kemampuan otak, dan pemikiran mereka tidaklah sama dari segi berbagai ilmu pengetahuan. Demikian juga, kita tidak mungkin menemukan dua orang yang benar-benar sama secara lahiriah. Pasti di antara mereka berdua ada perbedaan. Apakah semua manusia diciptakan dalam keadaan punya potensi kekuatan badan yang sama? Apakah semua manusia tercipta dengan perasaan dan emosi yang sama? Demikian juga, apakah semua manusia diciptakan dalam keadaan punya kecenderungan dan selera yang sama? Sebagian manusia punya kecenderungan terjun dalam dunia perdagangan, sebagian lain punya kecenderungan terjun dalam kancah percaturan politik. Sebagian lagi cenderung terjun dalam dunia lembaga kehakiman, sedangkan sebagian manusia lainnya punya selera dan kecenderungan terjun dalam dunia pendidikan. Sekarang terbukti bahwa manusia berbeda satu sama lain. Hasil dari pekerjaan setiap orang juga tidak sama. Artinya, sebagian orang punya kemampuan usaha dan kerja lebih banyak, sementara sebagian lainnya punya kemampuan usaha dan kerja lebih sedikit. Di Uni Soviet tidak semua orang punya kemampuan dan kecerdasan seperti Khurschev. Karena kecerdasan, kemampuan kerja, dan kreativitas masing-masing individu tidak sama, apakah kita harus memberikan upah yang sama kepada mereka meskipun ada perbedaan di antara setiap individu? Jika kita mengirimkan dua orang anak ke

p: 258

sekolah, dan yang satu rajin, sementara yang lain malas, maka apakah di akhir tahun kita akan memberikan nilai yang sama kepada kedua anak itu, dengan alasan bahwa negara kita menganut persamaan dan sama sekali tidak menerima perbedaan? Apakah hanya karena kita menganut persamaan, lantas kita memberikan nilai sama kepada kedua anak itu? Jelaslah bahwa ini bertentangan dengan keadilan dan justru merupakan suatu kezaliman. Selain bertentangan dengan keadilan, perbuatan ini juga bertolak belakang dengan kemaslahatan masyarakat manusia.

Sebab, dengan perlakuan seperti ini, anak yang malas akan tetap malas, dan anak yang rajin akan berubah jadi malas. Buat apa ia rajin belajar kalau hasilnya nanti sama dengan yang dicapai oleh anak yang malas? Dengan demikian, tidak ada bedanya antara bekerja atau tidak bekerja.

Kreativitas seseorang kadang-kadang lebih baik ketimbang kreativitas orang lain. Misalnya saja, ia punya kemampuan menciptakan sesuatu yang baru, sementara orang lain tidak. Sekiranya seseorang menemukan sesuatu dan nama penemunya tidak disebut-sebut, serta hanya disebutkan bahwa ini adalah hasil temuan masyarakat, maka bisa dipastikan bahwa sang penemu tidak bersemangat lagi untuk menemukan sesuatu yang baru. Seseorang tergerak semangatnya untuk mengadakan penelitian dan menemukan sesuatu yang baru karena ia ingin namanya dicatat dan dikenang sejarah. Karena itu, manusia tidak akan mau menyelami persamaan hingga tingkat seperti ini.

Jika kita mengartikan keadilan sebagai persamaan dalam hal upah dan kenikmatan, maka yang demikian itu tidak akan terjadi. Yang demikian ini justru adalah sebentuk kezaliman dan sama sekali bukan keadilan. Hal ini akan menimbulkan keresahan dan kesumpekan di tengah masyarakat karena tabiat dan watak masing-masing individu itu berbeda.

Dalam hal ini, Anda mungkin melontarkan pertanyaan. Mengapa manusia tidak diciptakan dalam bentuk yang sama? Mengapa sejak semula Allah tidak berlaku adil—kita berlindung kepada Allah dari pernyataan demikian-dengan cara menciptakan semua manusia dalam bentuk dan keadaan yang sama? Kesempurnaan akan muncul dari berbagai perbedaan yang ada. Perbedaan-perbedaan inilah yang melahirkan gerak dan dinamika. Sekiranya saya dan Anda punya bentuk, pemikiran, potensi, dan selera yang sama, maka saya akan melakukan

p: 259

apa yang Anda lakukan dan sebaliknya. Jika demikian, lantas apa yang bisa saya lakukan di sini dan juga apa yang bisa Anda lakukan? Sekarang, mengapa Anda bekerja sebagai pedagang, sementara saya bertugas sebagai pencari ilmu? Mengapa kita semuanya tidak melakukan pekerjaan yang sama? Penyebab semua ini ialah perbedaan.

Perbedaan bukanlah kekurangan, melainkan kesempurnaan. Kita tidak bisa mengatakan bahwa yang satu adalah kekurangan, sedangkan yang lain adalah kesempurnaan. Segala sesuatu adalah kesempurnaan ketika menempuh jalannya. Masing-masing kita tidaklah sempurna. Akan tetapi, kumpulan dari kita-kita inilah yang membentuk kesempurnaan.

Individu-individu yang berkumpul dalam suatu masyarakat itulah yang membentuk kesempurnaan. Masing-masing kita memerlukan hidung dan alis. Hidung dan alis harus ada pada diri kita. Hidung harus lurus, sementara alis harus bengkok. Jika hidung berbentuk bengkok seperti alis, maka ia akan jelek. Dan demikian juga halnya jika alis berbentuk lurus seperti hidung. Alis akan jelek. Hidung yang lurus dan mancung itulah yang dicari, sementara alis yang bengkok itulah yang dicari.

Akibat dari gerak akan muncul diam. Jika tidak ada orang jahil di satu sisi dan tidak ada orang berilmu di sisi lain, maka tidak akan mungkin terjadi proses belajar mengajar. Perbedaan inilah yang menyebabkan seseorang tertarik kepada orang lain. Inilah yang menyebabkan ter- tariknya sebagian orang kepada sebagian yang lain. Sekiranya semua anggota masyarakat manusia itu sama, maka tidak akan ada sebagian orang tertarik pada sebagian lainnya persis seperti bebatuan. Tak ada satu batu pun mampu menarik batu lainnya atau — menurut sebuah ungkapan, "dua hal yang sama tidak mungkin berkumpul”. Jika seseorang punya segala sesuatu yang juga dimiliki orang lain, maka ia tidak mungkin bisa menarik orang lain. Perbedaan antara pria dan wan- ita dan antarwanita dan setiap pria adalah sebentuk pengaturan agung dalam penciptaan sehingga manusia bisa membangun rumah tangga yang harmonis. Seorang pria mengambil seorang wanita sebagai isteri- nya, dan begitu juga seorang wanita mengambil seorang pria sebagai suaminya, sehingga tercipta suatu aturan yang sempurna mengenai pembentukan mahligai rumah tangga. Ini semua disebabkan seorang pria tidak punya yang dimiliki seorang wanita. Begitu juga sebaliknya, seorang wanita tidak punya sesuatu yang dimiliki seorang

p: 260

pria. Dengan demikian, terjadilah tarik-menarik satu sama lain. Wanita tidak mempunyai daya tarik bagi sebagian wanita lainnya, dan demikian juga pria tidak mempunyai daya tarik bagi sebagian pria lainnya. Akan tetapi, yang ada ialah bahwa wanita punya daya tarik pada pria, dan pria punya daya tarik pada wanita. Sebab dari semuanya ini adalah perbedaan di antara keduanya. Karena itu, jangan Anda berangan-angan bahwa wanita dan pria diciptakan dalam keadaan yang sama.

Dalam salah satu ayatnya, Al-Quran menyebutkan bahwa perbedaan itu adalah salah satu tanda kebesaran Allah. Al-Quran mengatakan, Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui (QS 30: 22). Demikian juga halnya dengan perbedaan di antara berbagai bangsa. Allah berfirman dalam Al-Quran: Manusia itu adalah umat yang satu, (setelah timbul perselisihan), maka Allah mengutus para nabi sebagai pemberi kabar gembira dan sebagai pemberi peringatan (QS 2: 213). Demikian juga halnya dengan sebuah hadis yang berkata kepada kita, “Perbedaan yang terdapat di antara umatku adalah rahmat." Hadis ini bisa ditemukan dalam beberapa riwayat. Yang dimaksudkan bukanlah perang atau perselisihan, melainkan perbedaan diantara mereka.

Dengan demikian, sekiranya kita hendak mengartikan keadilan se- bagai persamaan, sedangkan persamaan itu kita artikan sebagai kesamaan dalam kedudukan dan status sosial, maka jelaslah bahwa ini adalah pengertian yang salah. Namun, kita bisa menafsirkan keadilan dengan makna lain jika kita menaruh perhatian dalam masalah ini. Kita juga bisa mengatakan bahwa keadilan, dalam makna kedua ini, adalah persamaan.

Tentu saja, persamaan yang dimaksud ialah persamaan dalam bentuk lain. Penafsiran yang diberikan oleh orang-orang terdahulu mengenai keadilan ialah “Memberikan hak kepada orang yang memang berhak menerimanya." Setiap manusia lahir ke dunia ini dengan membawa kemampuan tertentu pada awal penciptaannya. Dari sini, hak-hak itu dibangun. Kita harus mengetahui dan meneliti esensi masing-masing sesuatu. Setelah itu, barulah jelas bagi kita yang layak untuknya dan potensi apa yang dimilikinya. Dengan kata lain, apa yang menjadi tuntutan watak dan tabiatnya? Pada tubuh manusia, misalnya, mata

p: 261

punya hak. Tangan juga punya hak lain. Jika kita memberikan hak mata kepada tangan, maka kita bukan saja tidak berkhidmat kepada tangan, melainkan juga telah menghentikannya dari pekerjaan. Segala sesuatu punya hak dan sumbernya ialah asal penciptaannya itu sendiri.

Umpamanya saja, seandainya kita bertanya kepada mereka yang berbicara tentang keadilan, persamaan, dan kebersamaan ihwal mengapa, misalnya, Zaid menjadi perdana menteri dari sekian banyak rang, pastilah mereka akan menjawab bahwa Zaid memang layak dan berkualifikasi menduduki jabatan itu. Semula, Zaid adalah seorang pegawai biasa. Kemudian ia ikut serta dalam pemilihan partai dan berhasil.

Setelah itu, ia juga berhasil menduduki kursi di lembaga yang lebih tinggi, dan kemudian berhasil menduduki kursi di lembaga tertinggi.

Demikianlah, ia meniti segenap tingkatan jabatan. Akhirnya, ia sampai kepada posisi sebagai perdana menteri. Demikian juga halnya dengan keadilan. Jadi, yang menjadi dasar ialah kelayakan dan kualifikasi. Jika kita memberikan hak kepada orang yang tidak layak dan tidak berhak menerimanya, maka jelaslah bahwa kita telah berbuat zalim dan tidak adil. Karena itu, Allah telah menciptakan tujuh benua dan memberi- kan haknya masing-masing.

Inilah makna pertama keadilan. Persamaan bisa Anda temukan dalam hukum yang memandang semua orang sama dalam masyarakat.

Yang dibela ialah orang-orang yang berhak dan berdiri di atas kebenaran.

Dengan kata lain, hukum juga berlaku sama kepada semua manusia yang punya kesamaan dari segi penciptaan. Bagi manusia-manusia yang tidak punya kondisi dan keadaan yang sama, hukum juga harus mem- perlakukan mereka sesuai dengan kondisi dan keadaan mereka. Inilah makna kedua keadilan, selanjutnya akan memaparkan makna ketiga keadilan di bagian berikutnya. Hingga di sini saya akhiri pembicaraan saya.

p: 262

PENGERTIAN KEADILAN DAN SANGGAHAN ATAS PAHAM RELATIVITAS KEADILAN

Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata, dan telah kami turunkan bersama mereka Al-Kitab dan neraca (keadilan), supaya manusia dapat menegakkan keadilan (QS 57:25).

p: 263

p: 264

MASALAH relativitas keadilan berkaitan dengan dasar penutup dan keabadian agama. Sebab, agama mengatakan bahwa keadilan adalah salah satu tujuan diutusnya para nabi. Sekiranya keadilan punya berbagai macam bentuk di setiap zaman, adakah hukum dan undang-undang yang tetap kekal abadi? Karena itu, kita harus lebih dahulu menguraikan makna relativitas. Setelah itu, barulah kita menjelaskan makna keadilan agar kita bisa mengetahui ihwal apakah keadilan bersifat relatif atau tidak. Dalam pembahasan tentang beberapa definisi keadilan, kita sudah sampai pada paham yang mengatakan bahwa keadilan adalah menjaga keseimbangan dalam masyarakat. Artinya, keadilan adalah segala sesuatu yang bisa melahirkan kemaslahatan bagi masyarakat atau menjaga dan memeliharanya dalam bentuk lebih baik sehingga masyarakat meraih kemajuan. Mereka punya pandangan khusus tentang masalah hak.

Mereka mengatakan bahwa hak hanyalah milik masyarakat, dan sama sekali tidak ada artinya usaha untuk menjaga hak-hak individu. Hak bukanlah milik individu. Dan individu sama sekali tidak punya hak.

Salah seorang pemikir mengatakan bahwa hak hanyalah diperuntukkan bagi masyarakat, sedangkan kewajiban diperuntukkan bagi individu.

Individu-individu hanya punya kewajiban, sedangkan hak adalah milik masyarakat. Kini, kita hendak membuktikan ihwal apakah pandangan ini benar atau salah.

Dalam kitab Nahj al-Balâghah, ada sebuah khutbah yang tampaknya disampaikan Imam Alî pada masa awal kekhalifahannya. Khutbah ini membicarakan masalah hak dan kewajiban, sangat berharga, dan sarat dengan makna dan pelajaran. Salah satu kalimat yang banyak dikenal dari khutbah ini ialah, “Hak adalah sesuatu yang sangat luas untuk disifati, tetapi sangat sempit untuk bisa dilaksanakan.” (Nahj

p: 265

al-Balâghah, khutbah 214). Ketika seseorang yang selalu mendengung- dengungkan hak hendak terjun ke medan pelaksanaan, ia akan mengetahui betapa sulitnya melaksanakan hak. Sesudah itu, ada kalimat berikutnya yang berbunyi, “Hak seseorang tidak akan terlaksana kecuali dengan melaksanakan kewajibannya. Begitu juga, kewajiban seseorang tidak akan terlaksana kecuali dengan melaksanakan haknya.” (Nahj al-Balaghah, khutbah 214). Artinya, setiap orang punya hak atas orang lain, dan orang lain pun punya hak atas diri orang itu. Mustahil Anda menemukan bahwa seseorang punya hak atas orang lain, tetapi orang lain tidak punya hak atas diri orang itu. Demikian juga, Anda tidak akan menemukan bahwa seseorang punya kewajiban saja kepada orang lain, tetapi sama sekali tidak punya hak atas orang lain. Jadi, hak dan kewajiban bersifat timbal balik. Hak adalah sesuatu yang akan berlaku atas seseorang manakala kewajiban juga berlaku atas diri orang itu.

Artinya, seseorang mustahil punya hak atas orang lain manakala ia tidak punya kewajiban kepada orang lain.

Demikianlah masalah hak dan kewajiban serta bantahan atas pandangan bahwa masyarakat punya hak atas individu, tetapi individu tidak punya hak atas masyarakat, dan mereka harus melakukan segenap kewajiban mereka. Dengan kata lain, kewajiban hanya berkaitan dengan individu-individu. Hanya saja, mereka ini tidak punya hak atas masyarakat. Imam Alî mengatakan bahwa masalah itu tidaklah demikian. Beliau mengatakan bahwa hak yang dimiliki seseorang tidak akan terlaksana kecuali bila kewajibannya juga terlaksana.

Setelah itu beliau menambahkan, “Kalaupun terdapat pihak yang haknya terlaksana namun dia tidak mempunyai kewajiban atas yang lain, maka itu hanya khusus untuk Allah.” (Nahj al-Balâghah, khutbah 214).

Ucapan itu sungguh benar. Sebabnya ialah bahwa hak tidaklah bersifat timbal balik bagi Allah. Hak yang dimiliki Allah atas makhluk- Nya berbeda dari hak yang dimiliki seseorang atas orang lain. Hak yang dimiliki selain Allah berarti bahwa orang yang punya hak memperoleh suatu manfaat tertentu. Sementara itu, hak yang dimiliki Allah bukan berarti bahwa Dia mendapatkan manfaat. Artinya ialah bahwa orang lain punya tanggung jawab di hadapan Allah, dan mereka hanya punya kewajiban saja. Tidak mungkin seseorang punya hak atas Allah. Akal

p: 266

kita sangat kerdil untuk bisa membenarkan bahwa ada seseorang yang punya hak atas Allah meskipun seorang Nabi terakhir sekalipun. Artinya, tidak mungkin ada seseorang punya piutang kepada Allah. Bahkan, tidak mungkin ada seseorang yang akan punya piutang kepada Allah meskipun ia telah melaksanakan ibadah sebanyak yang dilakukan oleh seluruh jin dan manusia. Adakah di dunia ini seorang manusia yang punya hak atas Allah sehingga ia dikatakan punya piutang kepada-Nya dalam artian bahwa sekiranya Allah tidak memberikan hak orang itu, lantas itu berarti bahwa Allah telah berbuat zalim kepadanya? Sama sekali tidak. Mustahil ada orang semacam ini.

Pasti Anda telah membaca kandungan sebagian doa yang mengatakan, “Wahai Tuhanku, perlakukanlah kami dengan karunia-Mu dan janganlah perlakukan Kami dengan keadilan-Mu.” Dan juga kandun- gan doa yang berbunyi, “Tuhanku, apa yang telah Engkau berikan kepada kami, maka itu merupakan kebaikan dan kedermawanan-Mu." Keadilan berarti menjaga dan memelihara hak dan orang yang punya hak. “Wahai Tuhanku, sekiranya Engkau hendak menjaga hak-hak kami, maka tidak ada lagi yang tersisa bagi kami.” Sekiranya seorang pembantu akan pergi meninggalkan rumah majikannya, maka ia akan berkata kepadanya, “Tuanku, berikan hak-hak yang kumiliki.” Di sini, mungkin bisa ditampakkan hak dan kewajiban yang bersifat timbal- balik antara pembantu dan majikannya. Namun, hal itu tidak mungkin berlaku pada Allah. Meskipun dikatakan bahwa pukulan pedang Imam” Alî bin Abî Thâlib dalam Perang Khandaq lebih utama dari ibadah seluruh bangsa jin dan manusia, yang demikian itu tetap tidak menyebabkan seorang hamba punya hak atas Allah. Sebab, seorang hamba tidak punya sesuatu pun yang berasal dari dirinya sendiri. Jika kita membandingkan seorang hamba dengan hamba lainnya, maka kita bisa mengatakan bahwa masing-masing hamba itu punya sesuatu.

Namun, jika kita membandingkan seorang hamba di hadapan Allah, maka ia sama sekali tidak punya apa-apa. Ia tidak punya hak atas Allah.

Saya berikan contoh kecil kepada Anda. Seorang ayah punya dua anak. Ia membelikan sepatu untuk masing-masing anaknya.

Demikian juga, ia membelikan pakaian untuk kedua anaknya itu. Ia juga memberikan harta kepada kedua anaknya. Tatkala kedua anak itu berhadapan satu sama lain, maka kedua anak itu bisa menentukan

p: 267

batasan yang menjadi miliknya. Anak pertama bisa mengatakan bahwa pakaian ini adalah miliknya dan bukan milik saudaranya. Pengakuannya itu benar, karena ayahnya memang telah membelikan pakaian itu untuknya. Demikian juga halnya dengan anak kedua. Artinya, kedua anak itu bisa menentukan batasan masing-masing. Akan tetapi, apakah mereka berdua bisa menetapkan batasan serupa kepada orang tua mereka? Misalnya saja, salah seorang anak itu mengatakan bahwa pakaian ini bukan milik ayah, tetapi miliknya? Pernyataan ini sungguh menggelikan dalam pandangan orang lain. Bagi orang yang mengetahui hubungan sang ayah dengan kedua anaknya, pernyataan itu sangat menggelikan. Mereka akal mengatakan bahwa apa yang dimiliki anak itu sesungguhnya berasal dari ayahnya. Jadi, akibat dari hubungan seorang ayah dengan anaknya, sang anak punya kedudukan lebih atas apa yang dimiliki ayah-ayahnya. Ini tidak berarti bahwa harta itu adalah milik anaknya dan bukan milik ayah.

Hubungan antara Allah dengan hamba-Nya jauh lebih kuat hingga tak terbatas bila dibandingkan dengan hubungan seorang ayah dengan anaknya. Segala kenikmatan dan kemampuan yang dimiliki seorang hamba adalah juga milik Allah. Dengan kata lain, kenikmatan dan kemampuan itu berasal dari Allah yang sampai kepadanya. Jika amal perbuatan yang dilakukan manusia semata-mata ditujukan untuk bersyukur kepada Allah, mungkinkah hal itu terjadi? Jawabannya ialah bahwa seorang hamba mustahil bisa mensyukuri semua nikmat dan karunia dari Tuhannya. Sebab, perbuatan ihsân hanya berlangsung satu arah, yakni dari Allah kepada hamba. Sementara itu, syukur juga hanya satu arah, yakni dari hamba kepada Allah. Anda bisa bersyukur kepada Allah melalui ucapan dan perbuatan. Perbuatan ihsân Allah hanya berlangsung satu arah, sementara bersyukur adalah kewajiban hamba.

Akan tetapi, ketika manusia bersyukur kepada Penciptanya, maka kemampuan bersyukur ini adalah juga taufik dari Allah yang pantas disyukuri. Jika seorang manusia hendak bersyukur atas semua nikmat yang diberikan kepadanya, maka kemampuan bersyukur kepada Allah adalah juga suatu kenikmatan lain. Karena itu, sesungguhnya manusia tidak mampu bersyukur kepada-Nya. Dari mana akan diperoleh kesempatan untuk mensyukuri berbagai nikmat-Nya, apalagi hingga derajat manusia telah melaksanakan kewajiban untuk bersyukur

p: 268

kepada-Nya? Justru, manusia telah melakukan suatu perbuatan yang menyebabkan dirinya berhutang kepada Allah.

Sa'di berkata, “Adalah karunia dari Allah bila seseorang bisa taat kepada-Nya sehingga punya hubungan dekat dengan Allah. Syukur hamba kepada-Nya adalah nikmat baru yang diberikan Allah kepada sang hamba.” Ucapan yang saya sebutkan di atas adalah ucapan salah seorang Imam. Ucapan itu ialah bahwa manusia tidak mampu bersyukur kepada Tuhannya. Sebab, setiap kali manusia mengucapkan syukur kepada-Nya, ucapan syukur itu juga adalah taufik dari Allah yang harus disyukuri. Dan manusia tidak mampu mensyukuri kenikmatan bersyukur. Apalagi, sekiranya ia harus mensyukuri nikmat bernapas.

Dalam doa Abû Hamzah ats-Tsumâlî, Imam Alî Zainal Abidîn berbicara kepada Tuhannya, “Sanggupkah, dengan lidah kelu ini, aku mengucapkan rasa syukur kepada-Mu?” Perlu Anda ketahui bahwa beliau senantiasa melakukan salat sepanjang malam. Tatkala masuk waktu sahur, beliau membaca doa Abû Hamzah ats-Tsumâlî ini. Inilah bukti kedahsyatan dan kefasihan lidah manusia ini. Namun demikian, beliau berkata kepada Tuhannya demikian, “Sanggupkah, dengan lidah kelu ini, aku mengucapkan rasa syukur kepada-Mu?” Karenanya, Imam Alî berkata, “Sekiranya ada zat yang hanya berlaku haknya atas orang lain dan tidak punya kewajiban kepada orang lain, maka zat itu hanyalah Allah.” (Jahj al-Balâghah, khutbah 214). Kemudian, Imam Alî melanjutkan ucapannya, “Sebagai pemimpin kalian, aku punya hak atas diri kalian. Begitu juga, sebagai rakyat, kalian punya hak atas diriku.” (Nahj al-Balâghah, khutbah 214). Imam Alî mengatakan itu sebagai pendahuluan agar manusia tidak berpikir bahwa hanya pemimpin sajalah yang punya hak atas rakyatnya, sedangkan rakyat tidak punya hak atas pemimpinnya.

Bila seseorang mencermati ucapan orang-orang yang mengkaji filsafat realisme, niscaya ia akan mendapatkan bahwa pemikiran- pemikiran mereka saling bertentangan. Sebagian dari mereka me- ngatakan bahwa hanya pemimpin sajalah yang punya hak atas rak- yat, sementara rakyat tidak punya hak atas pemimpin. Pandangan ini didukung oleh banyak filsuf Eropa. Pandangan ini juga banyak tersebar luas pada masa Iran dahulu. Imam Alî bin Abî Thâlib mengatakan bahwa pandangan ini tidak benar. Hukum bersifat universal serta

p: 269

mencakup pemimpin dan rakyat. Sebab, hukum bersifat timbal balik dan dua arah. Hak seorang pemimpin atas rakyatnya adalah bahwa ia melihat apa yang menjadi kemaslahatan rakyatnya dan berusaha mewujudkannya. Sesudah itu, beliau mengatakan suatu ucapan yang mengagumkan bahwa urusan pemimpin tidak akan terlaksana kecuali dengan keteguhan rakyat, dan urusan rakyat juga tidak akan terlaksana kecuali dengan keteguhan pemimpin. Dengan demikian, pernyataan tentang masyarakat dan individu bahwa hak hanya berasal dari satu pihak dan kewajiban dari pihak lain adalah salah dan tidak benar.

Yang benar ialah bahwa jika seseorang punya hak, maka ia juga punya kewajiban.

Sekarang kita akan menjelaskan pandangan Islam mengenai hak- hak pribadi dan masyarakat agar kita bisa mengetahui ihwal apakah, dalam pandangan Islam, individu atau masyarakat yang punya hak, atau bahkan kedua-duanya. Menurut pandangan Islam, individu dan masyarakat sama-sama punya hak. Masyarakat punya hak. Individu juga punya hak. Mengapa? Sebelumnya, saya telah menyebutkan, kelompok orang yang meyakini realitas individu (ishâlatul fard) mengatakan bahwa masyarakat bersifat relatif (i’tibârî) dan bukan sebuah realitas. Sementara itu, kelompok orang yang meyakini pan- dangan realitas sosial mengatakan bahwa masyarakat adalah sebuah realitas, sedangkan individu bersifat relatif (i’tibârî). Kedua pandangan ini tidak benar. Pandangan yang benar mengatakan bahwa masyarakat dan individu sama-sama punya realitas. Mengapa? Sebelumnya juga, kita telah mengemukakan ucapan Imam Alî yang mengakui. adanya realitas sosial. Kelompok orang yang meyakini pandangan realitas individu mengatakan bahwa masyarakat bersifat relatif (i'tibârî) dan tidak punya realitas. Apakah maksud ucapan mereka itu? Apakah yang mereka maksudkan adalah tiadanya pemimpin atau pemerintahan? Pemimpin dan pemerintahan ada. Bahkan, mereka berjalan, makan, dan berbicara. Mereka mengatakan bahwa masyarakat itu tidak ada.

Yang ada hanyalah indvidu. Kita menamakan individu yang berhimpun di suatu tempat sebagai kumpulan. Jika tidak demikian halnya, mereka tidak disebut kumpulan. Bahkan, tidak akan ada kumpulan selamanya.

Dengan demikian, masyarakat adalah sesuatu yang bersifat relatif (i'tibârî).

p: 270

Ada permasalahan fiqih yang hingga sekarang masih diselisihkan oleh para ulama fiqih kita. Masalah itu adalah Apakah negara memiliki sesuatu atau tidak? Yang diperselisihkan ialah: Apakah yang dimiliki negara itu punya dasar syariatnya? Apakah negara punya kelayakan untuk memiliki sesuatu atau tidak? Jika negara melakukan suatu perbuatan yang dibenarkan syariat, apakah negara menjadi pemilik yang dibenarkan syariat? Bila negara melakukan perdagangan atau pekerjaan umum seperti dilakukan individu, apakah negara menjadi pemilik sesuatu itu? Umpamanya saja adalah departemen pos dan telekomunikasi. Bila Anda hendak mengirim sepucuk surat, maka Anda akan membubuhkan perangko seharga dua riyal, dan kemudian meletakkan surat itu ke dalam kotak. Setelah itu, negara akan melakukan suatu pekerjaan untuk Anda. Pekerjaan negara ialah mengantarkan surat Anda dari satu tempat ke tempat lain. Sekiranya ada lembaga yang melakukan pekerjaan ini dan bersedia mengantarkan surat-surat Anda dengan harga senilai empat riyal (tanpa perangko khusus), maka pekerjaan ini sah menurut pandangan syariat. Sekarang, sekiranya negara melakukan pekerjaan ini, apakah pekerjaan itu sah dalam pandangan syariat atau tidak? Pandangan para ulama fiqih berbeda mengenai masalah ini. Banyak di antara ulama fiqih, bahkan mungkin sebagian besar dari mereka, meyakini bahwa negara punya hak milik. Jika negara punya harta yang halal, maka negara bisa berdagang sebagaimana dilakukan individu. Demikian juga, keuntungan yang diperoleh dari perdagangan itu adalah milik negara yang tidak boleh diselewengkan. Harta yang diperoleh negara dari cara yang tidak dibenarkan syariat tidak sah.

Ada fatwa lain dalam bab muâmalah (perdagangan) yang mengatakan bahwa jika suatu lembaga umum melaksanakan kegiatan perdagangan, maka perdagangan yang dilakukannya itu sah, meskipun uang yang digunakan itu haram. Jika kita memasukkan fatwa ini, di mana transaksi jual beli dilakukan secara sempurna, meski dibayar dengan menggunakan uang haram, maka jual beli itu sah. Setelah itu, jika negara membeli lokomotif, kayu, gerbong kereta api, dan sebagainya, yang merupakan kebutuhan, dengan transaksi yang sempurna dari si penjual, maka negara harus membayar harga itu.

Sekiranya negara membayarnya dengan uang haram, maka transaksi

p: 271

jual beli itu sah. Atas dasar pertimbangan ini, menurut syariat, negara punya hak milik atas segala sesuatu yang dibelinya. Dengan demikian, Anda semua harus memperlakukan negara sebagai pemilik sah menurut syariat. Karenanya, segala bentuk pencurian dan penipuan pada negara bertentangan dengan syariat. Sekiranya Anda punya lima barang bawaan yang Anda sembunyikan, maka Anda berhutang pada negara.

Ini sama seperti Anda berhutang pada seseorang.

Masalah di atas—yakni, apakah negara bisa menjadi pemilik sah menurut syariat atau tidak-termasuk dalam masalah-masalah fiqih yang sangat dekat dengan pembahasan kita tentang masalah filsafat sosial. Menurut pandangan yang mengatakan bahwa hanya individu saja yang punya realitas, dan masyarakat bersifat relatif (i'tibârî). Masyarakat sama sekali tidak punya hak milik. Sebab, masyarakat bersifat relatif.

Sementara itu, kebenaran ada bersama kelompok orang yang mengatakan bahwa masyarakat punya realitas. Karena itu, negara punya hak milik.

Hak miliknya ini dibenarkan oleh syariat. Namun, kita tidak berurusan dengan masalah ini.

Sekarang, mengapa masyarakat itu ada? Pernyataan bahwa masyarakat hanyalah kumpulan individu tidaklah benar. Pengertian masyarakat jauh lebih dalam dari sekadar kumpulan individu. Di sini, saya harus menjelaskan duduk persoalannya. Mungkin Anda pernah membaca di sekolah bahwa ada perbedaan antara pengertian kombinasi dengan asimilasi. Kombinasi ialah kumpulan beberapa hal atau benda yang diletakkan berdampingan. Ini tidak ubahnya seperti Anda mencampur sejumlah kacang kedelai dengan kacang adas. Di sini, kacang adas tetap dalam keadaannya semula dan begitu juga dengan kacang kedelai. Hanya saja, satu sama lain bercampur. Begitu pula, udara adalah campuran antara oksigen dengan ozon dalam jumlah sedikit. Namun, asimilasi tidak seperti itu. Ketika kita meletakkan dua atau tiga unsur yang berbeda, maka unsurunsur itu saling mendekat dan saling memberikan pengaruh sehingga melahirkan suatu unsur lain yang merupakan paduan dari kedua atau ketiga unsur di atas.

Misalnya, air adalah senyawa dari dua unsur gas, yakni oksigen dan hidrogen. Ketika kita mencampurkan kedua unsur gas itu, lahirlah unsur cairan yang berbeda dari kedua unsur asalnya

p: 272

itu. Asimilasi (atau juga bisa disebut proses kimiawi) ini banyak dapat dijumpai di alam ini. Ilmu kimia adalah ilmu yang membicarakan tentang unsur-unsur.

Sekarang, apakah kumpulan manusia termasuk dalam kategori kombinasi atau asimilasi, campuran atau susunan? Kumpulan manusia menyerupai susunan, yang lebih dekat untuk disebut sebagai susunan atau asimilasi daripada campuran. Mengapa? Sekiranya kita meletakkan ribuan batu dalam posisi saling berdekatan di padang pasir selama seratus tahun, maka tidak akan pernah terjadi batu-batuan itu saling memengarohi satu sama lain. Sekiranya kita menanam seratus pohon di sebuah hutan, maka pohon-pohon itu akan tumbuh sendiri-sendiri.

Artinya, pohon-pohon itu hanya berurusan dengan tanah, air, udara, dan cahaya. Sementara itu, manusia saling mengambil kepribadian satu sama lain. Semua orang, termasuk saya dan Anda, mengambil kepribadiannya dari masyarakat. Masyarakat mengambil bentuknya dari kita semua. Kita punya segenap emosi, keyakinan, dan pemikiran tertentu. Memang benar bahwa kita punya akal dan kebebasan. Kita tidak terpaksa. Akan tetapi, perlu diingat bahwa apa yang kita miliki itu berasal dari masyarakat. Anda berakhlak dan berperilaku bersih. Anda semua adalah orang-orang jujur. Namun, pertanyaan yang perlu dijawab ialah: Dari mana kejujuran itu Anda peroleh? Sekiranya Anda benar- benar mau merenung, niscaya Anda akan mendapatkan bahwa semua itu Anda peroleh dari masyarakat. Anda mendapatkan diri Anda sebagai seorang Muslim. Dari mana Anda mendapatkannya? Apakah bumi yang telah memberikannya kepada Anda? Atau, apakah yang memberikannya itu udara dan air?, atau Masyarakat yang telah mempersembahkan keyakinan ini? Jelas bahwa semua itu Anda peroleh dari masyarakat.

Masyarakat bukan hanya berupa sebuah campuran. Jelaslah di antara kita ada susunan atau asimilasi yang kuat, sebagaimana terjadi pada air.

Individu memberikan pengaruh kepada masyarakat, dan masya- rakat memberikan pengaruhnya kepada individu. Hakikat sebuah kumpulan yang disebut dengan masyarakat itu adalah satu. Masya- rakat punya roh dan umur. Masalah ini amat mengagumkan. Allamah Thabâthabâ’î (semoga Allah menyucikan rohnya) menjelaskan masalah ini dengan sangat bagus. Beliau mengungkapkan dengan jelas

p: 273

bahwa Al-Quran berbicara tentang kepribadian masyarakat. Bahkan, masyarakat pun punya umur. Al-Quran mengatakan: Tiap-tiap umat mempunyai ajal. Bila telah datang ajalnya, maka mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaat pun dan juga tidak memajukannya barang sesaat pun (QS 7: 34).

Al-Quran berbicara tentang kesehatan dan penyakit yang bisa menimpa masyarakat. Al-Quran berbicara tentang kebahagiaan dan kesengsaraan masyarakat. Al-Quran mengatakan bahwa Anda turut bertanggung jawab atas masyarakat Anda. Terkadang timbul per- tanyaan ihwal mengapa Allah menyiksa sekelompok kecil orang saleh di tengah-tengah masyarakat zalim. Orang-orang yang bertanya itu tidak tahu bahwa masyarakat punya hukum yang tidak ubahnya berlaku pada sebuah jasad. Ketika kanker menjangkiti salah satu anggota tubuh, maka yang lain tidak mungkin mengatakan, “Mengapa kita harus mati?" Karena itu, Anda semua saling berhubungan dan punya satu dasar pijakan. Alasannya ialah bahwa Anda mengambil manfaat dari kebahagiaan yang diperoleh masyarakat Anda. Anda juga memperoleh kesengsaraan yang dialami masyarakat Anda. Dalam kehidupan dunia ini, masing-masing anggota masyarakat saling berhubungan satu sama lainnya. Mereka senantiasa bersama-sama dalam suka dan duka.

Mereka ikut merasakan azab dan kenikmatan yang dirasakan sebagian anggota masyarakat. Dunia ini berbeda dengan yang lain. Al-Quran mengatakan: Dan (dikatakan kepada orang-orang kafir), “Berpisahlah kamu (dari orang-orang Mukmin) pada hari ini, wahai orang-orang yang berbuat kejabatan” (QS 36:59).

Di dunia sekarang, tidak ada kata wamtâzû (maka berpisahlah kamu sekalian). Ada kaidah ilmiah yang mengatakan bahwa jika kerusakan yang telah menjangkiti salah satu bagian tubuh masyarakat sudah demikian parah, maka kerusakan itu akan menular ke anggota tubuh masyarakat lainnya. Kerusakan itu akan menimpa bagian tubuh masyarakat yang sehat dan yang tidak sehat. Kerusakan itu akan membakar segala sesuatu yang kering dan yang basah di dunia ini.

Akan tetapi, bagian yang basah (yakni, ungkapan bagi kelompok orang saleh) terkadang juga terkena azab Allah. Bahkan, azab itu mungkin juga masih terus akan menimpanya. Namun, jika musibah menimpa

p: 274

orang-orang yang tidak bersalah, maka mereka akan beroleh ganjaran sebagai gantinya.

Dengan demikian, masyarakat punya realitas lantaran asimilasi (tarkih) juga punya realitas. Masyarakat adalah realitas tunggal.

Masyarakat mempunyai jalan, langkah menuju kesempurnaan, umur, kematian, dan kehidupan. Mustahil masyarakat tidak demikian.

Masyarakat juga punya hak. Pernyataan bahwa yang punya realitas hanyalah individu dan bahwa masyarakat hanya bersifat relatif sama sekali tidak berdasar. Kita jumpai ayat Al-Quran yang berbunyi: Nabi itu lebih utama bagi kaum Mukmin dibandingkan diri mereka sendiri (QS 33:6).

Ayat di atas mengatakan bahwa Nabi punya hak atas kaum Mukmin.

Bahkan hak ini lebih utama daripada hak kaum Mukmin atas Mukmin yang lain. Artinya, Anda adalah pemilik diri Anda sendiri. Anda adalah pemilik harta dan kekayaan Anda sendiri. Anda juga adalah pemilik kehormatan dan kemuliaan Anda sendiri. Namun, Nabi Muhammad Saw punya kepemilikan atas diri, harta, dan kemuliaan Anda jauh lebih dari kepemilikan Anda atas diri, harta, dan kemuliaan Anda. Bahkan, Anda bukanlah pemilik hakiki atas diri Anda sehingga dalam sebuah hadis disebutkan bahwa diri kaum Mukmin bukan berada di bawah pengawasannya. Nabi Muham mad adalah pemilik kaum Mukmin.

Nabi Muhammad Saw bisa mengorbankan diri kaum Mukmin bila dipandang penting. Akan tetapi, apakah yang dimaksud dengan ka- limat bahwa Nabi lebih berhak atas diri kaum Mukmin dibandingkan kaum Mukmin sendiri? Mengapa Nabi Muhammad Saw punya hak seperti itu? Hak ini demi kepentingan siapa? Atas kepentingan siapa? Hak yang telah Allah jadikan untuk Nabi Saw, ini untuk kepentingan siapa? Apakah itu untuk kepentingan pribadi Nabi Muhammad? Artinya, Allah menjadikan hak itu untuk Nabi agar bisa mengorbankan kaum Mukmin demi kepentingan pribadinya? Tidak, tidak demikian. Allah memberikan hak ini karena beliau adalah pemimpin masyarakat Islam dan juga tahu persis apa kepentingan kaum Mukmin. Allah mem- berikan hak itu kepada Nabi agar bisa mengorbankan individu di jalan masyarakat, manakala beliau melihat bahwa kemaslahatan menuntut demikian. Tidak ada seorang pun mengatakan bahwa hak itu semata- mata

p: 275

demi kepentingan pribadi Nabi Saw Ini jelas tidak berarti sama sekali dan tidak bisa diterima. Sebab, dari segi pribadinya, seorang Nabi sama sekali tidak memerlukan manusia. Mustahil Nabi mengorbankan manusia demi kepentingan kehidupan pribadinya.

Apakah hak ini hanya dimiliki Nabi sendiri? Tidak. Hak ini juga dimiliki seorang imam. Artinya, seorang Imam menggantikan kedudukan Nabi Saw sebagai pemimpin kaum Muslim sepeninggalan beliau. Hak ini pun pindah kepadanya. Sekarang, apakah hak di atas hanya dimiliki Nabi dan para Imam saja, ataukah hak itu juga beralih pada seseorang yang menjadi pengemban hukum syariat dengan kedudukan sebagai wakil Nabi dan Imam? Benar, hak itu pun beralih kepadanya. Semuanya itu membuktikan bahwa Islam memandang masyarakat sebagai pemilik punya hak. Sebab, Islam mengakui bahwa masyarakat punya reali- tas dan kehidupan. Masyarakat adalah sesuatu yang nyata, punya realitas, dan tidak bersifat relatif.

Terkadang dipaparkan beberapa masalah yang sulit dicarikan pemecahannya dengan menggunakan pandangan-pandangan filsafat kepada orang lain. Umpamanya saja, apakah generasi berikutnya punya hak atas generasi sebelumnya? Kita adalah generasi sekarang. Kelak, akan menyusul generasi berikutnya. Kini, apakah kita mempunyai tanggung jawab atas mereka? Jika kita menjawab, “Ya,” maka ini berarti bahwa generasi mendatang punya hak atas kita. Sekiranya kita menjawab, “Tidak,” maka generasi mendatang sama sekali tidak punya hak apa pun atas kita. Jika demikian, maka apa arti dari ucapan berbagai bangsa yang mengatakan bahwa kita punya tanggung jawab atas generasi mendatang? Apa arti ucapan itu? Saya bertanya kepada oran- gorang yang menyusun berbagai peraturan dan undang-undang yang tidak berpijak pada hukum-hukum Allah. Apakah arti ucapan Anda itu? Apa artinya bahwa generasi mendatang punya hak atas kita? Mereka belum lahir ke dunia ini. Dari mana mereka punya hak itu, dan apa sumber perkataan ini? Semuanya berkeyakinan bahwa setiap generasi bertanggung jawab atas generasi berikutnya. Terkadang, sebagian orang berkata ihwal apa arti tang gung jawab ini. Kita tidak punya tanggung jawab atas generasi mendatang. Sebagaimana dikatakan Abû al-'Alâ al- Ma’arî, “Mengapa kita membicarakan generasi mendatang? Adalah dosa kalau kita menghadirkan mereka ke alam wujud.” Ia juga mengatakan,

p: 276

“Hidup adalah kesia-siaan dan keburukan. Karena itu, barangsiapa berusaha menarik dan menghadirkan generasi mendatang ke alam wujud, maka ia telah melakukan kejahatan pada mereka itu.” Khayam juga mengatakan hal serupa. Abû al-'Alâ al-Ma'arî tidak pernah kawin semasa hidupnya, dan ia berwasiat agar dituliskan kalimat berikut di pusaranya: “Inilah kuburan orang yang ayahnya telah berbuat kejahatan kepadanya dan ia sendiri tidak pernah berbuat kejahatan kepada siapa pun.” Jadi, sebagian orang beranggapan bahwa melahirkan anak adalah suatu kejahatan. Pembicaraan kita terseret dalam diskusi tentang memikul beban tanggung jawab atas generasi mendatang. Dalam pandangan mereka, pembicaraan tentang usaha menyiapkan kondisi dan lingkungan yang membantu generasi mendatang adalah suatu kesalahan. Sementara itu, kepada mereka yang berkeyakinan bahwa kita punya tanggung jawab atas generasi mendatang, di sini perlu kita jelaskan apa yang dimaksud dengan hak generasi mendatang atas kita.

Hak-hak bersumber dari keyakinan bahwa alam ini punya Tuhan, dan setiap gerakan di alam ini mengarah pada satu tujuan. Artinya, semua makhluk bergerak menuju ke satu tujuan. Sekiranya alam ini bersi kebetulan belaka, maka semua pembicaraan yang kita lakukan ini adalah salah dan sia-sia. Padahal, mereka mengatakan bahwa alam ini bersifat kebetulan dan terjadi dengan sendirinya. Manusia muncul ke alam ini melalui perubahan-perubahan yang terjadi di dalamnya.

Ketika kita bertanya ihwal apakah alam dan semua benda di dalamnya ini bergerak menuju satu tujuan, mereka menjawab tidak. Bahkan, mereka menanyakan ihwal apa yang dimaksud dengan tujuan ini.

Mereka mengatakan bahwa sama sekali tidak ada sebab yang menjadi tujuan alam ini. Di sisi lain, mereka mengatakan bahwa kita tidak ber- tanggung jawab atas generasi mendatang. Sementara itu, dasar tang- gung jawab atas generasi mendatang dan diskusi semisal ini bersum- ber dari keyakinan tentang adanya sebuah sistem yang bijaksana di alam semesta ini. Segenap makhluk di alam ini bergerak menuju satu tujuan. Dengan demikian, karena alam ini bergerak ke arah tujuannya, maka yang menciptakan hak adalah makhluk atau alam itu sendiri.

Berangkat dari sini, kita punya tanggung jawab atas alam. Alam berbi- cara kepada kita, “Karena kalian punya kemampuan untuk melanjutkan keturunan dan punya kecenderungan seksual satu sama

p: 277

lain, maka aku menjadikan kalian dengan tugas mendatangkan generasi mendatang. Artinya, aku telah meletakkan hak generasi mendatang di atas pundakmu.” Sekiranya keyakinan seperti ini tidak ada, maka apa artinya ucapan yang mengatakan bahwa kita punya tanggung jawab atas generasi mendatang?! Terlepas dari pandangan atas generasi mendatang, saya akan berbicara tentang generasi sekarang. Marilah kita perhatikan seorang ayah dan anaknya yang masih kecil. Kemudian kita bertanya ihwal apakah anak itu punya hak atas ayahnya atau tidak. Mungkinkah Anda temukan ada sekelompok orang yang mengatakan bahwa seorang anak tidak punya hak atas ayah dan ibunya? Semua orang akan menjawab bahwa sepanjang sang ayah melahirkan anak ini, maka ia wajib mendidiknya.

Jadi, anak ini tetap punya hak. Setelah itu, kita ajukan pertanyaan lain. Dari mana munculnya hak anak ini? Kita tidak punya jawaban lain kecuali bahwa alat dan sarana penciptaan telah menghubungkan individu-individu itu. Ini adalah hak yang diciptakan Pencipta alam ini dalam diri setiap orang. Seolah-olah Allah mengatakan, “Karena Aku telah menciptakan perasaan cinta seorang ayah dalam dirimu dan perasaan kasih seorang ibu dalam diri istrimu, maka engkau punya nilai lebih atas anakmu.” Jadi, kesimpulannya ialah bahwa anak punya hak atas diri Anda. Dan Allah telah menciptakan hak ini sejak masa awal penciptaan.

Atas dasar ini, masyarakat secara keseluruhan punya hak. Tentang hipotesis atau pandangan yang mengatakan bahwa masyarakat punya realitas, sedangkan individu tidak, saya berkeyakinan bahwa pernyataan ini tidak perlu dibantah dan sama sekali tidak bermanfaat sehingga tidak perlu dibahas. Apa maksud pernyataan bahwa individu tidak punya realitas? Maka kesimpulan yang bisa diperoleh ialah bahwa masyarakat tidak ada. Sebab, masyarakat adalah susunan dari berba- gai individu. Namun, mungkinkah seseorang mengatakan bahwa individu tidak punya realitas dan hanya bersifat relatif (i'tibârî)? Sekiranya individu bersifat relatif, lantas dari mana datangnya susunan masyarakat itu? Di sini, kita mengakhiri diskusi ilmiah yang telah kita lakukan sebelumnya.

Jika keadilan berarti keseimbangan, maka pengertian ini tidak keluar dari makna memberikan hak kepada yang berhak menerimanya.

p: 278

Mengapa? Karena tidak akan terjadi keseimbangan dalam suatu masyarakat jika hak-hak sebagian anggota masyarakat diabaikan.

Keseimbangan itu akan tercipta dengan cara menjaga hak-hak indi- vidu dan masyarakat. Jika tidak ada hak-hak individu, maka tidak akan tercipta keseimbangan dalam masyarakat. Memang benar bah- wa keseimbangan bisa tercipta dengan cara mengorbankan hak-hak individu demi kepentingan masyarakat. Akan tetapi, yang demikian itu tidak bisa dibenarkan kecuali bila penciptaan alam ini punya satu tujuan. Hak-hak individu ini dijamin dengan cara, misalnya, menyuroh seseorang untuk melakukan jihad. Ini berarti bahwa hak individu secara keseluruhan telah dikorbankan demi kepentingan masyarakat atau komunitas. Atas dasar logika apa individu ini bersedia mengorbankan dirinya? Apakah individu ini tidak punya hak atas dirinya? Ataukah, ia justru punya hak atas dirinya? Kini, ketika punya hak atas dirinya, mengapa ia mengorbankan dirinya demi kepentingan masyarakat atau komunitas, padahal—setelah ia terbunuh tidak ada manfaat yang diperolehnya dari masyarakat? Kepada orang yang bertanya itu, kita katakan bahwa dunia, akhirat, hidup, dan mati berhubungan satu sama lain. Jika tidak ada kaitan antara dunia dan akhirat dan hak individu yang dikorbankan demi kepentingan masyarakat itu sama sekali sirna serta tidak ada kompensasi sama sekali, maka yang dinamakan jihad, perjuangan, dan kewajiban sama sekali tidak berdasar. Bahkan, yang demikian itu adalah benar-benar kezaliman.

Akhirnya, kita ketahui bahwa dasar keadilan ialah hak-hak nyata yang punya realitas. Keadilan bukanlah persamaan sebagaimana yang mereka artikan. Keadilan juga bukan keseimbangan yang tidak bertumpu pada hak-hak. Akan tetapi, keadilan bertumpu pada hak-hak yang punya realitas dan fitrah. Individu punya hak. Masyarakat juga punya hak. Keadilan berawal dari usaha memberikan hak kepada setiap individu yang memang berhak menerimanya. Keadilan berarti menjaga dan memelihara hak-hak itu. Karena itu, pada setiap zaman, keadilan adalah suatu realitas yang tidak lebih dari satu. Pernyataan bahwa keadilan bersifat relatif (i'tibârî) adalah salah belaka.

Hingga di sini, saya akhiri diskusi saya kali ini. Ya Allah, tunjukkanlah kepada kami hakikat-hakikat Islam.

p: 279

p: 280

ANALISIS ATAS PANDANGAN RELATIVITAS AKHLAK

Sesungguhnya Allah menyuroh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat dan melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan,... (QS 16: 90).

p: 281

p: 282

DALAM bagian sebelumnya, kita telah membahas masalah keadilan. Kesimpulan dari pokok bahasan kita adalah bahwa keadilan bertumpu pada hak dan kewajiban. Secara umum, hak dan kewajiban manusia bersifat mutlak dan satu. Dengan demikian, keadilan bersifat mutlak dan tidak relatif. Dalam bagian ini, saya bermaksud memaparkan analisis atas pandangan relativitas akhlak yang sebelum- nya telah saya bicarakan secara sekilas. Dengan pokok bahasan kali ini, saya mengakhiri diskusi saya tentang relativitas akhlak dan keadilan.

Kita telah menyebutkan bahwa ada sekelompok orang yang berkeyakinan bahwa akhlak bersifat relatif. Artinya, kita tidak bisa menyebut sesuatu sebagai akhlak yang baik dan buruk di segala tempat dan waktu. Setiap akhlak punya nilai baik di suatu tempat, tetapi punya nilai buruk di tempat lain. Pada suatu waktu, sesuatu dipandang sebagai akhlak yang baik, tetapi di waktu lain dipandang sebagai akhlak yang buruk. Kesimpulannya ialah bahwa akhlak bersifat relatif. Karena akhlak bersifat relatif, maka manusia tidak mungkin memberlakukan hukum umum di suatu tempat pada masalah akhlak. Akan tetapi, manusia harus memberlakukan hukum-hukum akhlak yang berbeda pada setiap zaman. Pada kesempatan kali ini, kita mesti mengkaji masalah ini agar jelas bagi kita apakah pandangan ini benar atau salah.

Pandangan dan keyakinan di atas tidak benar. Kepada mereka, kita bertanya ihwal apa arti bahwa sesuatu dipandang baik oleh masyarakat, dan sesuatu lainnya dipandang buruk. Maksudnya, apa arti pernyataan itu? Ada suatu pokok bahasan yang mungkin pertama kali dilontarkan kaum Muslim. Pokok bahasan ini adalah kebaikan dan keburukan rasional. Kebaikan adalah sesuatu yang bernilai indah dan baik. Sementara itu, keburukan adalah sesuatu yang kotor dan keji. Apa yang kita maksud dengan kebaikan dan keburukan rasional di hadapan

p: 283

kebaikan dan keburukan non-rasional? Kita punya sesuatu yang buruk dan indah, sebagaimana juga kita katakan kepada seorang laki-laki bahwa wajahnya tampan, dan kepada laki-laki lain, wajahnya buruk.

Kita katakan bahwa kedua mata seseorang begitu indah, dan kedua mata orang lain buruk. Demikian juga, kita bisa mengatakan hal serupa pada binatang. Kita bisa mengatakan bahwa hewan tertentu indah, dan hewan lainnya buruk. Pemberian predikat keindahan dan keburukan, di zaman sekarang ini, telah berubah menjadi suatu bagian spesialisasi ilmu yang dikenal dengan estetika. Kebaikan dan keburukan rasional tidak bisa dilihat oleh mata, tetapi bisa dipahami oleh akal. Sebagai contoh, ada seorang asing yang sedang menyusuri padang pasir jatuh sakit. Kemudian, ia ditemukan oleh seseorang yang sama sekali tidak mengenalnya. Namun, ia merasa bahwa orang asing ini sedang sakit dan memerlukan pertolongan. Kemudian, ia segera membawa orang asing ini ke rumah sakit tanpa mengharapkan sesuatu sebagai imbalannya.

la menyediakan segala fasilitas yang bisa menyembuhkan penyakitnya dan juga senantiasa menjenguknya. Setelah sembuh dari sakitnya, orang asing itu bermaksud kembali ke kampung halamannya, tetapi tidak punya uang. Orang itu segera mengeluarkan uang dari sakunya dan membelikannya tiket, lalu mengantarkannya ke kampung halamannya.

Misalnya saja, kita mengumpamakan bahwa orang pertama berasal dari Irak dan orang kedua berasal dari Afrika, yang tidak mungkin saling berjumpa satu sama lain hingga akhir hayat mereka kecuali hanya sekali. Sekarang saya bertanya kepada Anda. Apakah perbuatan yang dilakukan orang kedua pada orang pertama itu bernilai baik atau buruk? Pasti kita semua akan mengatakan bahwa perbuatan itu baik, mulia, dan terpuji. Namun, apakah nilai kebaikan dalam perbuatan itu bisa dilihat oleh mata? Tidak, nilai kebaikannya sama sekali tidak bisa dilihat oleh mata, sama seperti suara indah. Namun, pada saat yang sama, nurani manusia mengatakan bahwa perbuatan itu baik dan terpuji dan akal kita memahami bahwa perbuatan itu mulia.

Lawan dari contoh di atas adalah sebagai berikut. Umpamanya Zaid berbuat baik kepada Amar. Setelah itu, di tengah jalan, Zaid tertimpa musibah. Amar ada di tempat kejadian dan melihat peristiwa itu, namun tidak mau membalas kebaikan Zaid, padahal ia mampu berbuat demikian. Amar bersembunyi agar Zaid tidak melihatnya.

p: 284

Di sini, apa yang bisa kita katakan tentang perbuatan Amar? Tidak diragukan lagi, kita akan mengatakan bahwa perbuatan Amar itu buruk, dan orang yang melakukannya juga buruk. Secara hakiki, perbuatan itu buruk. Namun, bagaimana perbuatan itu menjadi buruk? Apakah keburukan itu bisa dilihat oleh mata manusia? Tidak, tidak demikian.

Allah telah menganugerahkan nurani dan akal kepada manusia. Dengan akal dan nuraninya, manusia mampu mengetahui keburukan perbuatan itu. Inilah yang mereka sebut kebaikan dan keburukan rasional. Mereka mengatakan bahwa perbuatan-perbuatan etis (akhlâqî) bernilai baik dalam pandangan akal. Sementara itu perbuatan-perbuatan tidak etis bernilai buruk dalam pandangan akal. Sebagaimana disebutkan dalam berbagai kitab, ada dua macam akhlak. Yang pertama ialah akhlak yang baik dan terpuji. Lawan dari akhlak yang baik ialah akhlak yang buruk dan tercela. Sifat-sifat terpuji layak dan pantas mendapat pujian.

Akhlak yang baik dipuji oleh akal. Akhlak yang baik adalah baik dalam pandangan akal, sedangkan akhlak yang buruk adalah buruk menurut akal. Mereka mengatakan bahwa pilar akhlak bertumpu pada pujian dan celaan. Pilar akhlak juga berpijak pada kebaikan dan keburukan dalam kacamata akal. Inilah proposisi pertama.

Proposisi kedua mengatakan bahwa kebaikan dan keburukan ra- sional serta nilai terpuji dan tercela berbeda sesuai dengan kondisi dan/lingkungannya. Akal manusia memandang bahwa sesuatu itu bernilai baik pada suatu zaman, tetapi bernilai buruk pada zaman lain.

Di suatu tempat, manusia mengatakan bahwa suatu perbuatan itu baik. Sementara itu, di tempat lain, ia mengatakan bahwa perbuatan itu buruk. Dengan demikian, kebaikan dan keburukan rasional, yang menjadi landasan akhlak, tidak bersifat tetap, dan bukan merupakan suatu hal yang satu pada semua tempat dan waktu. Sebagai contoh, di India orang memandang bahwa membunuh binatang, terutama sapi, adalah perbuatan buruk, bahkan mungkin perbuatan paling jahat. Se- bagaimana dalam pandangan semua manusia membunuh orang adalah perbuatan buruk, maka membunuh binatang, terutama sapi- menurut orang-orang India-adalah juga perbuatan buruk. Akan tetapi, sekiranya kita terus menuju ke negara-negara seperti Pakistan, Iran, Irak, Afghanistan, dan Turki, niscaya akan ditemukan bahwa or- ang-orang di sana membunuh dan menyembelih binatang.

p: 285

Mereka menyembelih sapi dan memakan dagingnya. Sebuah bangsa memandang bahwa perbuatan menyembelih binatang adalah buruk, sedangkan bangsa lainnya tidak memandang demikian.

Contoh lainnya adalah tentang hijab. Dalam masalah hijab ada kecenderungan yang berbeda-beda di antara berbagai bangsa. Suatu bangsa atau umat yang sudah terbiasa dengan hijab dan telah terdidik bahwa tidak mengenakan hijab adalah perbuatan buruk —ketika melihat bahwa salah seorang wanita atau anak perempuannya menanggalkan hijab — akan mengatakan bahwa mereka telah berbuat buruk. Sementara itu, umat lain yang tidak pernah melihat hijab sama sekali, dan para wanita mereka tumbuh besar dalam keadaan tidak berhijab — ketika melihat wanita-wanita yang mengenakan hijab— memandangnya se- bagai sesuatu yang buruk. Sejak awal, mereka sudah memandang bahwa hijab adalah sesuatu yang buruk. Bila ada seorang wanita yang bermaksud mengenakan hijab, mereka me mandangnya sebagai suatu perbuatan buruk dan memalukan. Dengan demikian, masalah nilai baik dan buruk berbeda-beda sesuai dengan tempat dan waktu. Dari sini jelaslah bagi kita bahwa nilai baik dan buruk yang merupakan pil- ar akhlak bukanlah sesuatu yang tetap dan satu, melainkan berubah dan bersifat relatif sesuai dengan perbedaan tempat dan waktu.

Mereka juga menyebutkan contoh-contoh lain. Misalnya saja, masalah poligami adalah suatu perbuatan yang tidak buruk dalam pandangan sebagian bangsa, seperti dalam pandangan kaum Muslim. Akan tetapi, dalam pandangan bangsa-bangsa lain, poligami adalah perbuatan buruk.

Dengan demikian, menurut akal, tidak ada kebaikan dan keburukan yang bersifat pasti dan mutlak.

Berdasarkan pandangan ini, kita mempunyai dua proposisi.

Proposisi pertama ialah sebagian orang berkeyakinan bahwa yang menjadi pilar akhlak adalah nilai baik dan buruk. Proposisi kedua ialah bahwa nilai baik dan buruk adalah suatu pemahaman yang bersifat relatif. Kedua proposisi itu salah, terutama proposisi pertama. Yang wajib kita ketahui lebih dulu ialah: Apakah kebaikan dan keburukan itu pilar dan landasan akhlak? Jika demikian, kita harus melanjutkan diskusi kita dengan membahas ihwal apakah kebaikan dan keburukan itu bersifat relatif atau tidak.

p: 286

Pernyataan itu tidak benar dan bukan berasal dari pemikiran Islam. Pernyataan ini banyak diucapkan oleh ulama Islam, tetapi tidak ada dalam ajaran Islam. Keyakinan diambil kaum Muslim dari Yunani.

Ini adalah pemikiran Socrates. Ini adalah pernyataan Socrates yang mengatakan bahwa kebaikan dan keburukan adalah pilar dan landasan akhlak. Ia juga membatasi kebaikan dan keburukan yang hanya dikatakan akal. Socrates punya ajaran akhlak yang dikenal dengan ajaran akhlak etis. Karena itu, Socrates berkeyakinan bahwa akhlak yang baik adalah perbuatan-perbuatan yang dipandang baik oleh akal.

Sementara itu, akhlak yang buruk harus dijauhi oleh manusia. Akhlak yang buruk adalah perbuatan-perbuatan yang dipandang buruk oleh akal. Socrates meletakkan ajaran akhlaknya atas dasar akal, dan ia lebih membatasi lagi pada kebaikan dan keburukan rasional. Bukubuku tulisannya telah diterjemahkan dan pemikiran-pemikirannya telah diterima. Jelaslah, para ulama Islam yang telah mengkaji masalah ini niscaya akan memahami bahwa kebaikan dan keburukan bukan merupakan suatu dasar dan pilar yang bersifat tetap, tetapi merupakan dua hal yang senantiasa berubah. Akan tetapi, yang kita pertanyakan di sini ialah mengapa kita menganggap kebaikan dan keburukan sebagai dasar dan pilar bagi akhlak. Di sini, kita wajib menjawab pertanyaan ini.

Duduk persoalannya tidaklah demikian. Seperti telah saya sebutkan, arti akhlak ialah mengatur dan menata berbagai naluri dalam diri manusia. Sebagaimana ilmu kedokteran bertugas mengatur keseimbangan berbagai kekuatan dalam tubuh, maka akhlak bertugas mengatur keseimbangan berbagai kekuatan dalam jiwa manusia. Dasar dan pilar ilmu kedokteran dan akhlak bukanlah kebaikan dan keburukan akal. Jika demikian halnya, apa dasar dan pilar akhlak? Sebelumnya, saya telah menyebutkan bahwa manusia punya ke- kuatan jiwa atau roh dengan berbagai naluri dalam dirinya. Setiap naluri dan kekuatan itu punya kewajiban. Artinya, manusia wajib mengatur dan membatasi naluri dan kekuatan dalam dirinya sebatas diperlukan.

Janganlah manusia memberi dalam batas melebihi atau kurang dari apa yang diperlukan. Manusia juga dituntut demikian dalam memperlakukan tubuhnya. Jika “manusia tidak memperlakukan jiwanya demikian, yakni memberi perhatian besar pada sebagian kecenderungan dalam dirinya dan membiarkan sebagian kecenderungan dan kekuatan lain dalam

p: 287

keadaan lapar dan tidak terpuaskan, maka akan timbul perselisihan di antara berbagai kekuatan jiwa dan akan melahirkan berbagai ketimpangan dan benturan. Keadaan ini dikenal dengan sebutan sakit jiwa atau batin. Ini berarti bahwa sikap yang hanya memerhatikan sebagian kekuatan dan kecenderungan jiwa ini akan mendatangkan akibat-akibat parah. Jika Anda memberikan kepada kekuatan atau kecenderungan jiwa sesuatu yang melebihi kebutuhannya, maka hal itu akan menimbulkan kegoncangan dan akibat-akibat yang tidak diinginkan pada kecenderungan itu. Umpamanya saja, jika seorang manusia memberikan perhatian lebih besar pada naluri makan, maka pikirannya hanya tertuju pada masalah makan saja. Dan jika ia terus menuruti keinginan dan kecenderungan makan itu, maka hal itu akan merusak seluruh wujud dan akhlaknya. Sebaliknya, jika ia tidak memberikan cukup perhatian kepadanya, maka hal itu akan melahirkan akibat-akibat lain. Semuanya ini sama sekali tidak berkaitan dengan kebaikan dan keburukan rasional. Yang menjadi dasar dan pilar akhlak adalah kesehatan dan kesejahteraan jiwa. Kesehatan dan kesejahteraan jiwa, sebagaimana juga kesehatan dan kesejahteraan tubuh, sama sekali tidak berkaitan dengan kebaikan dan keburukan rasional. Jiwa manusia harus sehat. Sebagaimana tubuh manusia memerlukan olah raga dan latihan, maka begitu pulalah halnya dengan jiwanya. Manusia mampu melakukan berbagai perbuatan yang bisa mendidik jiwa dan pikirannya.

Penulis buku Emile menjelaskan masalah ini dengan bagus. Ia menulis buku itu dalam bentuk roman. Ia mendidik dan membesarkan anak dengan berbagai metode khusus serta menganjurkan anak-anak untuk melakukan berbagai pekerjaan yang bisa memperkuat jiwa mereka.

Kadang-kadang pikiran bekerja dengan teliti dan mendalam, tetapi kadang-kadang tidak demikian. Artinya, terkadang manusia sangat teliti dalam berpikir, dan terkadang tidak. Bagaimana bisa demikian? Saya dan Anda sering datang dan pergi ke Masjid Ittifâq. Ketika kita berada jauh dari masjid itu dan ditanya tentang ketinggian, luas masjid itu, dan tulisan kaligrafi apa saja yang ada di dalamnya, kita mungkin tidak akan mampu menjelaskannya, padahal sudah ratusan kali kita mengunjungi masjid itu. Namun, jika pertanyaan-pertanyaan serupa ditujukan kepada seorang seniman yang sangat teliti pada semua hal, maka ia pasti akan bisa menjawabnya. Di sini, orang mengatakan bahwa

p: 288

mata sang seniman itu sudah terdidik dalam artian bahwa hatinya demikian cermat dan teliti pada benda-benda yang dilihat. Demikian juga halnya dengan orang yang telah terdidik dengan berbagai macam suara yang didengarnya. Seseorang yang terbiasa dan terdidik dengan alat-alat musik akan bisa mengenali suara sang penyanyi. Begitu pula halnya dengan orang-orang yang sudah terdidik indra perabanya.

Juga, seorang dokter mampu mengetahui penyakit sang pasien dengan memeriksa denyut nadinya. Jika Anda ingin mengetahui ketelitian indra peraba, cobalah perhatikan orang-orang yang buta sejak lahir. Anda akan menemukan bahwa sebagian besar pekerjaan mereka bersandar pada kekuatan daya raba mereka.

Tujuan saya menyebutkan contoh-contoh di atas adalah menjelaskan ihwal keharusan melatih kekuatan dalam raga dan jiwa manusia, terutama berbagai kekuatan insani, seperti kemauan. Demikian juga, kemampuan untuk memusatkan pikiran juga perlu dilatih dan dikuatkan. Inilah yang disebut dengan akhlak. Akhlak bertujuan menguatkan keinginan dan kemauan manusia. Hal ini berarti bahwa harus mampu mengua- sai kekuatan syahwat, adat, dan tabiatnya. Bagaimana hal ini bisa ter- jadi? Artinya, manusia punya kemauan kuat dalam memutuskan suatu perbuatan yang wajib dilakukan tanpa bisa dihalangi oleh kekuatan watak atau tabiat dirinya. Kita ambil sebuah contoh. Seorang Mulism yang sudah dikenai kewajiban bisa menetapkan bahwa salat adalah baik. Setelah itu, ia harus bangun di waktu sahur, menunaikan salat, berdoa, memohon ampunan kepada Allah, dan memohon pertolongan kepada-Nya. Ketika ia harus bangun dalam sekali waktu, maka watak dan tabiatnya akan mengatakan, “Teruslah tidur dan beristirahatlah.” Keinginannya masih menghendaki tidur. Ia harus melawan keinginan tidur ini. Ia merasakan kenikmatan tidur. Dalam hal ini, jika kemauannya kuat, maka ia akan mampu mengatasi watak dan tabiatnya itu. Ia akan segera bangkit dari tidurnya dan menunaikan salat.

Akhlak berarti bahwa manusia mampu menjadikan kemauan (irâdah) sebagai pemenang atas kebiasaan dan watak atau tabiat. Dengan kata lain, ia memperkuat kemauannya untuk bisa menguasai segenap kebi- asaan dan watak atau tabiatnya. Bahkan, kemauan harus bisa menga- lahkan berbagai kebiasaan baik. Sebab, perbuatan baik-jika

p: 289

sudah menjadi kebiasaan seseorang tidak lagi dihitung sebagai suatu kebajikan. Misalnya saja, kita punya kewajiban untuk menunaikan salat.

Akan tetapi, jangan sampai salat kita berubah menjadi kebiasaan. Dari mana kita bisa mengetahui bahwa salat yang kita lakukan itu adalah kebiasaan atau bukan? Kita harus memawas diri kita sendiri. Sudahkah kita menunaikan semua perintah Allah, seperti salat? Jika demikian halnya, maka terbukti bahwa apa yang kita kerjakan itu adalah karena Allah. Namun, sekiranya kita juga memakan riba dan mengerjakan salat berikut berbagai salat sunnat lainnya dan kita selalu mengkhianati janji yang kita ucapkan kepada manusia, tetapi kita selalu melakukan ziarah 'Asyura, maka jelaslah bagi kita bahwa salat yang kita kerjakan bukanlah suatu ibadah, melainkan kebiasaan. Sebuah hadis diriwayatkan dari Imam Ja'far ash-Shadîq. Beliau berkata, “Janganlah engkau hanya melihat lamanya ruku' dan sujud seseorang.” Artinya, janganlah Anda sampai tertipu oleh lamanya ruku' dan sujud seseorang. Mungkin saja, hal itu dilakukannya karena sudah menjadi kebiasaannya sehingga jika ia meninggalkannya, hatinya menjadi resah. Jika Anda hendak menge- tahui sifat-sifat orang itu, maka ujilah perkataan jujur dan amanah.

Sebab, seseorang bisa dipercaya bukan karena kebiasaannya. Demikian juga, berkata benar tidak mungkin akan berubah jadi kebiasaan seperti salat.

Jadi, kemauandanakhlak manusia harus kuatagar bisa mengalahkan kebiasaan dan watak atau tabiatnya dan semua yang dilakukannya itu bersandar pada kemauannya. Dituturkan tentang beberapa ulama fiqih (dan ini adalah nasihat dari para ulama akhlak) bahwa mereka meninggalkan beberapa ibadah sunat yang telah menjadi kebiasaannya untuk beberapa waktu. Setelah itu, mereka baru melakukannya lagi. Ini dimaksudkan agar mereka tidak mengerjakan ibadah-ibadah sunat itu berdasarkan kebiasaannya, tetapi kemauannya.

Jadi, yang dimaksud dengan hakikat akhlak ialah bahwa setiap sifat dan kekuatan dalam jiwa manusia punya hak yang harus diberikan, dan manusia punya kewajiban dalam hal ini. Yang dimaksud dengan akhlak ialah bahwa manusia mendidik sisi-sisi kemanusiaannya, terutama melatih dan mendidik kekuatan akal dan kemauan agar bisa menguasai berbagai kekuatan lainnya. Dengan demikian, seseorang tidak bisa mengatakan bahwa akhlak berbeda sesuai dengan keadaan tempat dan

p: 290

waktu dan bahwa ia hanya berpegang pada satu akhlak, dan tidak pada akhlak lainnya.

Mereka yang berpandangan bahwa akhlak bersifat relatif sesungguhnya berpikir dengan kerangka pikir Socrates. Akan tetapi, hakikat sebenarnya tidak demikian. Pertama, kebaikan dan keburukan bukan merupakan pilar dan landasan akhlak. Kedua, pandangan yang mengatakan bahwa kebaikan dan keburukan itu senantiasa mengalami perubahan sesuai dengan perubahan tempat dan waktu sama sekali tidak benar. Allamah Thabâthabâ’î telah mengkaji dan menelaah persoalan ini secara mendalam. Beliau berkesimpulan bahwa dasar- dasar kebaikan dan keburukan rasional bersifat tetap dan sama sekali tidak berubah. Yang berubah hanyalah cabang-cabangnya saja.

p: 291

p: 292

MASALAH NASKH DAN KHâTAMIYYAH

Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi, .... (QS 33:40).

p: 293

p: 294

TERMASUK dalam berbagai masalah mendasar dalam diskusi tentang perubahan dan tuntutan zaman ialah masalah penghapusan syariat (naskh) dan penutup para nabi (khâtamiyyah).

Masalah pertama adalah dasar pertimbangan bagi keberlakuan naskh atas hukum-hukum Allah. Naskh ialah meletakkan suatu hukum dan kemudian mengangkatnya kembali disebabkan munculnya hukum lain yang menempati hukum sebelumnya itu. Dalam undang-undang yang diciptakan manusia, banyak terjadi nâsikh dan mansûkh.

Tidak mengapa hal ini terjadi dalam kehidupan manusia. Sebab, sangat mungkin manusia menetapkan suatu hukum dan memperbaikinya atau menggantinya dengan hukum baru sesudah be- berapa waktu kemudian diketahui ada kesalahan di dalamnya.

Akan tetapi, bagaimana mungkin hal serupa terjadi pada hukum yang ditetapkan oleh Allah? Berkaitan dengan Allah, seseorang tidak mungkin membayangkan bahwa Allah melalui salah seorang nabi- Nya-menetapkan suatu hukum dan kemudian, setelah beberapa waktu, Allah menyadari kesalahan-Nya dalam menetapkan hukum itu.

Lalu, Dia segera mengadakan koreksi dan perbaikan. Jelaslah bahwa yang demikian itu bertentangan dengan transendensi (ulûhiyyah) Allah. Kepanjangan dari naskh ialah kejahilan dan ketidaktahuan dalam menetapkan hukum. Jika demikian, maka jelas bahwa ini bukanlah penyebab terjadinya naskh. Namun, di sisi lain, kita mendapatkan adanya naskh dalam hukum-hukum yang diturunkan Allah. Kita melihat kedatangan seorang Nabi yang membawa syariat. Selang beberapa waktu kemudian, datang lagi Nabi lain yang menghapus syariat Nabi sebelumnya. Pada zaman Nabi Adam, dan bahkan pada zaman Nabi Nûh, ada suatu syariat tertentu. Tatkala Nabi Nûh datang, beliau membawa syariat baru yang menghapus syariat Nabi Adam. Ketika Nabi

p: 295

Ibrâhîm datang, beliau membawa syariat baru yang menghapus syariat zaman Nabi Nûh. Setelah itu, datang Nabi Mûsâ dan menghapus syariat Nabi Ibrâhîm. Begitu pula, setelah itu datang Nabi ‘Isâ yang menghapus syariat Nabi Mûsâ. (Memang benar bahwa hukum-hukum yang dibawa oleh Nabi 'Isâ tidak disebut sebagai syariat, tetapi secara umum bisa dikategorikan sebagai nâsikh [penghapus]). Kemudian, akhirnya, datanglah agama Islam suci yang menghapus semua syariat itu. Sebab dilakukannya naskh bukanlah seperti terjadi dalam undang-undang manusia, yakni sadar akan kesalahan dan kekurangan dalam hukumhukum sebelumnya. Hal ini bisa terjadi pada ilmu manusia yang tidak sempurna. Akan tetapi, hal ini tidak mungkin terjadi pada ilmu Allah. Karena itu, timbul pertanyaan: Mengapa terjadi naskh? Sesuai dengan tuntutan-tuntutan zaman, sejak awal, hukum- hukum yang diturunkan melalui para nabi terdahulu bersifat terbatas untuk zaman tertentu. Artinya, sejak semula, Allah tidak menurunkan syariat yang bersifat abadi dan langgeng untuk seterusnya. Akan tetapi, Allah menurunkan suatu syariat untuk waktu terbatas. Bila sudah habis masa waktunya, Allah menurunkan syariat lain yang menggantikan kedudukan syariat sebelumnya. Jika demikian halnya, mengapa Allah tidak menetapkan suatu syariat abadi untuk sepanjang zaman? Kita katakan bahwa setiap zaman punya tuntutan dan kebutuhan. Syariat yang dibawa oleh Nabi Nûh atau Nabi Ibrâhîm sesuai dengan keadaan dan tuntutan zaman waktu itu. Akan tetapi, zaman berikutnya menuntut suatu syariat lain.

Dari sini kemudian timbul persoalan sangat penting.

Jika penghapusan suatu syariat itu disebabkan terjadi perubahan dalam berbagai tuntutan zaman, maka tidak ada satu syariat pun yang menduduki posisi sebagai penutup syariat. Seorang Nabi wajib menghapus syariat yang dibawa oleh Nabi sebelumnya. Ini terus berlangsung hingga waktu tak terbatas, karena zaman tidak per- nah berhenti. Dengan ungkapan lain, kita bisa mengatakan bahwa terjadinya naskh dalam hukum-hukum Allah bukanlah disebabkan oleh sadar akan berbagai kesalahan dan kekurangan dalam hukum- hukum sebelumnya, melainkan oleh perubahan dan berbagai tuntutan zaman. Zaman tidak pernah berhenti. Setiap kali diutus seorang nabi, maka hukum dan syariat yang dibawanya berlaku hanya untuk zaman tertentu. Setelah

p: 296

habis masa berlakunya, maka mau tidak mau diperlukan adanya Nabi baru dan syariat baru pula. Inilah pernyataan yang banyak mereka lontarkan. Terutama sekali, kaum Bahâ’î banyak mengulang-ulang pernyataan ini. Ini tidak termasuk dalam bab menggunakan argumentasi baru demi kepentingan mereka. Akan tetapi, ini dimaksudkan untuk menggoncangkan konsep khâtamiyyah dalam syariat Islam. Sekarang, kita ingin mengetahui bagaimana semua syariat berhenti pada satu titik, dalam artian bahwa tidak turun lagi syariat baru setelah itu.

Keyakinan bahwa Islam adalah agama dan syariat terakhir dan bahwa tidak akan ada nabi lagi sesudah Nabi Muhammad Saw ter- masuk dalam bagian pokok ajaran Islam. Jika seseorang mengingkari konsep khâtamiyyah ini, maka ia telah mengingkari Islam. Sejak pertama kali Nabi Muhammad Saw diangkat menjadi Rasul, dan sejak orang pertama beriman kepada beliau, para pengikutnya tidak hanya meyakini bahwa Rasulullah Saw adalah seorang Nabi saja, melainkan juga meyakini bahwa Rasulullah Saw adalah penutup para nabi. Sejak kurun awal Islam, kaum Muslim meyakini bahwa Rasulullah Saw adalah penutup para nabi. Dalam sebuah hadis, Rasulullah Saw sendiri bersabda, “Tidak ada Nabi sesudah aku.” Kalimat ini adalah bagian dari ucapan Rasulullah Saw yang ditujukan kepada Imam Alî ketika beliau bersabda, “Kedudukanmu di sisiku seperti Harun di sisi Musa. Hanya saja, tidak ada Nabi lagi sesudahku.” Ucapan ini amat dikenal luas (mutawâtir). Beliau mengucapkan sabda ini dalam Perang Tabuk. Sebab, dalam perang ini, Rasulullah Saw tidak mengikutsertakan Imam Alî dan memerintahkannya untuk tetap di tempatnya. Padahal, Imam Alî adalah seorang laki-laki medan perang dan menampakkan keinginannya bertempur bersama-sama di sisi Rasulullah Saw. Imam Alî berkata kepada Rasulullah Saw, “Apakah engkau tidak membawaku bersama-sama denganmu?” Rasulullah Saw menjawab pertanyaan Imam Alî itu dengan mengucapkan, “Kedudukanmu di sisiku seperti Hârûn di sisi Mûsâ.” Sebab, ketika itu, Rasulullah Saw melihat bahwa Perang Tabuk tidak memerlukan bala tentara. Perang kali ini tidak lain hanyalah manuver belaka, sehingga tidak menuntut pentingnya keikutsertaan Imam Alî. Ketidakikutsertaan Imam Alî inilah yang mendorong Rasulullah Saw mengucapkan sebuah kalimat bersejarah yang sangat mutawâtir di kalangan Ahlus-Sunnah

p: 297

maupun Syi'ah. Almarhum Mir Hamid Husain telah mengkhususkan satu jilid dari kitabnya yang berjudul Al-'Abaqât untuk berbagai matan hadis yang dinukil melalui saluran Ahlus-Sunnah.

‘Alâ kulli hâl, masalah khâlamiyyah termasuk dalam bagian pokok dari Islam. Di sini, saya hendak menyebutkan suatu hal kepada Anda bahwa orang-orang Yahudi menolak dan sama sekali mengingkari konsep naskh. Mereka mengatakan bahwa tidak mungkin terjadi naskh dalam syariat. Pernyataan mereka ini tidak benar. Sebab, seandainya tidak mungkin terjadi naskh dalam syariat, maka tidak ada satu sebab an alasan pun yang bisa mewajibkan kita berpegang pada syariat yang dibawa oleh Nabi Mûsâ. Dengan menolak konsep naskh dalam syariat, kita harus tetap berpegang pada syariat yang telah diturunkan sebelum Nabi Mûsâ hingga waktu yang tidak terbatas.

Kita mesti mengkaji masalah ini dari berbagai sisi. Kebutuhan akan seorang Nabi baru bukan hanya disebabkan oleh kebutuhan dalam menetapkan hukum dan undang-undang saja. Mula-mula, seorang Nabi bertugas membawa berbagai pengetahuan Ilahi, yang merupakan hakikat-hakikat penjelas bagi segenap alam gaib, seperti mengenal Allah, sifat-sifat Allah, pengetahuan tentang Hari Kiamat, dan segala sesuatu yang berkaitan dengan perjalanan manusia menuju alam lain.

Selain membawa hukum dan aturan untuk umat manusia, seorang Nabi juga membawa serangkaian pengetahuan bagi manusia. Jika kita melihat konsep khâtamiyyah dari sisi pengetahuan yang dibawa para nabi, maka persoalannya akan menjadi demikian.

Seorang Nabi punya derajat dan batasan tertentu. Ia menjelaskan pengetahuan-pengetahuan Ilahi sesuai dengan derajat dan dalam batas ketinggian kedudukannya. Dengan ungkapan lain, seorang Nabi menjelaskan pengetahuan dan berbagai hakikat Ilahi sebatas apa yang disingkapkannya atau—menurut istilah kaum arif (ʻurafâ) — sebatas penyingkapan (mukâsyafah) yang berhasil ditempuhnya. Ia tidak mampu menjelaskan hakikat lebih dari itu. Karena itu, orang sesudahnya-yang sanggup menjelaskan pengetahuan dan berbagai hakikat Ilahi lebih dari dirinya berkewajiban menjelaskannya.

Penyingkapan pengetahuan dan berbagai hakikat Ilahi bisa kurang dan tidak sempurna serta bisa juga satu derajat lebih sempurna. Akan tetapi, penyingkapan (mukâsyafah) ini ada batas akhirnya, yang- menurut

p: 298

istilah mereka dikenal dengan khatâm atau insâni. Apa saja yang bisa disingkap oleh manusia dari pengetahuan dan berbagai hakikat Ilahi pun tersingkap (tentu saja, bila manusia itu adalah seorang yang sempurna). Ia bisa menyingkap segenap hakikat dan rahasia Allah. Dengan demikian, ia tidak memberikan kesempatan kepada nabi-nabi yang datang sesudahnya. Dengan kata lain, batas akhir dari pengetahuan dan hakikat Ilahi adalah apa yang telah dijelaskannya.

Ia telah sampai pada derajat bisa berhubungan secara sempurna dengan Lembaran Terjaga (al-lawh al-mahfûzh). Orang yang datang sesudahnya hanya bisa sampai pada derajat yang sama dengannya atau bahkan lebih sedikit darinya. Jika orang yang datang sesudahnya tidak sampai pada derajat yang dicapainya, maka apa yang telah dijelaskan sebelumnya itu lebih sempurna. Namun, jika orang yang datang sesudahnya mencapai derajat dirinya atau lebih tinggi, maka tetap tidak ada lagi yang bisa disingkapkan olehnya. Apa yang dilakukannya itu hanyalah pengulangan dari apa yang diucapkannya. Demikian juga halnya dengan Anda yang hendak mengetahui apa yang ada di bulan.

Anda berangkat mengendarai pesawat ruang angkasa dan mengambil gambar serta memberitakan apa yang Anda lihat dan peroleh. Setelah itu, diluncurkan lagi pesawat ruang angkasa lebih canggih yang bisa memberikan informasi lebih rinci. Demikianlah seterusnya. Akan tetapi, yang demikian itu akan berakhir hingga tersingkaplah segala sesuatu yang mungkin bisa disingkapkan dan tidak tersisa sedikit pun yang belum disingkapkan. Jika masih ada juga sesuatu yang belum disingkapkan, maka hal itu berada di luar kemampuan manusia. Sesudah itu, sebanyak apa pun pesawat ruang angkasa dan manusia dikirimkan, maka berita atau informasi yang akan diperoleh tetaplah sama dengan yang telah disampaikan sebelumnya. Dari sisi pengetahuan dan hakikat Ilahi, konsep khâtamiyyah berarti penutup, penyempurna, dan bagian yang sempurna. Jika kita mengumpamakan kedatangan seorang Nabi sesudah penutup para nabi, yakni Nabi Muhammad Saw, yang sama derajatnya dengan beliau, maka Nabi baru itu akan mengulangi apa yang telah disampaikan oleh Rasulullah Saw Saya telah menyebutkan bahwa disebabkan berbagai tuntutan zaman telah berubah, maka syariat-syariat pun mengalami pergantian.

Kita mesti menjelaskan masalah ini. Jika yang dimaksudkan dengan

p: 299

tuntutan zaman adalah kemajuan dan perubahan peradaban, maka manusia akan selalu membutuhkan agama baru. Peradaban berhubungan dengan kehidupan sosial manusia. Ini berarti kembali pada alat atau produk pengetahuan dan sains. Apa yang ada di zaman Nabi Nûh berbeda dari apa yang ada di zaman Nabi Ibrâhîm.

Di zaman Nabi Ibrâhîm, peradaban manusia sudah lebih maju dari peradaban di zaman Nabi Nûh. Begitu juga, peradaban di zaman kita sekarang jauh lebih maju dan lebih sempurna dari peradaban di zaman Rasulullah Saw. Namun tuntutan-tuntutan zaman yang menyebabkan terjadinya perubahan dan pergantian syariat bukanlah peradaban. Yang dimaksudkan bukanlah perkembangan peradaban sebagaimana telah disebutkan. Yang dimaksudkan adalah hal lain.

Berdasarkan fitrah dan berbagai berita yang disampaikan para pemimpin agama, manusia membutuhkan dua argumen (hujjah).

Manusia punya dua nabi. Yang pertama adalah Nabi batiniah, yang dikenal dengan nama akal. Yang kedua adalah Nabi lahiriah, yakni para nabi. Manusia memerlukan hidayah dan petunjuk. Kemampuan berpikir manusia adalah Nabi baginya. Akal adalah anugerah Allah (luthfullâh) yang diberikan kepada manusia guna menemukan jalan- Nya. Akan tetapi, menempuh jalan ini, yang merupakan kewajiban manusia, memerlukan alat dan perantara. Semua naluri dan kecenderungan manusia ini menguasai wujud dirinya. Akal manusia adalah alat petunjuk lain yang ada dalam wujud manusia. Betapa banyak masalah yang dihadapi manusia bisa disingkap melalui perantara akal. Manusia mampu memahami kemaslahatan dirinya dengan perantara petunjuk akal. Misalnya saja disodorkan kepada seseorang dua mata uang. Ia akan berpikir sejenak dan baru kemudian memilih.

Ini hanyalah pekerjaan akal semata. Orang-orang gila punya naluri yang sama dengan orang-orang waras dan berakal. Indra mereka bisa bekerja sebagaimana indra orang-orang berakal. Akan tetapi, akal mereka tidak berfungsi. Dalam diri orang-orang gila, tidak ada petunjuk yang disebut akal. Wilayah teritorial kedua petunjuk itu berlainan.

Di samping itu, ada bentuk petunjuk keempat, yakni wahyu. Akan tetapi, petunjuk jenis keempat ini secara sempurna tidak ada pada setiap orang, meskipun secara tidak sempurna ada pada setiap individu.

p: 300

Pada setiap manusia ada bentuk ilham parsial. Namun, wahyu dalam bentuk sempurna tidak ada pada setiap individu. Allah mengutus orang-orang yang punya kelayakan dan menurunkan kepada mereka wahyu yang mencakup serangkaian hakikat dan jalan yang tidak bisa diperoleh melalui naluri dan akal manusia. Di sini, wahyu berperan membantu manusia. Dengan demikian, kebutuhan manusia akan Nabi bisa dijelaskan sebagai suatu kebutuhan akan serangkaian hakikat dan masalah. Realisasinya berbentuk wahyu dan agama. Wahyu tidak berbeda dengan adanya perbedaan dan perubahan waktu. Akan tetapi, wahyu berbeda atas dasar perbedaan dalam potensi dan kemampuan (bukan atas dasar perbedaan dalam tingkatan peradaban). Ini tidak berarti bahwa ketika peradaban telah berubah, maka hukum pun harus berubah, yang akhirnya menuntut adanya pergantian dan perubahan nabi. Dengan kata lain, perubahan peradaban itu memerlu serangkaian hukum baru. Tidak, tidak demikian. Perubahan wahyu hanya terjadi bila tingkatan kecenderungan manusia atau potensi mereka dalam hukum-hukum Allah telah berubah. Masyarakat manusia tidak ubahnya bagaikan seorang individu. Ia mempunyai masa kanak-kanak, mendekati akil-baligh (mumayyiz), dan akil-baligh. Pada mulanya, seorang manusia mengalami masa kanak-kanak. Pada masa ini kemampuannya untuk memperoleh sesuatu sangat lemah. Semakin hari, ia semakin tumbuh berkembang dan menjadi besar. Demikian pula, potensi dan kemampuannya semakin besar. Tidak ubahnya seperti perintah-perintah yang diberikan kepada seorang anak kecil, semua yang Anda perintahkan sama sekali tidak berubah. Akan tetapi, seorang anak tidak punya kemampuan untuk melaksanakan semua perintah Anda. Baru secara bertahap kemampuannya untuk menaati perintah semakin bagus. Dalam hal ini, Anda memberikan kepadanya sebagian perintah dan membiarkan sebagian perintah lainnya. Atau, Anda sendiri yang langsung memberikan contoh di hadapannya. Akhirnya, ia sam pai pada periode akilbaligh, di mana akalnya sudah sempurna. Anda bisa memberi perintah apa saja yang Anda kehendaki. Dalam periode ini, ajarkanlah kepadanya semua jalan dan ajaran untuk diamalkannya hingga akhir hidupnya. Dasar-dasar ajaran dan hukum-hukum yang diperlukan manusia dari wahyu bukanlah sesuatu yang mutlak, melainkan terbatas. Tidak semua hukum diturunkan pada manusia generasi awal.

Sebab, pada masa itu,

p: 301

manusia masih berada dalam periode kanak-kanak. Hukum universal bersifat satu dalam setiap zaman. Akan tetapi, dalam diri manusia, tidak ada kemampuan dan potensi yang memungkinkan mereka menghimpun semua hukum dan undang-undang. Jika demikian halnya, maka mereka tidak akan mampu berpegang dan melaksanakannya.

Bahkan, sejumlah hukum yang telah diturunkan kepada mereka masih memerlukan para pembimbing yang bisa membantu mereka melaksanakan hukum itu. Ketika manusia sudah sampai pada periode akil-baligh atau sempurnanya akal, di mana manusia punya potensi dan kemampuan untuk memperoleh berbagai hukum yang menjadi dasar aturan kehidupan sosial individunya, hukum dan undang- undang itu pun harus disampaikan kepadanya. Pada masa ini, mereka akan mengatakan bahwa semua wahyu yang punya tugas memberikan petunjuk kepada manusia adalah ini. Akal telah sampai kepada sesuatu yang digapai melalui jalan wahyu yang diperlukan manusia.

Yang disebut dengan periode khâtamiyyah bukanlah salah satu periode dari peradaban. Tahapan-tahapan peradaban bukanlah tolak ukur (milâk) bagi khâtamiyyah. Periode khâtamiyyah ialah periode di mana manusia sudah sampai pada batas yang bila diajarkan hukum kepadanya, maka ia dapat menjaga dan melaksanakannya. Kemudian, dengan kemampuan akalnya, manusia mampu memper oleh manfaat dari hukum dan undang-undang itu. Ini tidak ubahnya seperti kebiasa- an seorang anak yang selalu mengoyak-ngoyak buku. Dulu, anak-anak punya sebuah buku yang bernama 'Ammah (harfiah: bibi dari pihak ayah -penerj.). Buku itu digunakan pada masa-masa awal belajar. Sebelum mereka habis membaca dan mempelajarinya, mereka telah mengoyak- ngoyak buku itu menjadi tujuh atau delapan bagian. Meskipun kelu- arga telah mengawasi anak-anak mereka, setiap tahun mereka harus dibelikan buku ini sebanyak 3 atau 4 kali. Seorang anak tidak punya kemampuan menjaga buku-bukunya. Manusia-manusia dahulu belum mampu menjaga kitab-kitab samawi mereka. Mereka mengoyak-ngoyak kitab samawi itu dan menghilangkannya. Mana shuhuf Ibrâhîm? Mana Taurat Mûsa? Mana Injil 'Isâ? Sekiranya Zoroaster adalah seorang nabi, mana kitab Avesta ? Ini menunjukkan bahwa ketika itu manusia belum dewasa. Sekiranya Al-Quran diturunkan kepada mereka pada masa itu, maka beritanya tidak akan sampai kepada

p: 302

kita. Kita menyaksikan bahwa manusia sudah sampai pada suatu derajat dimana mereka mampu menjaga dan memelihara kitab samawi yang turun kepada mereka. Pada masa ini, tidak ada lagi kanak-kanak yang mengoyak-ngoyak buku mereka. Al-Quran terjaga. Ini membuktikan bahwa manusia telah dewasa. Tugas wahyu ialah menyempurnakan dan melengkapi kekurangan akal. Dengan kata lain, wahyu adaiah penyempurna akal. Wahyu memberikan kabar tentang tempat-tempat yang tidak bisa dicapai oleh akal. Ketika zaman telah datang, di mana manusia sudah mampu menjaga apa yang didapatkannya dari jalan wahyu, kemampuan dan potensinya sudah sampai pada tingkatan sanggup menjaga ajaran-ajaran wahyu yang tetap. Juga, manusia telah mempunyai kemampuan untuk menerapkan semua ajaran pokok uni- versal dalam kehidupannya sehari-hari dan menjadikannya sebagai ukuran dan standar dalam kehidupan. Ketika itulah zaman itu disebut sebagai masa khâtamiyyah.

Dengan demikian, konsep khâtamiyyah tidak berkaitan dengan derajat dan tingkat peradaban. Walhasil, tidak timbul pertanyaan:

Mengapa muncul Ibrâhîm sesudah Nûh, Mûsâ sesudah Nûh, 'Isâ sesudah Mûsâ, Muhammad sesudah ‘Isâ, tetapi tidak ada lagi Nabi sesudah Rasulullah Muhammad? Apakah zaman berhenti sesudah kedatangan penutup para nabi dalam artian bahwa zaman tidak memerlukan lagi syariat? Zaman sama sekali tidak berhenti. Bahkan, berbagai perubahan yang terjadi sejak zaman Rasulullah hingga sekarang itu berkali-kali lipat jika dibandingkan dengan berbagai perubahan yang terjadi di zaman Nabi Nûh, bahkan juga di zaman Rasulullah Saw sekalipun.

Masalah ini sama sekali tidak berkaitan dengan derajat dan ting- katan peradaban. Mengapa datang para nabi? Sebenarnya apa yang menjadikan manusia butuh kepada wahyu? Seorang Nabi tidak datang untuk mengambil alih tempat akal manusia. Tidak pernah ada seorang Nabi diutus untuk menghentikan semua potensi dan kemampuan yang dimiliki manusia. Misalnya saja, para nabi itu mengatakan, “Jangan berpikir! Jangan berargumentasi! Jangan berijtihad! Kamilah yang akan melakukan semua pekerjaanmu.” Jelas, ini bertentangan dengan sistem dan aturan alam ini. Yang benar ialah bahwa para nabi mengatakan, “Wahai manusia, lakukan apa yang mampu kalian lakukan! Kalian harus melakukan pekerjaan-pekerjaan yang masih berada dalam batas-

p: 303

batas kemampuan akal, pikiran, dan argumentasi kalian! Jika kalian menghadapi berbagai masalah yang tidak sanggup kalian selesaikan, maka kami akan membantu kalian dengan perantaraan wahyu.” Keadaan ini tidak berbeda dari keadaan seorang anak yang sedang Anda jaga dan awasi. Anda membiarkannya berjalan menempuh jalan yang sanggup dilaluinya. Ketika Anda menyaksikan ia tidak mampu lagi berjalan, Anda segera menggendongnya. Demikian juga halnya dengan wahyu. Yang diperlukan manusia dari jalan wahyu adalah sesuatu yang terbatas sejak awal penciptaan alam hingga akhirnya. Sesuatu yang diperlukan manusia melalui perantaraan wahyu adalah sesuatu yang terbatas sejak zaman Nabi Adam hingga zaman Rasulullah. Akan tetapi, sesuatu yang terbatas ini tidak mampu digapai manusia. Untuk itu diutus para nabi dan rasul secara bertahap, periode demi periode.

Mereka bertugas mengawasi dan membimbing manusia agar mampu mengatur diri dan kehidupan mereka. Mereka yang datang dalam periode-periode kemudian wajib mengawasi urusan manusia. Anda tentu pernah memerhatikan bagaimana dokter memperlakukan pasien dengan dua cara. Seorang dokter harus mengawasi segala sesuatu dilakukan pasiennya yang awam. Selain itu, ia bertugas menyembuhkan penyakitnya. Sedangkan pada pasiennya yang terpelajar, pekerjaan seorang dokter menjadi lebih mudah. Kepada mereka cukup hanya dengan mengucapkan dua kalimat umum.

Dengan demikian, solusi atas konsep khâtamiyyah jelas bagi kita. Dan juga menjadi jelas bagi kita bahwa tidak benar orang-orang yang mengatakan bahwa jika terjadi naskh atas agama-agama dengan berlalunya waktu, maka tidak mungkin ada konsep khdtamiyyah. Jika tidak ada naskh, maka tidak akan ada penghapusan atas syariat-syariat sebelumnya. Masalah khâtamiyyah adalah masalah lain sebagaimana telah saya jelaskan.

p: 304

KHâTAMIYYAH

Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup para nabi, .... (QS 33: 40).

p: 305

p: 306

DALAM bagian sebelumnya, kita telah membahas masalah khâtamiyyah. Pembahasan ini berkaitan dengan masalah tuntutan zaman. Kita telah menyebutkan bahwa masalah khâtamiyyah termasuk dalam masalah-masalah yang berkaitan dengan zaman. Penghapusan suatu syariat dan kemunculan syariat baru yang menggantikannya berkaitan dengan zaman semata. Jika tidak demikian halnya, maka tidak ada alasan bahwa sebuah syariat berakhir. Para ulama mengakui wa Allah telah menjadikan suatu syariat untuk waktu tertentu. Pada gilirannya, Allah akan menghapus dan menggantinya dengan syariat lain. Sebab berlakunya hal ini kembali pada berbagai perubahan yang terjadi. Dengan ungkapan lain, sebabnya adalah perubahan dalam berbagai tuntutan zaman. Setelah itu, muncul sebuah persoalan.

Jika demikian halnya, maka syariat-syariat yang ada harus senantiasa berubah mengikuti berbagai perubahan dalam tuntutan-tuntutan zaman. Atas dasar ini pula, tidak ada satu syariat pun yang akan berkedudukan sebagai syariat penutup. Demikian juga, kenabian tidak akan bisa berhenti pada satu titik.

Kita telah mengemukakan jawaban atas persoalan itu. Kita katakan bahwa orang yang mengajukan persoalan itu sesungguhnya mencampuradukkan dua masalah yang berbeda. Sebab, mereka mengira bahwa perubahan dalam berbagai tuntutan zaman terjadi pada tingkat peradaban manusia. Karena itu, maka wajib diutus seorang Nabi yang sesuai dengan tingkat peradaban, yakni sesuai dengan kemajuan pengetahuan dan kebudayaan manusia. Padahal, yang demikian ini tidak benar. Sebab, tuntutan-tuntutan zaman- terlepas dari perubahan yang terjadi pada tingkatan peradaban—juga mengalami perubahan. Dan perubahan dalam berbagai tuntutan zaman tidaklah menyebabkan perubahan hukum. Sebab utama kemunculan syariat baru yang menghapus syariat sebelumnya adalah bahwa, dalam

p: 307

syariat sebelumnya, manusia tidak punya cukup kemampuan untuk memahami segenap hakikat yang harus disampaikan kepadanya.

Karena manusia secara bertahap mengalami perkembangan, maka syariat berikutnya akan muncul dalam bentuk lebih sempurna. Setiap syariat baru lebih sempurna dari syariat sebelumnya. Akhirnya, manusia tiba pada tingkatan yang menyebabkan mereka tidak lagi memerlukan wahyu. Dengan kata lain, kebutuhan manusia akan wahyu bukanlah sesuatu yang tidak terbatas. Dari sudut-pandang pengetahuan Ilahi, perintah akhlak, dan ajaran sosial, ada berbagai masalah yang berada di luar jangkauan kemampuan akal, ilmu, dan pengalaman manusia.

Artinya, manusia tidak bisa memecahkan berbagai masalah itu dengan menggunakan kekuatan ilmu yang dimilikinya. Karena ilmu dan akal tidak mampu, maka wahyu datang membantu. Selanjutnya, tidak perlu lagi manusia diajari menyelesaikan berbagai masalah dengan bimbingan wahyu. Tingkatan paling tinggi di saat manusia membutuhkan wahyu ialah, pertama, ketika ia punya kemampuan untuk menerimanya dan, kedua, ketika ia punya kemampuan untuk menjaganya.

Di sini, perlu kiranya saya menyebutkan suatu masalah yang berkaitan dengan pembahasan ini. Salah satu sebab ihwal mengapa manusia memerlukan syariat baru adalah bahwa sebagian hakikat dan ajaran syariat sebelumnya telah mengalami penyimpangan lantaran ulah tangan manusia. Pada hakikatnya, salah satu tugas dan pekerjaan seorang Nabi adalah menghidupkan kembali ajaran-ajaran Nabi sebelumnya. Dengan kata lain, sebagian ajaran yang dibawa oleh se- orang Nabi telah dibawa oleh nabi-nabi sebelumnya. Disebabkan ulah manusia, ajaranajaran itu telah diselewengkan. Mungkin sudah men- jadi salah satu watak dan kebiasaan manusia untuk selalu men dan mengurangi pelajaran yang diterimanya dari se orang guru.

Mereka melakukan penyimpangan atas ajaran-ajaran yang mereka ter- ima. Masalah ini juga diakui oleh Al-Quran. Penga laman manusia juga memperkuat teori ini. Sebagai contoh, Al-Quran yang datang dengan tugas menghapus kitab Taurat dan Injil tetap mempertahankan dan menghidupkan sebagian ajaran yang ada dalam kedua kitab ini. Sete- lah kitab Taurat dan Injil diselewengkan oleh tangan-tangan manusia, Al-Quran mengatakan bahwa kitab asli Taurat dan Injil bukanlah yang ada pada kebanyakan manusia. Al-Quran mengatakan bahwa kitab asli Taurat dan Injil yang

p: 308

ada di tangan manusia telah diselewengkan. Contohnya adalah agama Nabi Ibrahim yang disebut-sebut dalam Al-Quran. Orang-orang Quraisy mengaku sebagai pengikut ajaran-ajaran Nabi Ibrahim. Akan tetapi, hampir bisa dikatakan bahwa tidak ada lagi ajaran Nabi Ibrahim di tengah-tengah mereka. Mereka telah mengubah dan menyelewengkan agama dan ajaran Nabi Ibrahim. Al-Quran mengatakan: Tidaklah salat mereka di sekitar Baitullah (Ka'bah) itu, kecuali hanya siulan dan tepuk tangan (QS 8:35).

Nabi Ibrâhîm telah mewajibkan salat. Dan salat yang diperintahkan Nabi Ibrâhîm merupakan ibadah hakiki. Yang dimaksud dengan ibadah ialah sikap tunduk (khudhû) di hadapan Allah. Ibadah ini berupa mengucapkan tasbîh, tanzîh, dan tahmîd kepada Allah.

Jika ada perbedaan dari sisi gerakan lahiriah antara salat kita dan salat Nabi Ibrâhîm, maka hal itu tidaklah penting. Akan tetapi, perlu diingat bahwa salat Nabi Ibrâhîm adalah salat. Apa yang ada dalam salat Nabi Ibrâhîm adalah juga apa yang ada dalam salat kita, seperti ucapan- ucapan zikir, berbagai bentuk ucapan pujian (tahmîd), sikap tunduk (khudhû'), menampakkan kehinaan di hadapan Allah, dan menyucikan- Nya (tasbîh). Mereka telah mengubah ibadah salat itu dan memasukkan sesuatu sedemikian rupa sampai-sampai ketika Al-Quran diturunkan, salat mereka itu hanya berupa siulan dan tepuk tangan saja.

Dengan demikian, salah satu tugas yang harus dilakukan seorang Nabi ialah menghidupkan kembali ajaran-ajaran para nabi terdahulu.

Karena itu, khusus berkaitan dengan Nabi Ibahim, Al-Quran mengata- kan: Ibrâhîm bukan seorang Yahudi dan bukan pula seorang Nasrani, akan tetapi dia adalah seorang yang lurus lagi menyerahkan diri kepada Allah (QS 3: 67). Dalam ayat lain, Al-Quran mengatakan: Dia telah mensyariatkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan- Nya kepada Nûh, dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu, dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrâhîm, Mûsâ, dan 'Isâ, yaitu:

“Tegakkanlah agama, dan janganlah kamu berpecah-belah tentangnya.

Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya” (QS 42:13).

Dalam ayat di atas, Allah berwasiat untuk menegakkan agama- Nya. Agama yang diwasiatkan adalah agama yang dibawa oleh seluruh para nabi, agama yang satu. Mereka tidak berpecah-belah kecuali

p: 309

setelah mereka mengetahui. Dan perpecahan itu terjadi disebabkan mereka mengikuti hawa nafsu mereka. Dengan kata lain, semua sekte dan agama yang bermacam-macam ini dibuat oleh manusia sendiri. Jika kita membuang semua bagian yang diciptakan manusia, niscaya kita akan melihat bahwa agama yang dibawa para nabi dan rasul adalah agama yang satu, esensi, dan jalan yang satu. Maksud penjelasan ini ialah bahwa salah satu tugas dari para nabi adalah menghidupkan dasar dan ajaran pokok agama. Dasar dan pokok agama adalah satu sejak Nabi Adam hingga Rasulullah Saw, penutup para nabi dan rasul. Jika ada seorang Nabi datang, maka salah satu pekerjaannya ialah menentukan penyimpangan dan penambahan mana yang telah dilakukan masyarakat. Di sini muncul satu pertanyaan. Apakah karakteristik menambah dan menyelewengkan agama hanya ada pada umat-umat sebelum Nabi Muhammad Saw sebagai penutup nabi dan rasul ataukah hanya ada pada manusia-manusia setelah zaman Rasulullah Saw dalam artian bahwa mereka juga melakukan penyimpangan, penambaha dan pengurangan? Tentu saja, watak dan karakteristik manusia tidak berubah. Demikian juga halnya keadaan manusia sesudah zaman Rasulullah Saw Jika tidak demikian halnya, lantas dari mana terjadi perpecahan yang kita saksikan sekarang ini? Dari sini, jelaslah bahwa mungkin saja ada penyimpangan dan bid'ah dalam ajaran Rasulullah Saw. Dalam hal ini, kita meyakini keberadaan Imam Mahdi. Kita mengatakan bahwa beliau akan datang dengan membawa ajaran baru disertai penjelasan bahwa telah terjadi penambahan dan penyimpangan dalam agama Islam. Jika beliau datang dan menjelaskan agama murni dan hakiki dari datuknya Nabi Muhammad Saw, maka manusia akan meyakini bahwa agama yang beliau bawa adalah agama baru.

Padahal, beliau menjelaskan Islam hakiki dan sejati. Beberapa riwayat menyebutkan bahwa ketika Imam Mahdi datang, beliau merobohkan banyak masjid dan bangunan. Beliau melakukan suatu perbuatan yang dipandang manusia sebagai membawa agama baru.

Melalui cara pandang bahwa setiap Nabi adalah seorang pembaru (mushlih) agama yang datang sebelumnya, maka bagaimana mungkin konsep khâtamiyyah bisa dipertahankan dengan adanya kebutuhan akan seorang pembaru? Di sini ada dua masalah. Masalah pertama ialah bahwa kebutuhan akan adanya seorang pembaru dan pembaruan senantiasa

p: 310

ada. Demikian juga, kebutuhan ini ada dalam agama Rasulullah Saw.

Masalah amar ma'ruf nahyi munkar sendiri adalah sebuah reformasi.

Dalam sebuah riwayat yang diriwayatkan dari para Imam disebutkan:

“Sesungguhnya, di setiap zaman, ada orang-orang yang meluruskan dan mengembalikan apa yang telah diselewengkan oleh orang-orang yang kelewat berlebihan. Begitu juga, mereka meluruskan segala macam dusta yang disebarkan oleh orang-orang yang hendak meruntuhkan agama.” Jadi, kita tidak sedang mendiskusikan kebutuhan akan seorang pembaru karena masalah ini sudah jelas. Akan tetapi, perbedaan itu bisa dilihat dari satu sisi, yakni bahwa pada masa syariat terdahulu - manusia tidak punya kemampuan dan potensi untuk berdiri sendiri menghadapi berbagai bentuk penyimpangan dan penyelewengan. Karen- anya, diperlukan seorang Nabi yang bertugas melakukan pekerjaan ini.

Salah satu kelebihan yang dimiliki periode khâtamiyyah ialah adanya para pembaru yang mampu mengadakan perbaikan dan reformasi.

Di sini, ada satu masalah yang mau tidak mau harus saya sebutkan.

Salah satu masalah yang ada dalam penyimpangan dan penyelewengan ialah masalah “menghidupkan pemikiran agama”. Pada satu kesempatan dalam suatu seminar saya berbicara tentang masalah “menghidupkan pemikiran agama”. Dalam kesempatan itu, saya mengatakan bahwa sebagaimana dalam semua realitas terjadi penyim pangan, hal serupa juga terjadi pada realitas yang bernama agama. Saya mengatakan bah- wa agama tidak ubahnya seperti air. Air ini bersih dan jernih saat per- tama kali keluar dari sumbernya. Ketika telah mengalir jauh dari sum bernya, air ini pun terkena polusi. Karena itu, diperlukan upaya dan usaha untuk membersihkannya kembali dari berbagai macam kotoran.

Sangat disayangkan munculnya berbagai pemikiran yang menyimpang dalam masalah ini. Namun, yang menggembirakan ialah bahwa, dalam agama Rasulullah Saw, ada suatu ukuran yang bisa kita jadikan sebagai pegangan guna mengetahui dan memastikan adanya penyimpangan dan penyelewengan.

Dalam masalah reformasi dan kebangkitan pemikiran agama, pada permulaan abad ke-12 dan ke-13 H, muncul berbagai corak pemikiran (mulanya di kalangan Ahlus-Sunnah dan kemudian

p: 311

menjalar ke kalangan Syi'ah) yang memandang perlunya dilakukan pembaruan agama. Sebab, seiring dengan perjalanan waktu, telah bermunculan banyak bid'ah dalam agama. Agama sudah sampai pada tahap penuaan sehingga perlu diperbarui. Ini tidak ubahnya bagaikan sebuah kendaraan yang sudah harus diservis, atau sebuah rumah yang setiap tahunnya harus dipugar dan diperbaiki. Misalnya saja, catnya harus diganti. Inilah salah satu karakteristik zaman. Zaman telah menjadikan agama sebagai sesuatu yang usang. Mereka berkata bahwa, dalam setiap periode, Allah mengutus orang-orang yang bertugas mengadakan pembaruan agama dan menghilangkan segala kotoran serta debu yang menempel padanya. Allah memerlukan orang-orang itu untuk mengadakan pembaruan agama-Nya setiap beberapa tahun.

Saya membaca masalah ini dalam beberapa kitab, dan bahkan dalam beberapa kitab para ulama kita. Mereka menyebut Mirza Syirazi sebagai pembaru agama pada permulaan abad ke-13 H. Almarhum al-Majlisi dipandang sebagai pembaru agama di awal abad ke-12 H dan Muhaqqiq Kurki sebagai pembaru agama di awal abad ke-11 H. Demikian juga, mereka mengatakan bahwa Imam Muhammad al-Baqir adalah pembaru agama pada abad ke-2 H. Sementara itu, pembaru agama di awal abad ke-2 H adalah Imam Alî ar-Ridhâ. Al-Kulainî adalah pembaru agama di awal abad ke-4 H dan ath-Thabarsî adalah pembaru agama di awal abad ke-5 H. Demikianlah seterusnya. Kita temukan bahwa para ulama kita banyak menyebutkan hal ini dalam kitab-kitab mereka, seperti Hajj Nuri dalam kitabnya, Ahwâl al-'Ulama' Penulis kitab Raudhâh al-Jinân menyebutkan nama-nama para pembaru agama. Ketika saya hendak mendiskusikan tema “menghidupkan pemikiran agama", terlintas dalam benak saya masalah ini. Saya banyak membahas masalah ini. Namun, saya belum menemukan isyarat masalah ini dalam berbagai hadis dan riwayat. Saya tidak tahu sandaran masalah ini. Saya mencarinya dalam berbagai riwayat dan hadis di kalangan Ahlus-Sunnah, tetapi saya tidak menemukan bukti-bukti apa pun. Saya hanya menemukan sebuah hadis dalam Sunan Abû Dâwûd yang diriwayatkan dari Abû Hurairah. Hadis itu berbunyi, “Sesungguhnya Allah akan mengutus seorang pembaru agama kepada umat ini setiap kurun waktu seratus tahun.” Tak ada seorang pun mengutip hadis ini kecuali Abû Dâwûd. Mengapa kaum Syi'ah menerima hadis ini?

p: 312

Hadis ini terkenal luas dan ada di kalangan Ahlus-Sunnah.

Kalangan Ahlus-Sunnah banyak melakukan pembahasan dalam masalah ini. Mereka membahas masalah ini dalam banyak kitab mereka. Termasuk yang banyak menjadi topik pembahasan mereka ialah: Akankah datang seorang pembaru di setiap kurun waktu seratus tahun? Apakah ia akan datang untuk mengadakan pembaruan dalam semua bidang urusan agama? Atau, apakah setiap orang dari mereka datang untuk mengadakan pembaruan dalam satu bidang urusan agama yang menjadi tugas mereka? Misalnya saja, akan datang seorang ulama yang akan mengadakan pembaruan dan perbaikan dalam berbagai masalah keilmuan. Di sisi lain, akan datang seorang khalifah atau sultan untuk mengadakan pembaruan dalam agama. Dalam ucapan itu, kita melihat kandungan kepentingan mereka. Jika mereka berbicara tentang kedatangan seor- ang ulama pembaru setiap seratus tahun, maka mereka telah mencip- takan peranan lain bagi seorang khalifah agar umat dapat menerima- nya. Mereka mengatakan, “Akan datang, dalam setiap kurun waktu seratus tahun, seorang khalifah yang akan mengadakan pembaruan dan perbaikan dalam agama.” Umpamanya saja, mereka menyebutkan bahwa 'Umar bin Abdul 'Azîz adalah khalifah pembaru pada abad ke-1 H, dan Makmun ar-Rasyîd adalah khalifah pembaru pada abad ke-3 H.

Demikianlah seterusnya. Akan tetapi, sejak abad ke-7 H, mereka ber- selisih. Sebab, mereka telah terbagi menjadi empat mazhab. Mereka mulai membahas ihwal apakah akan datang seorang pembaru dalam setiap mazhab, atau apakah akan datang seorang pembaru yang akan mengadakan reformasi dalam empat mazhab itu? Mereka mengatakan bahwa akan datang tiap-tiap pembaru dalam setiap mazhab empat itu.

Artinya pada setiap 100 tahun sekali, akan datang seorang pembaru yang akan mengadakan reformasi dalam mazhab Hanafi, Syafi'i, Hanbali, dan Maliki. Kemudian, pembahasan berkembang pada semua mazhab. Mereka mengatakan bahwa Syi'ah adalah sebuah mazhab juga.

Rasullah Saw berkata bahwa akan datang pembaru. Dengan demikian, pembaru akan datang pada semua mazhab tanpa kecuali. Syi'ah juga termasuk salah satu mazhab yang ada dalam Islam. Demikian juga halnya dengan Khawarij. Setelah itu, mereka mulai membicarakan siapa saja para pembaru dalam mazhab Syi'ah. Mereka mengatakan bahwa Muhammad al-Baqir adalah pembaru Syi'ah di awal abad ke-2 H. Ali bin Musa ar-Ridha adalah pembaru Syi'ah di awal abad

p: 313

ke-3 H. Syaikh al-Kulainî adalah pembaru Syi'ah di awal abad ke-4 H.

Mereka menjadikan ini sebagai teori umum yang berlaku pada semua mazhab.

Pemikiran seperti ini telah menjalar kepada pengikut Syi'ah.

Menurut keyakinan saya, orang yang pertama kali memasukkan pemikiran ini ke dalam ajaran Syi'ah adalah Syaikh Bahâ’î. Ia memasukkan pemikiran itu ke dalam ajaran Syi'ah bukan atas dasar keyakinan bahwa hadis itu benar. Ia menyebutkan masalah ini dalam sebuah risalah kecil yang ada dalam kitabnya, ar-Rijâl. Dalam risalah kecil itu, tatkala berbicara tentang Syaikh al-Kulainî, ia mengatakan, “Syaikh al- Kulainî adalah seorang laki-laki agung. Bahkan, kalangan Ahlus-Sunnah menganggapnya sebagai pembaru dalam mazhab Syi'ah.” Syaikh Bahâ’î adalah seorang yang mumpuni dan banyak tahu tentang akidah Ahlus- Sunnah. Dengan ucapannya itu, ia ingin menyebutnya sebagai suatu keutamaan bagi Syaikh al-Kulainî, bukan berdasarkan keyakinan bahwa hadis itu sahih. Kemudian, ucapan itu dinukil dalam berbagai kitab tentang rijal. Lalu, sedikit demi sedikit, orang-orang Syi'ah meyakini hal itu sebagai kebenaran. Perhatikanlah bahwa dalam berbagai ucapan seperti ini terkadang berasal dari mazhab lain. Para pengikut berbagai mazhab lain datang dan memasukkan akidah-akidah mereka dalam mazhab kita. Keyakinan tentang adanya seorang pembaru agama dalam setiap permulaan abad berkaitan masa pra-Islam. Ucapan ini tidak berasal dari Islam.

Dalam Islam, memang ada yang disebut pembaru. Namun, pembaru yang dimaksudkan adalah pembaru yang melakukan reformasi secara umum. Pembaruan atau reformasi ini bersifat umum dan mendunia.

Sementara itu, pembaruan atau reformasi yang bersifat terbatas, yakni memerangi segala macam bentuk bid'ah, adalah kewajiban seluruh anggota masyarakat. Pada setiap abad, ditemukan seorang pembaru dalam artian terbatas. Allah tidak mengatakan bahwa para pembaru itu akan datang setiap 100 tahun, 200 tahun, 500 tahun, atau 1000 tahun sekali. Berkenaan dengan agama-agama, hanya seorang Nabi saja yang harus datang untuk menghidupkan agama sebelumnya. Ini hanya bisa dilakukan melalui jalan kenabian. Namun, berkenaan dengan pembaruan dalam Islam, selain bersifat parsial, juga akan dilakukan pembaruan menyeluroh. Ini juga adalah salah satu pasal dari pokok bahasan tentang konsep khâtamiyyah.

p: 314

INTUISI DAN MASALAH RELATIVITAS AKHLAK

Maka apakah orang yang dijadikan (setan) menganggap baik pekerjaannya yang buruk lalu dia meyakini pekerjaan itu baik, (sama dengan orang yang tidak tertipu oleb setan) (QS 35:8).

p: 315

p: 316

DALAM bagian ini, saya bermaksud membahas filsafat sejarah. Sebab, masalah ini berkaitan dengan berbagai tuntutan zaman.

Apakah faktor-faktor penyebab kebahagiaan manusia itu berbeda dalam setiap zaman? Dengan kata lain, apakah faktor-faktor penyebab ini kelak akan usang? Atau, apakah ada serangkaian faktor penyebab permanen yang akan membawa kebahagiaan bagi manusia di setiap zaman? Jelaslah bahwa masalah ini perlu dijelaskan dan ditafsirkan Kita telah menyebutkan bahwa argumentasi yang dijadikan pijakan oleh orang-orang yang meyakini konsep relativitas akhlak bersandar pada dasar kebaikan dan keburukan rasional. Artinya, akal manusia memandang sebagian perbuatan baik dan sebagian lainnya buruk. Mereka menyebut akhlak mulia untuk segenap perbuatan baik dan terpuji, sedangkan akhlak buruk untuk segenap perbuatan tercela. Kemudian, mereka melanjutkan perkataan bahwa pemikiran manusia tentang nilai kebaikan dan keburukan dari berbagai per- buatan itu senantiasa mengalami perubahan mengikuti perubahan zaman. Dengan tegas mereka mengatakan bahwa tidak ada akhlak yang bersifat tetap dan menyeluroh. Bisa saja suatu perbuatan dikategorikan sebagai akhlak mulia di suatu lingkungan, tetapi dipandang akhlak buruk di lingkungan lain.

Menjawab mereka, kita telah menyebutkan bahwa argumentasi mereka bersandar pada dua hal. Pertama, akhlak berpijak pada nilai baik dan buruk. Kedua, nilai baik dan buruk bersifat relatif. Dalam ilmu logika, ada premis minor (shughrâ) dan premis mayor (kubrâ). Dari premis minor, bisa dibentuk kesimpulan dari premis mayor. Premis minornya ialah bahwa akhlak bersandar pada sesuatu yang bersifat relatif, dan sesuatu yang bersandar pada yang relatif pasti juga bersifat relatif. Jadi, kesimpulannya ialah bahwa akhlak bersifat relatif. Ketika

p: 317

kita menolak argumentasi pertama mereka yang mengatakan bahwa akhlak bersandar pada nilai baik dan buruk, kita mengatakan bahwa argumentasi itu sama sekali tidak benar. Kita mengatakan bahwa, dalam konsep Socrates, akhlak bersifat relatif. Socrates adalah salah seorang guru akhlak dan punya mazhab serta ajaran tersendiri. Filsuf Yunani ini membangun ajaran akhlaknya berdasarkan nilai baik dan buruk.

Akan tetapi, akhlak Islam tidak berdasarkan nilai baik dan buruk. Jika kritikan itu tepat mengena, maka yang demikian itu adalah kritikan atas konsep akhlak dalam pandangan Socrates. Kawan-kawan menghendaki agar saya juga membahas argumentasi kedua mereka, yakni apakah nilai baik dan buruk itu relatif ataukah bukan? Sebelumnya, kita telah menyebutkan secara sekilas bahwa perkataan itu juga tidak benar. Akan tetapi, saya belum menyebutkan rincian pokok bahasannya. Sekarang, saya akan menjelaskan mengapa dasar nilai baik dan buruk itu bukan sesuatu yang relatif. Marilah kita membahas masalah dari sisi kedua agar menjadi lebih jelas.

Pasti Anda pernah mendengar kata intuisi (wijdân). (Alih-alih pokok bahasan berdasarkan nilai baik dan buruk, kita mengawali pokok bahasan berdasarkan intuisi). Anda menemukan orang-orang mengatakan bahwa masalah seperti ini dihukumi menurut intuisi.

Apakah hal itu ada atau tidak? Atau, mereka mengatakan bahwa seorang hakim memberikan keputusan hukum demikian berdasarkan intuisinya. Kini, apakah yang dimaksud dengan intuisi itu? Apakah intuisi juga mengalami perubahan? Di sepanjang zaman, intuisi memberikan keputusan yang sama. Apakah intuisi masyarakat sepuluh atau seratus tahun lalu berbeda dari intuisi masyarakat sekarang? Setiap orang punya perasaan. Perasaan itu adalah suatu kekuatan yang ada dalam dirinya. Perasaan itu bisa memberikan keputusan, hatta kepada dirinya sendiri sekalipun. Kekuatan ini disebut intuisi.

Immanuel Kant, seorang filsuf Jerman terkemuka, punya suatu ucapan yang tertulis di atas batu nisannya. Dalam ucapannya itu, ia mengatakan, “Ada dua hal yang membuat manusia terkagum-kagum.

Yang pertama adalah langit penuh dengan bintang gemintang. Semakin dalam manusia menyelidiki dan meneliti, semakin banyak keagungan yang bisa ditemukan. Yang kedua adalah intuisi dalam hati manusia." Telah kita sebutkan bahwa manusia terkadang memberikan keputusan atas dirinya sendiri. Ini terjadi manakala ia berselisih dengan orang

p: 318

lain. Mungkin saja seseorang tidak mau mendengarkan perkataan orang lain dan menginjak-injak hak-haknya. Namun, ketika ia sadar dan berpikir tenang, ia mendapatkan suatu kekuatan yang mencela dan menyalahkan dirinya. Ia merasa malu pada dirinya sendiri. Apakah yang membuat manusia merasa malu pada dirinya sendiri? Dituturkan bahwa ada seorang anak cerdas dan pintar masuk ke dalam sebuah kamar kosong. Ia melihat ada buah pir di sampingnya.

Namun, ia keluar dari kamar itu tanpa memakan buah pir. Salah seorang bertanya kepadanya, “Apakah di dalam kamar itu ada orang lain?” Anak itu menjawab, “Tidak.” Ia bertanya lagi, “Lalu, mengapa engkau tidak memakan buah pir itu? Sang anak menjawab, “Di dalam kamar itu ada diriku.” Inilah pertimbangan intuisi. Al-Quran menyebut intuisi dengan ungkapan “nafsu yang mencela” (an-nafs al-lawwamah).

Dengan kata lain, dalam diri manusia, ada suatu kekuatan yang bisa berbicara dan mencela tuannya manakala, melakukan suatu perbuatan (buruk). Misalnya saja, kekuatan itu mengatakan, “Wahai hati yang lalai, mengapa engkau melakukan perbuatan ini! Sungguh, perbuatan yang telah kulakukan tercela! Sungguh telah tercoreng wajahku!” Dan juga berbagai ucapan lain serupa itu. Sekarang, apakah seseorang bisa mengatakan bahwa, dalam diri manusia, tidak ada kekuatan seperti ini? Sama sekali tidak. Kekuatan ini ada pada semua bangsa di dunia.

Mereka semua berbicara tentang intuisi. (Bahkan, orang-orang yang tidak beriman kepada Allah tidak berkata demikian pada diri mereka sendiri). Mereka mengatakan, “Kami adalah penyokong kebenaran, meskipun hal itu membahayakan keselamatan kami. Karena kami adalah manusia, kami menyadari dan mengakui kebenaran.” Inilah yang mereka sebut kemanusiaan. Kemanusiaan menuntut agar kita senantiasa berdiri di pihak orang-orang terzalimi. Ucapan ini bisa ditemukan bahkan di kalangan orang-orang materialis dan komunis sekalipun.

Intuisi dan kemanusiaan adalah kekuatan yang bersemayam dalam diri manusia. Kekuatan ini bersandar pada hakikat dan kebenaran. Ketika Anda melihat bahwa kebenaran ada pada orang lain, maka dengan sadar Anda mengakui bahwa kebenaran ada pada dirinya. Kekuatan ini ada pada diri manusia dulu maupun sekarang. Ketika kita mencela orang- orang yang berbuat di masa dulu, maka kita juga mencela orang-orang yang berbuat kezaliman di masa sekarang. Kita katakan bahwa mereka adalah manusia-manusia yang tidak punya intuisi. Dengan kata lain,

p: 319

mereka adalah para pelaku perbuatan yang bertentangan dengan intuisi kemanusiaan mereka.

Dengan demikian, jelaslah bahwa setiap manusia punya intuisi kemanusiaan yang sama. Adakah intuisi lain selain intuisi kema nusiaan yang mengharuskan manusia selalu berbuat adil dan memberikan hak kepada orang yang berhak menerimanya? Sebelum 50.000 tahun lalu, intuisi manusia mengatakan bahwa membunuh orang tak berdosa adalah perbuatan jahat. Begitu juga, intuisi manusia di masa sekarang mengatakan hal serupa. Semua manusia di setiap zaman akan mengatakan bahwa membunuh orang adalah perbuatan tercela. Sekiranya nilai baik dan buruk bersifat relatif, maka kedua hal itu selalu berubah. Dengan demikian, intuisi manusia juga senantiasa mengalami perubahan.

Artinya, intuisi manusia memberikan keputusan dengan cara yang berbeda di setiap zaman. Jelas, tidak ada seorang pun akan memegang ucapan ini. Dengan bersandar pada materialisme, orang-orang komunis menganggap bahwa dasar kebendaan itu berlaku pada segala sesuatu.

Demikian juga halnya dengan filsafat dan kemasyarakatan. Mereka mengatakan bahwa faktor-faktor pertimbangan ekonomi itu-lah yang mengatur dan menentukan segala sesuatu, termasuk intuisi manusia.

Mereka mengatakan bahwa intuisi senantiasa mengikuti faktor-faktor ekonomi. Ketika faktorfaktor ekonomi berubah, intuisi manusia pun berubah. Berdasarkan ucapan mereka ini, sama sekali tidak ada makna yang dikandung intuisi. Demikian juga halnya dengan kemanusiaan. Akan tetapi, jika kita mengkaji yang ada dalam diri manusia, maka kita akan tahu bahwa intuisi adalah suatu hakikat yang tetap dalam diri manusia di setiap zaman. Hal ini banyak dijelaskan dalam banyak ayat Al-Qur- an. Al-Quran mengatakan: Aku bersumpah dengan hari Kiamat, dan Aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali dirinya (QS 75:1-2).

Perkataan “Aku bersumpah dengan hari Kiamat” sama dengan sumpah “Demi hidup dan nyawamu”, yakni sumpah yang mengandung makna kesungguhan. Hal kedua yang terkandung dalam sumpah itu ialah bahwa orang yang bersumpah itu hendak mengatakan bahwa masalah itu begitu pasti sampai-sampai ia berani bersumpah men- jamin kepastiannya. Dalam ayat ini, Allah telah menjadikan an-nafs al- lawwamah sebagai padanan hari Kiamat. Hari Kiamat adalah hari per- hitungan saat digelar pengadilan Ilahi. Pengadilan ini meliputi

p: 320

seluruh alam. Dalam diri manusia, ada semacam timbangan. Dalam diri manusia, Allah telah menciptakan suatu timbangan yang sama dengan timbangan yang diciptakan Allah pada hari Kiamat. Allah berfirman: Allah telah meninggikan langit dan meletakkan timbangan (QS 55: 7). Dengan perkataan itu, Allah hendak mengatakan bahwa Dia telah memberikan kepada manusia suatu bentuk petunjuk yang selalu mencela dirinya agar manusia benar-benar mau memerhatikan sesuatu dengan teliti dan agar manusia bisa memahami hakikat. Allah berfirman: Demi matahari dan cahayanya di pagi hari, dan bulan apabila mengiringinya, dan siang apabila menampakkannya, dan malam apabila menutupinya. Dan demi langit serta pembinaannya, da serta penghamparannya, dan jiwa serta penyempurnaannya. Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu kefasikan dan ketakwaannya (QS 91: 1-8).

Dalam ayat-ayat di atas, ada sepuluh sumpah berturut-turut.

Dalam Al-Quran, tidak ada tempat lain yang mengandung rangkaian sumpah sebanyak ini. Ini menunjukkan betapa penting masalah yang hendak dibicarakan. Dalam ayat-ayat di atas, Allah telah bersumpah dengan matahari dan cahayanya. Allah bersumpah dengan jiwa manusia dan kesempurnaan yang ada dalam jiwa manusia. Allah telah mengilhamkan kebaikan dan keburukan (dalam bentuk ilham fithri) kepada jiwa manusia. Artinya, jiwa manusia dengan ilham yang diberikan Allah bisa memahami kebaikan dan keburukan. Hal ini berarti bahwa, untuk mengetahui kebaikan dan keburukan, manusia tidak memerlukan seorang guru. Intuisi manusia mampu memberikan pemahaman tentang hal itu.

Allah berfirman: Dan telah kami wahyukan kepada mereka perbuatan kebajikan, mendirikan salat, menunaikan zakat, dan banya kepada Kamilah mereka selalu menyembah (QS 21: 73). Dalam ayat ini, Allah tidak mengatakan, “Kami telah mewahyukan kepada mereka agar mereka mengerjakan kebajikan dan mendirikan salat.” Allah mengatakan, “Kami telah mewahyukan kepada mereka perbuatan kebajikan.” Artinya, Allah mewahyukan perbuatan itu, bukan memerintahkannya. Ini berkaitan dengan ayat Al-Quran yang berbunyi:

... Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan ketakwaan. Dan janganlah tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan, ... (QS 5:2).

p: 321

Ada sebuah hadis. Dituturkan bahwa ada seorang bernama Wabishah datang menemui Rasulullah Saw Ia berkata, “Ya Rasulullah! Saya punya pertanyaan.” (Hadis ini jelas setelah turunnya ayat di atas). Tanpa memberi kesempatan lebih dulu kepadanya untuk bertanya, Rasulullah Saw berkata, “Apakah engkau hendak bertanya tentang dosa dan ke- burukan?. Ia menjawab, “Benar, ya Rasulullah.” Kemudian Rasulullah, Saw mengatakan, “Keburukan ialah suatu perbuatan yang tidak diteri- ma hatimu." Kemudian beliau melanjutkan ucapannya, “Allah telah menganugerahkan kepada hati manusia kemampuan untuk menyukai kebajikan dan membenci keburukan.” Selanjutnya, dengan menunjuk dadanya, beliau berkata, “Tanyalah hatimu, wahai Wabishah!" Se- bagaimana kita harus meminta fatwa kepada seorang mujtahid, maka kita juga mesti meminta fatwa dari hati kita. Sebab, hati adalah juga salah satu tempat rujukan (marji' taqlid). Tanyakanlah makna dan arti takwa kepada hati kita.

Dalam ajaran Islam kita menemukan petunjuk-petunjuk yang membuktikan bahwa Islam mengakui dasar intuisi. Ada sebuah hadis dari Rasulullah Saw yang mengatakan, “Berkata benar memberikan ketenteraman dalam hati, sedangkan dusta mendatangkan keresahan hati.” Di sini ada suatu hubungan. Hati manusia akan cepat menerima perkataan yang benar. Sementara itu, pada perkataan dusta, meskipun tidak ada bukti bahwa hal itu dusta, hati akan menerimanya dengan keraguan. Ini sama dengan apa yang diucapkan Mawlawi dalam syairnya:

Ucapan benar akan memberikan ketenteraman dalam hati, Mereka yang selalu berkata benar adalah benih semaian hati.

Semua bait dalam syair di atas punya nilai sangat tinggi. Ada banyak hikmah yang bisa ditemukan dalam kesusastraan Persia. Satu bait syair itu punya kedalaman makna. Anda tidak akan menemukan, dalam kesusastraan dunia di akhir abad ke-6 H atau ke-7 H, seorang yang menuturkan suatu ucapan demikian suci. Akan tetapi, dari mana para sastrawan itu mengambil ilham? Mereka mengambilnya dari Rasulullah Saw. Kesusastraan kita penuh dengan berbagai syair seperti ini. Mereka mengatakan bahwa ini adalah kesusastraan Persia.

Memang benar bahwa kesusastraan Persia punya nilai sangat tinggi.

Akan tetapi, orang-orang besar seperti Sa’dî, Hâfizh, Mawlawî, Sana'î,

p: 322

dan sebagainya yang memenuhi dunia dengan hikmah punya kemam- puan dan sangat mencintai Islam. Mereka mengambil semuanya itu dari khazanah Islam dan mengungkapkannya ke dalam bahasa Persia dalam susunan indah.

Dalam kitab-kitab kita, ada sebuah ucapan. Syaikh al-Anshârî telah menyebutkannya dalam berbagai risalahnya. Secara lahiriah, ucapan itu adalah sebuah hadis dari Rasulullah Saw. Hadis itu berbunyi, “Sesungguhnya setiap hak punya hakikat dan realitas, dan hak itu akan memberikan cahaya pada semua kebenaran.” (Al-Kâfi, jilid II, hlm. 53).

Artinya, kebenaran dan kebatilan bukan dua hal yang sama. Setiap hak punya hakikat dan batin. Dan pada setiap ucapan yang benar ada cahaya yang menerangi hati manusia. Dengan demikian, intuisi yang ada dalam hati manusia adalah sebuah hakikat, sebuah realitas. Namun, ada pembahasan ihwal apakah benar intuisi manusia mengalami perubahan atau tidak? Di sini ada dua pokok bahasan yang harus kita sebutkan. Kita tidak sedang membicarakan perubahan secara umum dalam intuisi manusia.

Akan tetapi, yang kita bicarakan ialah: Apakah makna mengalami perubahan di sini? Apakah perubahan di sini terjadi dalam zatnya atau tidak? Sesungguhnya, intuisi mengalami perubahan sebagaimana kekuatan-kekuatan lainnya. Terkadang intuisi manusia mengalami kerusakan sehingga tidak bisa bekerja dengan baik. Demikian juga halnya dengan semua organ lainnya. Semua organ itu akan bekerja manakala sehat dan tidak sakit. Namun, ketika organ itu sakit, ia tidak akan bisa bekerja dengan baik. Mata berfungsi untuk melihat. Namun, kadang-kadang, mata kehilangan fungsinya dan tidak bisa melihat.

Demikian juga, manusia terkadang menderita sakit. Menurut hemat mereka, intuisi manusia senantiasa berubah. Akan tetapi, Al-Quran tidak mengatakan demikian. Al-Quran mengatakan bahwa intuisi manusia bersifat konstan, tetapi kadang-kadang terserang penyakit.

Bila intuisi manusia sakit, maka ia tidak bekerja dengan baik. Jelaslah bahwa realitas yang ada berbeda sekali dari apa yang mereka katakan, persis seperti langit dan bumi. Ayat pertama yang saya sebutkan di bagian awal diskusi kita ini mengatakan bahwa terkadang manusia memandang pekerjaannya yang buruk sebagai pekerjaan yang baik.

Akan tetapi, dengan ini, tidak bisa dikatakan bahwa intuisi-manusia secara esensial berubah. Yang hendak dikatakan Al-Quran ialah bahwa

p: 323

intuisi manusia tidak berbeda dari sesuatu lainnya. Ketika sehat, intuisi akan bekerja dengan baik. Ketika sakit, intuisi tidak bisa berfungsi dengan baik.

Diriwayatkan sebuah hadis berkaitan dengan masalah amar ma'rûf nahyi munkar. Sebagaimana sering Anda dengar, ketika menunaikan ibadah haji terakhir dan ketika memasuki Ka'bah, Rasulullah Saw datang menghampiri pintu Ka'bah. Kedua tangan memegang pondasi pintu. Kemudian beliau berbicara di hadapan manusia. Beliau berbi- cara tentang masa depan yang akan begini dan begitu. Ketika itu, salah satu hal yang dibicarakan Rasulullah Saw adalah bahwa akan datang suatu zaman di mana manusia tidak menganjurkan kebajkan dan tidak mencegah kemungkaran. Saat itu, Salman hadir di tengah kerumunan orang banyak dan bertanya, “Ya Rasulullah, apakah akan terjadi zaman seperti itu?”. Rasulullah menjawab, “Ya, bahkan lebih dari itu. Akan datang suatu zaman di mana manusia menganjurkan kemungkaran dan mencegah kebaikan." Artinya, ketika itu, intuisi manusia sudah demikian sakit dan rusak sehingga mereka memandang kebaikan se- bagai kemungkaran, dan kemungkaran sebagai kebaikan. Dengan kata lain, intuisi dan fitrah manusia telah rusak.

Ada juga ungkapan lain yang berkaitan dengan hati. Dalam sebuah hadis disebutkan bahwa hati manusia tidak ubahnya seperti wadah putih bersih dengan titik hitam padanya. Jika manusia melakukan sebuah dosa, maka titik hitam itu makin membesar. Demikianlah seterusnya.

Setiap kali manusia melakukan dosa, titik hitam itu makin membesar sehingga akan menutup semua warna putih yang ada dalam hati.

Akhirnya, yang tersisa dari hati hanyalah warna hitam. Sebaliknya, jika ia bertobat dan melakukan berbagai amal kebaikan, maka titik hitam itu akan makin mengecil, sementan warna putih akan makin membe- sar. Di dalam hadis disebutkan bah wa ada tiga macam hati: hati ber- cahaya, hati berwarna hitam, dan hati terbalik. Hati terbalik ini mem- buat pemiliknya memandang sesuatu secara terbalik. Ia memandang kebaikan sebagai keburukan dan sebaliknya.

Ada dua jenis kebaikan. Yang pertama ialah bahwa sesuatu ada- lah baik karena memang pada esensinya ia adalah sesuatu yang baik.

Yang kedua ialah bahwa sesuatu adalah baik karena ia menjadi alat bagi kebaikan. Demikian juga halnya dengan keburukan. Sebagian keburukan adalah sesuatu yang pada esensinya memang buruk.

p: 324

Sementara itu, sebagian lainnya adalah keburukan karena menjadi alat bagi keburukan. Sesuatu yang berubah sesuai dengan tempat dan zaman dalam pandangan pemikiran manusia bukanlah kebaikan dan kebur- ukan itu sendiri. Namun, yang berubah adalah preseden kebaikan dan keburukan, bukan kebaikan dan keburukan itu sendiri. Mungkin saja, dalam pandangan manusia di zaman tertentu, sesuatu itu menjadi alat yang baik untuk kebaikan tertentu. Di zaman lain, pandangan manusia berubah dan mereka mengatakan, “Tidak, alat ini buruk." Namun, pan- dangan manusia tentang kebaikan itu sendiri tidak berubah. Memang benar bahwa mungkin saja manusia mengalami kesamaran dalam hal ini. Akan tetapi, hal itu tidak berarti bahwa intuisi manusia telah ber- ubah. Sekarang saya akan memberikan sebuah contoh.

Mereka mengatakan bahwa hijab adalah sesuatu yang baik dalam pandangan sebagian bangsa. Dan orang yang meninggalkan hijab ada- lah orang yang telah melakukan keburukan dalam pandangan bangsa- bangsa itu. Akan tetapi, sebagian bangsa lain memandang sebaliknya.

Mereka berpandangan bahwa tidak mengenakan hijab adalah baik, dan mengenakan hijab adalah buruk. Dengan contoh ini, jelaslah bahwa sesuatu yang baik dan buruk tidaklah bersifat tetap dan konstan. Kita katakan bahwa tidaklah tepat membahas masalah ini dengan meng- gunakan contoh ihwal mengenakan hijab dan tidak mengenakan hijab.

Salah satu hal yang ada dalam fitrah manusia ialah kesucian ('iffah).

Artinya, Allah telah menciptakan manusia, khususnya wanita, dengan kecenderungan untuk menghormati hak-hak keluarga. Dalam intuisi setiap wanita, ada dorongan untuk tidak mengkhianati suaminya. De- mikian juga halnya dengan intuisi setiap pria. Dalam intuisi mereka, ada dorongan untuk tidak mengkhianati istrinya. Saya berulang-ulang mengingatkan bahwa agar suami tidak mengkhianati istrinya dan juga istrinya agar tidak mengkhianati suaminya. Sebab, pengkhianatan dan perselingkuhan ini akan berakibat pada keturunan. Pria punya perhi- tungan. Wanita pun demikian juga. Keturunan seorang wanita, entah berasal dari hubungan sah atau tidak sah, tetaplah keturunannya juga.

Bagi wanita, anak adalah sesuatu yang terpelihara. Sementara itu, pada diri pria ada perasaan harga-diri (ghîrah) untuk selalu menjaga istri nya serta memastikan bahwa anak yang lahir dari istrinya benar-benar hanyalah keturunannya. Suatu hal yang ada pada setiap wanita dan pria adalah sifatkesucian ('iffah). Namun, ada sesuatu yang menjadi preseden dan alat bagi sifat 'iffah ini. Apakah orang yang memandang

p: 325

hijab sebagai yang baik itu hendak mengatakan bahwa hijab adalah baik tanpa memerhatikan sifat iffah? Apakah seorang wanita yang mengenakan hijab itu lebih baik seratus kali, meski tidak punya sifat "iffah, daripada wanita yang tidak mengenakan hijab? Apakah orang yang memandang hijab sebagai kebaikan mengatakan bahwa hijab adalah penjaga dan pemelihara iffah? Sekiranya Anda mengatakan kepada ocang-orang yang memandang hijab sebagai keburukan, apakah sifat menjaga ‘iffah itu juga buruk? Mereka pasti akan mengatakan, “Tidak.” Sekalipun seluruh wanita di dunia ini telah rusak, mereka akan tetap mengatakan bahwa sikap tidak memelihara kesucian adalah buruk Seandainya Anda bertanya kepada wanita-wanita yang telah rusak itu, “Mengapa kalian berbuat demikian?” Mereka akan menjawab, “Yang lain juga berbuat demikian. Mengapa Anda hanya melihat perbuatan kami dan tidak yang lain juga?” Mengapa kaum komunis tidak mengalami kemajuan dalam memaksakan konsep persamaan seksual? Mereka memang bermaksud demikian. Namun, mereka kemudian menemukan bahwa hal itu bertentangan dengan fitrah dan intuisi manusia. Hingga tahun 1936, konsep itu dihapus secara menyeluroh.

Mereka mengatakan bahwa persamaan hanya berlaku dalam masalah harta. Orang harus memuliakan kehormatan wanita dan keluarga.

Menurut hemat mereka, hukum dan pandangan manusia ber beda sesuai dengan perbedaan tempat dan waktu. Yang demikian ini sama sekali tidak berhubungan dengan masalah kebaikan dan kebur- ukan hakiki, melainkan dengan alat yang baik dan buruk. Hukum dan pandangan manusia tentang alat yang baik dan buruk berbeda-beda.

Akan tetapi, hukum dan pandangan manusia tentang kebaikan dan keburukan itu tidak berbeda. Contoh lain yang mereka ajukan ialah poligami. Mereka mengatakan bahwa poligami adalah baik di zaman dahulu, tetapi tidak baik di zaman sekarang. Untuk menjawab hal ini, kita katakan bahwa sekiranya tujuan poligami adalah mengumbar hawa nafsu dan syahwat, maka yang demikian itu jelas tidak baik, entah di zaman dahulu maupun sekarang. Namun, jika tujuannya adalah untuk jalan keluar, maka poligami bernilai baik, di zaman dahulu maupun sekarang. Poligami senantiasa bernilai baik jika memang benar-benar memenuhi persyaratan. Akan tetapi, jika tidak memenuhi persyaratan, maka poligami bernilai buruk, entah di zaman dahulu maupun sekarang.

p: 326

KEHARUSAN ZAMAN DAN MASALAH KEADILAN

Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah kami turunkan bersama mereka Al- Kitab dan neraca keadilan supaya manusia dapat melaksanakan keadilan (QS 57: 25).

p: 327

p: 328

PADA bagian ini saya akan memasuki pokok bahasan lain yang masih berkaitan dengan berbagai perubahan zaman. Diskusi ini adalah sebentuk analisis sejarah. Pokok bahasan ini sangat penting artinya bagi zaman kita sekarang ini. Salah satu istilah yang pasti sering Anda dengar dan baca dalam banyak buku ialah keharusan zaman.

Yang dimaksud dengan keharusan zaman ialah serangkaian sebab yang muncul di dalam zaman dan berbagai peristiwa yang terjadi atas dasar pemaksaan dan keharusan zaman. Peristiwa-peristiwa ini harus terjadi dan tidak mungkin menyalahi apa yang sudah menjadi keharusan.

Apakah istilah keharusan zaman adalah suatu ungkapan yang salah atau tidak? Makna keharusan zaman dapat dipahami dalam dua makna.

Makna pertama adalah makna yang benar. Sementara itu, makna kedua adalah makna yang jarang terjadi.

Makna yang benar ialah bahwa keharusan zaman adalah sebuah pemahaman filsafat universal (kullî) dalam artian bahwa semua peristiwa yang terjadi di alam ini (bukan hanya khusus berlaku pada masyarakat manusia saja) terjadi berdasarkan hal-hal yang mustahil menyimpang. Dengan kata lain, semua peristiwa yang terjadi di alam ini punya sebab. Tidak ada satu peristiwa pun terjadi di alam ini tanpa sebab.

Mungkinkah muncul suatu peristiwa di alam ini tanpa mempunyai sebab? Tidak, sama sekali tidak. Sebab, hal ini sama sekali mustahil menurut akal. Pernyataan bahwa semua peristiwa yang terjadi di alam pasti punya sebab diakui oleh para filsuf, baik kalangan filsuf materialis maupun filsuf Ilahi. Melalui jalan ini, kita menetapkan adanya pencipta alam ini. Kita mengatakan bahwa telah muncul berbagai peristiwa di dunia ini. Semuanya ini membutuhkan sebab ('illah). Sesuatu yang menjadi sebab bagi alam ini haruslah hakikat yang maujud di alam ini, dan bukan bersifat baru dan mungkin sirna. Hukum kausalitas atau

p: 329

sebab-akibat adalah suatu keharusan yang tidak mungkin dihindari.

Salah satu karakteristik hukum ini ialah bahwa hukum sebab-akibat sama sekali tidak bisa dihindari. Bagaimana penjelasannya? Sekiranya sebab terjadinya semua peristiwa di alam ini ada, maka peristiwa di alam ini tidak mungkin tidak ada. Para filsuf dahulu pun- ya sebuah kaidah yang berbunyi, “Sesuatu yang bersifat mungkin dike- lilingi oleh dua sisi keharusan (dharûrâh) dan dua sisi kemustahilan (imtinâ)”. Pengertian umum yang terkandung dalam ungkap an ini adalah bahwa semua peristiwa adalah wujud yang bersifat mungkin (mumkin al-wujûd) pada zatnya. Berbagai peristiwa itu-jika tidak dikelilingi dua sisi dharûrâh-pastilah dikelilingi oleh dua sisi imtind' dan sebaliknya. Jika sebuah peristiwa mumkin al-wujûd terjadi, maka ia dikelilingi oleh dua sisi dharûrâh, yakni dikelilingi oleh dua hal yang tidak mungkin dihindari. Akan tetapi, jika peristiwa itu tidak terjadi, maka ia dikelilingi oleh dua sisi imtinâ’ Salah satu keharusan yang tidak mungkin dihindari adalah keharusan yang telah ditetapkan oleh waktu (atau keharusan zaman). Ini berarti bahwa suatu peristiwa yang terjadi di suatu zaman pastilah terjadi di zaman itu. Mustahil peristiwa itu terjadi di zaman lain. Mustahil peristiwa itu terlambat atau lebih cepat, meskipun sekejap, dari waktu yang telah ditetapkan baginya Setiap peristiwa punya waktu tersendiri dan tidak mungkin terlambat atau lebih cepat. Sebuah ungkapan mengatakan, “Peristiwa tergadai oleh waktunya.” Al-Quran berbicara mengenai kedatangan ajal umat sebagai berikut: Jika datang ajal mereka, maka tidak akan mungkin bisa untuk mengakhirkannya walaupun sesaat, dan juga tidak mempercepatnya walaupun sesaat (QS 5:34). Berkenaan dengan masalah bahwa di alam ini ada sunnah yang tidak mungkin menyimpang, ada ayat dalam Al- Quran yang menyerupai ungkapan ini. Bahkan, di beberapa tempat dalam Al-Quran, ada ungkapan yang sama dengan ungkapan di atas, yaitu ungkapan dengan istilah sunnatullah. Al-Quran mengatakan:

Engkau sekali-kali tidak akan mendapatkan pergantian pada sunnatullah, dan engkau sekali-kali tidak akan mendapatkan perubahan sunnatullah (QS 35: 43).

Misalnya saja, Anda menyaksikan bahwa daun-daun pepohonan bergerak di depan mata Anda. Pertama, Anda menyaksikannya bergerak.

Kedua, Anda menyaksikan bahwa daun-daun itu bergerak pada waktu

p: 330

tertentu, misalnya, pada pukul sekian. Mustahil hukumnya daun-daun itu tidak bergerak pada waktu itu. Demikian juga, mustahil hukumnya gerakan itu terjadi pada waktu lain. Gerakan daun-daun itu adalah akibat (ma'lûl) dari angin. Jika angin itu datang, maka mustahil daun- daun itu tidak berubah dan tidak bergeser keadaannya. Gerakan angin itu sendiri, pada gilirannya, adalah akibat dari sesuatu lainnya. Angin itu tidak mungkin tidak bergerak manakala jika tidak ada penyebabnya.

Misalnya, terjadi pergantian tempat antara udara panas dan udara dingin atau udara bagian bawah telah menjadi panas. Karena telah panas, maka udara itu pun mengembang dan menjadi lebih ringan.

Sementara itu, udara di bagian atas dingin dan volumenya lebih berat.

Jadi, udara di bagian atas menekan ke bawah, sementara udara bagian bawah menekan ke atas. Ini menyebabkan terciptanya suatu gelombang dan menimbulkan angin. Begitu pula, udara yang telah menjadi panas itu pun ada penyebabnya. Misalnya saja, yang menyebabkannya ialah sampainya sinar matahari ke suatu kawasan tertentu. Sampainya sinar matahari ke suatu kawasan tertentu juga mempunyai sebab.

Demikianlah seterusnya.

Kaidah-kaidah filsafat tentang teori “keharusan zaman”, atau dalam istilah para ulama fiqih “keharusan waktu”, yang berarti bahwa segala sesuatu punya keharusan terjadi tepat pada waktunya dan mustahil terjadi di luar waktunya, adalah benar. Kita banyak mengemukakan teori berdasarkan asumsi dan konsepsi (tashawwur) kita. Ini disebabkan perhitungan alam berada di luar genggaman tangan kita. Sekiranya perhitungan alam itu berada dalam genggaman kita, maka kita akan menertawakan akal kita, dan salah seorang dari kita akan berkata, “Apa yang menghalangi kita untuk bisa hidup di zaman Sa'di dan sebaliknya?” Berdasarkan pemikiran pertama, manusia sama sekali tidak punya kekurangan. Ini sama halnya dengan salah seorang dari kita mengatakan, “Apa yang menghalangi orang yang duduk di sebelah barat masjid untuk duduk di sebelah timur dan sebaliknya?” Tidak ada aib dan cela dalam hal ini. Hal serupa bisa terjadi pada zaman atau waktu. Namun, jika manusia masuk dalam pemikiran filsafat, maka ia akan mengetahui bahwa hal itu adalah mustahil. Yang demikian ini persis seperti halnya manusia berbicara tentang bilangan yang berawal dari angka satu hingga angka tak terbatas dengan mengatakan, “Apa yang menghalangi angka tiga menggantikan kedudukan angka tujuh

p: 331

dan angka tujuh menggantikan kedudukan angka tiga?” Manusia mengetahui bahwa pemikiran seperti ini adalah mustahil. Angka tiga tetaplah angka tiga manakala berada di tempatnya. Jika angka tiga diletakkan di antara angka enam dan delapan, maka ia bukan lagi angka tiga, tetapi angka tujuh. Ini berarti bahwa suatu angka tidak bisa menjaga esensinya dengan adanya perubahan tempat. Saya harus menyebutkan pembahasan filsafat di sini.

Dengan makna dan pemahaman di atas, teori tentang “keharusan zaman" adalah sebuah teori yang benar. Namun, mereka yang me- nyebutkan istilah “keharusan zaman” dalam arti yang berbeda dari pemahaman di atas telah melakukan kesalahan. Sebab, selain makna dan pemahaman yang telah kita sebutkan di atas, kita tidak punya teori lain tentang “keharusan zaman”. Apa yang dimaksud dengan teori “keharusan zaman” dalam makna dan pemahaman lain? Di dunia ini, ada sekelompok orang yang berpikir tentang manusia dan alam dengan cara dan metode materialistik. Mereka mengatakan bahwa dunia tidak mempunyai dasar kecuali dasar materi. Dan dunia ini tidak punya alat lebih dari satu. Bahkan, mereka sampai mengatakan bahwa manusia adalah maujud yang hanya bersifat materialistik. Artinya, segala sesuatu yang menggerakkan manusia untuk melakukan segenap kegiatannya adalah tujuan-tujuan materialistik semata. Dengan kata lain, segala sesuatu yang dilakukan manusia dilatarbelakangi oleh tujuan-tujuan materialistik, dan seluruh aktivitas yang dilakukannya semata-mata demi memenuhi kehidupan materialistik mereka.

Tidak diragukan lagi bahwa sebagian aktivitas yang dilakukan manusia dilatarbelakangi oleh tujuan-tujuan materialistik, misalnya saja, dalam bidang pertanian. Seseorang membajak tanah dan menyemaikan benih-benih di atasnya. Ketika tanaman itu berbuah, ia akan menuai dan membersihkannya. Ketika Anda bertanya ihwal mengapa ia melakukan semua ini, ia akan menjawab, “Masalah ini tidak perlu ditanyakan. Saya mempunyai seorang istri dan beberapa orang anak. Saya butuh roti. Saya bercocok tanam agar bisa memenuhi kebutuhan roti saya setiap tahun.” Jika Anda bertanya kepada seorang buroh yang bekerja dan mendapatkan upah ihwal mengapa ia bekerja, maka ia akan menjawab, “Untuk memperoleh upah.” Dan jika

p: 332

pertanyaan itu diteruskan ihwal mengapa ia mencari upah, maka ia akan menjawab, “Untuk memenuhi kebutuhan saya.” Pekerjaan dan aktivitas manusia jenis ini adalah pekerjaan yang bersifat materialistik dengan tujuan untuk memperoleh materi. Akan tetapi, ada aktivitas-aktivitas manusia yang tidak diketahui tujuannya dengan jelas seperti mencari ilmu. Ketika seseorang pergi ke sekolah dan menelaah buku-buku, lalu kita bertanya kepadanya, “Apa tujuan Anda melakukan kegiatan ini?” Salah seorang dari mereka mungkin akan menjawab, “Saya tidak punya tujuan tertentu. Saya ingin tahu apa yang tertulis dalam kitab-kitab ini.

Saya membaca kitab sejarah untuk mengetahui apa yang telah terjadi dalam sejarah.” Jika ia ditanya kembali ihwal apa yang diperolehnya dari aktivitas ini, maka ia akan menjawab, “Manfaatnya ialah bahwa saya bisa memahami dan mengetahui.” Apakah semua kegiatan yang dilakukan manusia harus menghasilkan uang buat mereka? Dituturkan bahwa Abû Raihân al-Bîrûnî adalah seorang yang sangat mengagumkan dalam mencari ilmu sesudah menyelesaikan pekerjaannya.

Ia adalah seorang yang berilmu dan termasuk dalam kelompok manusia jenius. Demikian pula, ia juga sangat taat dan patuh pada agamanya.

Suatu hari, Abû Raihân ditimpa penyakit yang menyebabkan ia wafat.

Ketika itu, ia sedang menghadapi saat-saat terakhir kehidupannya. Ia punya seorang tetangga yang faqih. Ketika tetangganya mendengar kabar bahwa Abû Raihân sakit, ia datang menjenguknya. Memang be- nar bahwa Abû Raihân sakit, namun ia masih sadar. Tatkala ia melihat tetangga yang faqih itu, ia mengajukan berbagai pertanyaan tentang masalah fiqih yang berkaitan dengan warisan. Abû Raihân tidak menda- lami ilmu fiqih. Namun, ia punya spesialisasi dalam bidang ilmu-ilmu sosial, filsafat, dan fisika. Faqih itu berkata, “Apa perlunya Anda berta- nya tentang masalah ini, sedangkan Anda dalam keadaan seperti ini?" Abû Raihân menjawab, “Saya mengerti bahwa saya sedang berada di saat-saat terakhir dalam kehidupan saya. Namun, manakah yang lebih utama: mati dalam keadaan tidak tahu, ataukah mati dalam keadaan tahu? Pada akhirnya, saya juga akan mati. Tentu, lebih utama kalau saya mati dalam keadaan tahu.” Faqih itu menjawab berbagai pertanyaan Abû Raihân dan kemudian pergi meninggalkannya. Ia berkata, “Belum sampai saya tiba di rumah, lalu tiba-tiba aku mendengar teriakan dari rumah Abû Raihan. Mereka berkata bahwa Abû Raihân telah mening- gal.”

p: 333

Ketika manusia berusaha mengetahui sesuatu, tujuan apakah yang ingin diraihnya? Kita mengakui bahwa terkadang orang berusaha mencari ilmu pengetahuan sebagai pendahuluan bagi urusan-urusan materi. Seandainya di zaman kita sekarang ini seorang pemuda ditanya tentang mengapa ia belajar di universitas, ia akan menjawab, “Supaya saya menjadi seorang insinyur dan, dengan demikian, saya akan bisa memperoleh gaji sebanyak empat atau lima ribu tuman sebulan." Atau, ia akan menjawab, “Supaya saya menjadi seorang dokter, dan dengan demikian, saya akan dibayar sekian.” Namun, apakah keadaan manusia selalu demikian? Pada manusia juga ada keadaan lain di mana mereka berusaha mencari ilmu pengetahuan demi ilmu pengetahuan itu sendiri.

Ini adalah sebuah realitas. Mereka berusaha mencari ilmu pengetahuan demi ilmu pengetahuan itu sendiri. Mereka tidak menginginkan ilmu pengetahuan karena harta. Karena itu, mereka bersedia menanggung segala kesulitan dan kepedihan di jalan ilmu pengetahuan. Akhirnya, mereka mencapai tujuan itu dalam ilmu pengetahuan.

Ada dua kisah. Kisah pertama berkenaan dengan almarhum Sayyid Hujjatul Islam, salah seorang ulama Islam. Kisah kedua berkenaan dengan seorang pastor. Kedua kisah itu punya kemiripan. Dituturkan bahwa pada malam pengantin Sayyid Hujjatul Islam, mempelai wanita datang diiringi oleh serombongan wanita, dan ini sudah adat kebiasaan mereka. Sayyid Hujjatul Islam berkata dalam hati, “Selama para pengiring wanita itu masih ada, aku akan memanfaatkan waktu dengan membaca." Kemudian ia pergi ke perpustakaan dan mulai membaca.

la demikian asyik membaca sampai-sampai lupa bahwa malam itu adalah malam pengantinnya. Para pengiring wanita itu telah keluar dari kamar. Mempelai wanita termenung sendirian dalam kamar menunggu kedatangan mempelai pria. Demikianlah keadaan mempelai wanita, tetapi mempelai pria tidak kunjung datang. Ketika Sayyid Hujjatul Islam mendengar ucapan Allâhu Akbar, ia baru sadar bahwa malam itu adalah malam pengantinnya. Kemudian ia datang pada mempelai wanita dan meminta maaf dengan berkata, “Aku asyik membaca buku sampai-sampai lupa bahwa malam ini adalah malam pengantinku.” Kisah serupa juga terjadi pada seorang pastor. Dituturkan bahwa sang pastor itu sibuk membaca buku dan mengadakan percobaan pada malam pengantinnya hingga datang waktu subuh. Konon, dalam sejarah

p: 334

dikisahkan bahwa ia sering memberikan janji kepada istrinya untuk pergi ke luar rumah pada hari libur (yaitu, hari Minggu) dengan tujuan ke gereja atau ke tempat rekreasi. Ketika istrinya sedang mempersiapkan diri untuk pergi, ia berkata kepada dirinya sendiri, “Aku akan pergi ke ruang baca sebentar.” Demikianlah waktu berlalu hingga terbenam matahari dan ia sedang berada di ruang baca.

Mereka adalah orang-orang yang maju dalam dunia ilmu pengetahuan karena mereka mencintainya. Seandainya semua manusia menuntut ilmu dengan tujuan untuk memperoleh roti, maka ilmu pengetahuan tidak akan maju.

Abû Alî Sînâ adalah seorang menteri. Sejumlah orang memfitnah dirinya sehingga ia dibenci sultan. Ia kabur dan bersembunyi. Di tempat persembunyiannya itu, ia memperoleh kesempatan bagus. Kemudian, ia mulai menulis kitab. Sekelompok pelajar secara sembunyi-sembunyi datang menemuinya dan belajar kepadanya. Mereka menyusun pelajaran-pelajaran yang diberikan Abû Alî Sînâ. Demi kianlah kitab- kitabnya yang terkenal ditulis seperti asy-Syifa' Waktu itu, fitnah atas dirinya telah berakhir. Sultan mengumumkan bahwa ia diampuni. Para punggawa kesultanan menyebarkan berita itu kepada khalayak ramai agar Abû Alî Sina keluar dari tempat persembunyiannya. Namun, Abû Alî Sînâ memilih tetap tinggal di tempat persembunyiannya, karena ia takut harus memangku jabatan kementerian untuk kedua kalinya, yang menyebabkannya harus meninggalkan pembahasannya. Ia punya sejumlah pembantu yang menganjurkan agar ia keluar dari tempat persembunyiannya. Mereka merasa bahwa mereka akan beroleh manfaat dengan jabatan menteri yang akan dipegang oleh Abû Alî Sînâ kelak. Akan tetapi, Abû Alî Sînâ menolak keinginan para pembantunya itu. Akhirnya, para pembantunya itu memfitnahnya. Kemudian, para punggawa kerajaan mengeluarkannya dengan paksa dari tempat persembunyiannya.

Selain kegiatan menuntut ilmu pengetahuan, juga ada kegiatan manusia lainnya yang tidak bertujuan materialistik seperti dalam kegiatan moral dan kebajikan. Ada juga kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh lembaga-lembaga kebajikan. Apa tujuan manusia dalam bekerja sama dalam amal-amal kebajikan? Apakah semuanya itu mereka lakukan demi roti atau bukan? Mereka mengatakan bahwa

p: 335

manusia melakukan sebagian aktivitasnya disebabkan dorongan kebajikan dan keindahan. Seseorang punya sebuah mobil baru dan bagus. Ia menjualnya dengan harga murah. Kemudian, ia membeli mobil terbaru dengan harga lebih mahal. Ia membeli mobil terbaru itu dengan tujuan keindahan. Apakah ia punya tujuan materialistik dalam hal ini? Mungkin saja ada orang yang berkata, “Pada akhirnya, ia lakukan itu demi tujuan materi." Namun, perlu diingat bahwa tidak semuanya demikian. (Ibadah yang dilakukan oleh seorang bukan arif adalah sejenis perdagangan [mu'âmalah). Seolah-olah ia melakukan ibadah demi memperoleh upah pada hari akhirat berupa ganjaran yang akan diperoleh. Sementara itu, bagi seorang arif, ibadah adalah suatu latihan untuk memperkuat tekad [himmah) dan jiwa mereka). Seorang arif tidak menyembah Allah dengan tujuan memperoleh upah atau ganjaran, “Ya Allah, aku beribadah kepada-Mu bukan karena takut pada api neraka-Mu dan bukan karena menginginkan surgamu. Namun, aku beribadah kepada-Mu karena Engkau memang layak dan pantas untuk diibadahi.” Namun, mereka yang menafsirkan sisi akhlak manusia secara materialistik mengatakan, “Segala sesuatu yang dilakukan manusia itu dilandasi oleh tujuan materi. Karena itu, saya tidak mempunyai tujuan lain kecuali materi semata." Telah muncul materialisme baru dengan corak pemikiran lain.

Kalangan Marxis dan lain-lainnya mengatakan bahwa tujuan segala sesuatu dan seluruh fenomena yang terjadi ialah materi. Sementara itu, Sigmund Freud, seorang ahli psikoanalisis, datang dan memaparkan suatu pandangan lain. Ia mengatakan, “Tidak, tujuan dari segala sesuatu yang dilakukan manusia adalah dorongan seksual. Manusia cenderung pada segala sesuatu yang bersifat materi disebabkan oleh dorongan-dorongan seksual.” Dengan kata lain, ia mengatakan bahwa tujuan manusia adalah seks belaka.

Makna keharusan zaman yang disebutkan oleh kalangan penganut materialis bukanlah makna yang dipahami oleh filsafat umum, sebagaimana telah kita sebutkan di awal diskusi kita ini. Mereka mengatakan bahwa segala sesuatu yang dilakukan manusia dipengaruhi oleh faktor ekonomi. Mereka memandang faktor ekonomi sebagai realitas pokok. Dalam pandangan mereka, faktor ekonomi adalah dasar dari segala sesuatu. Mereka mengatakan bahwa manusia adalah realitas

p: 336

ekonomi. Segala sesuatu yang dilakukan manusia disebabkan oleh tujuan-tujuan ekonomi. Dengan kata lain, segala sesuatu yang terjadi di alam ini mempunyai akar ekonomi, yang merupakan keharusan dari sebab-sebab ekonomi. Pertama, yang mereka maksudkan dengan istilah keharusan zaman ialah keharusan sosial. Sebab, peristiwa-peristiwa sosial adalah suatu keharusan yang harus terjadi pada waktu tertentu.

Kedua, ada sebab-sebab yang melahirkan keharusan zaman. Sebab-sebab itu bersifat ekonomis. Dengan demikian, mereka menganalisis semua peristiwa yang terjadi dalam sejarah dengan menggunakan kerangka sebab ekonomis. Misalnya saja, jika mereka ditanya tentang mengapa Raja Iskandar Agung menyerang Iran dan menguasainya, mereka ha- nya akan mengemukakan satu sebab saja, yakni sebab ekonomi.

Mereka mengatakan bahwa faktor ekonomi adalah satu-satunya sebab yang memicu terjadinya peristiwa ini.

Jadi, istilah keharusan zaman, dalam artian bahwa faktor penentu bagi segala sesuatu yang berkaitan dengan manusia ialah faktor ekonomi, sama sekali tidak benar. Artinya, penafsiran mereka atas istilah keharusan zaman mengandung pengertian yang salah.

Sekarang ini, Anda tidak akan menemukan seorang filsuf materialis pun yang memandang manusia sebagai mesin ekonomi. Bertrand Russel, seorang filsuf materialis terkenal dari Inggris, sama sekali tidak percaya kepada Tuhan dan agama mana pun. Ia punya pandangan sosialis dan lebih cenderung bercorak komunis. Meskipun demikian, ia tidak bisa menerima pandangan dan pemikiran itu. Sebagaimana telah saya kemukakan, sekiranya terbukti bahwa tidak semua peristiwa yang terjadi di alam ini disebabkan oleh faktor ekonomi, maka keharusan zaman dalam pengertian ini adalah salah. Singkat kata, pandangan mereka dalam hal ini tidak bisa diterima. Bertolak dari sini, kita akan mulai memasuki diskusi kita.

Dalam pandangan orang yang menafsirkan sejarah secara materialistik, keadilan sama sekali tidak punya arti. Jika Anda semua membaca ucapan orang-orang yang menganggap dirinya sebagai kaum Marxis sejati, maka mereka sama sekali tidak mengumandangkan keadilan. Mereka berbicara tentang konsep persamaan, tetapi bukan karena konsep persamaan itu sesuai dengan keadilan. Mereka yang mendukung keadilan melalui konsep persamaan menganggap dirinya

p: 337

sebagai kaum sosialis. Mereka meyakini sosialisme bukan sebagai sumber keadilan, melainkan keharusan zaman. Artinya, kondisi ekonomi memaksa masyarakat untuk berpegang pada konsep sosialis.

Mereka mengatakan bahwa pada mulanya manusia hidup secara komunal. Setelah itu, disebabkan munculnya pengaruh sebab-sebab perekonomian individu, mereka tidak mampu mengumpulkan manusia berada di sekelilingnya. Dari sini, kemudian timbullah feodalisme.

Sesudah itu, lahirlah generasi berikutnya yang dikenal sebagai kaum kapitalis. Mereka mengatakan bahwa konsep kapitalisme yang didukung oleh makin sempurnanya alat-alat produksi sama sekali tidak akan bisa bertahan dan akan berganti lagi dengan kehidupan komunal. Karena itu, mereka mengatakan bahwa konsep kehidupan komunal harus dicari melalui metode ilmiah. Artinya, konsep kehidupan komunal mesti dicari melalui metode keharusan zaman. Konsep komunis atau kehidupan komunal bukanlah sesuatu yang dituntut oleh konsep keadilan. Sekarang ini, kita tidak membahas masalah ini. Dari dua sisi, ucapan mereka itu salah. Mereka mengatakan bahwa kesempurnaan yang dicapai dalam alat-alat produksi akan menarik manusia pada konsep sosialis. Jelas tidak demikian halnya. Di dunia ini, ada beberapa jalan keluar yang memungkinkan kapitalisme mempertahankan dirinya dan, pada waktu yang sama, menghentikan langkah ajaran sosialis yang dianggap sebagai keharusan zaman oleh para pendukungnya.

Penafsiran kaum sosialis atas manusia membuktikan bahwa mereka sama sekali mengingkari konsep keadilan. Mereka sama sekali tidak mengakui intuisi manusia. Karena itu, mereka mengatakan agar Anda jangan mengikuti sosialisme yang mempunyai akar keadilan. Mereka menganggapnya sebagai khayalan belaka. Kita katakan tidak. Dalam pandangan kita, konsep keadilan sama dengan keseimbangan dalam indra manusia. Pandangan kita ialah bahwa masyarakat yang terdiri atas anggota-anggota masyarakat sesungguhnya adalah individu- individu yang telah tersusun. Ketika kita membahas realitas sosial dan individual, kita katakan bahwa masyarakat bukan hanya sekadar kumpulan dari berbagai individu, melainkan suatu susunan yang terdiri dari berbagai individu. Setiap susunan yang hidup punya keadaan seimbang dan menyimpang. Ketika susunan itu berada dalam keadaan menyimpang, maka ia berada dalam keadaan sakit. Bila penyimpangan itu. sudah demikian parah, maka ini berarti bahwa susunan itu telah

p: 338

mati. Ketika susunan itu berada dalam keadaan seimbang, maka ia sehat dan hidup. Keadilan dalam suatu masyarakat pada dasarnya punya keadaan yang sama dengan konsep keseimbangan. Jika susunan masyarakat punya keseimbangan, maka ia akan tetap berlaku. Namun, jika susunan masyarakat tidak lagi seimbang, maka yang demikian itu berarti kematiannya.

Umpamanya saja, tubuh manusia membutuhkan sejumlah sel yang mesti ada dalam darah. Tubuh manusia punya susunan yang tidak berkaitan dengan zaman. Susunan tubuh manusia dua ribu tahun lalu sama dengan susunan tubuh manusia sekarang ini. Kesehatan tubuh ia akan tetap terjaga selama susunan itu masih ada. Artinya, ketika darah seseorang diurai, maka susunan itu tetap terjaga. Kalsium yang ada dalam tubuhnya harus sejumlah yang diperlukan. Jika kurang atau lebih dari ukuran itu, maka tubuh akan sakit.

Keadilan yang harus ada dalam masyarakat punya hukum yang sama dengan keseimbangan yang harus ada pada tubuh dan indra manusia. Keseimbangan itu sendiri tidak punya batasan tertentu.

Yang jelas ialah bahwa keseimbangan itu senantiasa bergerak. Jika keseimbangan itu benar-benar ada di tengah-tengah, maka ini berarti bahwa keseimbangan itu sempurna. Demikian juga halnya dengan susunan masyarakat.

Kita meyakini bahwa zaman makin sempurna, tetapi mengarah pada keadilan dan keseimbangan. Zaman itu sendiri mengalami perubahan. Yang menimbulkan perubahan bukanlah faktor ekonomi.

Ekonomi adalah salah satu sebab yang memengarohi perbuatan manusia. Artinya, dalam kehidupan manusia, ada banyak sebab dan faktor. Salah satu sebab atau faktor itu adalah ekonomi. Faktor-faktor ini harus ada dengan korelasi tertentu. Jika korelasi ini terjaga, maka masyarakat akan sehat. Jika korelasi ini tidak ada, maka masyarakat sakit.

Hingga di sini, saya akhiri pembicaraan saya. Ya Allah, jadikanlah akhir urusan kami dengan kebajikan.

p: 339

p: 340

PERTANYAAN DAN JAWABAN UMUM

p: 341

p: 342

PERTANYAAN yang muncul dalam hubungannya dengan Islam dan tuntutan zaman ialah: Bagaimana mungkin dua hal yang saling bertentangan bisa berpadu? Secara esensial, Islam bersifat tetap dan tidak berubah. Sementara itu, secara esensial juga, zaman senantiasa berubah dan tidak tetap. Sebagai sebuah agama, Islam tidak mengalami penghapusan dan perubahan serta bersifat kekal dan tidak berubah. Tuntutan zaman dan segala sesuatu yang terjadi pada zaman (salah satu tuntutan zaman adalah kondisi kehidupan manusia) bersifat tidak tetap dan senantiasa berubah. Tuntutan zaman tidak akan tetap dalam satu keadaan tertentu. Jadi, bagaimana mung- kin keduanya bisa berjalan seiring? Lebih dari itu, bagaimana mungkin sesuatu yang bersifat tetap dan tidak berubah bisa menjadi petunjuk dan pembimbing bagi sesuatu yang bersifat berubah dan tidak tetap? Ketika sesuatu yang tetap dan tidak berubah ini tidak bisa mengikuti sesuatu yang senantiasa berubah, bagaimana mungkin ia bisa menjadi petunjuk bagi sesuatu yang senantiasa berubah? Dalam keadaan demikian, hanya ada dua kemungkinan, yakni sesuatu yang tetap mengubah sesuatu yang tidak tetap sehingga bentuknya jadi sama. Dengan kata lain, zaman dihentikan dari geraknya dan mencegah segala perubahan dan perkembangan terjadi dalam kehidupan manusia. Kemungkinan kedua adalah sebaliknya, yakni sesuatu yang tidak tetap mengubah sesuatu yang “tetap sehingga bentuknya jadi sama. Ini berarti mengubah sesuatu yang tetap men- jadi sesuatu yang selalu berubah, menerima perbaikan, dan peng- hapusan. Sebab, dalam kenyataannya, tidak ada sedikit pun kesesuaian dan kesamaan antara keduanya itu. Inilah satu pertanyaan yang muncul dalam kaitannya dengan Islam dan tuntutan zaman.

p: 343

Untuk menjawab pertanyaan di atas, secara umum kita katakan bahwa Islam tidak bersifat tetap secara mutlak dalam artian bahwa undang-undangnya sama sekali tidak berubah. Begitu juga, hal serupa tidak berlaku pada zaman berikut segala tuntutannya dalam bentuk sebagaimana dibayangkan banyak orang. Artinya, sudah menjadi keharusan zaman untuk mengubah segala sesuatu yang ada di dalamnya. Dalam ungkapan lebih sederhana, dalam Islam, ada unsur- unsur yang tetap dan juga unsur-unsur yang tidak tetap serta berubah.

Demikian juga, dalam zaman, ada unsur-unsur yang tetap dan unsur- unsur yang berubah. Singkat kata, dalam keduanya, ada unsur-unsur yang mesti tetap tidak berubah dan unsur-unsur yang mesti berubah.

Dan berbagai perubahan itu harus berlangsung dalam konteks dan berporos pada unsur-unsur yang bersifat tetap. Jika berbagai perubahan zaman itu terjadi dalam konteks unsur-unsur yang bersifat tetap, maka hal itu dikategorikan sebagai kemajuan dan kesempurnaan.

Akan tetapi, bila berbagai perubahan yang terjadi berlangsung di luar konteks unsur-unsur yang bersifat tetap, maka hal itu tetap dikatakan sebagai sebuah perubahan. Perubahan bukan berupa kesempurnaan, melainkan penyimpangan dan kehancuran. Tak ada seorang pun dari kita menganggap bahwa zaman itu ma'shûm. Demikian juga, tidak ada seorang pun dari kita menganggap bahwa berbagai perubahan yang berlangsung di sebuah zaman secara otomatis akan selalu bergerak ke arah kemajuan dan kesempurnaan. Kita selalu mengulang-ulang perkataan "kemajuan masyarakat” dan “kemunduran masyarakat”.

Sebagaimana kemajuan masyarakat berlangsung dalam kerangka zaman, maka begitu pulalah halnya dengan kemunduran masyarakat.

Dengan demikian, jelaslah bahwa zaman dan masyarakat punya kemungkinan untuk berubah. dalam dua bentuk, yakni “kemajuan” dan “kemunduran dan penyimpangan”.

Secara relatif, sebuah masyarakat bisa bersifat tetap. Kita juga bisa mengatakan bahwa, jika dibandingkan dengan kebanyakan, masyarakat lain, masyarakat tidak mengalami perubahan secara mendasar seiak empat abad lalu. Tidaklah benar bahwa seluruh masyarakat secara deterministik hukum harus berubah, entah itu berupa kemajuan maupun kemunduran.

Masalah ini sudah jelas dan gamblang bagi kita. Hanya saja, mereka memaparkan masalah ini dalam bentuk lain. Berbagai perubahan

p: 344

zaman itu punya dua kemungkinan, yaitu perubahan zaman yang mengarah pada kesempurnaan atau justru mengarah pada kemundur- an. Dari sini muncul pertanyaan, perubahan mana yang menuju pada kesempurnaan dan mana yang menuju kemunduran? Dengan demikian, kita punya jalan menuju kemajuan. Kita punya sebuah poros. Jika perubahan yang terjadi pada masyarakat berlangsung dalam konteks porositu, maka masyarakat itu bergerak kearah kemajuan.

Namun, jika masyarakat bergerak di luar konteks poros di atas, maka ia bergerak mundur ke belakang. Ini adalah makna dari kalimat bahwa zaman punya unsur-unsur yang tetap dan unsur-unsur yang berubah.

Maksudnya ialah bahwa, dalam kehidupan manusia, harus ada unsur- unsur yang bersifat tetap. Semuanya itu memungkinkan lahirnya kemajuan yang akan dicapai. Perubahan yang terjadi harus berlangsung pada suatu poros dan tujuan tertentu agar bisa disebut sebagai sebuah kemajuan. Jika tidak demikian halnya, maka perubahan itu tidak bisa dikategorikan sebagai langkah kemajuan.

Atas dasar ini, jika kita bisa membuktikan bahwa selain punya dasar- dasar ajaran yang bersifat tetap dan tidak berubah, Islam juga punya unsur-unsur yang bisa berubah, maka kita akan mampu menyelesaikan masalah yang muncul dalam masalah Islam dan tuntutan zaman.

Tentunya, makna perubahan dalam hukum-hukum Islam bukan hanya terbatas pada penghapusan (naskh). Satu hal yang pasti tidak ada dalam Islam ialah penghapusan hukum-hukum Islam.

Sebagaimana penetapan hukum Islam bukanlah wewenang kita, melainkan wewenang Ilahi, maka begitu pulalah halnya dengan penghapusan hukum-hukum Islam. Telah ditetapkan dari sisi Allah bahwa agama Islam ini sama sekali tidak akan dihapus oleh Allah. Ini adalah keyakinan pokok dalam ajaran Islam. Perubahan yang sama sekali mustahil terjadi dalam Islam dalam bentuk apa pun ialah naskh.

Apakah semua perubahan itu terjadi dalam bentuk naskh? Islam telah menjadikan suatu bentuk rumus dan alat yang selalu bergerak dalam dirinya. Rumus dan alat itu bergerak dengan sendirinya dan tidak digerakkan oleh sesuatu dari luar. Misalnya saja, para ulama datang dan mengadakan perubahan di dalamnya. Yang dapat dilakukan para ulama ialah menemukan perubahan itu dan bukan para ulama yang membuat perubahan.”

p: 345

Ada sebuah ungkapan dari Iqbal Lahore. Ungkapan itu sangat bagus. Iqbal adalah salah seorang yang menaruh perhatian besar pada masalah Islam dan tuntutan zaman. Perhatian Iqbal dalam masalah ini tertuju pada dua sisi. Ia melihat bahwa manusia dan peradabannya memerlukan serangkaian hukum dan undang-undang yang bersifat tetap. Tanpa ada hukum dan undang-undang yang tetap, mustahil manusia bisa menggapai kemajuan. Di samping itu, ia juga melihat bahwa Islam bukanlah seperti dibayangkan sebagian orang dalam artian bahwa hukum-hukum Islam selamanya hanya satu bentuk dan diterapkan pada berbagai tempat dan zaman yang berbeda.

Dalam sebuah bukunya yang berjudul The Reconstruction of Religious Thought in Islam, yang telah diterbitkan dan diterjemahkan serta merupakan buku yang sangat dalam, Iqbal Lahore mengungkapkan ijtihad sebagai “kekuatan penggerak Islam”. Dalam pandangan Iqbal, kekuatan penggerak Islam adalah ijtihad. Ini bukanlah ungkapan baru. Sebab, sejak seribu tahun lalu, kita juga mempunyai berbagai ungkapan yang sama dengan ungkapan Iqbal itu. Para ulama Islam telah mendefinisikan ijtihad sebagai “kekuatan Islam yang selalu menggerakkan.” Iqbal Lahore mengatakan, “Masyarakat yang dibangun atas dasar pandangan tentang realitas ini haruslah bisa memadukan segala sesuatu yang abadi dengan yang berubah dalam kehidupannya.” Maksud Iqbal Lahore ialah bahwa dalam sebuah masyarakat harus ada dua karakteristik. Di satu sisi, sebuah masyarakat harus punya segi-segi yang bersifat abadi dan, di sisi lain, segi-segi yang berubah. Di satu sisi, sebuah masyarakat harus bersifat tetap dan, di sisi lain, harus berubah.

Iqbal tidak berpandangan bahwa sebuah masyarakat harus tetap dan tidak berubah sama sekali dari semua sisi. Demikian juga, Iqbal tidak setuju dengan pandangan yang mengatakan bahwa semua segi dalam sebuah masyarakat harus berubah dan tidak ada satu segi pun bersifat tetap di dalamnya.

“Untuk menata kehidupan masyarakatnya, manusia harus memiliki dasar-dasar ajaran yang bersifat tetap. Sebab, sesuatu yang abadi

p: 346

akan membuat kita punya tempat berpijak yang kokoh di alam yang selalu berubah ini. Akan tetapi, dasar-dasar ini akan dipahami sebagai hal yang bertentangan dengan segala perubahan. Artinya, hal itu ber- tentangan dengan sesuatu yang dipandang sebagai hal paling besar oleh salah satu ayat Al-Quran (yang dimaksud adalah perubahan itu sendiri). Dasar itu akan menjadi sebab terhentinya gerak sesuatu yang pada esensinya selalu bergerak. Kekalahan Eropa dalam bidang ilmu-ilmu politik dan sosial adalah bukti dari dasar pertama (yakni, tidak mau mengakui sama sekali adanya suatu dasar ajaran yang bersifat tetap dan abadi). Ketiadaan gerak dan aktivitas dalam dunia Islam sepanjang kurun 500 tahun membuktikan adanya dasar atau sisi kedua.(1) Pokok bahasan kita ialah bahwa Islam pada esensinya sendiri tidaklah berubah secara mutlak. Demikian pula, zaman bukanlah sesuatu yang di dalamnya segala sesuatu pasti berubah dan harus berubah! Tidak, sama sekali tidak demikian. Ada beberapa hal yang tidak berubah atau sekurang-kurangnya tidak boleh berubah, yakni, kita harus mencegah agar tidak berubah dan berusaha menjaganya untuk tetap tidak berubah sehingga gerak perubahan bisa berlangsung dengan berporos pada sesuatu itu.

Kita akan membahas hal-hal yang berkaitan dengan Islam dengan tujuan untuk melihat karakteristik-karakteristik yang ada dalam ajarannya. Meskipun Islam tidak menerima naskh dan juga tidak ada perubahan dalam ajarannya, Islam tetap membukakan jalan bagi berlangsungnya perubahan.

Di sini, satu hal yang harus diperhatikan adalah bahwa para ulama ushul al-fiqh punya sebuah kaidah dasar. Menurut hemat mereka, penetapan hukum-hukum Islam berlangsung dalam bentuk proposisi esensial (qadhiyyah haqîqiyyah) dan bukan proposisi eksternal (qadhiyyah khârijiyyah) dalam ilmu logika.

Para ahli logika punya suatu istilah yang disebut proposisi (qadhiyyah). Mereka mengatakan bahwa ada dua macam proposisi (yang bersifat universal dan parsial): proposisi eksternal dan proposisi esensial.

Proposisi eksternal bersifat universal tetapi memerhatikan kumpulan orang atau anggota tertentu. Kemudian, hukum yang terkandung dalam proposisi itu ditujukan pada mereka. Umpamanya saja, Anda

p: 347


1- Yang dimaksud oleh Iqbal dengan «pandangan tentang realitas» ini adalah ucapannya ketika mengatakan «Sebab, Allah adalah pilar segenap kehidupan rohani. Jika manusia berlaku baik kepada Allah, maka-secara praktis-ia telah berlaku baik kepada tabiat dan watak manusia itu sendiri.»

mengatakan, “Semua orang yang tinggal di Iran sekarang ini adalah kaum Muslim.” Sekarang, jumlah penduduk yang tinggal di Iran adalah 25.000.000 orang. Di sini, ketika Anda mengemukakan proposisi itu, Anda memerhatikan sekumpulan orang dan mengenakan hukum dalam proposisi itu pada mereka. Dengan demikian, subjek (mawdhu') proposisi itu terbatas hanya pada 25.000.000 penduduk. Atau, Anda mengatakan, “Semua orang yang hadir dalam majelis ini tidak tidur.” Hukum yang berlaku pada sekumpulan orang yang terbatas ber- laku atas orang-orang tertentu. Alih-alih menyebutkan satu per- satu, kita menggabungkan mereka dalam sebuah ungkapan seperti:

"Semua orang yang hadir di majelis ini.” Proposisi ini disebut proposisi eksternal. Para ahli logika tidak memandang bahwa proposisi eksternal punya nilai besar. Mereka mengatakan bahwa proposisi yang digunakan dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan bukanlah proposisi eksternal.

Proposisi kedua adalah proposisi esensial. Dalam proposisi esensial, hukum tidak berlaku pada sekumpulan orang, melainkan pada suatu subjek universal. Ketika Anda mendapatkan karakteristik ini pada suatu subjek, maka Anda akan mengatakan, “Segala sesuatu yang ada dalam subjek itu mau tidak mau pasti memiliki karakteristik ini.” Jika saya bertanya, “Apakah yang dimaksud dalam proposisi di atas adalah orang-orang yang hidup di zaman kita ini?” Maka Anda akan menjawab, "Tidak, orang-orang dahulu pun tercakup dalam proposisi di atas." Bagaimana dengan orang-orang yang hidup di masa mendatang? Anda akan menjawab, “Memang benar. Proposisi ini juga mencakup orang- orang yang hidup di masa mendatang." Dengan perantaraan proposisi ini, Anda sebenarnya mengatakan bahwa segala sesuatu di alam ini, jika menjadi ekstensi (mishdaq) dari proposisi universal di atas, tunduk pada hukum itu. Hukum ini mustahil tidak berlaku. Ini berbeda dari proposisi eksternal. Dalam proposisi eksternal, orang-orang yang tercakup itu jumlahnya ter batas. Mungkin saja, setelah dua jam, di sini ada sekelompok orang lain, yang sebagian tertidur dan sebagian lagi terjaga. Hukum dalam proposisi eksternal hanya berlaku pada mereka saja. Atau, kita mengatakan, “Seluruh bangsa Iran sekarang ini adalah kaum Muslim.” Proposisi ini mungkin saja benar pada masa sekarang ini, tetapi tidak benar pada dua ribu tahun lalu. Dan mungkin juga pada masa dua ribu tahun mendatang, proposisi ini tidak benar.

p: 348

Mereka mengatakan bahwa semua proposisi yang digunakan dalam semua bidang ilmu pengetahuan adalah proposisi esensial. Bahkan, demikian pula halnya dengan ilmu-ilmu empiris. Meskipun pembahasan ilmu-ilmu empiris berawal dari rincian demi rincian, pada akhirnya, kesimpulan yang diperoleh adalah proposisi esensial. Sebenarnya, ini sulit. Sebab, bagaimana akal manusia (dalam kenyataannya, uji-coba dan eksperimen tidak akan melampaui sekelompok orang yang hidup di suatu zaman tertentu) mampu menarik suatu kesimpulan eksperimen dalam bentuk hukum universal dan esensial yang mencakup segala sesuatu di masa lalu, sekarang, dan masa mendatang.

Para ulama berkeyakinan bahwa ketika menetapkan sebuah hukum, Islam menetapkannya dalam bentuk proposisi esensial. Dengan kata lain, Islam memerhatikan sifat dan watak sesuatu dan kemudian menetapkan hukum atasnya dengan bersandar pada sifat dan watak itu. Inilah sifat dan karakter yang dimiliki proposisi esensial. Ketika penetapan hukum berlangsung dalam bentuk demikian, maka tugas mujtahid dalam menarik kesimpulan hukum (istinbâth) juga berbeda.

Jika berupa proposisi-proposisi eksternal, individual, dan parsial, maka hukum-hukum itu akan saling bertentangan. Namun, tidak demikian halnya jika hukum-hukum itu berbentuk proposisi esensial.

Karena itu, mereka mengatakan bahwa, di beberapa tempat, dijumpai adanya benturan (tazâhum), tetapi bukan paradoks (ta'ârudh), dan kontradiksi (tanâqudh). Apa maksudnya? Artinya, terkadang sesuatu itu, pada saat bersamaan, kelihatan seakan-akan punya hukum wajib dan haram sekaligus. Ini bukanlah tanâqudh, melainkan tazâhum. Maksudnya ialah bahwa tidak ada pertentangan dari sisi orang yang menempatkan hukum. Namun, bagi orang yang hendak mengamalkan hukum itu, terjadi apa yang disebut tazâhum, yakni kemungkinan untuk melaksanakan hukum itu tercabut dari orang yang hendak mengamalkannya. Padahal, kewajiban haruslah jelas. Misalnya saja, hukum menggunakan harta orang lain tanpa keridhaan pemiliknya adalah haram atau hukum menyelamatkan orang yang hampir binasa adalah wajib. Kedua hukum ini dijelaskan dalam bentuk universal (kullî). Terkadang Anda dihadapkan pada suatu kenyataan seperti itu. Di satu sisi, menggunakan harta orang lain tanpa izin dan keridhaan pemiliknya adalah haram. Di sisi lain, menolong

p: 349

dan menyelamatkan orang yang hampir binasa adalah wajib. Sementara itu, Anda baru bisa melaksanakan kewajiban itu jika Anda juga melaksanakan yang haram, yakni menggunakan harta orang lain tanpa keridhaan pemiliknya. Misalnya saja, untuk menyelamatkan seseorang yang hampir tenggelam, Anda narus memasuki sebidang tanah tanpa izin dan keridhaan pemiliknya. Dalam hal ini, apakah Islam menjadikan dua hukum itu saling bertentangan? Tidak, di sini, sama sekali tidak ada pertentangan. Apakah, dalam Islam, harus ada kekecualian secara pasti? Kekecualian juga bukanlah keharusan dalam Islam. Islam telah menyatakan bahwa ini wajib dan itu haram hukumnya. Lantas, apa kewajiban Anda sekarang? Islam mengatakan bahwa sekarang Anda harus memerhatikan dua hal ini. Yang satu hukumnya wajib dan yang lain haram. Manakah yang lebih penting di antara keduanya itu? Ambillah kesimpulan hukum dan berijtihadlah Anda dalam hal ini.

Islam mengatakan, “Coba perhatikan! Mana yang lebih penting dan lebih besar dalam pandanganku? Ambil yang lebih penting, dan tinggalkan yang kurang penting.” Sekiranya Anda mengatakan bahwa yang lebih penting adalah ini “lantaran menyentuh tubuh wanita bukan muhrim adalah haram, dan karenanya, saya tidak akan mengulurkan tangan untuk menolongnya”, maka akan dikatakan bahwa sesungguhnya Anda telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan syariat. Anda wajib melaksanakan yang haram itu. Sebab, yang haram itu kini telah menjadi jalan bagi terlaksananya kewajiban yang lebih penting. Tazâhum telah banyak menyelesaikan banyak kesulitan. Islam telah menjadikan hukum-hukumnya berdasarkan berbagai pokok dan tema, dan bukan orang perorang. Terkadang dijumpai beberapa tema ('unwân) ber- himpun di sebuah tempat sehingga menimbulkan tazâhum. Dalam hal ini, telah disebutkan sebuah kaidah yang mengatakan: “Jika dua hal yang haram berkumpul di suatu tempat, maka yang lebih kecil dikorbankan untuk yang lebih besar."(1) Dari sini bisa dipahami bahwa terkadang kewajiban manusia berbeda dalam dua zaman yang berbeda. Pada zaman, kondisi, dan lingkungan tertentu, sesuatu dihukumi haram. Sementara itu, pada zaman, kondisi, dan lingkungan lain, sesuatu itu tidak lagi dihukumi haram, melainkan wajib. Pada mulanya, di zaman tertentu, sesuatu itu haram karena hukum awalnya memang haram. Sementara itu, sesuatu(2)

p: 350


1- The Reconstruction of Religious Thought in Islam, hlm. 169.
2- Sebuah hadis Rasulullah Saw

itu menjadi halal dan bahkan wajib. Sebab, pada zaman, kondisi, dan lingkungan lain, Islam berhadapan dengan berbagai masalah lain yang lebih besar signifikansi atau makna pentingnya. Mujtahid dahulu memberikan fatwa bahwa hukum sesuatu adalah haram, sementara mujtahid sekarang dengan memerhatikan lingkungan dan kondisi baru-memberikan fatwa bahwa hukum sesuatu itu adalah wajib.

Salah satu hal yang termasuk dalam kategori bab tazâhum ada- lah adanya pertentangan antara kepentingan individu dan kepenting- an sosial. (Adalah jelas bahwa tidak semuanya demikian. Akan tetapi, kadang-kadang ditemukan adanya pertentangan antara kepentingan individu dan kepentingan masyarakat. Jelaslah bahwa, dalam pandangan Islam, semua individu adalah sama. Jika masalah bergulir di antara kepentingan pribadi dan kepentingan masyarakat, yang merupakan himpunan ribuan dan bahkan jutaan individu lainnya, maka kepentingan seorang individu itu lemah bila dihadapkan dengan kepentingan ribuan dan bahkan jutaan individu lainnya. Karena itu, dalam keadaan ini, Islam mengorbankan kepentingan individu demi kepentingan sosial.

Dalam konteks ini, terjadi perdebatan antara Albert Camus dan Jean Paul Sartre (keduanya adalah filsuf kontemporer dari Perancis- peny.). Dalam novel kaiyanya, Ia Peste (“Sampar”), Camus mengatakan bahwa sama sekali tidak boleh membunuh orang-orang tak berdosa, meskipun bisa memadamkan fitnah lebih besar dalam perang.

Sementara itu, Sartre berpendapat sebaliknya. Ketika orang-orang tak berdosa dijadikan perisai hidup oleh orang-orang jahat dan kita tetap hendak menjaga nyawa mereka, maka tangan orang-orang jahat itu akan lebih leluasa. Ini berarti bahwa tetap menjaga nyawa orang-orang tak berdosa sama artinya dengan membantu mereka melaksanakan kejahatannya. Ini adalah juga suatu kejahatan.

Dalam keadaan seperti ini, apa kewajiban kaum Muslim? Masalah yang dibicarakan oleh Camus dan Sartre sama dengan apa yang dibicarakan dalam kitab tentang jihad. Dalam masalah ini, tidak ada perbedaan di antara para faqih. (Dalam hal ini, Camus tidak punya pendukung dan semuanya mendukung Sartre). Para faqih mengatakan bahwa sekiranya akan muncul bahaya dari pihak musuh dan bahaya itu jauh lebih besar dibandingkan terbunuhnya sebagian orang Islam

p: 351

yang mereka jadikan tawanan dan perisai, maka kita wajib membunuh orang-orang Islam itu. Dan orang-orang Islam yang terbunuh ini dikategorikan sebagai syuhada dan berperang di jalan Allah. Di sini telah terjadi tazâhum di antara dua hal yang haram, yakni haram lebih kecil dan haram lebih besar. Dalam hal ini, haram lebih kecil dikorbankan demi haram lebih besar.

Semua masalah di atas termasuk dalam kategori bab tazâhum.

Masalah bab tazâhum begitu luas. Jika masalah ini tidak dipahami dengan benar dalam artian bahwa salah satu tugas terbesar seorang mujtahid ialah mengetahui berbagai subjek (mawdhû’ât) ini, maka ia tidak akan mampu memahami hal-hal yang lebih penting (ahammiyyât).

Ketika seorang faqih tidak memahami ahammiyyât ini, ia akan lebih banyak memerhatikan berbagai masalah kecil dengan mengorbankan masalah-masalah besar. Namun, Islam telah membentangkan jalan ini di hadapannya.

Di sini, para faqih dan mujtahid harus benar-benar mengenal dan mengetahui kondisi zaman mereka. Artinya, mereka harus mengenal mana yang penting dan mana yang lebih penting dalam berbagai zaman.

Sekiranya mereka mengenal dan mengetahui semuanya itu, maka berbagai persoalan yang muncul di masa sekarang ini akan banyak bisa dipecahkan. Ada banyak persoalan yang sulit untuk dicarikan solusinya.

Inilah salah satu cara untuk menyelaraskan Islam dengan berbagai tuntutan zaman. Artinya, terjadi suatu perubahan dalam hukum Islam, tetapi bukan perubahan berbentuk penghapusan. Islam membenarkan perubahan ini. Islam telah menetapkan hukum-hukumnya sedemikian rupa sehingga kesimpulan yang diperolehnya berbeda sesuai dengan perbedaan lingkungan, tempat, dan waktu. Contohnya adalah minum khamr. Dalam Islam, minum khamr sangat diharamkan sehingga tidak perlu dibahas lagi. Jika dalam suatu kasus dijumpai bahwa keselamatan atau kesembuhan jiwa seseorang bergantung pada minum khamr dan hal ini telah ditentukan oleh seorang dokter dan bukan oleh seorang faqih, maka para ulama fiqih mengatakan bahwa hendaknya ia minum khamr agar jiwanya selamat. Sebab, dalam pandangan Islam, menyelamatkan jiwa seseorang lebih penting daripada sekadar hanya tidak minum khamr.

p: 352

Masalah ini mempunyai akar lain. Ketika kita mengetahui akar masalah itu, maka gerak tangan kita akan lebih leluasa. Menurut istilah sekarang, hukum-hukum Islam yang bersifat samawi-juga membumi. Maksudnya ialah bahwa hukum Islam ditetapkan dengan mengacu pada berbagai kepentingan dan mafsadah yang ada dalam kehidupan manusia. Artinya, hukum Islam tidak berbentuk suatu rumus atau rahasia yang sama sekali tersembunyi dan tidak diketahui, misalnya saja, dengan mengatakan, “Hukum Islam sama sekali tidak berkaitan dengan ucapan-ucapan ini. Allah telah menetapkan hukum itu dan hanya Dia sajalah yang mengetahui rahasia-rahasianya.” Tidak, tidak demikian. Islam sendirilah yang menjelaskan bahwa semua hukum yang ditetapkannya berkaitan dengan berbagai kepentingan raga, jiwa, akhlak, dan sosial mereka. Hukum Islam berkaitan dengan masalah-masalah ini. Artinya, hukum Islam tidak punya rumus-rumus yang sama sekali tidak bisa digapai oleh akal manusia.

Kita bisa mengetahui bahwa Al-Quran memberikan isyarat ihwal kemaslahatan dan kemafsadahan yang terkandung dalam hukum- hukumnya. Selain itu, masalah ini termasuk dalam berbagai urusan pokok dalam Islam. Syaikh ash-Shadûq menulis sebuah kitab berjudul 'Illah at-Tasyrî' yang membahas filsafat-filsafat hukum. Di dalam kitab ini, ia mengumpulkan hadis-hadis yang mengisyaratkan berbagai filsafat hukum. Hal ini menunjukkan bahwa, sejak masa awal Islam, Rasulullah Saw dan para Imam secara langsung telah menjelaskan filsafat dan hikmah yang terkandung dalam berbagai hukum. Kalangan Syi'ah dan Ahlus-Sunnah meyakini prinsip bahwa segenap hukum yang ada mengacu pada maslahat dan mafsadah (atau disebut an-nafs al- amriyyaft), yakni mengacu pada maslahat dan mafsadah sesungguhnya.

Karena itu, Islam telah membukakan jalan bagi akal untuk turut serta dalam sistem penerapan hukum dan undang-undang Islam. Dengan kata lain, penerapan hukum-yang bersandar pada pertimbangan maslahat dan mafsadah sesungguhnya-telah menjadikan akal punya peran dalam sistem penetapan hukum. Dengan demikian, akal bisa mengatakan bahwa Islam sendiri telah menjelaskan bahwa hukum- hukumnya tidak berada di luar jangkauan akal, tetapi masih ada dalam batas-batas jangkauan akal. Karenanya, jika di suatu tempat dijelaskan bahwa suatu hukum secara umum bersandar pada

p: 353

filsafat dan hikmah tertentu dan kita mampu menyingkap filsafat dan hikmahnya, dan setelah itu kita menemukan beberapa kekecualian yang berkaitan dengannya, meski tidak termasuk dalam ajaran Islam, maka di sini akal berhak menjelaskan kekecualian itu. Akal mengatakan bahwa meski kekecualian itu tidak termasuk dalam ajaran Islam dan tidak sampai pada kita, kekecualian ini ada dalam Islam. Sebab, tidak semua urusan ada dalam Al-Quran maupun hadis. Betapa banyak hadis hilang dari kita sampai-sampai jumlahnya sulit diketahui. Akal bisa campur tangan dalam masalah hukum pada banyak masalah. Artinya, bisa mengkhususkan sesuatu yang umum dan memberikan batasan pada sesuatu yang mutlak. Bahkan, akal juga dapat menetapkan hukum dalam suatu kasus dalam pengertian bahwa penetapan hukum itu adalah penyingkapan. Mungkin saja, dalam suatu kasus tertentu, sama sekali tidak ada hukum yang sampai pada kita dari Islam. Namun, karena akal mengetahui sistem penetapan undang-undang Islam, maka ia mengetahui bahwa pandangan Islam dalam kasus itu adalah demikian. Kemudian, akal segera menyingkap hukumnya. Misalnya saja, akal mengatakan, “Ini hukumnya haram.” Kita bertanya kepada akal, “Dari mana kamu mengatakan bahwa ini haram? Apakah hal itu ada dalam Al-Quran?” Akal menjawab, “Tidak.” Apakah hal itu ada dalam hadis dan sunnah Nabi? Akal menjawab, “Tidak.” “Jika demikian, dari mana kamu mengetahuinya?" Akal menjawab, “Aku dapat menyingkap pandangan Islam akan kasus ini.(1) Saya kemukakan sebagai contoh. Dalam Islam kita tidak punya hukum yang berkaitan dengan menghisap rokok, entah yang membolehkan (positif) atau yang melarang (negatif), bukan karena telah diberitakan kepada kita, “Sesungguhnya merokok itu halal”, atau sebaliknya dikatakan, “Merokok itu haram”. Sebab, saat itu, belum ada rokok. Sekiranya akal dan ilmu mampu mengungkap bahaya nyata penggunaan rokok, karena satu bahaya berbeda dari bahaya lainnya, maka sebagian bahaya itu termasuk dalam kategori kecil atau terbatas. Agar tidak banyak timbul berbagai batasan, maka dalam sistem penetapan hukum Islam, tidak serta-merta bahaya yang terbatas itu diharamkan, tetapi-misalnya-dimakrohkan. Namun, ada sebagian bahaya itu yang bersifat universal (kullî) dan nyata. Kita

p: 354


1- Yang dimaksud adalah ilmu. Yang mereka sebut akal di sini bukanlah akal yang terlepas dari ilmu, melainkan sesuatu yang akan membawa keyakinan dalam akal manusia.

semua tahu bahwa menyia-nyiakan anugerah Allah tidak dibolehkan dan dilarang oleh Islam. Umpamanya saja, rokok membahayakan paru-paru, apalagi jika mampu dibuktikan oleh ilmu pengetahuan bahwa rokok menyebabkan kanker. Sekiranya bahaya rokok seperti ini terbukti, maka seorang mujtahid—berdasarkan pertimbangan akal- bisa mengeluarkan fatwa bahwa merokok adalah haram. Sebab, ia me- ngetahui sistem penetapan hukum Islam bahwa jika ada bahaya se- suatu yang benar-benar mengancam tubuh manusia, maka Islam pun melarang sesuatu.

Dalam kasus ini, sang mujtahid itu mengatakan, “Hukum yang ditetapkan akal sama dengan hukum yang ditetapkan syariat.” Ini adalah ucapan para ulama fiqih dalam kasus-kasus seperti ini. Maksud mereka ialah bahwa setiap kali akal menemukan kemaslahatan pada sesuatu, maka kita pun tahu bahwa syariat juga menetapkan hukum yang sama dalam hal ini. Demikian juga, sekiranya akal mampu menyingkap bahaya dari sesuatu, maka bisa dipastikan bahwa syariat juga menetapkan hukum yang sejalan dengan akal, meskipun dasar kasus-kasus itu tidak kita temukan dalam Al-Quran, hadis Nabi, dan ucapan para ulama. Karena itu, mungkin saja akal mampu menyingkap suatu bahaya atau maslahat tertentu dalam suatu kasus. Bahaya atau maslahat yang ditemukan akal dalam kasus itu bersinggungan dengan hukum yang telah dijelaskan syariat. Maksudnya ialah bahwa suatu hukum yang belum dijelaskan oleh Islam tetapi dapat disingkap oleh akal ini bersinggungan dengan hukum yang telah dijelaskan Islam.

Dan hukum yang belum dijelaskan itu lebih penting dari hukum yang telah dijelaskan. Dalam kasus ini, hukum akal datang dan memberikan batasan atas hukum yang telah dijelaskan oleh syariat. Di sini, banyak dijumpai bahwa seorang mujtahid bisa mengharamkan suatu hukum yang menurut nashsh telah dihalalkan oleh syariat karena akal mengetahui bahaya yang terkandung di dalamnya. Bahkan, atas dasar temuan akalnya ini, seorang mujtahid bisa menetapkan hukum wajib atas sesuatu yang haram lantaran akalnya melihat ada kemaslahatan lebih besar dalam sesuatu yang haram itu. Begitu juga halnya dengan contoh-contoh lainnya. Ini bukanlah hasil ciptaan sang mujtahid sendiri, melainkan jalan yang telah dibukakan Islam kepadanya. Di zaman Islam, para muj tahid melakukan pekerjaan para nabi. Artinya, mereka

p: 355

wajib melaksanakan pekerjaan para nabi pada masa-masa sebelum Islam. Karenanya, di satu sisi, hukum-hukum Islam bersandar pada pertimbangan maslahat dan mafsadah di bumi (dalam artian berkaitan dengan kehidupan manusia, yang berada dalam jangkauan ilmu dan akal manusia). Di sisi lain, sistem penetapan hukum Islam berbentuk proposisi esensial. Maksudnya ialah bahwa hukum diterapkan pada tema-tema universal, bukan pada sesuatu tertentu. Ini memberikan peluang besar kepada seorang mujtahid untuk mengeluarkan fatwa- fatwa yang berbeda pada tempat, kondisi, dan zaman yang berbeda.

Dalam hal ini, sang mujtahid menyingkap bahwa suatu masalah di zaman tertentu bisa saja halal, sementara di zaman lainnya bisa haram, mustahab, dan bahkan wajib.

Dengan penjelasan saya ini, mungkin Anda bisa memahami mengapa hadis-hadis yang sampai kepada kita terkadang saling ber- beda dan bertentangan. Saya akan mengemukakan contoh soal dari seorang ulama besar, almarhum Mirza Mahdi Isfahan!, yang tinggal di Masyhad, dengan maksud menyebutkan kebaikannya.

Sebagai contoh, Anda dapat menyaksikan bagaimana orang-orang menanyakan kepada salah seorang Imam ihwal hukum berziarah ke Imam Husain. Imam menjawab bahwa hukumnya sunnat (mustahab).

Kemudian mereka mengajukan pertanyaan serupa kepada Imam lain atau kepada Imam yang sama, tetapi pada zaman yang berbeda. Imam menjawab bahwa hukumnya wajib. Demikian juga, mungkin pada waktu lain, mereka menanyakan persoalan yang sama kepada para Imam. Lalu, mereka mendapatkan bahwa para Imam tidak tampak begitu menaruh perhatian yang begitu besar pada masalah ini. Misalnya saja, para Imam mengatakan, “Tidak ada bahayanya hal itu pada masa sekarang ini. Jika kalian ingin melakukannya, pergilah. Jika kalian tidak ingin melakukannya, janganlah engkau pergi.” Seorang yang berwawasan sempit dan picik akan berkata, “Para Imam ini memberikan jawaban yang saling bertolak belakang!" Tidak, tidak demikian duduk persoalan sebenarnya. Ini bukanlah kontradiksi. Akan tetapi, masalah itu dijelaskan dalam situasi dan kondisi yang berbeda. Kadang-kadang, dalam kondisi dan keadaan normal, berziarah kepada Rasulullah Saw dan para Imam, dan bahkan kepada seluruh nabi adalah suatu usaha mengenang mereka,

p: 356

mengandung aspek pendidikan, dan hukumnya mustahab. Namun, hukum mustahab ini terkadang bisa berubah menjadi wajib dan ter- kadang haram.

Umpamanya saja, pada masa kekuasaan al-Mutawakkil, kondisi dan keadaan demikian ditekan dan ada konspirasi untuk menghapus kebiasaan berziarah kepada Imam Husain. Imam pada zaman itu menyadari konspirasi dan persekongkolan ini serta mengambil keputusan untuk melawan usaha-usaha jahat itu. Di sini, Imam mem- berikan perintah bahwa hukum berziarah kepada Imam Husain adalah wajib. Dan memang benar bahwa ketika itu hukum berziarah kepada Imam Husain adalah wajib.

p: 357

p: 358

KEDUDUKAN AKAL DALAM MENARIK KESIMPULAN HUKUM_HUKUM ISLAM

p: 359

p: 360

DALAM bagian sebelumnya, kita sudah membahas kemungkinan hukum-hukum Islam bisa sejalan dengan berbagai perubahan dan perkembangan zaman serta menjadi petunjuk bagi zaman. Hukum dan undang-undang Islam sesuai dengan wataknya yang tetap dan tidak berubah, sementara zaman berikut berbagai tuntutannya senantiasa berubah dan berkembang. Bagaimana mungkin sesuatu yang tetap dan tidak berubah bisa sejalan dengan sesuatu yang senantiasa berubah? Kita sudah menyebutkan bahwa ada dua bagian dalam pembahasan kita. Yang pertama adalah pembahasan tentang hukum-hukum Islam yang kita pandang sebagai sesuatu yang tetap dan tidak berubah. Yang kedua adalah pembahasan tentang zaman yang disebut sebagai sesuatu yang senantiasa berubah. Apakah mereka memaksudkan bahwa hukum Islam sama sekali tidak mungkin berubah dalam pengertian apa pun? Dan apakah pengertian kata “berubah”—menurut mereka-berarti seratus persen berubah? Dalam sesuatu yang tidak berubah, ada unsur- unsur yang mengalami perubahan. Begitu juga, dalam sesuatu yang kita pandang berubah, ada unsur-unsur yang bersifat tetap dan tidak berubah. Dengan demikian, keduanya bisa berjalan seiring satu sama lain.

Sebelumnya, kita telah membahas berbagai hal yang berkaitan dengan hukum-hukum Islam. Ada satu hal yang sudah disepakati bersama bahwa, dalam Islam, tidak ada perubahan dalam pengertian penghapusan (naskh). Artinya, Islam menetapkan suatu hukum dan kemudian hukum itu sama sekali tidak bisa diterapkan sehingga kondisi zaman memaksa agar hukum ini dihapus. Yang tidak diterima Islam adalah penghapusan hukumnya. Namun, makna perubahan mempunyai pengertian lebih umum dari makna naskh. Ada sebuah bentuk, bahkan

p: 361

berbagai bentuk perubahan, yang bisa digali dari hukum Islam sendiri.

Islam sendiri telah memerintahkan perubahan itu. Dengan ungkapan lain, hukum itu sendiri mengalami perubahan tanpa memerlukan hukum lain yang akan menggantikan kedudukannya. Hal ini tidak termasuk dalam kategori naskh, Hal ini bisa dijumpai dalam sistem penetapan hukum Islam. Dalam hukum sendiri, ada unsur-unsur yang bisa menimbulkan perubahan tanpa memerlukan adanya naskh. Kita bisa mengatakan bahwa hukum itu telah mengubah dirinya sendiri.

Telah kita katakan, salah satu sisi masalah ini ialah bahwa Is lam berpijak pada akal dalam menetapkan hukum. Artinya, Islam secara resmi menganggap akal sebagai sebuah dasar hukum. Karena itu, Anda dapat menyaksikan bahwa para ulama fiqih kita sepakat menerima masalah ini.

Dengan kata lain, masalah ini termasuk dalam konsensus para ulama (ijmâ) dan telah mereka sepakati. Jika mereka ditanya tentang dasar-dasar penarikan kesimpulan hukum (istinbâth), maka mereka mengatakan bahwa ada empat dasar, yakni Al-Quran, Sunnah, konsensus para ulama (ijmâ'), dan akal. Yang dimaksud Sunnah adalah ucapan dan perbuatan Rasulullah Saw serta para Imam. Sunnah para Imam pada dasarnya adalah penyingkap sunnah Nabi Saw Jika solusi suatu masalah tidak ditemukan dalam Al-Quran dan sunnah, kita bisa menyingkapnya melalui ijmâ'.

Mungkin, inilah satu hal yang mengagumkan bahwa, dalam sebuah agama, akal didudukkan sejajar dengan Al-Quran dan Sunnah sebagai dasar penarikan kesimpulan hukum. Para ulama fiqih mengatakan bah- wa ada empat dasar yang digunakan dalam menetapkan hukum. Salah satu dasar itu adalah akal. Ini berarti bahwa Islam tidak melihat ada nya kontradiksi antara akal dengan Al-Quran dan Sunnah. Sekiranya Islam meyakini adanya kontradiksi antara keduanya, maka mustahil Islam akan menjadikan kedudukan akal sejajar dengan kedudukan Al- Quran dan Sunnah. Bahkan, Islam mungkin akan bertindak sebagaimana yang telah dilakukan agama-agama lain dengan mengata kan, “Agama berada di atas akal. Akal tidak berhak turut campur dalam urusan-urusan agama.” Karena mereka merasa bahwa akal bertentangan dengan apa yang ada pada diri mereka, maka mereka terpaksa mengatakan bahwa akal tidak berhak turut campur dalam masalah-masalah agama.

p: 362

Pengakuan fiqih Islam atas akal sebagai salah satu dasar penarikan kesimpulan hukum adalah satu hal yang membukakan jalan. Bagaimana hal ini bisa membukakan jalan? Akar masalah ini ialah ucapan mereka yang berbunyi, “Hukum-hukum Islam adalah hukum-hukum bumi.

Maksudnya ialah bahwa hukum-hukum Islam mempunyai kaitan dengan maslahat dan kepentingan umat manusia.” Para ulama fiqih mengatakan bahwa hukum mengikuti maslahat dan mafsadah konkret.

Artinya, hukum-hukum wajib sejalan dengan maslahat dan kepentingan manusia yang terkandung dalam masalah itu. Hukum-hukum haram sejalan dengan kemafsadahan yang akan ditimbulkan oleh masalah itu bagi manusia. Jika Islam mengatakan bahwa sesuatu itu hukumnya wajib, maka hal itu disebabkan adanya kemaslahatan yang begitu penting dalam masalah itu. Demikian juga, jika Islam mengatakan bahwa suatu perbuatan hukumnya haram, maka hal itu disebabkan ada bahaya besar dalam perbuatan itu. Para ulama fiqih mengatakan bahwa maslahat dan mafsadah menjadi sebab ditetapkannya hukum.

Jika dalam suatu masalah kita tidak menemukan dasar dalam Al-Quran dan Sunnah tetapi-berdasarkan pertimbangan akan kita bisa menyingkap kemaslahatan atau kemafsadahan dalam masalah itu, maka Islam akan memerhatikannya. Sebaliknya, jika ada bahaya besar dalam masalah itu, maka Islam tidak akan mengizinkannya. Dengan bersandar pada hukum akal, kita segera bisa mengetahui hukum syariat.

Islam adalah agama yang mengatakan, “Kita tidak akan mengabaikan kemaslahatan dan kemafsadahan yang penting.” Sekarang ini, akal kita-sudah tentu, termasuk juga ilmu-ilmu yang menyingkap hakikat, karena semua penemuan yang diperoleh ilmu akan menyebabkan akal eorang menjadi terang-telah sanggup menyingkap manfaat dan maslahat itu. Dengan demikian, tidak harus ada dalil dalam Al-Quran dan Sunnah. Di sini, Anda harus menetapkan hukum berdasarkan fatwa.

Akal mampu menyingkap bahaya yang terkandung dalam masalah itu.

Karenanya, Anda harus memberikan fatwa atas dasar ini. Disebabkan hukum-hukum Islam ditetapkan berdasarkan pertimbangan kemaslahatan dan kemafsadahan konkret dan umumnya kemaslahatan dan kemafsadahan itu berada dalam jangkauan akal manusia, maka akal sendiri bisa menyingkap hukum-hukum Islam. Seandainya Anda mengatakan bahwa jika Islam menghendaki hal ini, maka ia sendiri akan

p: 363

mengatakannya, maka kami akan menjawab, “Apa yang kita ketahui? Mungkin saja, Islam telah mengatakannya, tetapi tidak sampai kepada kita. Bahkan, hal itu tidak usah dikatakan.” Ketika kita mengatakan bahwa akal adalah salah satu argumen (hujjah) dan Allah mempunyai dua hujjah, yakni hujjah lahir dan hujjah batin (hujjah lahir adalah para nabi dan hujjah batin adalah akal), maka hal itu sudah cukup bagi kita.

Inilah yang diucapkan sendiri oleh Islam.

Di akhir tema ini muncul masalah baru yang dikemukakan oleh para ulama fiqih, yakni “Anda memberikan peran dan kebebasan demikian besar kepada akal. Sekiranya, dalam suatu masalah, Al-Quran dan Sunnah memberikan perintah yang jelas dan pasti, sementara akal dengan tegas dan jelas mengatakan sesuatu yang bertentangan dengannya, maka apa yang akan Anda perbuat?” Mereka mengatakan bahwa ini hanyalah suatu “pengandaian”. Jika tidak, coba tunjukkan di mana hal itu terjadi. Memang benar bahwa sisi lahiriah Al-Quran dan Sunnah terkadang mengatakan sesuatu, sementara akal secara tegas mengatakan sesuatu yang bertentangan dengan sisi lahiriah Al-Quran dan Sunnah. Akan tetapi, perlu diketahui bahwa sisi lahiriah Al-Quran bukanlah nashsh Al-Quran. Hukum akal membuktikan bahwa makna lahiriah bukanlah makna yang dimaksud. Berdasarkan argumentasi akal yang pasti, kita tidak memegang makna lahiriah Al-Quran dan Sunnah. Ini bukanlah kontradiksi antara Al-Quran dan Sunnah.

Terkadang Anda menjadikan teks nashsh Al-Quran dan Sunnah bertentangan dengan argumentasi spekulatif (zhannî) akal yang satu tingkat lebih tinggi dari keraguan, atau dengan intuisi akal. Para ulama fiqih mengatakan bahwa yang dimaksudkan bukanlah argu- mentasi spekulatif atau intuisi akal. Namun, yang dimaksudkan ada- lah hukum akal yang sudah pasti dan sama sekali tidak mungkin ditakwilkan. Pandangan mereka bahwa hukum akal yang bersifat pasti mengemukakan sesuatu yang bertentangan dengan keduanya hanyalah sekadar asumsi yang tidak nyata. Apa yang saya paparkan di sini sama dengan apa yang ada dalam berbagai kitab para ulama fiqih. Mereka sudah melangkah maju hingga sejauh ini.

Karena itu, jika di suatu tempat ditemukan bahwa tuntutan- tuntutan zaman telah berubah dan telah dibuktikan oleh akal dan ilmu pengetahuan bahwa kemaslahatan telah berubah sejauh itu, maka para

p: 364

ulama fiqih mengatakan, “Ini berarti bahwa landasan pijakan hukum telah berubah.” Ketika landasan pijakan hukum telah berubah, maka dengan sendirinya, Islam mengizinkan terjadinya perubahan dalam hukum. Dalam Islam, kita tidak memiliki suatu ungkapan bahwa sesuatu harus menjadi pondasi selamanya atau menjadi bangunan selamanya.

Di sini akal mengatakan bahwa pondasi dan landasan itu telah berubah.

Marilah kita lihat betapa kita mampu menyelesaikan kesulitan semaca ini. Dengan demikian, akal adalah satu faktor yang bisa menyingkap sebab-sebab hukum —tentu bukan di semua tempat, tetapi di beberapa tempat-. Di beberapa tempat, akal mampu menyingkap sandaran dan sebab-sebab hukum. Terkadang sandaran dan sebab-sebab hukum itu mengalami perubahan. Atas dasar ini, syariat memberikan wewenang kepada akal untuk memainkan peranannya. Peranan ini sesungguhnya bukanlah sebuah usaha yang terpisah, melainkan suatu upaya untuk menying kap roh ajaran Islam.

Begitu juga, apa yang mereka katakan, “Hukum sesuatu yang ditetapkan akal sama dengan hukum yang ditetapkan syariat.” Yang merupakan kaidah lama dan bukan kaidah baru, punya maksud serupa dengan pengertian di atas. Sekiranya di suatu tempat secara pasti tolok ukur hukum bisa diungkap, maka syariat pasti akan sejalan.

Artinya, Anda harus berpandangan sama dengan syariat. Di sisi lain, para ulama fiqih mengatakan, “Hukum yang ditetapkan syariat sama dengan hukum yang ditetapkan akal.” Maksud mereka ialah bahwa jika di suatu tempat syariat menetapkan hukum secara pasti dan kita tahu bahwa Islam tidak akan mengeluarkan ucapan sia-sia, maka secara umum akal akan mengatakan, “Di sini ada suatu tolok ukur. Meskipun aku tidak dapat membuktikannya, tolok ukur itu ada. Islam tidak akan mengatakan sesuatu tanpa logika.” Setelah akal tahu bahwa Islam tidak akan mengucapkan sesuatu tanpa sandaran dan sebab tertentu, maka — ketika syariat mengucapkannya, akal secara umum akan mengatakan bahwa dalam ucapan itu pasti ada suatu alasan dan pertimbangan. Jika hal ini belum diketahui, maka kita harus mengkaji lebih dalam dan lebih teliti lagi.

Inilah salah satu hal yang menentukan tugas seorang ulama fiqih berkaitan dengan berbagai tuntutan zaman yang senantiasa berubah. Inilah juga yang membuka tangan seorang ulama fiqih agar

p: 365

bisa menghadapi perubahan yang terjadi dalam berbagai kepentingan manusia yang selalu menuntut jawaban. Dalam sebuah makalah yang dikirimkan kepada saya, dikatakan, “Hubungan antara manusia dengan alam dan antara manusia dengan manusia benar-benar selalu berubah. Jika kita menghendaki suatu hukum bisa berlaku di tengahtengah masyarakat, maka hendaknya hukum yang akan kita terapkan itu adalah hukum-hukum yang menerima perubahan atau, sekurangkurangnya, bersifat elastis dan bisa menyesuaikan diri dengan kondisi zaman.” Jika kita membagi hukum Islam dari sisi ini, maka hukum Islam bisa dikategorikan menjadi empat kategori.

Kategori pertama hukum Islam menyangkut hubungan manusia dengan Allah, yang dikenal dengan nama ibadah. Hubungan manusia dengan Allah mungkin bisa dikatakan sebagai sebuah hubungan paling sederhana. Artinya, berbagai perubahan dan tuntutan zaman yang senantiasa berubah, meski berpengaruh pada semua aspek, bisa dikatakan tidak memengarohi aspek ini. Kalaulah berpengaruh dalam bentuk ibadah, maka pengaruh ini sangat kecil. Hubungan yang harus ada antara manusia dengan Tuhannya adalah hubungan yang bersifat tetap dan senantiasa sama. Tidaklah benar kalau hubungan antara manusia dengan Allah seribu tahun lalu harus meliputi sifat ikhlas, misalnya, seperti disebutkan oleh firman Allah dalam Al-Quran: Dan tidaklah mereka diperintahkan kecuali untuk menyembah Allah dengan bersikap ikhlas kepada-Nya dalam menjalankan agama (QS 98: 5), sementara itu, di zaman sekarang, hubungan antara manusia dengan Tuhannya harus berlangsung dalam bentuk lain. Misalnya, benarkah hukum yang mengatakan bahwa manusia hanya menyembah Allah saja ketika manusia masih mengendarai kuda, unta, dan keledai? Di masa itu, manusia tidak boleh membuat sekutu bagi-Nya dalam bentuk apa pun. Begitu juga, mereka harus bersikap ikhlas dalam menjalankan ibadahnya. Sementara itu, di masa sekarang, ketika manusia sudah mengendarai pesawat terbang, apakah hukum di atas sudah berubah dan manusia harus meninggalkannya? Ini sama sekali tidak benar.

Ihwal bentuk dan tata cara ibadah memang ada perubahan. Sebab, Islam sendiri mengatakan bahwa secara relatif ada perubahan dalam bentuk ibadah. Misalnya saja, tentang salat, Islam mengatakan bahwa, ketika sedang bepergian, seseorang melakukan salat dalam suatu bentuk,

p: 366

sementara ketika tidak bepergian, ia melakukannya dalam bentuk lain.

Contoh lain dari hukum Islam yang berkaitan dengan ibadah ialah hukum tentang puasa. Islam mengatakan bahwa manusia diharuskan melakukan ibadah puasa agar mereka menjadi orang-orang bertakwa (atau, menurut ungkapan Al-Quran, “agar kamu bertakwa”).

Kategori kedua hukum Islam menyangkut hubungan manusia dengan dirinya sendiri, yang lebih dikenal dengan istilah akhlak. Apa yang harus dilakukan manusia untuk dirinya sendiri? Bagaimana akhlak yang harus dimiliki oleh seorang manusia? Bagaimana manusia harus membangun dirinya? Dengan ungkapan lain, bagaimana manusia harus menata segenap intuisi dan naluri dalam dirinya? Apakah baik kalau ia bisa menguasai hawa nafsunya? Al-Quran mengatakan: Sungguh berbahagia orang yang menyucikan dirinya dan celakalah orang yang mengotorinya (QS 91:9).

Kategori ketiga hukum Islam menyangkut hubungan manusia dengan alam, bukan dengan dirinya sendiri, bukan dengan Tuhannya, melainkan dengan makhluk ciptaan Allah. Dalam hal ini, bagaimana bentuk-dan atas dasar apa manusia harus mengatur-hubungan dirinya dengan bumi, dirinya dengan tumbuh-tumbuhan, dan dirinya dengan binatang? Salah seorang pendukung paham kiri mengatakan, “Sesungguhnya hak milik adalah pencurian.” Saya katakan bahwa ucapan ini sama sekali tidak bermakna di zaman mana pun. Mungkin saja bisa dikatakan bahwa hak kepemilikan adalah salah. Namun, mustahil bahwa hak kepemilikan adalah sebuah pencurian. Sebab, mencuri adalah mengambil hak orang lain. Ini adalah bagian dari pengertian hak kepemilikan. Anda masih bisa mengatakan bahwa hak kepemilikan adalah sebuah kezaliman, dan itu merupakan sumber kezaliman, meskipun sama sekali tidak punya dasar dan dusta belaka. Namun, Anda sama sekali tidak bisa mengatakan bahwa hak kepemilikan adalah sebuah pencurian. Sebab, perbuatan mencuri adalah merampas hak atau milik orang lain. Dengan kata lain, orang lain itulah pemiliknya.

Jika hak kepemilikan sejak semula tidak punya arti, baik bagi individu maupun komunitas dalam artian bahwa tidak ada sesuatu atau seorang pun punya hak milik, maka tentu pengertian kita mencuri sama sekali tidak ada. Singkat kata, tidaklah benar bahwa pengertian dalam sebuah proposisi mengalami perubahan. Misalnya, pada waktu tertentu, suatu

p: 367

perbuatan disebut sebagai pencurian dan, pada waktu lain, dipandang sebagai bukan pencurian. Yang berubah ialah pemahaman kita atas pengertian itu. Inilah argumentasi terbaik untuk membuktikan bahwa hukum Islam tidak berubah dan berganti. Jadi, yang berubah adalah tema (mawdhû) hukum Islam, dan bukan hukum Islam itu sendiri.

Inilah pandangan kita.

Kategori keempat hukum Islam yang merupakan bagian terpenting, banyak mendapat perhatian, dan terkena perubahan- adalah hukum tentang hubungan seorang manusia dengan manusia lainnya. Hukum-hukum ini banyak mengalami perubahan lantaran masyarakat manusia selalu mengalami perubahan. Maksudnya ialah bahwa hubungan seorang manusia dengan manusia lainnya meng- alami perubahan dan, karena itu, hukum-hukum pun harus mengalami perubahan pula.

Tak pelak lagi, memang demikianlah adanya. Secara umum, kita juga menerima bahwa hukum-hukum mengenai hubungan seorang manusia dengan manusia lainnya haruslah bersifat lentur. Namun, masalahnya tidaklah sesederhana ucapan, “Karena hubungan seorang manusia dengan manusia lainnya mengalami perubahan, maka hukum pun harus berubah.” Jika kita mengatakannya secara universal, maka yang demikian itu salah.

Hukum adalah himpunan hak dan kewajiban. Hukum adalah juga himpunan keharusan dan tugas setiap anggota masyarakat kepada anggota masyarakat lainnya. Berbagai perubahan terjadi dalam pola hubungan ini. Namun, semuanya ini sama sekali tidak berkaitan dengan hak dan kewajiban. Misalnya, manusia berkewajiban menjalin hubungan satu sama lain. Sebelum ditemukannya telepon dan telegram, mereka mengalami kesulitan besar ketika hendak menjalin hubungan satu sama lain. Di zaman sekarang, manusia makin mudah dan cepat menjalin hubungan satu sama lain dari satu ke lain kota, bahkan dari satu ke lain negara. Dulu, ketika seseorang hendak melakukan perjalanan dari negerinya menuju kota Najaf, ia terpaksa harus tinggal di sana, sekurang-kurangnya, selama sepuluh tahun. Sebab, jika ia hendak kembali lagi ke negerinya dengan menanggung perjalanan demikian berat dan kemudian kembali ke kota Najaf untuk kedua kalinya, maka perbuatan itu tidak lazim. Namun, di masa sekarang ini, seseorang

p: 368

bisa pergi ke kota Najaf untuk belajar dan, dalam waktu setahun, ia bisa kembali ke negerinya sebanyak enam kali untuk menyelesaikan keperluannya.

Tidak diragukan lagi bahwa bentuk hubungan manusia dengan manusia lainnya telah banyak mengalami perubahan. Akan tetapi, apakah perubahan pola hubungan itu mengubah hak dan kewajiban seorang manusia pada manusia lainnya? Kita harus membahas masalah ini dan mengemukakan bahwa ada serangkaian perubahan yang mengubah pola hubungan sesama manusia. Perubahan ini tentu disebabkan oleh kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan peradaban. Kemajuan dalam bidang-bidang ini melahirkan perubahan dalam hak dan kewajiban. Islam datang untuk menjelaskan hak dan kewajiban seorang manusia pada manusia lainnya. Coba Anda sebutkan:

Perubahan manakah-dalam hubungan antar sesama manusia-yang menjadi sumber terjadinya perubahan dalam hak dan kewajiban? Sebelumnya, saya katakan bahwa kita harus meneliti berbagai contoh dan kasus demi kasus. Umpamanya, orang mengemukakan permasalahan ini dalam bentuk ungkapan sebagai berikut, “Karena hubungan sosial telah mengalami perubahan, maka secara otomatis hak-hak yang berkaitan dengan keluarga pun berubah, bahkan harus berubah. Demikian juga halnya dengan berbagai kewajiban keluarga!" Benarkah ini? Bagaimana bisa demikian? Mereka mengatakan bahwa, di zaman dahulu, para orang tua punya hak yang begitu besar atas anak-anak mereka. Sebagai imbalannya, mereka juga punya kewajiban yang besar atas anak-anaknya. Hak dan kewajiban demi kian besar yang dimiliki para orang tua ini adalah suatu keharusan dan kebenaran dalam masyarakat waktu itu. Sebab, ketika itu, kelangsungan generasi dan pendidikan mereka tidak mungkin dilestarikan kecuali dalam lingkungan keluarga. Waktu itu, pemerintahan belum ada. Atau, seandainya sudah ada, pemerintahan itu belum sempurna. Karena itu, mereka menempatkan semua kewajiban menyangkut anak berada di atas pundak ayah dan ibu. Menyusui adalah kewajiban seorang ibu, sementara mencari nafkah adalah kewajiban seorang ayah. Jika kedua orang tua sang anak itu bercerai dan anak itu adalah perempuan, maka —hingga berumur tujuh tahun-ia ber ada di bawah asuhan ibunya.

Setelah itu, sang anak berada di bawah pengawasan ayahnya.

p: 369

Ketika kedua orang tuanya sudah tua renta dan tidak punya biaya untuk membiayai kehidupan mereka, maka biaya mereka berdua ditanggung oleh anak-anaknya. Demikian juga, anak-anak mereka berkewajiban mengurus keduanya. Yang demikian ini adalah benar dan bisa diterima dalam kehidupan masyarakat dulu. Sementara itu, di masa sekarang, kehidupan telah sempurna. Karena itu, penanggung jawab hak dan kewajiban di atas telah beralih dari lingkungan keluarga pada lingkungan masyarakat dalam skala lebih luas. Negara menggantikan posisi kedua orang tua. Negara juga melakukan hal-hal serupa yang lebih baik dari apa yang dilakukan oleh kedua orang tua. Di zaman dahulu, dikatakan bahwa ayah dan ibu berkewajiban mendidik anak- anaknya hingga besar, mencapai usia akil baligh, dan menikah. Sebab, waktu itu, tidak ada lembaga lain kecuali ayah dan ibu. Namun, di masa sekarang, pekerjaan pemerintah sudah demikian luas. Ketika anak- anak mereka lahir, mereka segera menyerahkannya pada panti asuhan umum dan tidak mau menghabiskan waktu untuk membesar anak mereka. Biarkanlah negara yang membesarkan mereka. Ketika negara membesarkan anak-anak itu, maka semua hak orang tua atas anak mereka kini telah menjadi hak negara. Ketika itu, hukum wajib mengatakan apa yang telah dikatakan sebelumnya. Salah satunya adalah ketaatan kepada orang tua. Al-Quran mengatakan: Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia, dan hendaklah kamu berbuat baik kepada ibu-bapakmu (QS 17: 23).

Semua itu harus diperuntukkan bagi pendidik anak di masa sekarang ini, yakni negara. Dengan demikian, negara berhak atas diri Anda dan Anda tidak boleh mengemukakan keberatan pada negara. Dalam hal ini, taat kepada negara adalah kewajiban, sama seperti di masa lampau seseorang harus taat kepada kedua orang-tuanya. Ketika anak itu sudah besar, maka ia tidak wajib membiayai kehidupan orang tuanya.” Jika mereka mengemukakan contoh seperti ini, maka ini harus dibahas. Kita bertanya ihwal apakah masalahnya memang demikian.

Artinya, apakah dibenarkan mengeluarkan anak dari lingkungan kelu- arga dan menyerahkannya kepada negara sesudah masyarakat men- capai kesempurnaan? Ataukah justru ini adalah tindakan yang salah? Di masa sekarang ini, kita meyakini bahwa kehidupan keluarga, yang merupakan proses kehidupan alami, dan kewajiban mendidik

p: 370

anak yang menjadi tanggung jawab kedua orang tua, adalah suatu ajaran yang harus tetap ada hingga seterusnya. Namun sekiranya akal dan ilmu pengetahuan sanggup membuktikan sepenuhnya kepada kita bahwa kemaslahatan manusia menuntut tidak demikian, maka tidak ada halangan bagi kita untuk melontarkan pernyataan seperti yang mereka katakan. Dalam keadaan demikian, hak-hak orang tua pun berkurang. Ketika Islam menyatakan demikian, sesungguhnya Islam menyatakannya dengan melihat berbagai kondisi itu. Karena kondisi dan keadaan telah berubah, maka tidak ada yang menghalangi terjadinya perubahan dalam hukum dan undang-undang. Hanya saja, kita harus mempelajari masalah ini secara mendasar.

Dalam diskusi sebelumnya, kita telah mengatakan bahwa, menurut para ulama fiqih, penetapan hukum-hukum Islam termasuk dalam jenis proposisi esensial (qadhiyyah haqîqiyyah) dan bukan proposisi eksternal qadhiyyah khârijiyyah) dalam logika. Kesimpulannya ialah bahwa Islam tidak mempunyai hubungan dengan individu. Namun, Islam menempatkan dan menjalankan hukumnya berdasarkan tema- tema umum. Hal ini mengandung sebentuk kemampuan untuk bersifat elastis.

Masalah lain yang dikemukakan adalah sebagai berikut, “Yang dibahas dan diragukan adalah pemahaman atas berbagai proposisi.

Pemahaman atas berbagai proposisi pun berubah karena sejalan dengan zaman. Pemahaman ini mengalami perubahan. Akan tetapi, bentuk suatu proposisi bersifat tetap dan sama sekali tidak mengalami perubahan.” Yang dimaksudkan di sini adalah bahwa bentuk proposisi tidak berubah, tetapi pemahaman atas proposisi mengalami perubahan.

Di zaman sekarang ini, salah satu yang termasuk dalam mode ialah perubahan dan pergantian. Setiap kali kita menyebut perubahan dan pergantian, seolah-olah kita telah mengatakan sesuatu yang baru.

Salah satu di antaranya adalah pernyataan bahwa pemahaman proposisi mengalami perubahan. Dalam buku Ushûl al-Falsafah, saya telah membahas pernyataan kaum penganut logika dialektik bahwa esensi atau hakikat itu berubah. Di sini, ada dua masalah. Yang pertama adalah bahwa realitas eksternal mengalami perubahan. Yang kedua adalah bahwa esensi atau hakikat mengalami perubahan. Artinya, proposisi yang logis mengalami perubahan. Pernyataan ini tidak bisa kita pahami

p: 371

hingga sekarang. Realitas mengalami perubahan. Bagaimana ia bisa berubah? Maksudnya ialah bahwa proposisi yang benar, sebagaimana telah kita jelaskan, mengalami perubahan dengan berlalunya zaman! Kita katakan bahwa jika sesuatu itu memang benar-benar sebuah hakikat, maka ia selamanya bernilai benar dan sebaliknya. Memang benar bahwa, pada suatu masa, seseorang boleh jadi meyakini sesuatu sebagai hakikat, tetapi kemudian ia mengetahui bahwa sesuatu itu bukanlah hakikat. Umpamanya saja, di zaman dahulu, orang mengira bahwa terjadinya malam dan siang itu disebabkan oleh perputaran matahari mengelilingi bumi. Mereka melihat hal itu sebagai hakikat.

Namun, kemudian, mereka memahami bahwa hal itu salah belaka.

Ini tidak berarti bahwa hakikat telah berubah. Makna "berubah” menunjukkan bahwa ada sesuatu yang tetap dan kemudian berubah.

Yang mereka kemukakan pada zaman dahulu bukanlah hakikat, melainkan kekeliruan. Ini tidak berarti bahwa di zaman dahulu hakikat itu adalah demikian dan kemudian berbentuk lain di masa sekaran Artinya, hakikat yang dahulu itu telah mengalami perubahan. Tidak, sama sekali tidak demikian.

Berkenaan dengan perbedaan dalam menarik kesimpulan (istinbâth) atas pemahaman suatu masalah, ini tidak berarti bahwa semua kesim- pulan yang diperoleh adalah benar. Tidak, tidak demikian. Mungkin saja kita mempunyai 10 kesimpulan yang berbeda atas pemahaman suatu masalah. Sebanyak 1 dari 10 kesimpulan itu benar, sementara sembilan lainnya salah. Sebanyak 9 kesimpulan yang salah itu tetap salah dan kesimpulan yang benar selamanya akan tetap benar.

p: 372

APAKAH IJTIHAD [TU BERSIFAT RELATIF?

p: 373

p: 374

DALAM bagian sebelumnya, kita telah mengatakan bahwa kesimpulan-kesimpulan yang diperoleh manusia pada zaman yang berbeda akan berbeda pula hasilnya. Kasus ini bukan hanya berlaku pada zaman dan tempat yang berbeda saja, melainkan juga pada zaman dan tempat yang sama. Apakah semuanya ini menunjukkan bahwa tidak ada realitas tunggal? Ketika berbagai kesimpulan yang diperoleh itu berbeda, apakah realitas juga bermacam-macam? Atau, apakah realitas itu tetap realitas? Apakah semua kesimpulan itu salah, dan realitas adalah sesuatu yang lain? Atau, apakah di antara sekian banyak kesimpulan itu ada satu yang benar dan yang lain salah? Masalah ini dibahas di kalangan para teolog skolastik Islam (al- mutakallimûn) dalam satu bentuk dan di kalangan para filsuf dalam bentuk lain. Sebagian teolog Islam mengidentifikasi diri sebagai kaum Mukhaththi'ah (yakni, penganut paham takhthi’ah) dan sebagian lagi memandang diri kaum Mushawwibah (yakni, penganut paham tashwîh).

Para teolog Syi'ah mengidentifikasi diri sebagai kaum Mukhaththi’ah.

Sebagian teolog Ahlus-Sunnah, tidak seluruhnya, mengidentifikasi diri sebagai kaum Mushawwibah dan meyakini konsep tashwih. Yang dimaksud dengan konsep tashwih dan takhthi’ah adalah sebagai berikut.

Kaum Mukhaththi’ah meyakini bahwa hukum Allah yang sesungguhnya (wâqi’î) tentang suatu masalah hanyalah satu dan tidak lebih. Ketika kita menarik kesimpulan, mungkin saja kesimpulan yang kita peroleh itu benar dan sesuai dengan hukum Allah yang sesungguhnya. Atau, mungkin juga, kesimpulan kita salah dan keliru, yakni tidak sesuai dengan hukum Allah yang sesungguhnya. Ijtihad yang dilakukan oleh seorang mujtahid boleh jadi benar dan boleh jadi juga salah. Mereka mengatakan bahwa Rasulullah Saw pernah bersabda, “Barangsiapa

p: 375

benar dalam ijtihadnya, maka ia beroleh dua pahala, dan barangsiapa salah dalam ijtihadnya, maka ia beroleh satu pahala.” Namun, kaum Mushawwibah mengartikan ijtihad dalam bentuk lain. Mereka mengatakan bahwa apa pun kesimpulan yang diperoleh seorang mujtahid, dan bagaimanapun hasil ijtihad itu, maka begitulah realitasnya. Jika, misalnya, dalam masalah ini saya berijtihad bahwa se- suatu adalah halal, maka sesuatu itu benar-benar halal bagi saya. Bagi saya, sama sekali tidak ada kemungkinan lain. Namun, jika orang lain berkesimpulan bahwa sesuatu itu haram, maka sesuatu itu benar-ben- ar haram baginya. Dan tidak ada realitas lain kecuali hasil ijtihadnya itu. Sekiranya ijtihad yang dilakukan para mujtahid mengalami per- ubahan dan mereka sepakat bahwa hukum sesuatu adalah demikian, maka hukum sesuatu itu pun sesuai dengan hasil ijtihad mereka. Jika para mujtahid berkesimpulan lain pada suatu zaman, maka realitasnya pun sama dengan hasil ijtihad mereka ini. Apa pun penyebab per- ubahan dalam ijtihad mereka, misalnya saja, kemajuan dalam bidang kebudayaan, ada kesamaan antara ijtihad dengan realitas. Tidak men- jadi soal bahwa dalam satu masalah Is lam mempunyai seratus hukum, karena kita juga punya seratus bentuk ijtihad dalam masalah ini.

Kaum Mukhaththi’ah mempertanyakan bagaimana hal itu bisa demikian. Mereka mengatakan bahwa realitas hanyalah satu dan tidak lebih. Ijtihad itulah yang bermacam-macam. Dari sekian banyak ijtihad, hanya ada satu ijtihad yang benar dan yang lainnya salah. Demikian juga, hal serupa dijumpai dalam berbagai wacana keilmuan dan filsafat di Yunani Kuno. Kaum Sofis mengatakan bahwa ukuran segala sesuatu adalah manusia. Di dunia ini, tidak ada realitas dan hakikat mutlak.

Realitas hanya berlaku dalam penarikan kesimpulan yang dilakukan seseorang. Masalah ini juga dibahas dalam bab mahsusat dalam ilmu logika. Malahan, pembahasannya mungkin lebih baik. Misalnya, kita menyebutkan panas dan dingin. Padahal, panas dan dingin itu bukan- lah realitas, melainkan sesuatu yang bersifat relatif bagi setiap orang.

Sesuatu adalah panas jika dikaitkan dengan seseorang, tetapi hal yang sama adalah dingin jika dihubungkan dengan orang lain. Kita tidak menjumpai panas dan dingin dalam bentuk realitas mutlak, sehingga kita bisa mengatakan bahwa jika seseorang merasakan sesuatu itu dingin, sementara orang lain merasakannya panas, maka realitasnya

p: 376

hanyalah satu. Paling-paling, hanya salah satu dari keduanya itu yang benar. Masalahnya tidaklah demikian. Mereka mengumpamakan hal itu seperti orang memasukkan satu tangannya dalam air panas, dan tangan lainnya dalam air dingin. Jika, sesudah itu, kita bawakan air hangat ke hadapannya dan ia memasukkan kedua tangannya dalam air hangat itu secara bersamaan, maka tangan yang sebelumnya diletakkan dalam air panas akan merasa dingin dan tangan yang sebelumnya diletakkan dalam air dingin akan merasa panas. Di sini, ada dua rasa yang berbeda.

Jika demikian, manakah realitas yang sesungguhnya? Air hangat yang terasa panas oleh satu tangan dan terasa dingin oleh tangan lain juga tidak punya realitas. Bahkan, demikian juga halnya dengan seseorang yang meletakkan salah satu tangannya dalam air panas dan tangan lainnya dalam air dingin, yang kemudian sama-sama dimasukkan dalam air hangat sehingga ia merasakan dua rasa yang berbeda.

Atas dasar itu, mereka kemudian mengatakan bahwa tidak ada sesuatu pun yang punya realitas mutlak. Dari sini mulailah terjadi perubahan ilmu yang sesungguhnya dalam artian perubahan hakikat dan bukan perubahan bentuk sebagaimana telah kita katakan, yakni perkembangan ilmu pengetahuan. Salah satu makna dari pernyataan bahwa ilmu berubah adalah terjadinya perkembangan dalam ilmu itu.

Karena ilmu mengemukakan pendapat dalam berbagai masalah, maka masing-masing pendapat itu—jika kita kelompokkan-akan menjadi beberapa bagian. Mungkin saja, salah satu bagiannya benar, sementara bagian lainnya salah. Kemudian bagian yang salah itu diperbaiki pada masa berikutnya. Inilah penyempurnaan ilmu pengetahuan. Mereka mengatakan bahwa ilmu senantiasa mengalami penyempurnaan.

Artinya, pada setiap zaman pengetahuan ada hakikat. Sementara itu, pada zaman lain, hakikat yang sama bukan lagi hakikat. Dengan kata lain, hakikat itu berubah. Ilmu sesuai dengan realitas. Bagian kalimat yang mengatakan “sesuai dengan realitas” inilah yang mengalami per- ubahan. Ini tidak berarti bahwa satu bagiannya benar dan bagian lainnya salah. Makna dari “penyempurnaan ilmu” ialah kesalahan- kesalahan yang ada dalam ilmu pengetahuan mengalami perbaikan.

Pembicaraan ini tidak berkaitan dengan perbaikan bagian yang salah, melainkan dengan pernyataan bahwa sesuatu yang benar pada suatu waktu adalah salah pada waktu lainnya. Penjelasan yang

p: 377

telah dikemukakan—jika kita perhatikan secara teliti-merujuk pada ucapan orang-orang yang meyakini konsep tashwih dalam hukum- hukum Islam, ucapan orang-orang yang meyakini konsep relativitas ilmu di zaman sekarang, atau juga ucapan kaum Sofis di zaman dahulu.

Mereka adalah orang-orang yang menolak adanya realitas sama sekali.

Mereka mengatakan bahwa karena ilmu sesuai dengan realitas yang salah, maka tolok ukur (milâk) ilmu adalah sesuatu yang lain, dan bukan kesesuaiannya dengan realitas. Karena itu, wajar saja kalau hakikat juga berubah. Kita katakan tidak demikian halnya. Sebuah realitas tidak berubah sama sekali. Ia tidak seperti kesimpulan yang bisa berubah.

Mereka mengatakan, “Pada suatu waktu, hak kepemilikan adalah benar. Pada waktu lain, ketika kesimpulan-kesimpulan berubah, hak kepemilikan adalah suatu pencurian.” Mereka menganggap hal ini sebagai suatu perubahan. Padahal, tidak demikian halnya. Hanya ada dua kemungkinan: entah hak ke- pemilikan itu adalah benar di setiap zaman atau hak kepemilikan itu adalah pencurian di setiap zaman. Tentu, tidak ada seorang pun mengatakan bahwa kepemilikan adalah sebuah kebenaran yang mutlak.

Mestilah kita katakan, “Anda harus lebih dahulu mendefinisikan makna hak kepemilikan.” Jika dikatakan bahwa setiap orang punya hak milik atas barang yang dihasilkannya atau yang dihasilkan orang lain untuknya, atau juga jika ia menghasilkan sesuatu dan kemudian barang yang dihasilkannya itu dialihkannya kepada orang lain, maka orang lain ini menjadi pemilik barang itu. Definisi di atas bisa jadi benar dan bisa jadi salah. Sekiranya definisi itu salah, maka sejak seribu tahun silam ia tetap salah. Demikian juga, sekiranya definisi itu benar, maka sejak seribu tahun lalu ia tetap benar. Mustahil bahwa di suatu zaman definisi itu benar dan di zaman berikutnya ia salah.

Sekiranya timbul persoalan dalam masalah-masalah seperti ini, ini tidak berarti bahwa masalah-masalah itu kini telah berubah, melainkan teori yang berbicara itu salah, baik di zaman dahulu maupun sekarang.

Masalah ini sedang menjadi mode sekarang ini. Karena mereka menafsirkan perkembangan ilmu pengetahuan dalam pengertian di atas, tentunya mereka juga akan menafsirkan perkembangan hak pun berdasarkan pemikiran seperti ini. Mereka mengatakan bahwa realitas hak mengalami perubahan.

tidak berarti bahu

p: 378

Karena itu, fatwa-fatwa yang diberikan pun berbeda. Seorang mujtahid ketika hendak mengeluarkan fatwa bahwa ilmu tertentu hukumnya wajib—haruslah memberikan fatwa yang berkaitan dengan ilmu yang ada di zamannya. Dan mujtahid lain pun harus memberikan fatwa berkaitan dengan ilmu yang ada di zamannya. Di sini, fatwa-fatwa yang dikeluarkan para mujtahid di setiap zaman pun berubah tanpa menyebabkan terjadinya perubahan sekecil apa pun pada hukum yang merupakan jiwa Islam. Sebab, hal itu,seperti telah kita kemukakan- kembali pada bentuk pelaksanaan. Syarat pokok dalam semuanya itu adalah pelaksanaan suatu ijtihad atau penarikan kesimpulan hukum (istinbâth) yang benar dan penggunaan akal yang benar juga. Para ulama yang mengemban kewajiban besar dalam Islam harus mengelola dan menggerakkan perangkat-perangkat itu. Mereka inilah yang harus mengetahui di mana letak dan tempat fardhu kifayah. Mereka juga harus dapat menentukan berbagai karakteristik zamannya dan kemudian mengatakan bahwa fardhu kifayah pada zaman ini harus dilakukan dengan alat ini, sedangkan pada zaman berikutnya dengan alat lain.

Mereka menetapkan hal itu sesuai dengan keadaan zaman mereka. Di sini tampak jelas bahwa akal dan ijtihad punya peranan sangat penting dalam masalah-masalah ini.

Metode lain yang mengagumkan adalah bahwa Islam telah menetapkan serangkaian hukum yang bertugas mengontrol hukum- hukum lainnya. Saya yakin bahwa, dalam sistem hukum lain mana pun, tidak ada mekanisme seperti ini sehingga hukum-hukum bisa bersifat elastis. Dalam berbagai makalah yang saya tulis pada majalah Zan-e- Ruz, ada tiga makalah yang saya tulis dengan judul “Islam dan Tuntutan Zaman”. Dalam ketiga makalah itu, saya mengatakan bahwa Islam telah memberikan hak veto kepada serangkaian hukum yang mengontrol hukum-hukum lainnya. Para ulama fiqih mempunyai ungkapan sangat indah yang berasal dari Syaikh Al-Anshârî. Sejak zamannya, metode penarikan kesimpulan hukum banyak sekali mengalami perubahan.

Apa yang dikatakannya adalah juga sebuah penemuan dan bukan buatannya sendiri.

Pada masa sebelumnya, hukum yang mengontrol hukum lainnya hanya terbatas pada dua atau tiga bentuk. Mereka mengatakan bahwa sekiranya suatu hukum bertabrakan dengan hukum lain, maka entah

p: 379

hukum itu jatuh pada bentuk naskh, yakni salah satunya dihapus, atau pengkhususan (takhshishi) dan juga pembatasan (taqyîd).

Takhshish bermakna mengecualikan sebagian hukum yang ber- sifat umum dan menyeluruh. Mereka mengemukakan sebuah contoh dalam kebiasaan umum (ʻurf) dan bukan dalam syariat sebagai berikut.

Jika sang pembuat hukum (syâri) mengatakan, “Muliakanlah para ulama”, maka kata ulama yang ada dalam ucapan ini bersifat umum dan mencakup semua ulama. Selanjutnya, sang pembuat hukum itu mendatang dan mengecualikan sebagian ulama. Misalnya saja, dikatakan, “Kecuali para ulama (baca: pakar) musik”. Inilah pengecualian. Yang demikian ini disebut takhshish.

Taqyîd dan takhshîsh mempunyai pengertianyang dekat, tetapitidak sama. Umpamanya saja, mereka mengatakan, “Sang pembuat hukum menyebutkan bahwa jika engkau melakukan suatu perbuatan, maka engkau harus membayar kafarah. Dan kafarahnya adalah membebaskan seorang budak.” Setelah itu sang pembuat hukum menyebutkan kriteria budak yang harus dibebaskan dengan mengatakan, “Bebaskan seorang budak Mukmin.” Ketika mengatakan, “Bebaskanlah seorang budak”, di sini sang pembuat hukum menyebutkannya dalam bentuk umum.

Kemudian sang pembuat hukum melanjutkan ucapannya, “Engkau harus membebaskan budak Mukmin.” Di sini, sang pembuat hukum menyebutkan kriteria budak yang harus dibebaskan. Inilah yang disebut taqyîd. Lebih dari itu, sang pembuat hukum tidak mengatakan apa-apa lagi.

Syaikh Al-Anshârî mengatakan bahwa terkadang suatu dalil menjadi penguasa atas dalil lain dan bukan mukhashshish atau muqayyid, melainkan penguasa atau berkuasa atasnya. Kata “berkuasa” adalah sebentuk penafsiran lain. Jiwanya sama dengan yang dalam takhshish dan taqyîd. Namun, bahasa yang digunakannya berbeda dari bahasa yang dimiliki keduanya. Misalnya saja, sang pembuat hukum mengatakan, “Muliakanlah para ulama.” Selanjutnya, ia tidak memberikan kekecualian dengan mengatakan, “Kecuali para ulama nahwu.” Ia justru mengatakan bahwa para pakar nahwu bukanlah ulama.

Contoh lebih utama dalam hal ini adalah tatkala sang pembuat hukum mengatakan, “Jika engkau merasa ragu tentang bilangan rakaat salat yang sedang engkau kerjakan, maka ambillah bilangan yang lebih banyak.

p: 380

Sesudah selesai, engkau harus mengerjakan salat ihtiyâth dengan cara demikian.” Setelah itu, sang pembuat hukum mengatakan, “Akan tetapi, keraguan dari orang yang banyak merasa ragu tidaklah termasuk ragu.” Dalam pernyataan ini, sang pembuat hukum mengingkari keraguan yang disebut terakhir ini dan menyatakannya sebagai bukan keraguan.

Dengan pernyataannya ini, sang pembuat hukum sebenarnya tidak ingin mengingkari bahwa hal itu adalah sebuah keraguan. Akan tetapi, bahasa yang digunakan adalah bahasa keraguan.

Setelah itu, Syaikh Al-Anshârî meneruskan, “Dalam Islam, kita memiliki banyak nashsh yang punya bahasa penafsiran. Dengan bahasa penafsiran itu, terkadang seseorang dikeluarkan dari konteks hukum dan kadang-kadang dimasukkan ke dalam konteks hukum.” Dulu, mereka juga telah menemukan kaidah hâkimah ini. Namun, mereka belum bisa menjelaskan penggunaan kaidah itu dalam bentuk penguasaan seperti ini, melainkan dalam bentuk lain. Islam juga telah menetapkan kaidah-kaidah lâ dharar (tidak membahayakan) dan lâ haraj (tidak menyulitkan). Kedua kaidah ini mengontrol semua kaidah dan hukum yang ditetapkan oleh Islam berkenaan dengan masalah ibadah, perdagangan, dan sebagainya. Islam mengatakan: Jika engkau hendak mendirikan salat, maka basuhlah wajahmu, dan kedua tanganmu hingga ke siku (QS 5:6). Hukum ini berkaitan dengan masalah ibadah. Di tempat lain, Islam mengatakan: Dan Dia sama sekali tidak menjadikan kesempitan bagimu di dalam agama (QS 22:78). Islam juga menyatakan:

Tidak ada kesempitan dan kesulitan dalam Islam.

Islam telah memerintahkan kita untuk berwudhu. Namun, sekiranya menyentuh air itu membahayakan bagi diri kita, maka kaidah lâ dharar mengatakan agar kita tidak berwudhu. Artinya, kaidah lâ dharar telah berkuasa atau menjadi pengontrol terhadap perintah yang mewajibkan wudhu. Di sana juga terdapat ayat lain yang mengatakan:

Telah diwajibkan atas kamu berpuasa, sebagaimana telah diwajibkan pula terhadap orang-orang sebelum kamu.

Akan tetapi, kaidah lâ dharar telah mengatakan kepada kita agar tidak berpuasa jika puasa akan membahayakan diri kita. Mungkin An- da mengatakan bahwa pandangan orang dalam menentukan bahaya atau tidaknya sesuatu itu berbeda. Kata “berbeda” bukan berarti bah- wa realitas zaman itu berubah. Suatu waktu, dokter atau orang

p: 381

yang bersangkutan tidak memahami bahwa puasa itu membahayakan dirinya. Sementara itu, di waktu lain, mereka memahaminya.

Kaidah pengontrol ini, yakni lâ haraj dan lâ dharar, berikut se- genap kaidah lainnya, bertugas mengontrol segenap hukum dan per- aturan. Karena itu, di tempat dan situasi yang berbeda, hukum-hukum mengalami perubahan. Pada masa tertentu, mungkin saja suatu hukum dicabut karena kaidah lâ dharar atau lâ haraj. Mungkin juga, di tempat dan kondisi tertentu, beberapa hukum di cabut dan tidak berlaku.

Faktor ini juga melahirkan kelenturan dan keluwesan dalam hukum dan syariat Islam serta menyebabkan Islam bisa diterapkan pada semua kondisi dan situasi. Islam tidak menunjukkan sikap kukuh dan keras kepala dengan mengatakan bahwa Anda harus berwudhu dan berpuasa, sekalipun hal itu akan menyebabkan kematian Anda. Tidak, Islam tidak akan mengatakan demikian.

Faktor berikutnya ialah wewenang seorang hakim agama atau pemegang dan pelaksana syariat. Tak pelak lagi, sebagaimana Anda saksikan dalam undang-udang dan hukum buatan manusia, di banyak negara ada lembaga legislatif yang bertugas menetapkan undang- undang dan hukum dan kemudian melimpahkannya kepada lembaga eksekutif dan mengatakan, “Lakukanlah ini berdasarkan wewenang Anda.” (Kita banyak menyaksikan bagaimana lembaga legislatif mem- berikan kewenangan kepada pemerintah. Artinya, lembaga legislatif tidak lagi menetapkan undang-undang dan me ngatakan, “Lakukanlah ini berdasarkan kebijaksanaan Anda.”) Dalam beberapa undang- undang dunia, kita bisa menyaksikan bagaimana dalam beberapa masalah mereka memberikan kewenangan mutlak kepada salah seo- rang pejabat pemerintahan. Misalnya saja, kewe nangan yang diberi- kan kepada Presiden Amerika sesuai dengan undang-undang yang ber- laku. Presiden Amerika punya wewenang untuk menentukan sesuatu, kecuali bila wewenang itu dicabut oleh kongres. Mereka melimpahkan wewenang itu kepadanya. (Tidak diragukan lagi bahwa hal ini juga dalam undang-undang manusia). Dalam Islam, Allah telah memberi- kan serangkaian wewenang ke pada Rasulullah Saw Wahyu yang ditu- runkan oleh Allah telah memberikan wewenang kepada Rasulullah Saw Wahyu turun tidak hanya dalam bentuk khusus. Dalam

p: 382

berbagai masalah menyangkut pengelolaan masyarakat Islam, sebagian besar kasusnya adalah seperti ini. Rasulullah Saw mengambil tindakan berdasarkan wewenang yang beliau miliki. Karena itu, seorang mujtahid harus bisa membedakan perbuatan Rasulullah yang berdasarkan wahyu dan perbuatan yang dilakukan berdasarkan wewenang beliau. Sebab, suatu perbuatan yang beliau lakukan berdasarkan kewenangan pun mengikuti kondisi zaman ketika beliau masih hidup. Ketika zaman sudah berubah, mungkin saja masalahnya sudah tidak demikian. Misalnya saja, masalah nikah mut'ah. Kalangan Ahlus-Sunnah menerima masalah ini. Ada banyak hadis yang diriwayatkan dalam kitab Shahih Muslim dan Shahih Bukhâri. Dituturkan dalam Shahîh Muslim ihwal kapan Rasulullah Saw membolehkan nikah mut'ah dan beliau melarangnya.

Malahan, dituturkan bahwa beliau dua kali membolehkannya dan dua kali melarangnya. Ini menunjukkan bahwa hukum asal nikah mut'ah adalah boleh dan tidak termasuk dalam kategori zina. Sekiranya nikah mut'ah adalah zina, mustahil Rasulullah Saw membolehkannya. Sebab, dengan tegas, Islam mengharamkan perbuatan zina. Dengan demikian, jelaslah bahwa nikah mut'ah tidak sama dengan perbuatan zina, tetapi suatu perbuatan yang hukum asalnya adalah boleh. Dalam perbuatan yang dibolehkan, Rasulullah Saw bisa menghalalkan dan mengharamkannya. Artinya, suatu waktu, Rasulullah Saw melarangnya dan, pada kali lain, beliau membolehkannya. Ketika Rasulullah Saw membolehkannya, maka hal itu sesuai dengan hukum asalnya. Namun, ketika beliau melarangnya, maka hal itu berarti bahwa kemaslahatan menuntut agar Rasulullah Saw melarangnya.

Wewenang itu berpindah dari Rasulullah kepada para Imam. Dari mereka, wewenang ini pindah kepada hakim agama dan kaum Muslim.

Banyak sekali hukum halal dan haram yang dikeluarkan para ulama fiqih-dan ini diterima oleh semua pihak-berpijak pada dasar ini. Atas dasar wewenang syariat mana Ayatullah Mirza Syirazi mengeluarkan fatwa ihwal haramnya tembakau, padahal pengharaman tembakau hanyalah bersifat sementara? Sekiranya hukum tembakau adalah haram, maka hukumnya tetap haram untuk selamanya. Mengapa baru sekarang ini ia mengharamkan tembakau? Hukum haram tidak terikat oleh sekarang atau kemarin. Mengapa, setelah beberapa waktu kemudian, ia menghalalkannya kembali? Hal ini disebabkan Ayatullah Mirza

p: 383

Syirazi mengetahui bahwa seorang hakim agama memiliki serangkaian wewenang yang bisa digunakannya pada tempatnya. Pada beberapa tempat yang sesuai, seorang hakim agama bisa mengharamkan sesuatu yang menurut hukum asalnya tidak haram. Atau, sekurang-kurangnya, ia tidak punya alasan yang mengatakan bahwa hal itu adalah haram. (Ini tidak termasuk dalam hal-hal yang dibolehkan lantaran pertimbangan kemaslahatan yang penting, meski ada dalil yang mengatakan bahwa hal itu adalah haram. Ini termasuk dalam bab lazdburri). Dengan wewenangnya, seorang faqih dapat mengharamkan sesuatu yang tidak memiliki dalil dalam sumber syariat bahwa sesuatu itu haram atau wajib.

Almarhum Na'ini telah membahas masalah ini dalam dua risalahnya yang berjudul Tanbîh al-Ummah dan Tanzîh al-Millah.

p: 384

DUA PANDANGAN TENTANG DETERMINISME SEJARAH

p: 385

p: 386

KITA telah menyebutkan bahwa diskusi kita tentang masalah kebutuhan zaman bisa dijelaskan dalam dua bagian. Persoalan yang muncul dalam diskusi ini adalah bagaimana sesuatu yang tetap-yakni, Islam-bisa sejalan dengan sesuatu yang berubah, yakni tuntutan zaman. Semua masalah bermuara pada persoalan ini.

Mestilah didiskusikan ihwal apakah Islam memang demikian halnya. Sebagai sebuah agama yang abadi, bersifat tetap, dan tidak mungkin dihapus, apakah Islam punya kondisi sedemikian rupa sehingga-tanpa perlu ada penghapusan (naskh)-secara otomatis akan berubah dan mengadakan perubahan sesuai dengan berbagai tuntutan zaman? Masalah ini adalah bagian pertama dari pokok bahasan kita. Telah kita simpulkan bahwa tidak semua perubahan menuntut keharusan adanya penghapusan. Mungkin saja, suatu hukum yang termasuk dalam kategori kaidah-kaidah tetap memperkirakan kondisi yang berubah. Bagian kedua dari pokok bahasan kita adalah zaman. Dalam kritik yang mereka lontarkan, mereka memastikan bahwa berbagai kebutuhan zaman secara keseluruhan selalu berubah dan tidak mungkin bersifat tetap. Zaman tidak akan mempertahankan sesuatu terhenti di tempatnya dan tidak membiarkan sesuatu ber- sifat kekal.

Kita telah membahas sesuatu yang tetap itu dan menyimpulkan bahwa tidak benar hukum Islam bersifat tetap dan tidak berubah.

Dengan demikian, telah terbukti bahwa hukum Islam punya kemungkinan untuk bersifat elastis. Bagaimana halnya dengan zaman? Apakah kita akan menerima kaidah ini secara umum dan menyeluroh serta mengatakan bahwa zaman menyebabkan segala sesuatu jadi usang? Apakah kaidah ini berlaku pada segala sesuatu di alam ini?

p: 387

Kita mengetahui bahwa kaum Marxis meyakini determinisme sejarah dengan berpijak pada pandangan materialis mereka. Hal ini bisa ditinjau dari dua sisi. Pertama, mereka memandang manusia sebagai sebuah realitas materi secara keseluruhan. Kedua, mereka meyakini bahwa, dari sisi kebutuhan dan tujuan utama yang ingin diraihnya di alam ini, manusia tak lain hanyalah kepentingan materiel dirinya. Dengan demikian, sesuai dengan suratan nasibnya, manusia diciptakan sebagai makhluk yang selalu mencari keuntungan bagi dirinya. Namun, kita dapat menggeneralisasi manfaat atau keuntungan secara umum. Yang mereka maksudkan adalah segala sesuatu yang bisa ditukar berupa materi dan diukur dengan uang. Segala sesuatu yang dipikirkan manusia seperti kebudayaan, akhlak, agama, dan jiwa, tidak mempunyai realitas dalam diri manusia dan hanya berpusat pada masalah-masalah ekonomi. Sesungguhnya, semuanya itu adalah refleksi dari keinginan dan pilar yang menguasai kehidupan materiel manusia. Karena kondisi kehidupan materi berubah, maka segala sesuatu juga ikut berubah. Pemikiran manusia berubah. Dasar-dasar pertama pemikiran manusia juga berubah. Mereka mengatakan bahwa dasar-dasar pertama pemikiran manusia-yakni, kebenaran dasar- tidak punya realitas. Ketika pilar bangunan berubah, dasar-dasar primer dan sekunder pemikiran dan undang-undang mau tak mau juga akan berubah. Semua itu tidak bisa diam di tempat. Intuisi manusia-entah berhubungan dengan filsafat, akhlak, seni, dan sebagainya pasti akan berubah seiring dengan perubahan kondisi ekonomi. Demikian juga halnya dengan berbagai peraturan yang ditetapkan manusia dalam semua bidang. Salah satunya adalah peraturan dalam bidang ekonomi itu sendiri. Ketika kondisi kehidupan ekonomi manusia berubah, maka semua peraturan dan undang-undang yang cocok dengan kondisi sebelumnya juga berubah. Segala sesuatunya berubah dengan sendirinya. Inilah pandangan yang kini dikenal dengan determinisme sejarah.

Berkenaan dengan konsep determinisme sejarah, saya hendak menyampaikan beberapa patah kata. Determinisme sejarah mengandung arti “determinisme yang mengikuti kondisi dan situasi sejarah”. Inilah aplikasi dari hukum sebab-akibat yang berlaku dalam sejarah kehidupan manusia. Umpamanya saja, pada suatu waktu, Anda

p: 388

hendak menerapkan hukum sebab-akibat pada berbagai masalah menyangkut udara. Maka, ini berarti keharusan yang ada dalam masalah udara. Hukum sebab-akibat mengandung arti bahwa setiap akibat senantiasa mengikuti kondisi-kondisi khusus dan sebab-sebab tertentu. Artinya, dengan adanya sebab, maka keberadaan akibat adalah sesuatu yang harus ada. Begitu juga, tanpa ada sebab, maka akibat tidak mungkin ada. Ini adalah satu ketentuan yang pasti dan tidak mungkin menyimpang. Inilah maksud dari istilah keharusan hukum sebab- akibat. Ini adalah suatu kenyataan yang tidak bisa dipungkiri. Artinya, sejarah manusia tidak bisa keluar dari hukum sebab-akibat.

Karena itu, Al-Quran sangat menekankan masalah sunnah, terutama yang berlaku pada sejarah manusia. Al-Quran mengatakan:

Maka engkau sekali-kali tidak akan mendapatkan pergantian di dalam sunnah Allah (QS 35: 43). Kalimat ini adalah ungkapan lain dari determinisme sejarah, yakni “undang-undang hidup manusia yang tidak berubah”. Al-Quran mengatakan: Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib sebuah kaum sampai kâum itu sendiri yang mengubah diri mereka sendiri (QS 13: 11). Ayat ini menunjukkan bahwa nasib perjalanan hidup manusia itu berhubungan dengan kondisi jiwa, pikiran, dan akhlak manusia itu sendiri. Selagi semuanya itu belum berubah, maka mustahil keadaan mereka akan berubah.

Inilah ungkapan lain dari konsep determinisme sejarah. Secara umum konsep ini dapat diterima. Namun, pemahaman yang dimiliki masing-masing individu tentang konsep determinisme sejarah ini berbeda-beda. Apa saja sebab-sebab yang berperan dalam sejarah? Ada orang yang meyakini bahwa sebab yang berperan dalam sejarah hanyalah sebab-sebab materiel. Ia meyakini bahwa konsep itu adalah determinisme materi. Akan tetapi, jika kita meyakini bahwa sebab- sebab yang berperan dalam konsep determinisme sejarah tidak hanya terbatas pada sisi materi dan, lebih khusus lagi, pada sisi ekonomi manusia, tetapi juga sisi maknawi berikut sisi lainnya, maka ini berarti bahwa kita juga meyakini konsep determinisme sejarah. Karena itu, kita tidak menafikan dan mengingkari determinisme sejarah. Namun, jika seseorang mengartikan konsep deter minisme sejarah sebagai sebuah determinisme dalam materialisme historis atau, lebih khusus lagi, de- terminisme ekonomi historis, maka hal itu perlu diperdebatkan.

p: 389

Di sisi lain, determinisme sejarah bermakna bahwa selama sebab- sebab sejarah itu ada, maka akibat-akibat sejarah secara pasti juga ada.

Dan jika sebab-sebab sejarah itu tidak ada, maka akibat-akibat sejarah itu pasti juga tidak akan ada. Namun, masalahnya ialah: Bagaimana kondisi sebab-sebab sejarah itu? Apakah sebab-sebab sejarah itu senantiasa berubah? Atau, apakah kita juga memiliki sebab-sebab sejarah yang tetap? Jika kita mempunyai sebab-sebab sejarah yang tetap dan bersumber dari fitrah manusia, maka kita akan menjadi orang yang meyakini adanya fitrah manusia. Fitrah ini bersifat tetap. Sudah barang tentu, jika fitrah manusia bersifat tetap, maka ia akan punya pengaruh dalam perjalanan kehidupan manusia. Dalam keadaan demikian, konsep determinisme sejarah melahirkan sebuah kemapanan, dan bukan perubahan. Artinya, apa yang kita bayangkan sebagai konsep determinisme berupa terjadinya perubahan tidaklah benar sama sekali.

Yang dimaksud dengan konsep determinisme sejarah adalah hukum kausalitas atau sebab-akibat. Hukum ini mengatakan bahwa selama masih ada sebab, maka akibat juga pasti ada. Ketika sebab sudah tidak ada, maka akibat juga pasti tidak ada.

Sekarang, mari kita lihat bagaimana kondisi sebab-sebab sejarah.

Tidak diragukan lagi bahwa sebagian sebab sejarah mengalami per- ubahan, dan sebagian lagi mungkin tetap tak berubah. Orang tidak boleh menarik arti perubahan dari kata sejarah. Sebabsebab sejarah berperan dalam kehidupan manusia. Dengan jelas kita katakan bahwa pandangan kaum Marxis tentang konsep determinisme seja rah tidak bisa diterima. Mereka mengartikannya sebagai sebuah de- terminisme materialistik dalam sejarah dan, lebih khusus lagi, determinisme ekonomis dalam sejarah. Pandangan mereka ini tidak bisa diterima bahkan oleh orang-orang yang berpikiran materialis sekalipun. Salah satunya adalah Bertrand Russel. Ia adalah seorang materialis. Namun, ia mengkritik pandangan kaum Marxis dan memandangnya sebagai tidak ketidakbenaran. Ia mengatakan bahwa ada tiga faktor dasar yang berperan dalam kehidupan manusia. Sudah tentu, ketiga faktor itu layak menjadi basis dalam masalah-masalah ke- hidupan manusia. Yang pertama adalah kepentingan ekonomi. Yang kedua adalah faktor seksual (faktor seksual sama sekali tidak pernah dikemukakan dalam pandangan Marxis).

p: 390

Russel mengatakan bahwa faktor seksual (kita sebut kecenderungan seksual) adalah naluri yang bersifat mendasar dalam kehidupan manusia. Karenanya, naluri itu berperan dalam banyak kasus. Dengan kata lain, naluri seksual telah menggusur faktor ekonomi dari sisi kepemilikan peranan. Banyak fenomena dan kejadian sejarah adalah akibat dari naluri seksual manusia.

Faktor ketiga yang disebutkan oleh Russel adalah usaha menuju kesempurnaan atau kekuatan. Menurut pemahaman kita yang dilandasi akhlak, faktor ini ialah upaya untuk mendapatkan kedudukan. Kecen- derungan manusia untuk mencari kedudukan adalah satu sifat yang inheren dalam diri manusia. Tidaklah benar bahwa manusia mengi- nginkan kedudukan dan kekuasaan demi menjaga berbagai kepentingan ekonominya. Manusia menginginkan kedudukan demi kedudukan itu sendiri. Banyak peristiwa di alam ini terjadi sebagai akibat dari kecen- derungan manusia ini. Kita tidak bisa menafsirkan bahwa penyerbuan dan penaklukan yang dilakukan Alexander Agung atas Iran dan Mesir disebabkan oleh pertimbangan faktor ekonomi bagi Yunani pada masa itu. Kecenderungan untuk mencari kedudukan dan kekuasaan dalam diri Alexander Agung, bagaimanapun, tetap berperan, meskipun tidak begitu penting. Sejarah tidak bisa dijelaskan dalam gaya searah. Akar dan arah yang dimiliki sejarah hanya satu, sedangkan yang lain ha- nyalah cabang dari akar itu. Pandangan ini tidak benar dan ini hanya sekadar simplifikasi atau penyederhanaan masalah.

Selain ketiga faktor di atas, ada juga faktor-faktor lain yang tidak bisa kita abaikan dari sisi ilmiah. Dalam bab kedelapan kitab Al-Isyârât wa at-Tanbîhât, Abû Alî Sînâ punya satu pokok bahasan. Akan tetapi, pokok bahasan itu tidak berkaitan dengan faktor-faktor penggerak se- jarah. Namun, pokok bahasan ini memberikan kesimpulan demikian.

Dalam pokok bahasan itu, Abû Alî Sînâ membagi kelezatan yang dira- sakan manusia dalam beberapa tingkatan. Ia mengatakan, “Kelezatan yang dimiliki manusia tidak mungkin dibatasi hanya pada makanan, perkawinan, dan pakaian. Sebab, ada juga sesuatu yang lain dan punya nilai tidak kurang dari ketiga hal itu. Dalam banyak kasus, manusia sanggup mengorbankan ketiga hal itu demi mendapatkan sesuatu yang lain. Sesuatu yang lain itu adalah kemuliaan, harga diri, dan ke- merdekaan.

p: 391

Pada irannya, sesuatu itu memberikan nilai tertentu bagi ma- nusia dan menjadi salah satu faktor dalam kehidupannya. Sering kali dijumpai ada seseorang memperoleh keuntungan materi seperti harta dan kekayaan, tetapi ia mengabaikan dan meninggalkannya.

Sebab, hal itu akan membuat kehormatan dan kebebasan dirinya terluka. Demikian juga, tuntutan nurani dan rasa cinta kepada sesama menyebabkan seseorang mau berkorban dalam kehidupannya dengan mendahulukan orang lain atas dirinya. Ini sebagaimana dikatakan Al- Quran berkenaan dengan kaum Anshar. Al-Quran mengatakan: Dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin) atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu) (QS 59:9).

Dalam ayat lain, berkenaan dengan Imam Alî, Sayyidah Fâthimah az- Zahrâ, Imam Hasan, dan Imam Husain, Al-Quran mengatakan: Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim, dan orang yang ditawan (QS 76:8).

Sikap berkorban dan mencintai sesama adalah sebuah nilai keutamaan yang menyebabkan manusia bersedia mengorbankan berbagai kepentingan materinya. Kecintaan kepada keluarga, anak, ayah, ibu, saudara perempuan, atau saudara laki-laki juga merupakan satu masalah lain. Benarkah seseorang mencintai anak, ayah, saudara laki-laki, dan saudara perempuannya hanya lantaran kepentingan ekonomi semata? Sejauh mana faktor-faktor ini berperan mewujudkan peristiwa-peristiwa yang ada dalam sejarah? Meskipun tahu betul bahwa anaknya tidak punya kelayakan seperti dirinya, Mu'awiyah dikuasai oleh pengaruh kecintaan kepada anaknya.

Ia tetap menunjuk anaknya untuk menggantikan kedudukannya.

Kecenderungan mencintai anak adalah satu masalah lain dalam kehidupan manusia. Demikian juga halnya dengan kecintaan pada agama. Kita tidak ingin mengatakan hal ini atas dasar logika agama.

Coba Anda baca sejarah! Apakah kecintaan pada agama; terlepas dari kepentingan ekonomi, seksual, kedudukan, dan sebagainya; tidak punya peranan dalam kehidupan manusia? Sejarah sendiri menuturkan bahwa, dalam banyak kesempatan, peristiwa-peristiwa agama mengalami kemajuan, meskipun bertentangan dengan kepentingan ekonomi. Ini juga adalah sebuah masalah dalam artian bahwa manusia adalah makhluk yang punya ideologi. Dengan kata lain, manusia

p: 392

mempunyai akidah. Mereka mengatakan bahwa kehidupan ini, tidak lain adalah akidah dan jihad. Kepada manusia yang tidak bekerja demi kepentingan akidahnya, tetapi demi kepentingan dirinya sendiri saja, mereka menganggapnya sebagai manusia yang sudah tidak punya sisi kemanusiaan. Karena itu, kita belum bisa menerima konsep determinisme ekonomi dalam bentuk determinisme materi, yang sumbernya adalah berbagai masalah ekonomi. Karena kondisi ekonomi berubah, maka segala sesuatunya mesti berubah. Akan tetapi, memang tidak diragukan lagi bahwa masalah ekonomi adalah salah satu faktor paling mendasar dalam kehidupan manusia. Artinya, manusia tidak dapat hidup dengan mengabaikan masalah ini. Mungkin pemahaman ini tidak cocok dengan apa yang sering kita katakan secara berlebihan. Namun, kita menyaksikan bahwa Islam adalah agama yang sangat memerhatikan berbagai faktor maknawi, keimanan, dan segala sesuatu yang berkaitan dengan keimanan dan jihad di jalan Allah. Jihad ini adalah jihad di jalan Allah, bukan jihad di jalan kepentingan ekonomi sebagaimana sering mereka ungkapkan. Pada saat yang sama, Islam juga menekankan masalah hidup dan penghidupan. Islam memandang penting masalah hidup dan penghidupan dalam ke- hidupan umat manusia. Manusia tidak bisa menutup mata dari masalah ini untuk selamanya. Jika ada orang mengabaikan urusan ini, maka tidaklah demikian halnya dengan semua orang. Jika ada sekelompok masyarakat yang menutup mata dari berbagai urusan ini, maka yang demikian itu tidak akan bisa berlangsung selamanya.

Ungkapan yang mengatakan, “Barangsiapa tidak punya kehidupan dunia, maka ia tidak punya kehidupan akhirat” benar-benar menjadi dasar pegangan. Dalam kitab Al-Kâfî, diriwayatkan bahwa Rasulullah Saw bersabda, “Ya Allah, berikanlah keberkahan kepada kami dalam roti." Kemudian beliau juga menambahkan, “Sekiranya tidak ada roti, kami tidak akan bisa mengerjakan salat, memberikan sedekah, dan melaksanakan puasa Maulawi, salah seorang arif, mengatakan, “Pada mulanya, ma- nusia adalah tawanan roti.” Maksudnya ialah bahwa yang pertama kali dibutuhkan manusia, sebelum sesuatu lainnya, adalah roti. Dengan demikian, kita tidak bermaksud mengingkari peranan faktor ekonomi.

Yang ingin kita nafikan ialah pembatasan dan pemutlakan atas faktor

p: 393

ekonomi saja. Faktor-faktor lain bertumpu padanya dan hanya sekadar akibat saja. Ketika terjadi sedikit goncangan pada faktor ekonomi, maka hal itu akan menggoncangkan semua faktor lainnya. Tidak, tidak demikian masalahnya. Mungkin saja, terjadi goncangan dalam bidang ekonomi. Akan tetapi, dalam bidang-bidang lain, yang dibangun di atas dasar-dasar lain, tidak mengalami goncangan. Sebab, dasar-dasar itu sama Sekali tidak mengalami perubahan. Mungkin saja, faktor-faktor ekonomi, karena ada kaitan dan hubungan, menyebabkan timbulnya perubahan dalam semua faktor lainnya. Begitu juga, faktor-faktor lain mungkin menyebabkan terjadinya perubahan dalam faktor ekonomi.

Di sini, kita akan mengutip beberapa bagian dari buku Bi'tsat- e-îdiyûlûjî (Kebangkitan Ideologi), karya Insinyur Bazargan. Dalam buku ini, ia berbicara tentang masalah yang berkaitan dengan berbagai ideologi tertentu di kalangan umat manusia. Apa yang disampaikannya itu memang benar. Berkaitan dengan ideologi manusia, ia mengatakan, “Meskipun ada perbedaan dan bahkan terkadang muncul konflik di antara berbagai ideologi, masing-masing ideologi muncul dalam kondisi zaman dan tempat yang relevan dengannya. Sebab, banyak sekali ideologi yang merupakan akibat dari kondisi zaman dan tempat tertentu. Kita tidak mengatakan bahwa ideologi adalah benar dan bermanfaat secara keselurohan. Namun, ideologi bisa dipertahankan dari banyak sisi. Jika ideologi itu telah keluar dari konteksnya, yakni berada dalam kondisi dan situasi lain, maka ia telah kehilangan nilai dan manfaatnya." Setelah itu, ia menyinggung pandangan Karl Marx yang kelihatannya juga tidak bisa diterimanya. Ia menyebutkan pandangan ini dalam bentuk ajaran dasar umum: “Tidak ada satu sistem kemasyarakatan pun hilang sebelum semua kekuatan produksi yang berkaitan dengannya (sebab, yang menjadi dasar dan pokok adalah kekuatan produksi) mencapai kesempurnaan. Dan tidak mungkin akan muncul suatu hubungan mata rantai produksi baru dan lebih sempurna sebelum syarat-syarat kemunculan mata rantai hubungan itu benar- benar matang dalam rahim masyarakat sebelumnya.” Mata rantai hubungan produksi itu menempuh jalan sebab- akibat. Mereka membagi mata rantai hubungan produksi ini dalam beberapa fase. Fase pertama adalah fase komunal pertama. Setelah

p: 394

itu, fase kepemilikan, perbudakan, dan feodalisme. Kemudian, yang berikutnya adalah fase borjuis, kapitalis, dan sosialis. Pembagian mata rantai hubungan produksi itu adalah sebuah determinisme dan bersifat materiel. Inilah yang bisa ditangkap dari pandangan mereka meskipun mereka mengingkarinya. Perubahan itu berlangsung di luar kekuasaan manusia.

Inilah maksud dari pandangan mereka bahwa kepanjangan dari pandangan Marxis adalah determinisme mutlak dalam artian bahwa ia menafikan kekuasaan dan peranan manusia sama sekali. “Karena itu, manusia selalu hanya memerhatikan masalah-masalah yang bisa dipecahkan. Suatu masalah hanya akan muncul manakala syarat-syarat materi yang diperlukan untuk menyelesaikan juga telah muncul. Paling tidak, syarat-syarat itu sedang dalam tahap pembentukan.” Secara keselurohan, pandangan di atas adalah benar. Namun, tema pokok yang hendak disampaikannya ialah bahwa syarat-syarat materi yang diperlukan senantiasa terbatas pada zaman dan tempat tertentu.

“Metode baru produksi yang muncul dalam suatu lingkungan yang bermusuhan tidak bisa bertahan lama. Sebab, ia akan sirna sebelum bisa tumbuh dan berkembang. Sementara itu, tekanan yang berasal dari berbagai ideologi, yang sesuai dengan sistem lama, hari demi hari, semakin bertambah sehingga nyaris mendekati batas yang tidak bisa ditanggungkan lagi. Akhirnya, saat-saat kehancurannya pun segera tiba." Sungguh mengherankan, mereka meyakini tiadanya kelanggengan dan ketetapan pada semua sistem dan ideologi dan meyakini bahwa semua ideologi dan sistem akan mengalami perubahan. Akan tetapi, mereka tidak mengemukakan pandangan yang sama kepada ideologi mereka. Padahal, ini adalah sebentuk kekecualian. Mereka mengatakan bahwa mungkin saja ini benar. Jika kita mengatakan bahwa hal itu benar, maka yang demikian itu adalah pandangan orang lain yang mengatakan bahwa hal itu benar. Artinya, dari sisi kondisi materi, manusia telah menjalani beberapa fase sejarah dalam kehidupannya; fase berburu, menurut keyakinan mereka, adalah fase atau masa kehidupan komunal pertama. Berikutnya adalah munculnya fase pertanian. Pada masa fase pertanian, saat masalah tanah muncul ke permukaan dan menjadi tema pokok, muncul juga masalah kepemilikan. Ketika masalah

p: 395

kepemilikan muncul, kemudian muncullah masalah perbudakan dan perbedaan kasta. Selanjutnya, dalam kondisi-kondisi lain, muncullah sistem borjuis yang akhirnya mengarah pada sosialisme. Dengan munculnya sosialisme, berakhirlah perubahan fase sejarah kehidupan manusia. Sebab, sistem sosialis adalah akhir dan penutup dari semua sistem. Di sini, mereka tidak mengatakan bahwa, setelah munculnya sosialisme, akan muncul suatu sistem lain. Mereka tidak mengatakan demikian. Mereka mengatakan bahwa, dengan munculnya sosialisme, maka berakhirlah semua fase yang harus dilalui manusia. Namun, atas dasar apa mereka mengatakan demikian? Sebagaimana sistem komunal pertama yang berdasarkan kemestian harus berubah menjadi sistem kepemilikan, maka dari mana bisa dipastikan bahwa sistem komunal kedua ini yang lebih tinggi tidak akan berakhir dalam sebuah bentuk sistem kepemilikan yang lebih tinggi? Sebagian mengatakan bahwa “gerakan sejarah adalah gerakan berbentuk siput”. Maksudnya adalah gerakan melingkar yang selalu menuju ke arah lebih tinggi. Artinya, sesuatu akan bergerak menuju titik awalnya, bukan titik awal itu sendiri, tetapi sejajar dengan titik awal dalam tingkatan lebih tinggi. Dengan kata lain, ia akan tiba pada titik semula, tetapi pada tingkatan lebih tinggi. Demikianlah gerakan yang berlaku dalam sejarah.

Dari mana mereka bisa mengatakan bahwa sistem komunal kedua tidak akan kembali lagi dalam sistem kepemilikan pribadi untuk kedua kalinya, tetapi dalam tingkatan lebih tinggi dan bentuk lebih sempurna? Mereka mengatakan bahwa semua produk pemikiran bisa usang dan lapuk kecuali Marxisme. Kemudian mereka juga mengutip, “Dalam pandangan Lenin, filsafat dan Marxisme tidak ubahnya seperti sebuah agama dan keyakinan. (Sama seperti para penganut agama memandang agamanya sebagai sesuatu yang bersifat kekal, tidak mungkin dapat berubah, dan tidak mungkin terhapus, maka Lenin pun memandang Marxisme demikian). Dalam buku Materialisme dan Kritik atas Marxisme, Lenin mengatakan bahwa Anda tidak akan bisa membuang, hatta sebuah hipotesis dari sekian hipotesis dasar, atau satu bagian filsafat Marxis, tanpa lebih dahulu meninggalkan realitas nyata atau tanpa lebih dahulu berada dalam pelukan kaum reaksioner dan borjuis.

p: 396

Dengan demikian, dalam pandangan mereka, ajaran-ajaran Marxis, atau setidak-tidaknya, sebagian dari ajaran pokoknya, tidak mungkin berubah. Kemudian, dalam kitab itu juga disebutkan bahwa Lenin- tanpa mengatakan bahwa dirinya sedang melakukan perubahan dalam ajaran Marxisme-secara cerdik melakukan banyak perubahan di dalamnya. Pada saat yang sama, ia mengatakan bahwa pokok-pokok jaran Marxisme tidak akan berubah. Ajaran Marxisme tidak ubahnya sebongkah baja yang sangat keras. Dari mana pengecualian ini bisa terjadi? Jika segala sesuatu berubah, maka ajaran Marxisme juga harus mengikuti situasi dan kondisi zamannya. Dalam pandangan Anda, situasi dan kondisi sejarah tidak akan bisa berlaku tetap dan langgeng. Dengan demikian, ajaran Marxisme pun tidak bisa bersifat tetap dan langgeng.

Kemudian, masih dalam masalah ini, mereka mengatakan bahwa Lenin berkata, “Bagian paling utama dari filsafat kemasyarakatan dalam ajaran Marxisme ialah hipotesis yang mengatakan bahwa sesungguhnya sistem produksi ekonomi adalah suatu alat yang menjadi tumpuan semua lembaga ideologi dan kemasyarakatan. Dalam keyakinan ajaran Marxis, semua bayangan, pemikiran, dan keyakinan yang ada di tengah-tengah masyarakat tidaklah mengungkapkan realitas sesungguhnya, tetapi hanya memberikan gambaran buram dan tidak jelas tentang realitas sesungguhnya. Dorongan-dorongan yang berasal dari berbagai akidah dan keyakinan bukanlah sebab sebenarnya. Penggerak sebenarnya ada- lah kekuatan berbagai kepentingan yang memaksa. Hubungan an- tarberbagai kelas dan munculnya berbagai ideologi adalah hasil dari kondisi ekonomi yang ada. Pada hakikatnya, semua keyakinan dan pemikiran setiap indvidu adalah pantulan pemikiran kelas dari setiap individu itu sendiri.” Pandangan di atas juga berlaku bagi ajaran Marxis. Karl Marx hidup dalam lingkungan sosial tertentu di masyarakat Jerman pada waktu itu. Ketika Karl Marx sedang berada di Jerman, maka lingkungan itu tentunya berpengaruh atas dirinya. Demikian juga, jika Karl Marx menetap di Inggris, maka lingkungan sosial Inggris juga berpengaruh atas dirinya. Atas dasar ini, Karl Marx tidak bisa berpikir dengan sesuatu yang bertentangan dengan tuntutan kondisi perekonomian di zamannya. Mau tak mau, ia berpikir demikian. Akan tetapi, apakah kondisi perekonomian Jerman saat ini sama dengan kondisi

p: 397

perekonomian saat itu? Apakah situasi dan kondisi dunia sekarang sama dengan situasi dan kondisi Jerman dan Inggris saat itu? Situasi dan kondisi dunia telah berubah. Dengan demikian, ajaran Marxisme sudah tiba waktunya untuk lenyap. Mereka juga mengatakan, “Segala sesuatu mengikuti kondisi sejarah dan situasi lingkungan sosialnya. Ketika situasi lingkungan sosial dan kondisi sejarah berubah, maka sesuatu itu akan sirna atau, sekurang-kurangnya, tidak bergerak. Padahal, sesuatu itu menginginkan masyarakat tetap berada dalam kondisinya.” Kini, pembahasan kita akan berkisar pada masalah Islam. Kita mengetahui bahwa hukum-hukum kita adalah hukum-hukur bukan hukum-hukum tahapan. Telah kita katakan bahwa, dari semua hukum Islam yang ada, ada sebagian hukum yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan Allah, hubungan manusia dengan dirinya sendiri, hubungan manusia dengan alam, dan hubungan manusia dengan anggota masyarakat lainnya.

Hukum-hukum tentang hubungan manusia dengan Allah, karena berkaitan dengan Allah, sama sekali tidak mengalami perubahan.

Demikian juga, hukum-hukum tentang hubungan manusia dengan manusia lainnya-jiwa dari semua hukum di bidang ini—tidak berubah.

Memang benar bahwa dalam hal ini terjadi beberapa perubahan bentuk karena mengikuti kondisi lingkungan. Kita melihat bahwa Islam sendiri menerima adanya berbagai perubahan dalam batas-batas ini. Misalnya saja, dalam salat, Islam mengatakan, “Tegakkanlah salat!" Kemudian Islam mengatakan, “Tegakkanlah salat dalam keadaan berdiri! Jika engkau tidak mampu melakukannya, salatlah sambil duduk. Jika engkau tidak mampu melakukannya, salatlah dengan berbaring pada sisi sebelah kanan. Jika engkau tidak mampu melakukannya, salatlah dengan berbaring pada sisi sebelah kiri. Jika engkau tidak mampu melakukannya, salatlah dengan posisi telentang. Jika engkau tidak mampu melakukannya juga, salatlah dengan bahasa isyarat!" Setiap kali kondisi berubah, bentuk salat yang dikerjakan pun ikut berubah.

Para ulama fiqih berkeyakinan bahwa salat yang dikerjakan oleh orang yang sedang tenggelam adalah benar-benar salat, dan bukan pengganti salat. Maksudnya ialah bahwa salat seseorang yang sedang tenggelam dan berusaha menyelamatkan diri hanya berupa isyarat-

p: 398

isyarat saja dan dipandang sebagai benar-benar salat-tidak ada ruku, sujud, bacaan, dan sebagainya. Salat adalah sebuah esensi di mana anggota-anggotanya demikian banyak berubah. Bentuk dan cara pelaksanaannya demikian banyak berganti. Ruku', sujud, dan sebagainya adalah bentuk salat, bukan jiwa salat. Salat dua rakaat adalah benar- benar salat, dan bukan pengganti salat empat rakaat. Demikian juga, salat empat rakaat adalah benar-benar salat. Artinya, bagi seseorang sebuah salat terdiri atas empat rakaat, sedangkan bagi orang lain salat itu adalah dua rakaat. Bagi seseorang sebuah salat dikerjakan dalam keadaan berdiri, sedangkan bagi orang lain salat dikerjakan dalam keadaan duduk. Bagi seseorang, untuk mengerjakan salat, ia harus berwudhu, sedangkan bagi orang lain harus bertayamum.

Para ulama fiqih mempunyai satu pembahasan tentang ijzâ (mengganti). Artinya, apakah salat yang kita kerjakan dalam kondisi darurat bisa menggantikan salat yang kita kerjakan dalam kondisi tidak darurat? Jika kita mengerjakan salat dalam keadaan darurat, apakah kita harus mengulangi kembali atau tidak? Mereka mengatakan bahwa salat itu tidak perlu kita ulangi. Mengapa harus ganti salat biasa, tidak berarti bahwa hal itu bukan salat, tetapi sesuatu yang lain, dan kewajiban salat tetap masih ada dalam pundak Anda. Dengan demikian, setiap kali terjadi perubahan dalam lingkungan, terjadi pula perubahan dalam sebagian hukum menyangkut hubungan manusia dengan Allah.

Hukum-hukum lainnya dalam Islam membahas hubungan ma- nusia dengan alam yang tidak banyak mengalami perubahan. Dalam hukum-hukum ini, kadang-kadang terjadi perubahan dan kadang- kadang tidak Berikutnya adalah hukum-hukum Islam tentang hubungan ma- nusia dengan manusia lainnya, dan ini adalah bagian penting. Masalah- masalah yang dikemukakan oleh Islam berkenaan dengan hubungan manusia dengan manusia lainnya termasuk berbagai problem langkah (masâr), dan bukan tahapan atau jenjang (marhalah). Umpamanya saja, Islam menyebutkan syarat-syarat tertentu dalam bab jual beli. Islam mengatakan, “Tidak halal harta seseorang kecuali atas dasar kerelaan dirinya.” Artinya, jual beli harus dilakukan atas dasar kerelaan. Syarat ini tidak akan berbeda dalam tahapan mana saja dalam kehidupan manusia.

p: 399

Islam juga mengatakan bahwa tidak boleh melakukan jual- beli suatu barang yang abstrak. Dengan kata lain, dalam melakukan transaksi jual beli, berat barang maupun segala sesuatu yang berhubungan dengannya, yang akan memengarohi harga, haruslah jelas. Ini bukanlah syarat tahapan atau jenjang (marhalah), melainkan syarat umum yang tidak terbatas pada tempat dan zaman tertentu.

Islam juga mengatakan bahwa dalam perdagangan tidak boleh ada riba.

Riba adalah sesuatu yang-jika hukumnya haram-akan tetap haram di segala zaman. Namun, sekiranya hukumnya halal, ia akan halal di segala zaman. Kondisi dan situasi pada suatu zaman tidak akan berpengaruh pada hukum riba dan tidak akan bisa mengubahnya. Atau juga, dalam bab jaminan (dhimân), Islam mengatakan, “Barangsiapa menghilangkan harta orang lain, maka ia wajib menggantinya.” Hukum ini tidak berkaitan hanya dengan satu tahapan kehidupan manusia saja, melainkan juga dengan seluroh perjalanan manusia. Islam juga mengatakan, “Tangan orang yang dipercaya adalah tangan yang diminta kepercayaannya.” Maksudnya ialah bahwa jika seseorang menerima amanat barang orang lain-misalnya saja, seseorang menitipkan barang kepadanya atau ia menyewa harta orang lain dan kemudian menghilangkan atau merusakkan barang itu-maka di sini ada dua kemungkinan. Ia bersalah atau ia tidak bersalah. Jika ia bersalah, maka ia harus menggantinya. Akan tetapi, jika ia tidak bersalah, maka ia tidak wajib menanggungnya Tidak diragukan lagi bahwa sebagian besar hukum Islam, entah berkenaan dengan berbagai masalah fiqih, sosial, akhlak, dan keyakinan-berhubungan dengan perjalanan hidup manusia secara keselurohan. Yang demikian ini seperti alamat-alamat yang tertera di setiap jalan. Islam mengatakan bahwa Anda harus melewati jalan ini.

Petunjuk ini tidak akan berubah dengan adanya berbagai perubahan dalam kehidupan. Hanya saja, mungkin dalam hubungan manusia dengan Tuhannya, hubungan manusia dengan manusia lainnya, hubungan manusia dengan dirinya sendiri, atau hubungan manusia dengan alam, kita menjumpai berbagai masalah yang tidak bersifat sentral, melainkan hanyalah satu fase saja dalam kehidupan manusia.

p: 400

KEKUATAN PENGGERAK SEJARAH

p: 401

p: 402

DALAM bagian sebelumnya, kita telah mengemukakan salah satu argumentasi yang dijadikan sandaran oleh orang yang berkeyakinan bahwa tidak mungkin ada satu hukum yang abadi dan zaman pasti akan mengubahnya. Inilah teori determinisme sejarah di kalangan kaum Marxis. Mereka berkeyakinan bahwa semua institusi kemasyarakatan-entah itu kebudayaan, hukum, agama, akhlak, materi, spiritual, dan sebagainya pada dasarnya adalah suprastruktur yang berpijak pada hubungan ekonomi dalam masyarakat dan proses produksi dan distribusi kekayaan. Inilah pilar dan dasar. Semua perubahan yang terjadi di sini berlangsung sebagai keharusan. Tidak akan ada sesuatu pun yang tetap pada keadaannya. Bentuk sesuatu senantiasa berubah. Perubahan ini mau tak mau menimbulkan berbagai perubahan dalam semua bidang kemasyarakatan secara pasti dan merupakan suatu keharusan. Jika hal ini benar, maka kita harus menyetujui pandangan yang mengatakan bahwa di alam ini tidak mungkin ada sebuah hukum atau undang-undang yang abadi. Sebab, hukum itu sendiri adalah salah satu dari sekian banyak fenomena hubungan ekonomi. Ketika dasar hukum berubah, hukum pun tidak mampu mempertahankan keberadaannya untuk selamanya.

Tidak diragukan lagi bahwa manusia adalah makhluk sosial.

Maksud ungkapan bahwa manusia adalah makhluk sosial tentulah tidak hanya berarti bahwa manusia harus hidup bersama-sama di suatu tempat, misalnya, di sebuah kota dan desa. Manusia tidak akan sanggup hidup sendiri seperti beberapa binatang gurun. Dan juga ini tidak berarti bahwa kehidupan sosial manusia adalah seperti kehidupan sekelompok binatang. Akan tetapi, kehidupan manusia berpijak pada dasar serangkaian hubungan dan komunikasi. Pada hakikatnya, terbentuk suatu asimilasi (tarkih) dalam masyarakat manusia. Bentuk

p: 403

asimilasi semacam ini hanya ada dalam kehidupan manusia dan tidak dijumpai dalam kehidupan di luar alam manusia.

Kadang-kadang kita memerhatikan kehidupan sejumlah pohon dalam sebuah kebun. Kita mengetahui bahwa masing-masing pohon hidup terpisah satu sama lain. Nasib sebatang pohon sama sekali tidak berhubungan dengan nasib pohon lainnya. Demikian pula, tidak ada sebatang pohon pun yang menyempurnakan pohon lainnya.

Seandainya di sebuah kebun ada sepuluh pohon apel, maka sebatang pohon apel akan berdiri di atas tanah tempat akarnya tumbuh. Ia dapat menyedot air dan udara. Artinya, kemampuan sebatang pohon untuk tumbuh dan berkembang dengan dan tanpa adanya pohon lain adalah sama. Sekiranya mereka menebang semua pohon lain di kebun itu dan membiarkan pohon itu sendirian, maka tindakan tersebut tidak akan membahayakan pohon itu. Malahan, hal itu justru akan menambah sedikit kebebasannya. Demikian juga halnya jika di kebun itu ada berjuta-juta pohon lain. Pohon itu tidak memerlukan kerja sama dengan pohon-pohon lain dalam kehidupannya. Inilah sebuah bentuk kehidupan. Meskipun berkelompok, kehidupan itu tidak bisa disebut sebagai kehidupan sosial. Lalu, apakah kehidupan masyarakat manusia tidak berbeda dari kehidupan sekumpulan pohon dalam kebun? Tentu saja tidak Juga ada sebentuk kumpulan yang merupakan lawan dari bentuk kumpulan pertama seperti senyawa unsur-unsur materi. Beberapa unsur berpadu di suatu tempat. Kemudian alam atau tangan manusia menyebabkan unsur-unsur itu saling bersenyawa. Contohnya adalah air. Air adalah senyawa dari dua unsur gas. Persenyawaan ini adalah kebalikan dari kumpulan beberapa pohon di atas. Dalam kumpulan kedua ini, unsur dari masing-masing bagian menjadi sirna. Bagian- bagian unsur itu sama sekali lenyap dan terhapus. Yang muncul sekarang adalah air yang punya sifat-sifat tersendiri. Ketika proses persenyawaan ini berlangsung, maka gas oksigen maupun gas hidrogen telah lenyap dengan segala sifatnya. Ilmu hanya tahu sebatas bahwa air tersusun dari gas oksigen dan hidrogen. Kemudian, perhitungan tidak lagi dikaitkan dengan kedua unsur pembentuk itu, melainkan dengan gabungan secara umum.

p: 404

Bagaimana halnya dengan masyarakat manusia? Apakah keadaan masyarakat manusia juga demikian? Apakah masing-masing individu manusia sudah tidak punya peran sama sekali dalam masyarakat manusia dan yang diperhitungkan hanyalah masyarakat manusia dalam arti kelompok? Masyarakat manusia tidak demikian. Masya- rakat manusia tidak sama dengan sekumpulan pohon atau bintang di suatu tempat. Dalam hal ini, peranan hanya ada pada masing-masing individu. Demikian juga, masyarakat manusia tidak sama dengan perpaduan unsur-unsur alam kimiawi. Dalam hal ini, secara keselurohan peranan hanya ada pada kumpulan atau kelompok. Di sisi lain, anggota masyarakat manusia-selain berpusat pada kelompok-juga punya kemerdekaan di hadapan kelompoknya. Karena itu, dalam masyarakat manusia, “bagian” bisa mengubah “kelompok”-nya. Seorang manusia mampu mengubah lingkungannya dan, pada saat yang sama, juga dipengaruhi oleh lingkungannya. Seorang manusia bukan hanya punya kemerdekaan dan kebebasan di hadapan lingkungannya, melainkan punya kemampuan untuk mengubah lingkungannya.

Kekuatan penggerak atau pilar sejarah berkaitan dengan keadaan manusia. Pertama, kita harus memerhatikan manusia dari sisi fitrahnya. Artinya, kita harus melihat naluri apa saja yang berperan dalam diri manusia dan dimilikinya tanpa proses belajar dan kebiasaan.

Dalam diri manusia ada naluri atau kecenderungan untuk tetap hidup, untuk menghilangkan rasa lapar, dan kecenderungan pada makanan dan kelezatan. Selain itu, ada juga berbagai kecenderungan pokok lain dalam diri manusia. Kecenderungan seksual adalah kecenderungan pokok dalam diri manusia. Kecenderungan pada kesempurnaan juga ada dalam diri manusia dan merupakan kecenderungan pokok. Demikian pula, dalam diri manusia, ada kecenderungan dan kesenangan pada seni dan keindahan. Artinya, manusia cenderung pada keindahan karena keindahan itu sendiri, bukan karena sesuatu lain. Dalam diri manusia, ada kecenderungan untuk mengkaji dan meneliti hakikat.

Ini adalah kata lain dari kecenderungan pada ilmu pengetahuan.

Manusia mencari ilmu pengetahuan bukan semata-mata lantaran ilmu pengetahuan akan memberikan kekuasaan kepadanya atau akan dapat menyelesaikan berbagai problem yang dihadapinya, melainkan esensi ilmu pengetahuan itu sendiri yang dicarinya. Artinya, manusia

p: 405

ingin mengetahui hakikat dan realitas, meskipun sama sekali tidak berhubungan dengan kehidupannya. Jadi, ilmu pengetahuan adalah salah satu yang dicari manusia juga.

Jika kita hendak menerapkan pernyataan bahwa dasar dari segala sesuatu adalah masalah ekonomi—yakni, naluri dan kecenderungan pokok dalam diri manusia hanya satu dan berupa kecenderungan pada ekonomi, sementara semua naluri dan kecenderungan lain bukanlah pokok-maka jelaslah bahwa pernyataan ini sama sekali tidak men- dasar. Para ilmuwan zaman sekarang, termasuk yang menganut ma- terialisme, tidak menerima pernyataan itu. Begitu juga, sejarah tidak menerima pernyataan ini. Berbagai kesaksian luar yang bisa dilihat manusia di lingkungan sekitarnya juga tidak mendukung pendapat bahwa apa saja yang dicari dan dilakukan manusia adalah semata- mata demi kepentingan ekonomi! Apakah kehidupan rumah tangga, di mana seorang pria cenderung memilih seorang wanita dan sebaliknya, dilakukan semata-mata berdasarkan pertimbangan untuk memenuhi kepentingan-kepentingan ekonomi saja? Sama sekali tidak demikian.

Sebab, sejarah dan berbagai peristiwa dalam sejarah tidak mengatakan demikian.

Namun, mungkin saja seseorang bisa mengatakan bahwa teori prinsip ekonomi dalam sejarah tidak berpijak pada dasar teori naluri tunggal dalam diri manusia sehingga ia bisa mengatakan bahwa satu- satunya naluri pokok dalam diri manusia adalah naluri atau kecende- rungan ekonomi. Akan tetapi, teori di atas berpijak pada teori lain yang mengatakan bahwa ada perbedaan mendasar antara kecen- derungan ekonomi dalam diri manusia dengan semua kecenderungan lainnya (dalam jangkauan tertentu, pernyataan ini benar). Memang benar bahwa manusia sudah tercipta dengan membawa kecenderungan pada kesempurnaan dan kedudukan. Kecenderungan pada kekuasaan dalam diri manusia bersifat pokok. Juga benar bahwa faktor seksual ada dalam diri manusia seperti berbagai faktor lainnya. Hanya saja, di sini, ada perbedaan. Kecenderungan-kecenderungan manusia pada segala sesuatu yang berkaitan dengan masalah ekonomi adalah syarat bagi manusia untuk bisa melanjutkan kehidupannya. Artinya, manusia tidak mungkin hidup tanpa faktor ekonomi itu. Sementara faktor-fak- tor lain, meskipun bersifat pokok dalam artian bahwa manusia tidak

p: 406

menginginkannya sebagai pendahuluan bagi kecenderungan ekonomi, menempati kepentingan nomor dua. Artinya, manusia terlebih dahulu harus berpikir ihwal bagaimana ia bisa hidup. Kemudian, ia baru bisa memenuhi kecenderungan cintanya. Baru setelah itu ia bisa memenuhi kecenderungannya pada seni dan segala keindahan yang diinginkannya serta bekerja dalam bidang ilmu pengetahuan. Namun, terlebih dahulu, ia harus mempertahankan diri untuk tetap hidup. Manusia sama sekali tidak akan bisa melanjutkan hidupnya tanpa lebih dahulu memenuhi tuntutan-tuntutan ekonominya. Ini persis seperti dikatakan Maulawi bahwa, pada mulanya, manusia adalah tawanan roti. Manusia harus mengenyangkan perutnya lebih dahulu, baru kemudian bekerja untuk imannya. Ucapan mereka bahwa “pada perut yang lapar tidak terdapat iman” adalah ucapan yang perlu mendapat perhatian. Artinya, manusia harus mengenyangkan perutnya lebih dahulu, baru kemudian ia me- ngikuti naluri imannya. Anda mengatakan bahwa iman adalah salah satu fitrah. Biarlah iman tetap sebagai fitrah. Namun, yang pertama adalah bahwa perut harus kenyang lebih dahulu. Kedudukan, kemu- liaan, kekuasaan, dan sebagainya baru berlaku manakala perut sudah kenyang. Begitu juga halnya dengan faktor seksual. Sebab, sesudah manusia mengenyangkan perutnya, ia baru berusaha untuk cintanya.

Sekiranya perut manusia dalam keadaan lapar, maka mungkin ia tidak akan mencari istri hingga akhir hidupnya. Sebab, yang pertama kali harus dilakukannya ialah bekerja untuk mendapatkan roti.

Ketika rasa lapar datang menyerang, manusia akan melupakan segala sesuatu seperti cinta, iman, pengetahuan, seni, dan keindahan.

Dengan demikian, yang menjadi perhatian manusia pada tingkatan pertama adalah masalah ekonomi. Ketika segala sesuatu yang berhubungan dengan perut berubah, entah kita kehendaki maupun tidak lantaran ini adalah syarat pertama bagi kehidupan, maka segala sesuatu pun, mau tidak mau, akan ikut berubah. Dalam hal ini Rasulullah Saw bersabda, “Barangsiapa tidak punya bekal kehidupan dunia, maka ia tidak beroleh kehidupan akhirat." Mungkin saja ada orang yang mengatakan bahwa masalah ini sama sekali tidak berhubungan dengan tema yang sedang kita bahas.

Maksudnya, kita hendak membuktikan bahwa, dalam psikologi, satu- satunya naluri pokok yang berperan dalam diri manusia hanyalah

p: 407

naluri atau kecenderungan ekonomi, sementara naluri lainnya tidak bersifat pokok. Dengan demikian, Anda mengatakan bahwa psikologi mengingkari pernyataan ini dan mengakui adanya naluri lainnya dalam diri manusia. Tidak, saya tidak membicarakan dari sudut pandang ini. Saya membicarakannya dari sudut pandangan khusus. Dalam masyarakat, kita jumpai ada institusi ekonomi dan berbagai institusi lainnya. Namun, selamanya manusia memandang bahwa institusi ekonomi tidak ada, maka kehidupan pun tidak ada. Institusi-institusi lain tidak ada, maka kehidupan pun masih tetap ada. Akan lebih baik kalau institusi-institusi lain itu ada. Ini bermakna bahwa jika institusi ekonomi berubah, maka segala sesuatu pun akan berubah.

Mungkin saja ada orang yang menjelaskan masalah itu dalam bentuk demikian. Hanya saja, perlu diingat bahwa kaum Marxis sendiri tidak mengatakan demikian. Mereka benar-benar meyakini bahwa semua institusi lain adalah bohong. Dalam pandangan mereka, seluroh institusi tidak lebih dari sekadar bias atau pengantar bagi institusi ekonomi. Ini tidak berarti bahwa institusi-institusi lain itu punya kebebasan. Akan tetapi, institusi ekonomi lebih penting dari berbagai institusi lainnya. Kaum Marxis sama sekali menolak segala bentuk kebebasan yang dialamatkan kepada institusi selain ekonomi. Bahkan, jika kita menjelaskan masalah dalam bentuk demikian, maka hal itu tetap salah. Sebab, ini berarti bahwa jika urusan manusia ada di antara rasa lapar dan pertimbangan lain, maka sudah pasti bahwa faktor rasa lapar harus dikedepankan. Apakah peristiwa-peristiwa dalam sejarah selalu demikian? Apakah manusia senantiasa tunduk pada rasa lapar dalam artian bahwa ketika rasa lapar menyerang mereka, lantas mereka ubah sejarah? Jelas tidak demikian. Jadi, yang mereka maksudkan adalah bahwa jika manusia kenyang, maka naluri lainnya baru bekerja.

Jika demikian halnya, maka ini berarti bahwa faktor ekonomi merupakan sumbu penggerak sejarah. Faktor ekonomi inilah yang berperan sangat besar dalam menggerakkan roda sejarah. Selain itu, kita juga tidak menerima pandangan bahwa kecenderungan pada ekonomi jauh lebih kuat ketimbang berbagai kecenderungan lainnya. Di dalam sejarah, kita menyaksikan bahwa betapa manusia banyak melakukan pengorbanan, entah dalam bentuk mengorbankan nyawa maupun menanggung berbagai kesulitan dan penderitaan. Semuanya itu dilakukan demi

p: 408

keyakinan maupun fanatisme. Apa yang hendak Anda katakan pada berbagai realitas historis yang di dalamnya fanatisme menggerakkan sejarah? Terkadang manusia sanggup mengorbankan dirinya demi bangsa, tanah air, dan keyakinannya. Fenomena ini mengatasi rasa lapar. Rasa lapar bisa menguasai diri manusia jika ia menjadikan rasa lapar sebagai tujuan utamanya.

Pasukan Mu'âwiyah mencegah pasukan Imam Alî untuk mendapatkan air. Ketika itu, Imam Alî berpidato di hadapan pasukannya dan membakar semangat serta harga diri mereka. Tak lama kemudian, pasukan Mu'êwiyah ketakutan dan menjauhi tepi Sungai Eufrat. Imam Alî mengatakan, “Mereka menduduki tepi Sungai Eufrat agar kalian semua mati kehausan. Dengan demikian, mereka bisa mencabut akar kalian semua. Apakah kalian ingin terbebas dari rasa haus kalian? Basahilah pedang kalian dengan darah-darah mereka. Hidup dan mati bukan berarti bahwa seseorang masih bisa menarik napas atau tidak.

Bagi kalian, kematian sejati adalah hidup sebagai taklukan, dan hidup sejati adalah mati sebagai penakluk” (Nahj al-Balâghah, khutbah 51).

Inilah satu naluri dan emosi dalam diri manusia.

Mereka mengatakan bahwa kekuatan penggerak sejarah adalah faktor-faktor ekonomi saja. Sama sekali tidak demikian. Masih ada berbagai kekuatan yang menggerakkan sejarah. Kita tidak dapat me- ngatakan bahwa semua kekuatan itu bersumber dari satu pusat. Tidak ubahnya sebuah jam yang punya pegas. Ketika kita putar pegasnya, maka ia akan tertekan. Setelah itu, secara berangsur-angsur, pegasnya akan terbuka. Kekuatan balik pegas yang ditekan itu menggerakkan jarum jam dan segala sesuatu dalam jam itu.

Masyarakat manusia tidak bisa dijelaskan dalam batasan bahwa ia punya sebuah motor penggerak. Dan motor penggerak itu adalah faktor ekonomi. Memang benar bahwa manusia punya motor penggerak.

Akan tetapi, setiap naluri dalam diri manusia adalah motor penggerak.

Segala macam bentuk pertentangan, perselisihan, dan tidak adanya keserasian berasal dari satu kenyataan bahwa, dalam diri manusia, tidak hanya ada satu motor penggerak. Jika memang benar bahwa, dalam masyarakat manusia, hanya ada satu motor penggerak, maka mustahil akan timbul segala macam bentuk pertentangan dan perselisihan

p: 409

dalam masyarakat manusia. Penyebab paling mendasar bagi timbulnya pertentangan dan perselisihan adalah karena berbagai naluri dalam diri manusia selalu berperang satu sama lain. Mereka mengatakan bahwa yang ada hanyalah naluri atau kecenderungan ekonomi. Naluri inilah yang telah melahirkan pertentangan kelas. Sesungguhnya tidak ada pertentangan kelas. Pertentangan kelas bersumber dari pembagian kelas itu sendiri. Sementara itu, munculnya pembagian kelas bersumber dari “kepemilikan”.

Kenyataannya tidaklah seperti apa yang mereka katakan. Sebab, di tengah-tengah masyarakat, ada berbagai pertentangan yang tidak masuk dalam kategori pertentangan antarkelas dan juga tidak bersumber dari masalah ekonomi. Pertentangan-pertentangan ini merupakan sumber bagi serangkaian perselisihan dan pertengkaran dalam masyarakat manusia. Karena itu, sedalam apa pun kita berpikir, hingga saat ini, kita belum mampu menjelaskan masalah ini. Bukti apa yang bisa diperoleh dari sejarah guna membenarkan pandangan ini? Jika faktor-faktor ekonomi-entah itu rasa lapar atau sifat rakus-bersifat dasar dalam sebagian tempat dan kasus tertentu saya menyebut sifat rakus termasuk dalam faktor ekonomi, meski makna hakikinya adalah meminta lebih dan termasuk dalam masalah jiwa), dan jika salah satu bagian dari berbagai peristiwa sejarah dan kejadian sosial bersumber dari rasa lapar dan sifat rakus, maka tidak diragukan lagi bahwa sebagian besar darinya muncul dari faktor-faktor lain.

Ketika kita meyakini bahwa faktor ekonomi bukanlah penggerak tunggal bagi segala sesuatu, maka kesulitan dalam menjelaskan masalah ini akan bisa dipecahkan. Demikian juga halnya jika kita meyakini bahwa iman dan akidah adalah faktor pokok lainnya. Artinya, kita mengakui bahwa, pada saat yang sama, manusia adalah sebuah maujud yang memiliki ideologi dan keyakinan. Manusia sanggup mengorbankan semua kepentingan sosialnya demi iman dan keyakinannya. Ia berani menyampingkan segala macam bentuk kedudukan, harta, dan kekayaan. Al-Quran mengatakan: Dan mereka mengutamakan orang lain atas diri mereka sendiri, walaupun sebenarnya mereka memerlukan (QS 59: 9). Karena itu, tidaklah memuaskan argumentasi yang mengatakan bahwa landasan pokok sebuah masyarakat adalah hubungan ekonomi dan bahwa hubungan ekonomi pasti berubah.

p: 410

Perubahan dalam hubungan ekonomi pasti akan mengubah segala sesuatu. Dengan demikian, segala sesuatu harus berubah.

Faktor-faktor apa saja yang diakui Islam sebagai bersifat pokok dalam gerak perputaran sejarah? Karl Marx mengatakan, “Pilar suatu masyarakat adalah aktivitas perekonomian masyarakat itu. Semua fenomena sosial-seperti kebudayaan, kesenian, agama, adat-istiadat, bentuk, dan undang-undang suatu negara—hanyalah supra-struktur saja.” Yang dimaksudkannya dengan ekonomi bukanlah uang, makanan, dan pakaian, melainkan segala sesuatu yang bisa dipertukarkan. Sekali- kali tidak demikian. Sebab, ia mengatakan, “Kepentingan-kepentingan ekonomi adalah faktor penggerak manusia.” Kepentingan-kepentingan ekonomi tidak hanya terbatas pada makanan dan pakaian. Umpamanya saja, kenikmatan syahwat dan pemenuhan rasa cinta dan harga diri juga termasuk dalam kategori kepentingan materi. Maksudnya, semuanya itu termasuk dalam kategori kepentingan materi. Apa yang dilakukannya dalam menafsirkan makna “kepentingan materi” hanyalah sebuah penjelasan darinya.

Di sini, ada dua masalah. Kadang-kadang, Karl Marx berbicara seperti layaknya kaum materialis lainnya di dunia ini yang mengatakan bahwa otentisitas (ishâlah) hanya ada dalam materi. Namun, kadang- kadang, ia tidak mengatakan demikian. Pada dasarnya, inilah yang membedakan ajaran Karl Marx dari seluroh ajaran materialisme lain di dunia ini. Berkaitan dengan ihwal apakah manusia itu adalah realitas maknawi atau realitas materi, sebagian kaum materialis berkeyakinan bahwa manusia adalah realitas materi belaka. Artinya, mereka sama sekali tidak mengakui segi pokok spiritual dalam diri manusia. Mereka mengatakan bahwa tujuan asli dari usaha dan sepak terjang manusia tak lain adalah kehidupan materi. Kehidupan materi kembali pada kebutuhan-kebutuhan jasmani. Segala sesuatu yang mendatangkan kelezatan berasal dari kenikmatan jasmani. Dengan demikian, kecenderungan seksual juga termasuk dalam kategori kecenderungan pada materi.

Yang membedakan ajaran Karl Marx dari materialisme lainnya bukan lantaran ia memandang sejarah sebagai bersifat materiel. Namun, ia memahami “ekonomi” atau “apa saja yang bisa diperjualbelikan” sebagai pilar dan pijakan segala sesuatu. Ia mengartikan ekonomi

p: 411

secara sangat luas sehingga mencakup segala sesuatu yang termasuk dalam kategori bisa dimiliki dan punya nilai ekonomi. Inilah yang membedakan Marxisme dari materialisme lainnya. Titik pembedanya bukanlah keyakinan bahwa sejarah bersifat materiel. Sebab, keyakinan seperti ini juga diyakini oleh kalangan lain.

Jika Anda datang dengan membawa bukti dari berbagai pandangan Marx yang menunjukkan bahwa, menurutnya, materialisme sejarah tidak hanya terbatas pada ekonomi saja, maka Anda benar. Jika Anda mengatakan bahwa Marx tidak mengemukakan “masalah-masalah ekonomi”, maka akan kita katakan bahwa semua ucapan Marx sarat dengan muatan ekonomi. Marx tidak menyebutkan kata “materi”.

Jika Anda mengatakan bahwa suami, istri, ayah, dan ibu termasuk dalam kategori barang-barang ekonomi, maka jelas tidak demikian halnya. Ketika suami dan istri dimasukkan dalam kategori masalah- masalah ekonomi, maka roh rumah tangga tidak akan ada lagi. Artinya, manakala seorang suami menganggap istrinya sama seperti uang yang disimpannya di rumah dan sebaliknya, maka rumah tangga, ketika itu, dibangun di atas landasan lain.

Bagaimana halnya dengan pangkat dan kedudukan? Bisakah kita memasukkan pangkat dan kedudukan sebagai bagian dari masalah- masalah ekonomi? Padahal, manusia kadang-kadang menyampingkan segala kepentingan ekonominya demi mendapatkan pangkat dan kedudukan. Misalnya saja, seseorang sanggup hidup dalam keadaan zuhud seumur-umur dengan tujuan mempertahankan kedudukannya.

Hal serupa bisa juga kita saksikan pada diri orang-orang yang berbuat riya' dan mencari kedudukan di dunia ini. Mereka sanggup menanggung penderitaan hidup hanya untuk menjaga dan mempertahankan kedudukan mereka di mata masyarakat. Ini dilakukan agar pangkat dan kedudukan mereka tidak turun di mata umat. Mereka sanggup memakai baju lusuh sepanjang hayat masih dikandung badan. Mereka membebaskan diri dari segala macam bentuk kenikmatan duniawi.

Mereka sanggup pergi dengan berjalan kaki, makan roti kasar, dan minum cuka, agar kedudukan, kemuliaan, dan kecintaan umat kepada mereka tetap terjaga. Apakah semua ini Anda masukkan dalam kategori ekonomi? Memang benar bahwa hal ini mengandung makna materi dalam pengertian materi sebagai lawan dari sesuatu yang bersifat Ilahi

p: 412

dan ukhrawi. Sebab, perbuatan mereka tidak termasuk dalam kategori Ilahi dan ukhrawi. Namun, perlu diingat bahwa Marx tidak mengatakan "urusan-urusan materi”, melainkan “urusan-urusan ekonomi”. Contoh di atas pasti tidak termasuk dalam urusan-urusan ekonomi. Bukan hanya kita, bahkan orang lain pun seperti Bertrand Russel, turut mengkritik Marx. Mereka mengkritik pandangan Marx ini. Kesimpulan yang bisa diambil dari pandangan Marx tidak bisa diartikan sebagai “kepentingan-kepentingan materi”. Sebab, jika demikian halnya, Russel pun memandang manusia sebagai sebuah realitas materi. Ketika Russel meyakini manusia sebagai realitas materi, pada saat yang sama, ia tidak bisa menerima pandangan Marxyang pijakannya hanya sebatas masalah- masalah ekonomi. Dengan kata lain, Marx menganggap semuanya itu sebagai harta. Marx menganggapnya sebagai masalah-masalah yang bisa ditukar dan diperoleh dengan barang serta uang. Namun, masalah cinta dan kasih sayang bukanlah sesuatu yang bisa diperoleh dengan sejumlah uang. Masalah ini tidak termasuk dalam urusan- urusan ekonomi. Bisa saja seseorang mendapatkan kedudukan dengan sejumlah uang. Namun, kedudukan ini tidak bisa ditukarkan dengan uang. Dengan kata lain, kedudukan ini tidak bisa diperjualbelikan.

Tidak diragukan lagi bahwa masalah ekonomi atau materi menempati posisi sentral dan sangat penting dalam diri manusia ketika hendak memulai kehidupannya. Dan juga tidak diragukan bahwa materi bukanlah satu-satunya faktor penggerak manusia. Kebanyakan manusia pada tahap awal mereka berusaha mendapatkan materi.

Sementara itu, ungkapan bahwa ilmu, kebebasan, agama, dan harga diri sama sekali tidak bisa diperbudak dan diperjualbelikan hanya berlaku bagi sebagian kecil orang saja seperti Imam Alî bin Abî Thâlib. Namun, tujuan diturunkannya semua agama ini adalah memperlihatkan bahwa jika manusia hanya menjadikan materi sebagai satu-satunya faktor penggerak kehidupan dan menempatkannya di atas segala- galanya, maka hasilnya adalah kekacauan dan kerusakan. Jika Anda menginginkan kebahagiaan, maka inilah jalannya.

Penjelasan ini bagus. Hanya saja, di dalamnya, masih ada tempat bagi kata “tetapi”. Artinya, jika yang menjadi kekuatan pokok peng- gerak manusia dan sejarah adalah materi, maka-menurut keyakinan mereka-manusia akan terseret secara terpaksa. Karena itu, bisa

p: 413

diketahui bahwa mereka punya pandangan deterministik (jabrî) dalam berbagai masalah ini. Meskipun mereka berusaha menjaga kebebasan manusia dalam hal ini, tak urung logika mereka tetap berwatak deterministik. Bagaimana agama ini mampu berbuat menghadapi bentuk “keharusan dan keterpaksaan” ini? Bagaimana agama mampu memberikan pengaruhhya? Ini sama artinya dengan agama mengatakan kepada manusia, "Wahai manusia! Sesungguhnya segenap malapetaka yang menimpa kalian berasal dari perut dan rasa lapar. Karena itu, janganlah sampai Anda lapar agar Anda sejahtera.” Mungkinkah manusia tidak merasa lapar? Berdasarkan hukum alam, manusia pasti akan merasa lapar. Juga, menurut hukum alam, jika manusia merasa lapar, maka ia akan pergi mencari roti. Untuk mendapatkan roti, terjadi pertentangan dan perselisihan untuk mempertahankan hidup. Ini adalah juga pandangan deterministik.

Jika tidak ada naluri lain dalam diri manusia yang bisa digunakan oleh agama untuk mengontrol nalur-naluri lain itu, maka ajaran- ajaran agama itu pastilah sia-sia dan sama sekali tidak berpengaruh.

Agama sudah melaksanakan tugas dan peranan dasarnya. Ia juga mengatakan apa yang sudah Anda katakan, yakni: “Ilmu, kebebasan, agama, dan harga diri tidak dapat dieksploitasi dan diperjualbelikan.” Demikian juga, agama telah memberitahukan akibat-akibat yang akan ditimbulkan dari perbuatan itu. Jelaslah bahwa ajaran agama ini bertentangan dengan keyakinan sebagian orang yang mengatakan bah- wa manusia hanya mengikuti berbagai kepentingan sementaranya dan bahwa manusia tidak akan melakukan perbuatan yang bertentangan dengan kepentingan-kepentingannya itu. Dalam diri manusia juga ada kecenderungan yang mengatakan, “Benar. Apakah selamanya manusia harus melakukan perbuatan demi uang?” Naluri seperti inilah yang hendak dihidupkan oleh para nabi. Ini tidak berarti bahwa naluri itu tidak ada dalam diri manusia dan hanya ada pada beberapa orang seperti Alî bin Abî Thâlib. Para nabi hendak memanfaatkan naluri kecintaan pada materi dalam diri manusia untuk kepentingan ilmu, kebebasan, agama, dan harga diri. “Para nabi datang untuk menghidupkan berbagai kekuatan yang ada di bawah pengaruh naluri kecintaan pada materi.” Ucapan ini benar sekali. Dalam ungkapan Al-Quran, para nabi datang untuk menghidupkan segi-segi yang telah mati dalam fitrah manusia.

p: 414

Imam 'All mengatakan, “Kemudian Allah mengutus para rasul dan nabi- Nya ke tengah-tengah manusia agar mereka menepati janji fitrahnya." (Nahj al-Balâghah, khutbah 1).

Misalnya saja, jika dalam diri manusia tidak ada kecenderungan untuk menyukai syair dan keindahannya, lantas mungkinkah orang- orang sekaliber Sa'di, Maulawi, Hafizh dan sebagainya sanggup memiliki pengaruh demikian di tengah-tengah masyarakat? Sekalipun dituduh kafir dan fasik, mereka tetap mampu mempertahankan kebesaran dirinya. Mengapa demikian? Ini karena mereka punya hubungan dengan roh dan jiwa manusia. Mereka memiliki keindahan dan kelembutan. Manusia harus menaruh perhatian pada kelembutan, keindahan, dan kemajuan berpikir. Manusia mencintai mereka bukan karena kepentingan-kepentingan ekonomi, melainkan karena naluri kecintaan pada keindahan dalam diri mereka. Manusia mencintai mereka disebabkan mereka tunduk pada pemikiran-pemikiran maju, kreatif, dan indah.

Demikian juga halnya dengan agama. Nabi Islam tak lain hanyalah seorang anak yatim yang sejak semula ditentang oleh keluarganya sendiri. Faktor-faktor yang berlaku di zaman Rasulullah saw—meski sejauh apa pun Anda hendak menjelaskannya-berubah secara total hanya dalam jangka waktu beberapa tahun. Kondisi zaman para khalifah periode pertama juga telah berubah. Demikian juga, kondisi zaman Bani Umayyah dan Bani Abbâsiyyah telah berubah. Ribuan peristiwa lain datang silih berganti. Segala macam bentuk fanatisme telah lenyap. Masyarakat kelas tertentu telah lenyap dan kemudian muncul masyarakat kelas lain. Bangsa yang tadinya berada di atas kini berada di bawah dan sebaliknya. Namun, Islam dan Al-Quran tetap mampu mempertahankan dirinya dalam kancah segala macam peristiwa dan perubahan itu. Biduk yang ada di tengah-tengah dua kutub besar dan saling tarik-menarik ini tetap sanggup mempertahankan keberadaannya. Tak lain, ini disebabkan biduk itu punya dasar pijakan dan hubungan khusus dengan jiwa manusia.

Al-Quran mengatakan: Dan sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Quran, dan sesungguhnya Kami-lah yang benar-benar akan memeliharanya (QS 15: 9). Ayat Al-Quran ini tidaklah bermakna, “Sesungguhnya Kami menurunkan Al-Quran dengan Jibril, dan Kami

p: 415

akan menjaga dan melindungi dengan kekuatan dari orang-orang yang hendak mengusirnya.” Akan tetapi, maknanya adalah, “Kami akan menjaga Al-Quran karena sunnah Kami memang menjaganya.” Sunnah Allah ialah segala sesuatu yang berhubungan dengan kebutuhan dan fitrah manusia. Fitrah dan kebutuhan dalam diri manusia inilah yang menjaga dan melindungi Al-Quran. Karena itu, walaupun dengan segala macam bentuk kekuatan, langkah, dan pembaruan dalam sejarah, Al- Quran tetap mampu mempertahankan diri dan otentisitasnya. Hingga kini, Anda bisa menyaksikan bahwa, di belahan bumi lain seperti Eropa dan Afrika, muncul beberapa pemikir yang membicarakan Al-Quran.

Mereka kemudian masuk Islam. Demikian juga, beberapa contoh lain menunjukkan bahwa ada daya tarik khusus yang terjadi antara Al- Quran dan jiwa manusia.

Anda mengatakan bahwa manusia mencari kedudukan demi kedudukan itu sendiri. Kebanyakan manusia mencari pangkat dan ke- dudukan karena menginginkan kemegahan dan keistimewaan dirinya.

Tak banyak Anda jumpai orang yang sama sekali tidak punya keyakinan dan kemudian bekerja hanya untuk mendapatkan suatu kedudukan yang tidak ada apa-apanya. Jika ia tahu bahwa dirinya tidak akan mendapatkan apa-apa dari kedudukan yang diharapkannya itu, maka ia pasti tidak akan berusaha mengejarnya. Jika Anda melihat ada seorang seperti Gandhi, maka Anda tidak bisa mengatakannya bahwa ia adalah seorang yang sama sekali tidak punya keyakinan dan berbagai dimensi spiritual. Coba berikan contoh kepada saya seorang yang sama sekali tidak punya keyakinan dan berusaha mendapatkan suatu kedudukan, tetapi tidak memanfaatkan kedudukannya itu demi kepentingan dirinya.

Bagaimana halnya dengan Nehru? Sekiranya Nehru memilih pekerjaan lain, bisakah ia mengumpulkan harta lebih banyak? Ataukah, justru sebaliknya, ketika menduduki kursi kepemimpinan, ia dapat mengumpulkan harta lebih banyak? Tidak diragukan lagi bahwa Nehru menginginkan kepemimpinan demi kepemimpinan itu sendiri. Sebab, ia sama sekali tidak percaya kepada Tuhan dan tidak bekerja untuk akhirat.

Di sini ada dua kemungkinan. Kemungkinan pertama adalah bahwa Nehru benar-benar seorang manusia pencinta perdamaian

p: 416

dan kemanusiaan. Ia melakukan semuanya itu semata-mata karena kecintaannya pada nilai-nilai kemanusiaan. Inilah argumentasi lain yang membantah pandangan kaum Marxis. Kita berkeyakinan bahwa terkadang nurani dan emosi kemanusiaan yang mulia sanggup me- lakukan tugasnya tanpa keinginan untuk mendapatkan kedudukan, kenikmatan seksual, dan berbagai kepentingan ekonomi. Kemungkinan kedua adalah bahwa Nehru melakukan semuanya itu karena ingin mendapatkan kedudukan. Dengan kata lain, ada dua kemungkinan penjelasan yang dapat dialamatkan kepada Nehru. Kemungkinan pertama adalah bahwa mungkin saja faktor yang menggerakkan Nehru untuk melakukan semua perbuatannya adalah kecintaannya kepada sesama manusia. Artinya, ia adalah seorang manusiayang mengagungkan India, mencintai India, dan benar-benar menaruh perhatian besar pada masa depan bangsa India. Ini semua tidak termasuk dalam berbagai urusan ekonomi. Kemungkinan kedua adalah bahwa ia adalah seorang manusia egois yang hanya bertujuan mencari kedudukan dan pangkat.

Jika tidak demikian halnya, lantas jenis pekerjaan apa yang tidak bisa mendatangkan keuntungan materi lebih banyak selain pekerjaan yang dilakukan Nehru? Pekerjaan Nehru sangat berat dan penuh kesulitan sampai-sampai ia tidak bisa merasakan berbagai kelezatan dunia materi dalam arti ekonomi. Ia rela menanggung segala macam kesulitan itu agar namanya tercatat sebagai pemimpin suatu negara berpenduduk 400 juta jiwa seperti India dan agar namanya tetap abadi dalam sejarah.

Contoh-contoh seperti ini banyak sekali kita jumpai.

p: 417

p: 418

ANALISIS TEORI DETERMINISME EKONOMI DALAM SEJARAH I

p: 419

p: 420

KITA telah menganalisis beberapa argumentasi dari orang- orang yang mengatakan bahwa hukum dan undang-undang selalu berubah secara deterministik. Kita telah menjelaskan beberapa hipotesis kaum Marxis dengan merujuk pada karya Georges Politzer yang sangat terkenal di dalam dan, bahkan juga, di luar Iran, yakni Elementary Principles of Philosophy. (Georges Politzer adalah seorang anggota Partai Komunis Prancis. Ia lahir di Hongaria. Pada usia tujuh belas tahun, ia meninggalkan negerinya dan menuju Prancis. Buku di atas adalah mahakaryanya, peny.) Karyanya ini telah diterjemahkan sejak dua puluh lima atau tiga puluh tahun lalu sewaktu komunisme mencapai puncaknya di Iran. Karya ini dianggap sebagai buku pegangan resmi, sekurang-kurangnya, oleh Partai Komunis Iran. Malahan, segenap kaum Marxis menganggapnya sebagai buku pegangan resmi.

Bab pertama buku ini membahas tema “Kekuatan Penggerak Sejarah”. Kita akan mengutip bagian-bagian yang kita pandang penting.

Sesudah itu, kita mengulas dan menganalisis berbagai pandangan yang ada di dalamnya guna mengetahui ihwal apakah kita tidak memahami berbagai pandangan ini atau justru pandangan-pandangan itu sama sekali tidak berdasar atau, sekurang-kurangnya, tidak punya argumentasi. Georges Politzer mengatakan, “Jika mereka bertanya kepada kita ihwal apakah esensi pemikiran manusia, maka kita harus mengkaji dan menelaah masalah ini secara mendalam. Kita tidak boleh melakukan kesalahan serupa seperti dilakukan kaum materialis abad ke-18 ketika mereka mengatakan, “Pemikiran mengalir dari otak, sama seperti cairan kuning mengalir dari limpa. Kita meyakini bahwa pikiran dan bentuk pemikiran berasal dari karakteristik materi otak setiap individu.”

p: 421

Maksudnya ialah bahwa otak adalah sebab material dari pemi- kiran. Namun, bentuk pemikiran sebagian besar berkaitan dengan kondisi lingkungan sosial kehidupan setiap individu. Ia mengatakan, “Pandangan bahwa sejarah menciptakan seluroh perbuatan seseorang sama sekali tidak benar. Sebab, manusia berbuat berdasarkan kekuatan kehendak dan kemauan mereka. Karena seluroh perbuatan itu adalah hasil dari segenap pemikirannya, maka seluroh perbuatan itu adalah hasil dari otak setiap individu. Penjelasan bahwa pemikiran adalah hasil otak tampaknya adalah sebuah definisi bersifat materialis. Pandangan ini bersifat materialis dan sama sekali tidak benar. Sebab, dengan demikian, berbagai kecenderungan idealis akan tertutup di bawah tirai pemikiran.” Kemudian ia mengutip sebuah pandangan dari Fuerbach, seorang materialis terkemuka, sebagai berikut: “Segala sesuatu yang dilakukan manusia, mau tak mau, akan sampai ke otaknya. (Dari sini diketahui bahwa perbuatan manusia dilakukan atas dasar kebebasan, yakni mengikuti pemikiran dan kehendaknya). Namun, sesuatu yang terekam dalam otak lebih dahulu berkaitan dengan lingkungan hidup, sebelum dengan sesuatu lainnya.” Georges Politzer juga membuka sebuah bab lain dengan judul “Realitas Sosial dan Nurani”. Di dalamnya, ia mengutip pandangan Karl Marx yang terkenal, “Nurani seseorang tidak membentuk realitas sosial mereka. Realitas sosial mereka inilah yang membentuk nurani mereka.” Ia mengatakan, “Kita tahu bahwa pemikiran kita adalah refleksi dari berbagai hal dan realitas. (Ucapan ini benar, karena pemikiran kita adalah rekaman berbagai hal dalam otak kita). Demikian juga, berbagai makna dan pengertian dalam otak kita adalah refleksi dari berbagai hal dan realitas itu.” Begitu pula, segenap tujuan, pemikiran, dan pendapat kita adalah refleksi dari berbagai hal dan realitas itu. Ini adalah satu hal yang perlu kita renungkan. Apakah berbagai keinginan dan tujuan manusia merupakan refleksi dari berbagai hal di atas atau justru sesuatu yang lain? Berbagai keinginan manusia bersumber dari struktur dalam manusia. Apakah memang benar demikian? Apakah masyarakat memberikan keinginan dan tujuan kepada masing-masing anggotanya? Pertanyaan-pertanyaan ini harus kita jawab. Sebab masalah ini sangat

p: 422

penting. Kita ulangi pertanyaannya: Apakah tujuan-tujuan manusia juga mengikuti kondisi ekonomi dan sosial? Atau, apakah manusia mempunyai berbagai tujuan yang, sekurang-kurangnya, berasal dari dalam dirinya sendiri? Masalah ini amat penting untuk dibahas. Yang dimaksud dengan nurani manusia adalah berbagai pemikiran, pemahaman, kecenderungan, dan keinginan yang ada dalam diri manusia. Apakah semuanya ini membentuk wujud atau realitas manusia? Apakah wujud atau realitas sosial manusia menciptakan nuraninya? Ia mengatakan, “Dalam definisi ini, yang dimaksud dengan wujud adalah manusia itu sendiri. Maksudnya adalah kita semua. Nurani adalah kata lain dari sesuatu yang kita pikirkan dan inginkan. Biasanya dikatakan bahwa kita berjuang demi suatu harapan yang bersemai dalam hati dan diri kita.

Kesimpulannya ialah bahwa nurani kita inilah yang telah menyebabkan keberadaan kita. Karena kita berpikir, maka kita bergerak dan berbuat.

Dan perbuatan kita sejalan dengan kehendak dan kemauan kita.

Argumentasi ini sama sekali salah. Yang benar ialah bahwa realitas sosial inilah yang menciptakan nurani kita. Eksistensi kaum proletar memiliki pola pikir proletar. Eksistensi kaum borjuis mempunyai pola pikir borjuis.” Namun karena mereka melihat kekecualian di beberapa tempat, ia lalu mengatakan, “Nanti kita akan tahu ihwal mengapa hukum ini tidak berlaku secara umum." Engels, dan bukan Karl Marx, membahas masalah ini. Ia melihat kadang-kadang ada penyimpangan di dalamnya. Artinya, bisa saja seseorang berasal dari kaum buroh, tetapi tidak memiliki nurani seorang buroh. Sebaliknya, mungkin saja seseorang berasal dari kaum borjuis, tetapi tidak memiliki nurani seorang borjuis. Akan tetapi, kelompok kedua ini tidak akan dibahas. Dalam kelompok pertama, seseorang mungkin saja berasal dari kalangan buroh, tetapi tidak mempunyai jiwa dan nurani seorang buroh. Ia mengaku. Akan tetapi, ini disebut “nurani dusta”. Kemudian, ia mengutip sebuah ungkapan masyhur yang berasal dari Fuerbach, “Berpikir dalam sebuah istana berbeda dari berpikir dalam sebuah gubuk.” Jelaslah bahwa nurani, pola pikir, dan keinginan manusia berhubungan dengan kelas atau golongannya. Artinya, jika kelas atau golongan berubah, maka pemikirannya akan berubah. Nurani dan

p: 423

keinginannya berubah. Demikian juga, pandangan dunia dan tolok ukur yang dijadikannya sebagal pijakan untuk menghukumi sesuatu akan berubah. Umpamanya saja, manusia-manusia yang berasal dari golongan terhukum, golongan pekerja, dan golongan orang susah berpandangan bahwa satu-satunya jalan yang benar dan adil adalah bahwa kekuasaan harus dipegang oleh kaum buroh. Di dalamnya, hak milik pribadi tidak diakui. Nurani mereka berkata demikian dan menyatakan bahwa itulah satu-satunya jalan yang benar. Selain itu, semuanya adalah salah.

Kemudian ia mengatakan, “Kaum idealis menyatakan bahwa jika kita menjumpai ada dua orang, yang satu proletar dan yang lain borjuis, maka hal ini disebabkan mereka menganut masing-masing sistem yang berbeda itu.” Saya tidak tahu siapa yang melontarkan pernyataan demikian. Kita justru berkeyakinan sebaliknya. Jika ada dua orang memiliki pola pikir yang berbeda, maka mereka terkait dengan kelas dan tingkatan tertentu. Seorang proletar menjadi proletar disebabkan ia mempunyai nurani kaum proletar. Satu hal yang perlu diperhatikan ialah bahwa pandangan kaum idealis ini mengandung hasil praktis.

Mereka mengatakan bahwa disebabkan si fulan mempunyai pola pikir kaum borjuis, maka ia telah menjadi seorang borjuis. Dari perkataan ini, mereka dapat menyimpulkan bahwa orang itu bisa meninggalkan pola pikir kaum borjuis dan menjadi seorang proletar. Gugurlah sifat eksploitasi kaum borjuis dari dirinya.

Tidak diragukan lagi bahwa hanya satu persen saja manusia yang secara khusus mengikuti kepentingan-kepentingan dirinya. Ia berusaha menimbang segenap pemikirannya dengan berbagai ukuran yang bisa menjadi kepentingan-kepentingannya. Namun, hal itu bukan berarti bahwa pemikiran-pemikiran manusia sepenuhnya lahir dari berbagai kepentingannya. Sesungguhnya, manusia punya nurani luhur kemanusiaan yang bisa digunakannya untuk berkhidmat tanpa harus ada lebih dahulu perubahan dalam dasar-dasar kepentingan manusia di mana nurani berpengaruh pada hubungan ekonomi, ber- bagai kepentingan, distribusi kekayaan, dan sebagainya. Perbedaan kebangkitan yang dicetuskan para nabi dengan yang dicetuskan para pemimpin seperti Karl Marx adalah bahwa para pemimpin itu menitikberatkan pada berbagai kepentingan manusia. Tentu saja, me-

p: 424

reka menitikberatkan pada daerah sensitif. Mereka menunjuk pada sisi narsisisme dalam diri manusia. Mereka mengatakan, “Wahai manusia! Wahai kaum pekerja! Wahai kaum tertindas! Kalian semua telah dieksploitasi oleh golongan lain. Mereka telah merampas hak-hak kalian. Sekarang rebutlah hak-hak kalian dari cengkeraman mereka.

Kepalkan tinju kalian kepada orang-orang yang telah menginjak-injak hak-hak kalian. Lakukanlah ini! Lakukanlah itu!" Dalam kebangkitan para nabi, unsur ini juga ada dan tidak diragukan lagi keberadaannya. Jika kita bersandar pada logika Al-Quran, kita pasti akan melihat bahwa unsur ini juga ada, yakni menegakkan kebenaran dan membangkitkan kaum tertindas serta orang-orang yang telah diinjak-injak haknya untuk melawan kaum zalim. Bahkan, dengan ungkapan puitis, Al-Quran telah menjelaskan masalah ini serta mampu mengusik emosi orang-orang tertindas. Al-Quran mengatakan: Dan Kami hendak memberikan karunia kepada orang-orang yang tertindas di muka bumi, dan Kami akan menjadikan mereka para pemimpin dan menjadikan mereka sebagai orang-orang yang mewarisi bumi. Dan akan Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi, dan akan Kami perlihatkan kepada Fir'aun dan Hamam beserta tentaranya tentang apa yang selalu mereka khawatirkan dari mereka itu (QS 28:5-6).

Jadi, para nabi-sejauh tertentu–juga memanfaatkan unsur ini dalam melaksanakan tugasnya. Akan tetapi, perbedaannya adalah bahwa para nabi dan segenap pengikutnya melakukan suatu perbuatan yang tidak dilakukan pemimpin-pemimpin lain, yakni menggugah mereka untuk bangkit menentang hawa nafsu. Para nabi menggerakkan masing-masing individu untuk bangkit menentang hawa nafsunya.

Akarnya adalah nurani manusia yang terbebas dari kepentingan- kepentingan kelas dan golongan. Jika dalam diri manusia tidak ada nurani seperti ini, maka mustahil para nabi mampu memperoleh keberhasilan sebagaimana telah mereka buktikan. Ini benar-benar satu keberhasilan. Sejarah telah membuktikan demikian. Misalnya saja, para nabi ini mengatakan, “Wahai manusia! Kalian memperoleh kekayaan ini dengan jalan tidak benar. Kalian memperolehnya dengan cara kezaliman. Kalian telah menginjak-injak hak orang lain!" Para nabi menggerakkan mereka. Akhirnya, mereka pun bangkit menentang diri mereka sendiri. Betapa banyak manusia yang telah mempersembahkan

p: 425

kekayaan, harta, jiwa, dan kepentingan mereka di bawah telapak kaki para nabi dan kemudian para nabi memberikan semuanya itu pada kaum tertindas.

Ada sebuah kisah terkenal. Disebutkan bahwa seorang kaya tengah duduk menghadiri majelis Rasulullah Saw Tak lama kemudian, masuklah seorang fakir dengan pakaian compang-camping. Orang fakir itu mencari tempat kosong untuk duduk. Kebetulan, tempat kosong itu berada di samping orang kaya tadi. Ia pun pergi dan duduk di samping orang kaya itu. Karena adat kebiasaannya, orang kaya itu pun dengan refleks menjauh darinya. Rasulullah Saw memahami hal itu dan kemudian bertanya, “Apakah engkau takut sebagian dari kekayaanmu akan beralih kepadanya?" Orang kaya itu menjawab, “Tidak, wahai Rasulullah.” Rasulullah bertanya lagi, “Apakah engkau takut tempat dan pakaianmu akan menjadi kotor?” Orang kaya itu menjawab, “Tidak, wahai Rasulullah.” Rasulullah bertanya lagi, “Jika demikian, mengapa engkau berbuat demikian?” Orang kaya itu tidak punya jawaban dan kemudian berkata, “Sudah menjadi kebiasaanku yang salah, wahai Rasulullah. Aku siap memberikan setengah bagian dari kekayaanku kepadanya.” Akan tetapi, orang fakir itu menjawab, “Aku tidak mau menerimanya.” Orang-orang bertanya, “Mengapa engkau tidak mau menerimanya?” Orang fakir itu menjawab, “Karena aku takut apa yang menimpa dirinya akan menimpa diriku juga." Ini adalah suatu perbuatan yang ditujukan pada nurani. Di sini Rasulullah Saw membangkitkan nurani orang kaya untuk mau memberikan setengah kekayaannya kepada orang fakir. Di sisi lain, Rasulullah Saw berhasil mendidik si miskin agar ia memerhatikan nuraninya. Ia tidak membiarkan nuraninya yang bersih itu ternoda barang sesaat pun. Karenanya, orang fakir itu mengatakan bahwa ia sama sekali tidak menginginkan kekayaan seperti itu.

Jika kita mengkaji sejarah, kita pasti menjumpai kenyataan bahwa hal-hal seperti itu memang pernah ada dalam kebangkitan ajaran dan agama para nabi. Para nabi telah menggerakkan seseorang untuk bangkit menentang kepentingan dirinya. Inilah yang disebut tobat. Tobat adalah suatu keadaan luhur dalam jiwa manusia yang di dalamnya seseorang bangkit menentang hawa nafsunya atau, dengan kata lain, bangkit untuk mengadakan perbaikan. Secara khusus, saya

p: 426

telah mengumpulkan berbagai ungkapan Al-Quran tentang tobat. Saya melihat ungkapan-ungkapan itu sangat indah dan mengagumkan.

Al-Quran berulang kali mengatakan, “Bertobat dan mengadakan per- baikan.” Artinya, tobat adalah sebuah kebangkitan dari dalam diri manusia—sebuah kebangkitan nurani manusia dalam menentang hawa nafsu dan segala macam bentuk-pelanggaran yang dilakukannya. Jika dalam diri manusia ada keadaan seperti ini dan sesungguhnya memang ada, maka yang demikian itu membuktikan adanya nurani yang lepas dari berbagai kepentingan. Kita tidak mengatakan bahwa kepentingan- kepentingan seseorang sama sekali tidak berpengaruh pada nuraninya.

Namun, yang kita katakan adalah bahwa bukan kepentingan- kepentingan itu yang telah menciptakan semua unsur nurani.

Dalam pokok bahasan lain yang berjudul "Keberadaan Realitas Sosial dan Kondisi Kehidupan", Georges Politzer mengatakan, “Karl Marx berbicara kepada kita tentang keberadaan ‘realitas sosiaľ. Kita harus memahami maksud istilah ini. “Realitas sosial bisa diketahui melalui perantaraan kondisi kehidupan masyarakat manusia. Bukan nurani manusia yang menciptakan kondisi dan lingkungan materi, melainkan kondisi dan lingkungan materi itulah yang menciptakan nurani manusia.” Dalam kenyataannya, kedua hal itu sama-sama ada. Bukan hanya kondisi dan lingkungan materi saja yang memberikan pengaruh pada nurani manusia, tetapi nurani manusia juga memberikan pengaruh pada kondisi dan lingkungan materi. Masing-masing saling memengarohi satu sama lain. Masing-masing tidak menjadi sebab bagi yang lain.

Keduanya adalah dua dari sekian banyak unsur dan faktor di alam ini. Satu sama lain saling memengarohi, sama seperti halnya nurani memengarohi kondisi dan lingkungan materi. “Apakah yang dimaksud dengan kondisi kehidupan? Dalam sebuah masyarakat manusia, ada orang-orang kaya dan orang-orang miskin. Pola pikir kedua kelompok orang ini berlainan. Bahkan tentang masalah yang sama, mereka tidak mempunyai pola pikir yang sama (karena yang satu hidup dalam kondisi miskin, dan yang lain hidup dalam kondisi kaya).” Setelah itu, ia mengatakan bahwa kekayaan dan kemiskinan pun tidak menjadi ukuran. Kelas itulah yang menjadi dasar dan ukuran.

Mungkin saja seseorang yang berasal dari kelas tertentu punya

p: 427

pendapatan lebih besar daripada orang yang berasal dari kelas lain.

Umpamanya, mungkin saja seseorang yang berasal dari kelas pekerja punya pendapatan lebih daripada seorang yang berasal dari kelas borjuis. Namun demikian, nuraninya tetaplah berupa nurani kelas.

Pendapatan tidak menjadi ukuran.

Kemudian pernyataan ini direvisi sebagai berikut. “Kemiskinan dan ketidakberdayaan adalah kata lain dari ‘kondisi kehidupan? Yang harus diperhatikan ialah: Mengapa di dunia ini ada orang-orang kaya dan orang-orang miskin sehingga menyebabkan kondisi kehidupan manusia berbeda-beda? Sekelompok manusia yang punya kondisi kehidupan materi secara komunal membentuk kelas tersendiri. Namun, pengertian kelas di sini tidak hanya sebatas pada pengertian kaya dan miskin. Seorang proletar yang punya pendapatan lebih besar daripada seorang borjuis tetaplah seorang proletar. Bahkan, sekiranya ia punya pembantu dan kebebasan dalam kehidupannya, maka kedudukannya sebagai orang proletar tidak akan bertambah dan berkurang. Kondisi kehidupan materi tidak berkaitan dengan usaha menghasilkan uang, melainkan dengan aktivitas dan kemampuan sosial. Di sini kita dapat menyaksikan bahwa manusialah yang menciptakan sejarah. Usaha dan pekerjaan manusia dilakukan atas dasar kehendak dan keinginannya.

Keinginan dan kehendak manusia adalah hasil dari segenap pemikirannya. Sementara itu, segenap pemikiran manusia adalah hasil dari kondisi kehidupan materi. Dengan kata lain, segenap pemikiran itu adalah kondisi yang berkaitan secara khusus dengan kelas tertentu.” Demikianlah, mereka menafsirkan sejarah. Jadi, manusialah yang menciptakan sejarah. Yang dimaksud dengan manusia di sini adalah segenap perbuatan manusia. Perbuatan manusia mengikuti kehendak dan keinginannya. Sementara itu, kehendak dan keinginan manusia mengikuti pola pikir mereka. Di sisi lain, pola pikir mereka mengikuti kondisi kehidupan materi dan kelas kehidupan. Kesimpulan dari semua itu ialah bahwa yang menciptakan seluroh sejarah adalah kondisi khusus yang ada pada masing-masing kelas.

Dalam pasal lain, ia juga membahas tema tentang pertarungan antar berbagai kelas dan golongan. Di dalam kesimpulannya, ia mengatakan bahwa yang menciptakan sejarah ialah pertarungan dan pertentangan antar berbagai kelas dan golongan, dan bukan yang lain.

p: 428

(Keadaan ini terjadi setelah masa kehidupan komunal pertama. Sebab, kehidupan komunal pertama tidak bisa dikategorikan dalam sejarah).

Di sini, ada sesuatu yang samar bagi saya. Apakah manusia sama sekali tidak punya sejarah pada masa sebelum terbentuknya kelas-kelas, yang menurut keyakinan mereka-adalah masa kehidup an komunal pertama? Apakah pada masa itu tidak terjadi berbagai peristiwa? Lebih dari itu, ketika manusia sudah sampai pada masa kehidupan komunal kedua, apakah motor penggerak sejarah yang sudah berhenti akan bergerak kembali? Apakah di negara Cina dan Soviet motor penggerak sejarah sudah tidak lagi bekerja? Di kedua negara itu, sudah tidak ada lagi kelas dan golongan. Saya benar-benar tidak tahu apa yang akan mereka katakan dalam hal ini.

Dalam pasal “Pertarungan antarkelas sebagai Penggerak Sejarah”, ia mengatakan, “Perbuatan dan perilaku masing-masing orang sesuai dengan pemikirannya. Pemikiran-pemikiran mereka ini adalah hasil dari kehidupan materi mereka dan berkaitan dengan kelas tertentu.

Karena itu, kita tidak boleh membayangkan bahwa, dalam masyarakat, hanya ada dua kelas dan golongan, tetapi ada banyak golongan.

Hanya saja, dari sekian kelas dan golongan itu, hanya dua kelas saja yang saling berseteru, yakni kelas proletar dan kelas borjuis." Ini berlebih-lebihan. Ia mengatakan bahwa ada kelas-kelas lain, tetapi sama sekali tidak punya peranan apa pun dalam menggerakkan sejarah. Hanya dua kelas di atas sajalah yang dapat memberikan pengaruhnya pada zaman kita. “Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa pikiran seseorang adalah gambaran kelasnya. Masyarakat terbagi dalam berbagai kelas yang saling bertempur. Bertitik tolak dari sini, jika kita memerhatikan berbagai pemikiran manusia, kita pasti akan menemukan bahwa terjadi pertentangan dan pertempuran di antara berbagai pemikiran itu. Di balik berbagai pemikiran itu, kita bisa menyaksikan berbagai bentuk kelas dan golongan yang saling berseteru dan bertentangan. Karena itu, kekuatan penggerak sejarah, yakni sesuatu yang menciptakan sejarah, adalah perang yang terjadi antara berbagai kelas dan golongan. Engels mengatakan, “Tidak diragukan lagi bahwa, dalam sejarah modern, semua pertarungan politik adalah kata lain dari pertarungan antarkelas dan golongan. Setiap pertarungan untuk memperebutkan kemerdekaan adalah letupan kelas dan kelompok atas

p: 429

eksistensi sistem politik yang ada. Dan semuanya akan berakhir dengan diperolehnya kebebasan dalam bidang ekonomi.” Kemudian, sekali lagi, Georges Politzer mengatakan, “Yang perlu ditambahkan dalam masalah ialah bahwa perbuatan, keinginan, dan pemikiran adalah bias dari kelas dan golongan. Kemudian kelas dan golongan adalah hasil dari ekonomi masyarakat. Jadi, bisa dikatakan bahwa sejarah adalah hasil ciptaan dari berbagai perang yang terjadi antara berbagai kelas dan golongan. Kelas dan golongan itu adalah hasil dari ekonomi masyarakat. Setiap kali kita ingin menjelaskan suatu kenyataan sejarah, maka yang hafus kita perhatikan terlebih dahulu ialah: Manakah pemikiran-pemikiran yang saling bertentangan itu? Dari celah-celah segenap pemikiran itu, kita akan dapat mengetahui mana kelas dan golongan yang bertahan serta mana kelas dan golongan yang menentang. Setelah itu, kita baru bisa menyingkap kondisi ekonomi yang telah menciptakan berbagai kelas dan golongan itu.” Kemudian ia mengemukakan pasal lain yang sangat rinci. Namun, semuanya itu tak lebih hanyalah dugaan dan prasangka belaka. Kita tidak mengatakan bahwa sesuatu itu tidak ada. Kita berpandangan bahwa tidak ada argumentasi pasti yang mengatakan bahwa masalah itu demikian. Mereka menyebutkan bahwa kehidupan manusia terbagi dalam beberapa periode: periode kehidupan komunal pertama, peri- ode berburu dan bercocok tanam yang menurut keyakinan mereka - dibarengi, di satu sisi, dengan periode perbudakan dan, di sisi lain, periode kepemilikan. Setelah itu muncul periode dagang dan borjuis.

Kemudian muncullah periode kapitalis dalam bentuk terakhir.

Ia mengatakan, “Untuk mengetahui sumber kemunculan berbagai kelas dan golongan, orang harus mempelajari sejarah sosial. Ketika itu, akan diketahui bahwa kelas dan golongan selamanya tidak hanya satu. Di Yunani Kuno, ada kelas budak dan kelas majikan. Di abad pertengahan, ada kaum petani dan kaum feodal. Sementara itu, dalam masa-masa berikutnya, ada kaum proletar dan kaum borjuis. Kita menyaksikan bahwa berbagai kelas dan golongan mengalami perubahan dalam bentuk demikian. Apakah penyebab terjadinya perubahan ini? Perubahan yang terjadi dalam kondisi kehidupan ekonomi telah mengubah semua ini.” Ia menulis pasal lain yang berjudul “Kesesuaian Metode Dialektika dengan Berbagai Ideologi”. Tampak bahwa pandangan ini dikemukakan

p: 430

oleh Karl Marx yang, sepeninggalannya, telah menjadi sasaran kritik dan kecaman. Engels memperbaiki salah satu bagiannya. Sementara itu, bagian-bagian lainnya diperbaiki oleh Lenin. Berbagai kalangan telah melontarkan kritik, karena Marx memandang bahwa nurani manusia seratus persen mengikuti kondisi sosial, kelas, dan golongan. Menurut pandangan Marx, nurani manusia tidak lebih dari pantulan kondisi lingkungan sosial. Atas dasar ini, Marx sama sekali tidak mengakui peranan mendasar ideologi dan pemikiran. Karena ia mengatakan bahwa nurani manusia tidak lebih dari sekadar boneka mainan di tangan kondisi kehidupan materi, maka ketika kondisi kehidupan materi berubah dalam suatu bentuk, dengan sendirinya nuraninya pun-mau tak mau-berubah juga.

Dengan demikian, peranan apa lagi yang dimainkan oleh propa- ganda? Fungsi propaganda dan penyebarluasan informasi adalah membentuk nurani manusia. Sesuatu diciptakan oleh suatu sebab ('illah). Jika Anda mengatakan bahwa air hanya dibentuk dengan menggabungkan unsur A dan unsur B, mungkinkah bisa membentuk air dengan jalan propaganda? Sama sekali tidak. Hal ini mustahil dilakukan.

Jika pemikiran sepenuhnya mengikuti kondisi kehidupan materi, maka kita harus mengatakan bahwa peranan yang dimiliki propaganda adalah nol persen. Namun, karena mereka sendiri melihat bahwa hal itu tidak benar, dan mereka sendiri punya alat-alat propaganda berjangkauan luas, mereka pun lantas berusaha menjelaskan masalah ini. Dalam penjelasannya, mereka mengatakan, “Tentu, manakala kita meyakini bahwa pemikiran mengikuti kondisi kehidupan materi, maka itu bukan berarti bahwa kami tidak mau menerima peranan pemikiran sebagai faktor kedua." Namun, satu hal yang tidak diragukan lagi ialah bahwa jika pemi- kiran sepenuhnya adalah bias dari kondisi kehidupan, maka faktor lain tidak akan mungkin membentuk pemikiran itu. Jika setiap orang hidup dalam kondisi demikian, maka ia akan menemukan pemikirannya dan ia akan bekerja. Sementara itu, bagi orang-orang yang tidak berada dalam kondisi demikian, propaganda sama sekali tidak akan mampu memengarohi mereka. Saya tidak tahu bagaimana mereka sanggup menjelaskan hal ini. Saya akan mengutip pandangan mereka, “Banyak disebut-sebut bahwa Marxisme adalah sebentuk filsafat materialisme

p: 431

yang sama sekali mengingkari peranan pemikiran dalam sejarah.

Artinya, Marxisme mengingkari faktor ideologi dan hanya mengakui pengaruh-pengaruh yang ditimbulkan oleh ekonomi.” Namun, tidak ada seorang pun akan mengatakan bahwa Marxisme sama sekali mengingkari peranan pemikiran. Marxisme mengatakan bahwa pemikiran sepenuhnya mengikuti kondisi kehidupan. Ini berarti bahwa faktor lain sama sekali tidak berpengaruh dalam membentuk pemikiran. Inilah yang harus Anda jawab.

“Pandangan ini salah. Marxisme tidak mengabaikan peranan penting pemikiran, kesenian, dan keyakinan dalam kehidupan.

Sebaliknya, Marxisme memberi perhatian yang begitu besar pada tiga hal.

Apakah faktor ideologi dan bagaimana pula bentuknya? Sisi Marxisme ini, yang telah kami bahas, banyak disalahpahami dibandingkan bagian-bagian lainnya. Sebab, dalam rentang waktu yang sangat lama, mereka hanya mempelajari Marxisme dari sisi ekonominya saja. Dengan demikian, mereka bukan hanya telah memisahkan Marxisme dari bentuknya yang menyeluroh, melainkan juga telah menyampingkan dasar-dasar filsafat Marxisme. Sebab, yang membolehkan ekonomi tampil sebagai sebuah ilmu yang sempurna adalah materialisme historis dan kesesuaiannya dengan materialisme dialektik. Demikian juga, ungkapan-ungkapan yang salah dari kalangan penganut Marxisme disebabkan mereka biasa melupakan peranan ideologi dalam sejarah dan kehidupan. Mereka telah memisahkan ideologi dari Marxisme, sama seperti mereka memisahkan Marxisme dari materialisme historis sejarah. Dengan kata lain, mereka telah memisahkannya dari dasarnya.” Saya tidak bisa memahami dengan baik apa yang dikemukakannya itu. Tidak ada kesalahan dalam pandangan kita. Artinya, berdasarkan prinsip Marxisme, sama sekali tidak ada peran yang dimainkan ideologi.

Dan ideologi bukanlah faktor yang berperan. Tidak ada seorang pun mengingkari bahwa “pemikiran”-nya merupakan sebuah faktor.

Akan tetapi, kita mengatakan bahwa, berdasarkan ajaran Marxisme, “pemikiran” sepenuhnya mengikuti keadaan ekonomi. Artinya, pemikiran sama sekali tidak dapat keluar dari poros kondisi ekonomi dan sepenuhnya hanya memainkan peran sebagai pengikut.

Kritikan yang dilontarkan atas mereka ialah bahwa peranan yang dimainkan ideologi adalah peranan sebuah faktor yang sepenuhnya

p: 432

mengikuti dasar-dasarnya. Karena itu, tidak mungkin seseorang datang dan membawa nurani palsu. Nurani selamanya hanya satu. Tidak ada dikotomi nurani benar dan nurani dusta. Anda harus memberikan jawaban atas hal ini dan hendaknya tidak melakukan paralogisme (mughâlathah) dengan mengatakan, “Anda telah mengatakan bahwa, dalam pandangan Marxisme, ideologi sama sekali tidak punya peranan dalam sejarah. Tidak, tidak demikian. Ideologi punya peranan dalam sejarah.” Kita tidak mengatakan bahwa, menurut pandangan Anda, ideologi sama sekali tidak punya peranan. Kita hanya mengatakan bahwa, dalam pandangan Anda, ideologi hanya berperan sebagai pengikut. Sebagaimana Anda katakan, kondisi ekonomi inilah yang menciptakan pemikiran. Dan pemikiran menciptakan kehendak dan keinginan. Kemudian kehendak dan pemikiran inilah yang menciptakan perbuatan. Kemudian, perbuatan ini mengubah keadaan sosial, tetapi dalam bentuk yang sama sekali tidak bakal berubah. Kemudian, dalam permainan paralogisme, Anda mengatakan, “Tidak, ideologi juga berperan.” Anda telah jatuh dalam masalah nurani dusta. Setelah itu, nurani dusta sama sekali tidak berarti.

Dalam pasal “Bangunan Ekonomi dan Bangunan Ideologi”, Georges Politzer mengatakan, “Dalam penelitian atas materialisme historis, kita melihat urutan-urutan sejarah sosial sebagai berikut. Manusia menciptakan sejarah dirinya dengan perantaraan perbuatannya.

Perbuatan ini bersumber dari keinginan manusia sendiri. Keinginan manusia bersumber dari pemikirannya. Kemudian, kita melihat bahwa sesuatu yang menciptakan dan membentuk pemikiran manusia berupa ideologi adalah lingkungan sosial dan kelas sosial dalam masyarakat.

Sementara itu, berbagai kelas dan kelompok dalam masyarakat merupakan hasil dari kondisi ekonomi atau, dengan kata lain, hasil dari produksi kondisi ekonomi.” Berdasarkan pokok ajaran ini, maka dikotomi nurani benar dan nurani dusta tidak lagi bermakna. Kemudian ia mengatakan, “Begitu juga, kita telah mendapatkan bahwa, di antara faktor ideologi dan faktor sosial, ada faktor politik. Pertarungan ideologi yang berkecamuk dalam masyarakat akan melahirkan faktor politik. Jika kita melihat struktur masyarakat dengan bantuan cahaya materialisme historis, maka akan terlihat oleh kita bahwa pilar masyarakat bertumpu pada

p: 433

dasar ekonomi, badan politik, dan badan ideologi. Dua yang terakhir ini berkedudukan sebagai suprastrukturnya. Kita menyaksikan bahwa, sebelum munculnya kaum materialis, mereka memandang lembaga politik sebagai puncak tertinggi lembaga sosial. Sementara itu, kalangan idealis memandang ideologi sebagai pilar bagi lembaga masyarakat.” Hingga di sini, pandangan-pandangan Anda-yang sesuai de- ngan dasar-dasar ajaran Anda-telah kami terima. Karena itu, dalam pandangan kami, pembahasan kedua yang dikemukakan oleh Engels dan sebagainya menyatakan bahwa mungkin saja sebagian nurani yang ada adalah dusta. Mungkin saja seseorang yang ada dalam kelas dan kelompok tertentu, tetapi karena pengaruh berbagai bentuk pro paganda yang bertentangan dengan kelas dan kelompoknya, mempunyai pola pikir yang bertentangan dengan kelasnya. Ini tidak berarti sama sekali.

"Manusia mampu memperkirakan masa yang akan datang. Ia juga sanggup memperluas lingkungan kehidupannya begitu rupa sehingga keluar dari kondisi tempat dan zaman. Kesimpulannya ialah bahwa manusia bisa saja mengorbankan berbagai kepentingan masa sekarang demi meraih berbagai kepentingan masa depannya. Orang yang berpikir dalam tingkatan lebih tinggi dan meyakini bahwa kesempurnaan dan kebahagiaan yang hakiki ada di alam akhirat akan bersedia untuk mengorbankan kesenangan materi dan bersedia mengorbankan kepentingan masa sekarang demi memperoleh manfaat dan kepentingan lebih besar di masa yang akan datang.” Dalam pandangan saya, jawaban ini sama sekali tidak benar. Pertama, penafsiran yang dikemukakan tidak disetujui sendiri oleh penafsirnya. Pembahasannya bukan berkisar pada masalah tentang apakah manusia melakukan suatu pekerjaan demi mendapatkan keuntungan umum bagi dirinya atau tentang apakah manusia bisa keluar dari suatu kebaikan dirinya. Dengan kata lain, apakah manusia bisa melakukan suatu perbuatan tanpa sama sekali memerhatikan sedikit pun kebaikan dalam dirinya. Tidak ada seorang pun di dunia ini yang mengatakan bahwa ia melakukan suatu pekerjaan tanpa sama sekali memandang bahwa perbuatan itu akan mendatangkan kebaikan bagi dirinya. Kedua, berdasarkan apa yang telah dikemukakan, agama bisa berkedudukan sebagai pilar. Lalu, mengapa mereka menyimpulkan bahwa agama adalah suprastruktur yang berdiri di atas sebuah pilar? Yang sedang Anda kembangkan ini

p: 434

juga bisa memperluas kepribadian seorang manusia yang meyakini kehidupan abadi. Artinya, ia juga melakukan segenap perbuatannya demi keuntungan yang akan diperolehnya di alam lain. Dengan demikian, ia juga melakukan semua perbuatannya itu berdasarkan pertimbangan keuntungan. Jika Anda memperluas pengertian ekonomi hingga sampai ke alam lain yang akan ditempuh manusia, maka hal itu berarti bahwa agama harus berkedudukan sebagai pilar. Jadi, apa makna dari kesimpulan yang mereka katakan bahwa agama adalah suprastruktur secara keselurohan? “Jika kita menyaksikan ada seorang pekerja yang berpikir seperti seorang borjuis atau kapitalis, maka kita harus menjelaskan kenyataan ini. Artinya, mereka dapat mengenal kebudayaan satu sama lain karena semakin luasnya hubungan komunikasi. Jika seorang anak dari kalangan kaum kapitalis bisa mengenal nilai-nilai kelas kaum buroh atau pekerja, mengetahui arah sejarah dan meyakininya serta menyadari bahwa yang bakal menang di masa mendatang kelak adalah kaum buroh, maka sistem nilai yang dimilikinya tidak lagi bersifat kapitalis. Lingkungan telah membentuk nilai-nilai baru bagi nurani ini, dan nurani anak itu sekarang sudah menjadi nurani kaum buroh.

Ketika kita mengatakan bahwa, pada gilirannya, pemikiran punya peranan, maka kita harus berpikir dengan logika dialektik. Artinya, pada mulanya, pemikiran adalah hasil dari lingkungan dan kondisi.

Namun, pada giliran berikutnya, pemikiran juga memengarohi kondisi dan lingkungan secara timbal balik. Anda menyebut logika dialektik.

Jika yang Anda maksud dengan logika dialektik adalah pemikiran dan lingkungan materi saling memengarohi secara timbal, maka logika kamilah yang merupakan logika dialektik, bukan logika Anda. Jika demikian halnya, mengapa Anda menamakan salah satu darinya sebagai pilar dan landasan? Anda mengatakan bahwa yang satu adalah pokok, sementara yang lain adalah cabang. Ketika Anda mengatakan bahwa yang satu adalah pokok dan yang lain adalah cabang, maka logika Anda bukan lagi logika dialektik “Kekuatan apakah yang menggerakkan sejarah pada masa kehidupan komunis yang di dalamnya tidak ada lagi kelas dan golongan? Mesti disampaikan bahwa sebelum ada konflik di antara sesama manusia, telah terjadi konflik antara manusia dengan alam, yang menggerakkan

p: 435

sejarah. Di masa mendatang, faktor serupa juga akan menggerakkan sejarah. Artinya, mungkin saja konflik di antara sesama manusia akan berganti dengan konflik antara manusia dengan alam.” Tidak diragukan lagi bahwa di masa dahulu telah terjadi konflik antara alam dan manusia. Konflik ini masih terus berlangsung. Na- mun, juga tidak diragukan lagi bahwa di masa mendatang, di mana konflik antar kelas dan golongan sudah lenyap, sejarah manusia akan tetap ada dan akan tetap bertambah maju. Namun, apakah ini mesti termanifestasi dalam bentuk konflik antara manusia dengan alam? Atau, apakah dalam diri manusia ada naluri untuk menguasai alam sedemikian rupa? Jelaslah bahwa akan tiba saatnya ketika manusia akan mampu menguasai bumi. Namun demikian, manusia selalu berusaha mendapatkan yang lebih sempurna. Manusia juga ingin mampu menguasai benda-benda langit lainnya. Apakah keinginan manusia untuk menguasai benda-benda langit atau planet-planet lainnya ini disebabkan oleh konflik antara munusia dan benda-benda langit ataukah oleh naluri manusia yang hendak menguasai selurohnya? Mengapa kita menggambarkan bahwa hal itu disebabkan oleh konflik antara manusia dengan alam? “Konflik antara keduanya adalah bahwa, secara fitrah, manusia cenderung melakukan perluasan dan agresi. Setiap makhluk ingin memperluas lingkungan hidupnya. Karena mereka hendak memperluas lingkungan hidupnya, mereka pun berhadapan dengan berbagai rintangan alam.” Rintangan bukanlah konflik.

Kita harus bersikap demikian untuk menjelaskan masalah ini.

Karena itu, menurut hemat saya, pemikiran ini sama sekali tidak bisa dijelaskan jika kita menganut Marxisme yang mengatakan bahwa eksistensi sosial dan kelas kita inilah yang menciptakan nurani kita.

Jika ia mengatakan bahwa lingkungan memengarohi nurani, maka ucapan ini sungguh luar biasa, sama seperti halnya nurani manusia memengarohi lingkungan. Nurani manusia adalah manusia itu sendiri. Manusia sendiri sudah ada sebelum lingkungannya ada. Artinya, manusia diciptakan sedemikian rupa sehingga fitrahnya memerlukan berbagai tuntutan dan kebutuhan. Semuanya ini sudah ada dalam relung nurani manusia.

p: 436

ANALISIS TEORI DETERMINISME EKONOMI DALAM SEJARAH II

p: 437

p: 438

SEBELUMNYA kita telah mendiskusikan sebuah teori dalam sejarah yang menyatakan bahwa kekuatan yang secara deterministik menggerakkan sejarah adalah tuntutan ekonomi manusia.

Kemampuan produksi makin berkembang menjadi sebuah keharusan.

Demikian pula, hubungan antara produksi dan distribusi kekayaan pun berubah. Atas dasar ini, semua aspek kehidupan lainnya mau tak mau juga berubah. Kita telah mendiskusikan masalah ini dalam pokok bahasan tentang Islam dan tuntutan zaman. Inilah argumentasi yang digunakan oleh sebagian orang untuk membuktikan bahwa mustahil ada sebuah hukum dan undang-undang yang sanggup bertahan.

Kita akan menganalisis dua masalah. Masalah pertama ialah bah- wa ungkapan yang mengatakan, “Ekonomi adalah landasan utama” agak samar bagi saya. Artinya, ungkapan ini dapat ditafsirkan dalam dua arti. Dengan demikian, maksud ungkapan itu bisa dipahami. Arti pertama ungkapan ini ialah bahwa “landasan utama” adalah “infra- struktur masyarakat”. Berbagai lembaga dalam suatu masyarakat dapat diibaratkan sebagai bangunan yang memiliki beberapa lantai atau tingkat. Satu lantai berkedudukan sebagai dasar, sementara lantai lainnya dibangun di atasnya. Lantai atas bergantung kepada lantai- dasar, sementara lantai dasar tidak bergantung pada lantai atas. Jika terjadi perubahan, pergerakan, dan kehancuran pada lantai dasar, maka hal itu pasti akan memengarohi lantai-lantai di atasnya. Namun, jika perubahan atau kerusakan terjadi pada lantai atas, maka hal itu tidak akan memengarohi lantai dasar.

Apakah ungkapan, “Ekonomi adalah landasan utama" mengandung makna bahwa hubungan ekonomi dengan semua masalah lainnya itu seperti hubungan lantai dasar bangunan dengan lantai-lantai lain di atasnya? Jika bermakna demikian, maka ungkapan

p: 439

di atas hanya menjelaskan bahwa perubahan dalam bidang ekonomi akan menyebabkan terjadinya perubahan dalam semua bidang lainnya.

Ungkapan di atas hanya menjelaskan hubungan negatif, dan bukan hubungan positif, antara masalah ekonomi dan berbagai masalah lainnya. Maksudnya ialah bahwa ungkapan di atas tidak menjelaskan bahwa semua aspek dan lembaga dalam masyarakat merupakan bias dari hubungan ekonomi. Ungkapan di atas juga tidak mengatakan bahwa semua bentuk dan karakteristik berbagai aspek dalam masyarakat berasal dari ekonomi. Namun, ungkapan itu hanya mengatakan bah- wa jika suatu lembaga dibentuk dan terjadi perubahan dalam aspek ekonomi, maka secara otomatis semua aspek lainnya pun ikut berubah. Hanya saja, ungkapan di atas tidak menjelaskan ihwal apakah perubahan itu terjadi karena mengikuti aspek ekonomi.

Ada dua sumber yang bisa digunakan untuk menjelaskan masa lah ini. Yang pertama adalah sumber kejiwaan. Kita katakan bahwa masa- lah ini bersumber dari karakter jiwa manusia itu sendiri. Sementara itu, sumber kedua berkaitan dengan karakter ekonomi dan ber bagai masalah lainnya. Bagaimana demikian? Jika kita mengatakan bahwa sumbernya adalah karakter jiwa, maka- berdasarkan filsafat ini manusia adalah sebuah makhluk yang hanya mempunyai satu naluri yang berkedudukan sebagai naluri dasar. Ia tidak memiliki naluri-naluri dasar lainnya. Satu-satunya naluri dasar yang dimiliki manusia adalah naluri “berusaha untuk mendapatkan kehidupan ekonomi”. Jadi, manusia diciptakan dengan susunan demikian. Begitu pula, tumbuh-tumbuhan dan hewan diciptakan dengan susunan tertentu. Sesuatu yang menjadi dasar dalam wujud manusia adalah “usaha untuk mendapatkan kehidupan ekonomi”. Ji- wa dan sumber dari segala sesuatu lainnya, meskipun berbagai macam bentuk, tetap merupakan bagian dari naluri usaha untuk meraih ke- hidupan ekonomi. Mungkin saja muncul fenomena-fenomena dalam diri manusia yang tidak diketahuinya tentang sumber awalnya. Lalu ia mengira bahwa fenomena-fenomena itu adalah sesuatu yang terpisah dan bebas. Namun, jika manusia menganalisisnya, maka ia akan melihat bahwa yang sumbernya tetap adalah naluri usaha untuk mendapatkan pan ekonomi. Misalnya, seseorang mempunyai sahabat dekat Ia mengira bahwa persahabatannya itu disebabkan adanya rasa saling

p: 440

mencintai di antara mereka berdua. Karena rasa cinta yang tercipta di antara mereka berdua ini, maka timbullah persahabatan di antara mereka berdua dan saling mengunjungi. Namun, jika mereka membuka diri lebih jauh, niscaya akan tampak bahwa persahabatan bukanlah dasar.

Seseorang bersahabat dengan orang lain agar ia beroleh keuntungan ekonomi bagi dirinya. Karena suatu persahabatan yang berlangsung tanpa didasari keuntungan ekonomi secara bertahap akan dingin dan musnah. Demikian juga halnya dengan berbagai masalah lain.

Jika mereka mengatakan demikian, maka jawabannya haruslah diberikan oleh psikologi yang bertugas meneliti masalah naluri dan jiwa manusia. Psikologi tidak menerima pandangan ini. Ilmu-ilmu kontemporer dan psikologi modern tidak menerima pandangan yang mengatakan bahwa manusia hanya punya satu naluri dasar, yakni naluri berusaha untuk mendapatkan kehidupan ekonomi. Bahkan, kaum ma- terialis pun menolak pandangan ini. Bertrand Russel meyakini bahwa dalam diri manusia ada tiga naluri dasar, yaitu naluri dan kecender- ungan untuk berusaha mendapatkan kehidupan ekonomi, naluri dan kecenderungan seksual, dan naluri dan kecenderungan untuk mencari kesempurnaan dan kekuasaan.

Sebagian orang meyakini adanya naluri untuk mencari kebenaran dalam diri manusia. Artinya, sesuai dengan tingkatannya, manusia di- ciptakan dengan dibekali naluri mencintai kebenaran dan juga naluri untuk mencari ilmu pengetahuan. Karena itu, mereka meyakini bahwa dalam diri manusia ada naluri dan kecenderungan ilmu, seni, estetika, akhlak, dan agama. Hanya saja, mereka belum sampai pada kesimpulan pasti tentang naluri dasar manusia. Para ilmuwan terkemuka pun ber- beda pendapat dalam masalah ini. Sebagian dari mereka mengatakan bahwa agama adalah naluri dasar manusia, sementara sebagian lain memandangnya bukan sebagai naluri dasar.

Jadi, masalahnya tidaklah sederhana dan mudah, Kita tidak bisa menjelaskannya dalam bentuk filsafat umum. Masalah ini berpijak pada ilmu. Mereka yang mengaku membawa bendera keilmuan lebih dari yang lain, dan meyakini bahwa filsafat mereka dibangun di atas ilmu, sekurang-kurangnya, menerima ilmu yang mereka jadikan sebagai penopang berbagai pandangan mereka. Hanya saja, perlu diketahui

p: 441

bahwa ilmu pengetahuan tidak sependapat dengan pandangan mereka.

Tampaknya, tidak ada seorang psikolog pun di dunia ini mengatakan bahwa hanya ada satu naluri saja dalam diri manusia, yakni naluri berusaha untuk mendapatkan kehidupan ekonomi.

Sumber lainnya dalam masalah ini adalah pikiran manusia.

Dengan kata lain, ini adalah masalah kemampuan memahami dan berpikir dalam diri manusia. Dalam diri manusia ada kemampuan untuk berargumentasi. Seorang manusia mampu menyusun berbagai argumentasi. Dari berbagai premis (muqaddimah) yang disusunnya, ia bisa menarik kesimpulan. Kemampuan manusia dalam menarik kesimpulan ini berkaitan dengan dua hal. Pertama, “premis dasar pertama” apa yang dipilihnya sebagai pokok masalah? Ia memulai dari premis hingga sampai pada kesimpulan. Kedua, bagaimana ia menyusun berbagai premis itu? Inilah tugas yang harus dilaksanakan oleh logika formal. Artinya, logika formal berfungsi manakala seseorang punya sekian premis. Ia menyusun berbagai premis itu sehingga bisa menarik kesimpulan. Di sinilah logika formal berperan.

Dalam berbagai bidang ilmu, bahkan ilmu-ilmu empiris, ada usaha untuk menyusun argumentasi. Sebab, meskipun dalam ilmu- ilmu empiris manusia selalu melakukan berbagai percobaan, toh pada akhirnya ia berusaha menyusun hasil berbagai percobaannya itu dalam sebuah bentuk teori umum. Usaha penarikan kesimpulan juga ada dalam ilmu-ilmu seperti ini.

Sekarang, apakah kemampuan berpikir dan memahami manusia, yang digunakannya dalam menyusun argumentasi-argumentasi dalam berbagai masalah ini mengikuti sesuatu ataukah merdeka? Ini adalah satu persoalan penting. Apakah kemampuan berpikir manusia dan akar- akar naluri berpikir dalam dirinya merupakan sebuah kekuatan yang merdeka ataukah tidak? Dalam konteks ini, pemikiran manusia punya kemerdekaan. Artinya, dalam masalah-masalah seperti ini, pemikiran manusia tidak tunduk pada berbagai keinginan, kepentingan, sistem kehidupan, dan sebagainya. Contoh terbaik dalam hal ini bisa kita saksikan dalam fisika, matematika, dan astronomi. Dalam hal ini, para ilmuwan Soviet dan Cina yang hidup dalam sistem komunisme dan para ilmuwan Amerika yang hidup pada sistem yang sama sekali bertolak belakang tidak akan melihat masalah dan menarik kesimpulan dari

p: 442

sudut-pandang yang berbeda. Betapapun, masalah ini berkaitan dengan psikologi. Dalam psikologi, tidak ada pandangan yang mendukung teori bahwa pemikiran manusia akan berubah dengan berubahnya sistem kehidupan mereka.

Satu hal yang banyak memicu timbulnya paralogisme (mughâlathah) adalah mencampuradukkan pemikiran praktis dengan pemikiran teoretis. Para filsuf telah mengetahui ada sesuatu yang benar- benar tinggi dan luhur. Artinya, ada sebagian masalah yang termasuk dalam kategori konsensus dan konvensi (ittifaqiyyah). Masalah-masalah ini berubah dalam pemikiran manusia. Mereka menyebutnya sebagai pemikiran praktis dan kebalikan dari pemikiran teoretis. Dengan ungkapan lain, mereka mengatakan bahwa pemikiran manusia tentang “alam sebagaimana adanya” tidak tunduk pada berbagai keinginannya.

Namun, pemikiran manusia ihwal “alam sebagaimana mestinya" tunduk dan mengikuti berbagai keinginan manusia. Matematika, fisika, dan sains alam lainnya termasuk dalam kategori ilmu-ilmu teoretis. Dalam konteks ini, masalah kebaikan dan keburukan, keindahan dan kejelekan pun berubah.

Ada perbedaan pandangan di kalangan para teolog skolastik Islam (al-mutakallimûn) dan para filsuf dalam hal ini. Kaum teolog memasukkan kebaikan dan keburukan dalam masalah-masalah ketuhanan. Mereka mengatakan, “Suatu perbuatan adalah baik bagi Allah dan, karenanya, Allah pun melakukannya. Sementara itu, suatu perbuatan adalah buruk bagi-Nya dan, karenanya, Dia tidak melaku- kannya.” Para filsuf mengatakan, “Masalah kebaikan dan keburukan berkaitan dengan kehidupan manusia dan tidak keluar dari batas-batas pemikiran manusia.” Sebagian ilmuwan kini berpandangan bahwa pemikiran dan nurani manusia adalah boneka kondisi kehidupan. Dalam penelitian mereka atas berbagai suku dan bangsa, mereka melihat bahwa pokok-pokok pemikiran manusia tentang kebaikan dan keburukan rasional sesuatu sangat berbeda satu sama lain. Artinya, pandangan dan pemikiran mereka tentang kebaikan dan keburukan mengikuti kondisi zaman dan tempat. Mereka mengatakan, “Ketika kami datang kepada suatu kaum, kami melihat bahwa suatu perbuatan sangatlah buruk dalam pandangan mereka. Sementara itu, ketika kami mendatangi kaum lain,

p: 443

kami menjumpai bahwa perbuatan yang sama sangatlah baik dalam pandangan mereka. Masing-masing kaum bersandar pada pemikiran mereka.” Ilmu sama sekali bukanlah boneka yang tunduk pada berbagai macam kehendak, adat, peraturan, konvensi, kondisi-kondisi khusus kehidupan, dan juga kekayaan serta kemiskinan. Masalah-masalah khusus filsafat, ilmu alam, atau matematika yang diperoleh seorang anak miskin sama persis dengan yang diperoleh seorang anak kaya.

Namun, bisa saja ada perbedaan di antara keduanya dari segi struktur otak. Misalnya, seorang anak miskin lebih cerdas, sementara seorang anak kaya kurang cerdas dan atau sebaliknya. Hanya saja, hal- hal itu sama sekali tidak berkaitan dengan kekayaan dan kemiskinannya.

Karena itu, jika kita hendak menundukkan agama dan seni kepada masalah ekonomi, maka kita harus berpandangan bahwa masalah- masalah teoretis tunduk dan mengikuti ekonomi. Yang demikian ini tidak bisa diterima ilmu pengetahuan. Mungkin saja sebagian orang berkata lain. Mereka mengatakan, “Pandangan kami bahwa ekonomi adalah landasan utama sama sekali tidak berkaitan dengan karakter jiwa manusia, sehingga Anda bisa menyeret kami pada pembahasan psikologi dan mengecam kami. Kami tidak memungkiri berbagai macam naluri manusia. Begitu juga, kami tidak memungkiri dasar berpikir yang dalam diri manusia. Namun, yang menjadi sebab bagi dasar ekonomi, dan juga ketundukan masalah-masalah lain pada ekonomi, adalah karakter khusus ekonomi dan berbagai karakteristik khusus dalam masalah- masalah itu. Semuanya ini bukanlah semata-mata urusan ekonomi yang lepas dari pengaruh berbagai hal lainnya. Agama adalah masalah nurani dan sama sekali tidak berhubungan dengan sesuatu di luar wujud kita. Demikian juga halnya dengan seni dan akhlak. Akan tetapi, kekurangannya ialah bahwa ekonomi selalu tunduk dan mengikuti materi serta kondisi eksternal. Ekonomi berhubungan dengan bahan baku hasil bumi, dengan sesuatu yang kita hasilkan, dan juga dengan kemampuan berproduksi. Karena itu, ekonomi keluar dari batas kebebasan dan kontrol manusia lantaran berkaitan dengan kondisi- kondisi materiel dan eksternal. Kondisi-kondisi ini pun "berubah memaksakan perubahan itu pada manusia. Sementara itu, manusia tidak punya pilihan lain dalam menghadapi hal ini. Kenyataannya memang demikian. Sekarang kita tidak bisa memaksakan kehidupan

p: 444

kita agar tidak sesuai dengan tuntutan-tuntutan materi. Bahkan, yang demikian itu sama sekali mustahil.” Mungkin saja seseorang mengatakan, “Kami tidak memungkiri dasar kebudayaan dalam diri manusia. Kami tidak memungkiri bahwa kebudayaan manusia muncul dari suatu naluri esensial untuk mencari hakikat dalam dirinya. Demikian juga, mereka tidak memungkiri bahwa agama pun demikian. Namun, pada akhirnya, manusia harus bekerja sama dengan kebutuhan-kebutuhan sendiri. Karena memiliki kaitan dengan berbagai masalah lain dan berada di luar jangkauan kekuasaan manusia serta memaksakan dirinya atas manusia yang harus menghadapinya, ekonomi tidak bisa disesuaikan dengan akhlak, agama, dan berbagai persoalan lainnya. Namun, berbagai persoalan itu bersifat abstrak dan sepenuhnya berada dalam kekuasaan manusia. Jika persoalannya berupa hukum, maka manusia harus segera menggantinya.

Jika persoalannya adalah agama maka manusia harus segera mengubah bentuknya. Jika persoalannya adalah pemikiran, maka ia pun tunduk pada faktor ekonomi dan harus diubah. Maksudnya ialah bahwa ekonomi adalah dasar dan masalah-masalah lain hanyalah cabang saja. Inilah penyebabnya dan bukan karakter jiwa manusia. Seseorang tinggal di suatu lingkungan ekonomi tertentu dan kebutuhannya akan kebudayaan tetap terjaga. Hanya saja, ia melihat bahwa mustahil menyesuaikan ekonomi dengan kebudayaan. Karena itu, ia menyesuaikan kebudayaan dengan kebutuhan ekonominya. Ini karena kebudayaan termasuk dalam masalah abstrak dan tidak mempunyai akar dari luar. Seorang manusia tahu bahwa dirinya memerlukan agama dan tidak bisa lepas darinya.

Namun, pada saat yang sama, ia juga melihat bahwa ekonomi tidak bisa disesuaikan dengan agama. Karenanya, ia menyesuaikan agama dengan ekonomi. Ia juga melihat bahwa dirinya membutuhkan seni, tetapi tidak bisa memaksa ekonomi agar sesuai dengan seni. Karena itu, ia menyesuaikan seni agar sejalan dengan ekonomi. Dengan demikian, penyebabnya adalah bahwa ekonomi tunduk dan berkaitan dengan berbagai faktor eksternal, sementara masalah-masalah lainnya tidak.” Pandangan ini jelas tidak bisa diterima. Memang benar bahwa masalah-masalah itu tidak punya akar pada materi di luar. Namun, ini bukan berarti bahwa masalah-masalah itu tidak punya akar. Manusia tidak dapat mengubahnya sesuai dengan keinginannya. Misalnya saja, dalam masalah akhlak, seseorang mengatakan, “Saya memerlukan

p: 445

akhlak. Hingga hari ini, akhlak masih sesuai dengan kondisi-kondisi ekonomi. Nurani akhlak mengatakan bahwa berkata benar adalah baik.

Di masa sekarang, hal itu mustahil dijadikan sebagai acuan akhlak.

Karena itu, kita harus menyesuaikan diri dengan kondisi baru dan sekaligus mengubah nurani kita. Sejak hari ini, kita katakan bahwa berdusta adalah baik."Tidak, sama sekali tidak demikian. Akhlak tidaklah sesederhana itu. Karena mustahil menyesuaikan berbagai masalah ekonomi dengan akhlak, maka akhlak harus diubah agar sesuai dengan masalah-masalah ekonomi. Artinya, kita demikian mudah mengganti nurani akhlak kita, semudah kita mengganti pakaian. Sampai hari ini kita mengatakan bahwa keadilan adalah baik dan kezaliman adalah buruk. Kita harus memerangi kezaliman dan membela keadilan. Yang penting ialah bahwa kita membutuhkan sebuah nurani. Demikian juga halnya dengan dasar-dasar pemikiran.

Hal-hal di atas mempunyai akar. Yang benar ialah bahwa semuanya itu adalah naluri dasar atau fundamental dalam diri manusia. Karena tuntutan berbagai kebutuhan ekonominya, manusia kadang-kadang mengubah berbagai kebutuhan lain. Sebaliknya, disebabkan oleh tuntutan berbagai naluri lainnya, manusia terkadang mengawasi naluri ekonominya. Artinya, semuanya saling menguasai dan memberikan pengaruh timbal balik satu sama lain. Namun, menguasai di sini bukan berarti mengubah dari akarnya, melainkan menggugurkan kekuasaan yang dimilikinya atau dengan kata lain-menjaganya hingga batas- batas kekuatan potensial. Misalnya saja, jika nurani manusia menuntut sesuatu, sementara berbagai kebutuhan ekonominya menuntut sesuatu yang lain, maka ia masih bisa menjalani kehidupannya. Ini tidak berarti bahwa ia harus segera mengubah nurani agama dalam dirinya! Sam sekali tidak demikian. Ia dapat menjaga nurani agamanya itu hingga batas-batas kekuatan potensial. Artinya, ia melupakannya untuk sementara-atau dengan kata lain-memendam nurani agama, akhlak, dan ilmu itu. Contoh-contoh kebalikannya bisa juga kita saksikan di dunia ini. Maksudnya, manusia mengontrol kondisi ekonominya lantaran pertimbangan agama, akhlak, dan ilmu. Kita bisa menyaksikan bahwa manusia mampu mengubah kehidupan ekonominya lantaran pertimbangan akhlak. Ini berarti bahwa akhlak berkuasa atas ekonomi dan agama berkuasa atas ekonomi.

p: 446

MASYARAKAT DAN SEJARAH DALAM PERSPEKTIF AL-QUR'AN

p: 447

p: 448

DALAM bagian ini, kita akan mendiskusikan esensi atau hakikat sejarah dalam pandangan Al-Quran. Dan yang akan menjadi pokok bahasan kita adalah dasar-dasar yang dijadikan pijakan oleh logika Al-Quran dalam kaitannya dengan berbagai peristiwa sejarah. Dalam bagian-bagian sebelumnya, kita telah menyinggung pokok bahasan ini.

Namun, karena kita mendapatkan beberapa temuan baru berkenaan dengan masalah ini, maka saya pandang perlu untuk membahasnya lagi di sini, meskipun mungkin menimbulkan pengulangan dalam beberapa masalah.

Masalah pertama yang akan kita bahas terangkum dalam pertanyaan berikut ini: Apakah Al-Quran memandang masyarakat manusia sebagai individu mandiri? Al-Quran berpandangan bahwa masyarakat manusia tidak lain adalah tambahan atas himpunan individu yang membentuk berbagai umat dan kaum. Artinya, Al-Quran tidak memandangnya sebagai sebuah wujud mandiri jika segenap anggotanya dilepaskan satu demi satu. Dan yang diseru oleh segenap ajaran dan hukum Al-Quran adalah individu-individu.

Jika kita punya pandangan demikian tentang masyarakat manusia, maka ini berarti bahwa-dalam pandangan kita,tidak ada perbedaan sedikit pun antara masyarakat manusia di satu sisi dengan sebuah hutan yang penuh dengan pepohonan di sisi lain. Sebab, wujud hutan yang penuh pepohonan tak lain hanyalah rimbunan pohon. Setiap pohon dalam rimbunan itu mempunyai alam dan dunianya sendiri. Masing- masing pohon berhubungan langsung dengan air, udara, tanah, cahaya, panas, dan sebagainya. Sementara itu, setiap pohon tidak memengarohi pohon lainnya. Artinya, rimbunan pohon itu bukan merupakan realitas nyata yang disebut “masyarakat pohon”.

p: 449

Apakah demikian juga halnya dengan masyarakat manusia? Apakah ini hanya kiasan saja ketika kita mengatakan bahwa masyarakat manusia adalah sebuah tubuh? Ataukah, justru sebaliknya, masyarakat manusia benar-benar adalah sebuah realitas dalam arti bahwa sesama umat manusia berjanji untuk hidup bersama? Masyarakat manusia menjelma menjadi sebuah tubuh. Masing-masing anggota masyarakat punya kedudukan sebagai bagian dari tubuh itu. Artinya, hingga batas- batas tertentu, kebebasannya terhapus serta mengikuti kesatuan dan roh yang berlaku dalam masyarakat.

Jika kita memegang pendapat kedua ini, maka akan muncul persoalan sebagai berikut. Masyarakat adalah sebuah realitas nyata dan bukan persoalan relatif yang diperoleh melalui kesepakatan. Juga, hubungan individu dengannya bagaikan hubungan berbagai anggota tubuh dengan tubuh itu sendiri sebagai satu kesatuan. Pada saat yang sama, setiap individu yang berada di bawah naungan masyarakat, sejauh tertentu-kehilangan kemerdekaannya. Pertanyaannya adalah:

Sampai sejauh mana individu harus kehilangan kebebasannya? Apakah ia harus kehilangan seratus persen, satu persen, atau lima puluh persen? Yang jelas, kita tidak bisa menentukan secara pasti porsi persentasenya.

Al-Quran mengakui wujud individualitas masyarakat dan menyatakan bahwa masyarakat adalah sebuah hakikat nyata. Al-Quran juga memandang bahwasetiapindividuadalahanggota dari hakikatitu. Dalam pandangan Al-Quran, manusia tidak menduduki posisi pohon dalam hutan, melainkan anggota tubuh. Karena itu, hukum Islam dipijakkan di atas dasar ini. Artinya, hukum itu tidak hanya memerhatikan sisi individu saja. Hukum Islam tidak mengatakan bahwa setiap individu sama sekali tidak berhubungan dengan individu-individu lainnya.

Akan tetapi, hukum Islam berpandangan bahwa usaha memperbaiki “keselurohan” sangat diperlukan untuk memperbaiki “bagian”. Setiap individu—demi kepentingan dirinya sendiri—mempunyai tanggung jawab atas “kumpulan” atau “keselurohan” itu. Selain itu, Al-Quran juga mendukung logika demikian. Al-Quran mengakui individualitas yang dimiliki berbagai kaum (aqwân), yang-dalam ungkapan Al-Quran- disebut berbagai umat (umam). Sebagaimana Al-Quran mengakui kehidupan dan kematian setiap individu, ia juga mengakui kehidupan dan kematian masyarakat. Al-Quran seolah-olah mengakui bahwa masyarakat punya umur dan roh, sama seperti setiap individu. Persis

p: 450

sebagaimana setiap individu punya emosi-emosi khusus, maka begitu pulalah halnya dengan masyarakat. Bahkan mungkin lebih jauh lagi dari itu. Persis sebagaimana setiap individu punya kitab yang disebut catatan perbuatan dalam Al-Quran: Dan tiap-tiap manusia itu telah Kami tetapkan amal perbuatannya (sebagaimana tetapnya kalung) pada lehernya. Dan Kami keluarkan baginya pada hari Kiamat sebuah kitab yang dijumpainya terbuka (QS 17:13), maka begitu pulalah halnya dengan setiap umat. Dalam hal ini, kita banyak menggunakan tafsir Al- Mizân, karya 'Allamah Sayyid Muhammad Husain ath-Thabathaba'i.

Karena itu, kita akan banyak berhubungan dengan tafsir ini dan banyak mengutip berbagai pandangan di dalamnya.

Beliau mengatakan, “Ihwal mengapa para ahli sejarah Muslim lebih dahulu membahas masalah-masalah sosial daripada para ahli sejarah yang lain, dan mereka melakukan perhitungan tersendiri atas setiap kaum, dan menyatakan bahwa setiap kaum dan umat mempunyai roh serta mampu melahirkan tokoh-tokoh sekaliber Mas'ûdî seribu tahun lalu dan, setelah itu, Ibnu Khaldun-rahasianya adalah ajaran-ajaran yang terkandung dalam Al-Quran. Mereka mengambil inspirasi dari Al- Quran.” Kalangan Barat mengakui bahwa sosiologi—dan juga ilmu- ilmu lainnya-ditemukan bukan oleh orang-orang Eropa. Mereka mengakui bahwa penemu sosiologi pertama adalah Ibn Khaldun. Tidak diragukan lagi bahwa, sebelum Ibnu Khaldun, sudah banyak orang yang mendahuluinya dalam bidang ini. Hanya saja, Ibn Khaldun adalah orang yang pertama kali menjelaskan masalah ini secara lebih sempurna.

Ibn Khaldun menyatakan hal ini dalam karyanya yang berjudul Al- Muqaddimah. Ia mengatakan bahwa sama sekali tidak ada petunjuk yang menyatakan bahwa ilmu-ilmu rasional yang sampai kepada kita semuanya berasal dari masa lalu.

Orang-orang Yunani membagi ilmu dalam dua kategori besar, yaitu ilmu teoretis dan ilmu praktis. Kemudian, mereka membagi keduanya dalam bermacam-macam bagian dan cabang. Mungkin saja ada ilmu-ilmu lain yang tidak dikenal hingga sekarang. Jadi, ilmu-ilmu itu sama sekali baru dan bukan perluasan dari ilmu lainnya. Ibn Khaldun menyatakan bahwa sosiologi adalah ilmu tersendiri dan berbeda dari ilmu-ilmu lainnya. Sosiologi mempunyai tema, tujuan, persoalan, dan

p: 451

dasar pijakan. Karyanya ini telah diterjemahkan dan merupakan kitab yang sangat berharga. Ia meyakini bahwa setiap umat dan bangsa mempunyai kemajuan dan kemunduran. Kemudian, berdasarkan hasil analisisnya, ia menyebutkan sebab-sebab kemajuan dan kemunduran setiap bangsa dan umat itu. Ia sama sekali tidak menyinggung masalah individu. Ia hanya menjelaskan hukum-hukum yang berlaku atas umat atau—menurut istilah sekarang-bangsa. Ibn Khaldun menjadikan masyarakat sebagai sebuah tema pembahasan ilmu tersendiri dan terlepas dari ilmu-ilmu lainnya. ‘Allamah ath-Thabâthabâ’î mengatakan, “Mereka semua mendapatkan inspirasi tentang hal ini dari Al-Quran.

Sebab, dalam sejarah manusia, hanya Al-Quran sajalah yang pertama kali mengakui umat sebagai mempunyai individualitas sendiri.” Di bagian-bagian awal surah Al-A'raf, ada beberapa ayat yang ditujukan kepada umat manusia dalam bentuk umum. Al-Quran me- ngatakan: Wahai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutupi auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan (QS 7: 26). Ayat Al-Quran berikutnya berbunyi: Wahai anak Adam, janganlah sekali-kali kamu dapat ditipu oleh setan sebagaimana dia telah mengeluarkan kedua ibu bapakmu dari surga (QS 7: 27).

Kemudian, ayat selanjutnya berbunyi: Katakanlah, “Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang tampak ataupun yang tersembunyi, perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan, mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu, dan juga mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui.” (QS 7: 33). Setelah itu, Allah berfirman: Tiap- tiap umat mempunyai ajal, maka apabila telah datang ajalnya, mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak dapat pula memajukannya (QS 7:34).

Dari ayat-ayat di atas bisa diketahui bahwa setiap umat mem- punyai batas waktu penghabisan. Al-Quran menyebutkan ayat-ayat tentang berbagai perbuatan munkar untuk menjelaskan sebab-sebab yang akan membawanya pada batas waktu penghabisan itu. Demikian pula, dari sebagian ayat-ayat lainnya, dapat diambil kesimpulan bahwa setiap umat mempunyai batas akhir kehidupan. Manakala batas akhir itu telah datang, ia sama sekali tidak akan menyimpang barang seutas rambut pun. Waktunya pasti dan tepat.

p: 452

Ketika menafsirkan sebuah ayat sebelum serangkaian ayat di atas, ‘Allâmah ath-Thabâthabâ’î mengatakan demikian, “Setiap umat mempunyai umur dan ajal, sama seperti halnya individu manusia.” Sebagaimana telah kita katakan, mereka menyebutkan bahwa setiap kaum mempunyai satu bentuk emosi dan perasaan yang berbeda dari emosi dan perasaan individu. Anda menyaksikan bahwa setiap umat dan kaum saling memengarohi satu sama lain dan juga diper oleh berbagai sebab (yakni, sebab-sebab alami, geografi, sosial, dan bangsa). Jelaslah bahwa semua manusia mempunyai karakter khusus yang berpijak pada karakter bangsa.

Al-Quran menjelaskan hal ini dalam beberapa ayatnya sebagai berikut. Al-Quran menujukan perkataannya pada sekelompok orang yang selalu melontarkan caci-makian dan celaan. Bahkan, Al-Quran melarang kaum Muslim untuk memaki dan mencela berhala-berhala dan segala sesuatu yang dihormati oleh kelompok lain. Akan tetapi, larangan yang diberikan Al-Quran bukan berdasarkan ukuran sekarang, di mana segala sesuatu yang dihormati manusia lantas otomatis menjadi terhormat. Jika sebuah berhala dihormati oleh sekelompok manusia, dan manusia adalah makhluk yang terhormat, maka apakah berhala itu juga pasti terhormat? Sama sekali tidak. Al-Quran justru mengatakan sebaliknya dan memerhatikan reaksi mereka. Al-Quran mengatakan bahwa jika Anda mencela sesembahan mereka, maka mereka pun akan mencela sesembahan Anda. Karena itu, janganlah Anda mencela dan mencaci-maki.

Disebutkan dalam Nahj al-Balâghah, ketika terjadi Perang Shiffin, Imam Alî melihat bahwa para sahabat beliau mencela dan memaki sahabat-sahabat Mu'awiyah dan sebaliknya. Ketika itu, Imam Alî mengatakan, “Aku tidak senang kalian semua menjadi kelompok orang-orang yang suka memaki dan mencela. Bahkan, sebaliknya, kalian harus mengucapkan perkataan yang baik. Hendaknya perkataan kalian berupa doa. Ucapkanlah, 'Ya Tuhanku! Selesaikanlah masalah di antara kami dan musuh-musuh kami dan berikanlah kepada mereka petunjuk.” (Nahj al-Balâghah, khutbah 204). Al-Quran mengatakan:

Dan janganlah kamu memaki sembaban-sembahan yang mereka sembab selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan setiap

p: 453

umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah tempat kembali mereka. Lalu Dia memberitahukan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan (QS 6: 108).

Ihwal mengapa masalah ini dinisbatkan kepada Allah termasuk dalam pokok bahasan lain. Namun, yang penting ialah bahwa setiap umat memandang bagus segala amal perbuatan mereka. Setiap bangsa mempunyai emosi dan pemahaman yang berbeda ihwal perbuatan yang mereka sukai. Suatu umat memandang sesuatu sebagai buruk. Akan tetapi, dalam pandangan umat lain, sesuatu itu justru dipandang baik.

Semuanya ini membuktikan bahwa terkadang suatu umat mempunyai emosi dan pemahaman yang tidak dimiliki umat lain.

Ada juga ayat lain yang sangat menakjubkan dalam surah Al- Jâtsiyah. Al-Quran dengan gamblang mengatakan bahwa, kelak pada hari Kiamat, akan ditunjukkan kepada manusia sebuah kitab yang- menurut istilah agama sekarang-dikenal dengan nama “catatan amal perbuatan”. Secara uamum, Al-Quran selalu mengulang-ulang informasi tentang hal ini. Al-Quran tidak hanya cukup mengatakan bahwa Allah mengetahui apa saja yang dilakukan manusia. Al-Quran juga mengatakan bahwa apa saja yang dilakukan setiap orang bakal tercatat dalam kitab itu. Semuanya tercatat, entah besar atau kecil.

Ketika manusia dikumpulkan pada hari Kiamat dan ditunjukkan kepada mereka kitab catatan itu, mereka akan mengatakan: Sungguh, kitab apakah ini yang tidak meninggalkan yang kecil dan tidak pula yang besar, melainkan ia mencatat semuanya (QS 18:49). Hingga di sini, tidak ada keraguan sedikit pun tentangnya. Sebagian ulama tafsir (al-mufassirun) mengatakan bahwa yang dimaksud dengan firman Allah: Dan Kami keluarkan baginya pada hari Kiamat sebuah kitab yang dijumpainya terbuka (QS 17: 13) adalah bahwa kata “Kami keluarkan” dalam ayat di atas seolah-olah menunjukkan bahwa kitab itu tersimpan di tempat tersembunyi dan kemudian dikeluarkan dari diri manusia.

Kemudian, apakah seorang individu mempunyai kitab catatan amal perbuatan? Atau, apakah umat juga memiliki catatan amal-per- buatan? Ayat berikut berbunyi: Dan (pada hari itu) kamu melihat tiap-tiap umat berlutut. Tiap-tiap umat dipanggil untuk (melihat) kitab catatan amalnya. Pada hari itu kamu diberi balasan terhadap apa yang telah kamu perbuat (QS 45:28). Ayat ini mengatakan bahwa, kelak pada

p: 454

hari Kiamat, yang pertama kali akan disaksikan adalah bahwa setiap umat berdiri sambil menunggu keputusan yang akan ditetapkan atas diri mereka. Kemudian setiap umat dipanggil untuk melihat kitab catatan amal perbuatan mereka. Dikatakan bahwa mereka hanya diberi ganjaran dan balasan atas apa yang telah mereka kerjakan.

‘Allâmah ath-Thabấthabâ’î juga menjelaskan ayat di atas. Beliau mengatakan, “Dari ayat di atas bisa disimpulkan bahwa setiap umat mempunyai sebuah kitab catatan khusus, sama seperti halnya setiap individu.” Maksudnya ialah bahwa jika masyarakat adalah sebuah wujud nyata yang terpisah dari individu dan bukan semata-mata himpunan individu serta mempunyai jiwa, maka masyarakat pun mempunyai jiwa yang berperan dalam diri manusia. Semuanya ini melahirkan keyakinan bahwa masyarakat pun mempunyai kitab catatan amal perbuatan terpisah dari yang dimiliki oleh individu. Dan tidak ada kemungkinan lain.

Juga ada ayat lain dalam surah Yunus: Dan tiap-tiap umat mem- punyai rasul; maka apabila telah datang rasul mereka, diberikanlah keputusan di antara mereka dengan adil, dan mereka tidak dianiaya (QS 10: 47). ‘Allâmah ath-Thabấthabâ’î mengatakan bahwa, dalam ayat ini, ada satu bentuk pembuangan (hadzf) dan penyembunyian (idhmâr).

Para nabi datang untuk memberikan petunjuk kepada mereka. Ada sebagian dari mereka yang menerima petunjuk itu, dan ada sebagian lainnya yang mengingkarinya. Pada akhirnya, hukum yang berlaku atas mereka adalah kebenaran. Kemudian ayat lainnya mengatakan: Mereka mengatakan, “Kapan ancaman itu datang bila kamu memang orang- orang yang benar?” (QS 10:48).

Rasulullah Saw berkata kepada orang-orang kafir Quraisy, “Sesungguhnya aku ini adalah utusan Allah yang diutus kepada kalian.

Jika kalian mengingkarinya, maka sunnah Allah akan membinasakan kalian. Bukan hanya satu orang, tetapi juga masyarakat yang mengingkari hal ini akan binasa.” Mereka memperolok-olok ancaman Rasulullah Saw itu dan berkata: Kapan ancaman itu akan datang, bila kamu memang termasuk orang-orang yang berarti Al-Quran pun menjawab:

Katakanlah, "Aku tidak berkuasa mendatangkan kemudharatan maupun kemanfaatan kepada diriku, kecuali apa yang dikehendaki Allah (QS 10:

49). Artinya, semua urusan berada di tangan Allah. Setelah menjelaska

p: 455

Sunnah Allah bahwa tiap-tiap umat mempunyai ajal, Al-Quran pun mengatakan, “Ketahuilah! Tiap-tiap umat mempunyai ajal.” Kemudian, ayat yang lain melanjutkan: Tatkala ajal datang kepada mereka, maka tidak sedetik pun dapat mereka tangguhkan dan juga tidak sedetik pun dapat mereka majukan (QS 10:49).

Dalam tafsir Al-Mîzân, masalah ini dijelaskan secara terinci. Berikut ini, saya suguhkan rangkumannya saja, Allamah ath-Thabâthabâ’î mengatakan, “Tatkala mereka berkata, 'Engkau mengatakan bahwa kami akan binasa. Kapan itu akan terjadi? Coba tentukan waktunya!”, Ada dua bentuk jawaban diberikan alas pertanyaan dan tantangan ini.

Pertama, hal ini termasuk dalam urusan gaib. Yang mengetahuinya hanyalah Allah. Urusan ini ada di tangan Allah. Kedua, meskipun termasuk dalam urusan gaib, masalah ini bersifat pasti dan pasti akan terjadi." ‘Allâmah ath-Thabâthabâ’î mengatakan, “Yang kedua adalah manakala hendak menyebutkan bahwa hal itu pasti terjadi, Al-Quran menjelaskannya dengan cara memberikan isyarat kepada satu hakikat berupa sekelompok manusia pandai. Dengan perantaraan mereka, segala macam kesulitan bisa diatasi.” Dalam hal ini, juga ada ayat-ayat lain dalam Al-Quran. Hanya saja, satu hal yang perlu digarisbawahi adalah bahwa Al-Quran memandang masyarakat sebagai individualitas merdeka. Artinya, individu tidaklah memiliki kebebasan seratus persen. Sebab, aktivitas amar ma'ruf nahyi munkar adalah usaha untuk memperbaiki masyarakat dan jiwa kemasyarakatan. Selama perbaikan jenis ini belum dilaksanakan dengan baik, seorang individu tidak akan meraih keberhasilan sepenuhnya.

Setelah jelas bahwa masyarakat memang merupakan suatu hal yang nyata dan benar-benar ada, bahwa individu adalah anggota dalam sebuah masyarakat, dan bahwa keharusan dari keanggotaan adalah hi- langnya sebagian kebebasan tertentu yang dimilikinya, kita pun lantas bertanya. Seberapa banyak kebebasan yang hilang? Apakah ia benar- benar laksana tubuh dan anggota tubuh dan individu sama sekali tidak punya kebebasan, seperti sebuah jari yang sama sekali tidak punya ke- bebasan dan sepenuhnya tunduk pada aturan yang berlaku atas tubuh? Apakah Al-Quran menerima keyakinan bah wa individu sepenuhnya

p: 456

tunduk kepada kejadian-kejadian umum dalam masyarakat dan sama sekali tidak punya kebebasan? Ataukah kenyataannya justru tidak demikian? Maksudnya, dalam masyarakat, manusia punya setengah kebebasan dan kemerdekaan. Artinya, sebagai anggota masyarakat, selain ditentukan oleh masyarakat, manusia juga bisa menentukan masyarakatnya. Masyarakat mampu mengubah dan memengarohi manusia. Manusia juga mampu mengubah dan mengganti kondisi masyarakatnya.

Jelaslah bahwa Islam menerima pendapat yang disebut terakhir ini.

Islam memandang bahwa akal adalah syarat diturunkannya kewajiban (taklîf) atas diri manusia dalam semua hal. Islam juga mengakui kebebasan yang harus dimiliki oleh nurani manusia. Dalam keadaan bagaimanapun, Islam sama sekali tidak menerima alasan yang berpijak pada situasi dan keadaan dalam masyarakat. Umpamanya saja, ada seseorang bertanya kepada kita, “Mengapa Anda lakukan ini?" Kemudian kita menjawab, “Lingkungan menuntut demikian. Inilah keharusan zaman. Zaman telah rusak dan edan!” Dalam pandangan Islam, jawaban seperti ini tidak bisa diterima. Ucapan di atas mengandung makna bahwa jika lingkungan dan zaman telah rusak, maka mustahil kita bisa mempertahankan diri agar tidak ikut rusak. Islam tidak bisa menerima bahwa ini sudah menjadi keharusan lingkungan, keharusan keburukan, keharusan sejarah, dan sama sekali tidak ada jalan keluar. Bagaimanapun keadaan yang menimpa seseorang, ucapan "tidak ada jalan keluar” tetap tidak bisa diterima oleh Islam. Islam tidak bisa menerima semua itu.

Karena itu, Islam banyak berpijak pada akal dan aktivitas berpikir.

Maksudnya, manusia adalah makhluk yang punya kebebasan berpikir.

Ini tidak berarti bahwa akal manusia sepenuhnya merupakan boneka mainan di tangan sejarah, keadaan geografis, politik, dan ekonomi.

Jelas, pendapat ini tidak sejalan dengan logika Al-Quran.

Dalam bentuk apa pun, Islam tidak dapat menerima pandangan bahwa pikiran, nurani, dan iman manusia hanyalah cermin dari suasana dan keadaan lingkungan! Pendapat ini sama sekali tidak bisa diterima.

Oleh karena itu, dalam segenap ajarannya, Islam sangat banyak menaruh perhatian pada masalah akhlak, pendidikan, dakwah, tabligh, kemerdekaan dan kebebasan manusia dalam sebuah masyarakat, dan sebagainya. Bahkan, semua itu dianggap sebagai pokok dan dasar

p: 457

ajaran. Islam menganggap bahwa kemuliaan dan kehinaan seseorang mengikuti kondisi kebebasan dirinya. Inilah logika dasar Al-Quran.

Inilah maksud dari firman Allah dalam sebuah ayat Al-Quran: Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa kepada Allah, niscaya Kami limpahkan kepada mereka keberkatan dari langit dan bumi (QS 7:

96).

Dari sini dapat diketahui bahwa, dalam keadaan apa pun, mereka bebas dan mampu menghiasi diri mereka dengan keimanan dan ketakwaan. Meskipun Al-Quran memandang bahwa nurani, akal, dan keinginan manusia mempunyai kebebasan di hadapan lingkungan, pada saat yang sama Al-Quran juga melihat bahwa lingkungan memiliki individualitas tersendiri. Jadi, Al-Quran mempunyai logika khas yang berkaitan dengan masyarakat dan individu. Alî al-Wardî mengatakan, “Sejarah yang terkandung dalam Al-Quran tidak lain adalah kisah perang dan pertarungan antara para Fir'aun di satu sisi dan para Musa di sisi lain.” Memang, tidak diragukan lagi bahwa Al-Quran menaruh perhatian khusus pada perang kelas dan golongan antara para Fir'aun di satu pihak dan para Musa di sisi lain. Ayat-ayat yang berkaitan dengannya telah kita baca. Demikian pula, apa yang mereka katakan itu benar. Namun, apakah Al-Quran hanya memberikan penjelasan sederhana tentang sejarah dan menyatakan bahwa masyarakat terbagi dalam dua golongan dan kemudian terjadi perang di antara keduanya? Jelas tidak demikian.

Ini tidak sesuai dengan logika Al-Quran yang mengakui kebebasan akal dan nurani manusia. Islam memandang bahwa setiap orang, dari golongan mana pun asalnya, tidaklah terpasung oleh golongannya dan juga tidak terpaksa.

Pendapat di atas sama sekali tidak sesuai dengan kewajiban, tanggung jawab, dan kebebasan. Karena itu, selain menaruh per- hatian lebih pada sisi sejarah ini, Al-Quran juga memberikan isyarat kepada sisi sejarah lainnya. Umpamanya saja, Al-Quran mengatakan bahwa di tengah-tengah lingkungan Fir'aun ditemukan seorang wanita yang menentang kebijaksanaannya. Wanita itu paling banyak memiliki kenikmatan dan kekayaan dibandingkan dengan wanita- wanita lainnya di Mesir. Jika kondisi golongan seseorang secara pasti menguasai nuraninya, maka mustahil ia menjadi wanita Mukmin dan

p: 458

kemudian bangkit menentang Fir'aun. Al-Quran mengatakan bahwa istri Fir'aun adalah seorang wanita yang beriman. Kemudian, Al-Quran juga menempatkan istri Fir'aun dalam deretan wanita suci di dunia ini, seperti Sarah, Hajar, Maryam, dan Hawa. Demikian juga, Al-Quran menyebutkan seorang laki-laki beriman dari keluarga Fir'aun. Al-Quran mengatakan: Dan berkata seorang laki-laki Mukmin dari keluarga Fir'aun yang menyembunyikan keimanannya (QS 40:28).

Sebuah surat dalam Al-Quran dinamakan Al-Mukmin karena mengandung kira-kira lima belas ayat yang membicarakan seorang beriman dari keluarga Fir'aun. Sekiranya Al-Quran hanya ingin menjelaskan bahwa Fir'aun dan golongannya selamanya berada dalam sisi berlawanan, maka tidak ada artinya ayat-ayat Al-Quran datang menjelaskan beberapa orang beriman dari keluarga Fir'aun. Ini adalah penjelasan yang sistematis dan menarik. Al-Quran menuturkan pola pikir Fir'aun dan pola pikir seorang Mukmin dari keluarga Fir'aun. Apa yang dikatakan Fir'aun dan seorang Mukmin itu sungguh menarik untuk didengar.

Lebih dari itu, Al-Quran menyebut-nyebut nama Dawud, Sulaiman, dan Yusuf di saat mereka beroleh kedudukan duniawi tertinggi. Al- Quran menyebut mereka sebagai orang-orang yang punya nurani kemanusiaan terbaik. Al-Quran menceritakan kerajaan Sulaiman dengan ungkapan: Suatu kerajaan yang tidak dimiliki oleh seorang pun sesudahku (Sulaiman). Al-Quran menyebutkan bahwa Sulaiman adalah seorang raja yang berkuasa atas manusia dan jin dan memerintah dengan kekuasaan di luar kemampuan batas manusia biasa. Namun, pada saat yang sama, Al-Quran juga menyebut Sulaiman sebagai orang yang mempunyai nurani kemanusiaan terbaik dan tertinggi. Jika Al- Quran memandang bahwa orang yang berada dalam jajaran penguasa mustahil punya nurani kemanusiaan, maka bagaimana halnya dengan Sulaiman yang dituturkan oleh Al-Quran? Oleh karena itu kita tidak bisa menerima pandangan Alî al-Wardî, yang mengatakan bahwa penjelasan sejarah yang ada dalam Al-Quran hanyalah “gambaran perang dan pertarungan antara para Fir'aun dan para Musa”, dan tidak lebih dari itu! “Pertarungan” yang disebutkan dalam Al-Quran itu memang ada di tengah kehidupan manusia.

Sekarang ini, Anda dapat menyaksikan bahwa tidak ada seorang pun

p: 459

bisa menerima penjelasan orang-orang terdahulu. Misalnya saja, sebagian dari mereka mengatakan bahwa yang menyebabkan terjadinya perubahan ialah faktor geografis. Sebagian lagi menyebutkan faktor kejeniusan sekelompok orang. Sebagian lainnya lagi mengatakan bahwa penyebabnya adalah faktor ekonomi dan seterusnya. Manusia sekarang tidak bisa menerima pendapat yang mengatakan bahwa perubahan terjadi disebabkan sebuah faktor sederhana. Mereka berkeyakinan bahwa semua faktor di atas sama-sama berperan dalam perubahan.

Pendapat terakhir inilah yang benar Al-Quran berpandangan bahwa akal dan nurani manusia adalah bebas dan merdeka di hadapan keharusan masyarakat, keharusan sejarah, dan sebagainya. Al-Quran juga berkeyakinan bahwa fitrah Ilahi tetap dapat hidup dalam segala keadaan dan lingkungan. Untuk itulah Allah memberikan ganjaran dan siksaan kepada manusia. Dalam kitab Al-Kâfî, diriwayatkan ada sebuah hadis dengan redaksi demikian. Hadis itu berbunyi, “Ketika menciptakan akal, Allah berbicara kepadanya.

Kemudian Allah berkata, “Menghadaplah. Kemudian, akal itu menghadap. Allah berkata, 'Berbaliklah. Akal pun berbalik. Selanjutnya Allah berkata, Tidak ada satu makhluk ciptaan-Ku yang paling Kucintai melebihi dirimu. Karena dirimu Aku memberikan siksaan kepada hamba-Ku. Karena dirimu juga Aku memberikan ganjaran kepada hamba-Ku.” Inilah pengakuan Al-Quran atas otentisitas manusia dan nurani kemanusiaan. Dengan demikian, Al-Quran tidak menerima konsep keharusan sejarah dan keharusan masyarakat. Namun, pada saat yang sama, Al-Quran secara resmi mengakui bahwa faktor-faktor di atas mempunyai pengaruh. Dalam pandangan Al-Quran, kehidupan manusia bermula dari Adam. Kehidupan manusia bermula dari seorang manusia. Dan manusianya di sini telah memperoleh pelajaran, sebagaimana dikatakan Al-Quran: Dan telah kami ajarkan kepada Adam nama-nama semuanya (OS 2: 16). Kehidupan manusia berawal dari seorang manusia yang dibebani kewajiban, manusia pilihan Allah yang berbuat kesalahan dan kemudian bertobat. Artinya, kehidupan manusia dimulai oleh seorang manusia yang ada sebelum manusia lain, sebelum masyarakat manusia terbentuk, dan juga sebelum anak keturunan manusia lahir. Dalam diri manusia pertama itu ada pertentangan, yakni

p: 460

dua ajakan yang ada dalam dirinya. Yang pertama adalah ajakan untuk menuju syahwat dan kesenangan dunia. Yang kedua adalah ajakan untuk meninggalkan syahwat dan pergi menuju Allah.

Dari sini dapat diketahui bahwa sebelum terjun dalam kancah masyarakat, sebelum menemukan kehidupan kelas dan golongan, dan juga sebelum keadaan politik, ekonomi dan lainnya berkuasa atas dirinya, manusia telah mengetahui bahwa, dalam dirinya, ada dua hal tersembunyi yang saling bertentangan. Ia harus memilih salah satu dari keduanya itu.

Di satu sisi, setan datang untuk menggoda dan membuatnya was-was. Mengikuti ungkapan Al-Quran, setan datang dengan cara membuat indah dalam pandangan manusia segala sesuatu yang berbentuk syahwat. Di sisi lain, sejak pertama kali di tengah-tengah umat manusia, ada kenabian dan kerasulan yang menyeru manusia menuju jalan kebaikan dan kebajikan. Kepada manusia dikatakan bahwa ia mempunyai kebebasan dan kemerdekaan sepenuhnya untuk memilih salah satu dari kedua hal yang saling bertentangan itu.

Untuk menjawab orang yang mengatakan bahwa pembahasan sejarah dalam Al-Quran hanyalah berupa pertentangan dan pertarung- an antara kelompok Fir'aun dan kelompok Musa, kita harus menjawab sebagai berikut. Kisah kehidupan manusia dalam Al-Quran berisi pertarungan antara nafsu syahwat di satu sisi, dengan nurani, akal, dan hidayat para nabi di sisi lain. Dan demi jiwa serta penyempurnaannya.

Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya (QS 91: 7-8).

Ketika keadaan jiwa manusia demikian, maka mustahil keadaan jiwa ini tidak berpengaruh pada sejarah. Jika kita mengatakan, “Masalah ini bersifat pribadi dan, karena itu, sama sekali tidak berkaitan dengan sejarah!” Maka perlu diingat bahwa yang menciptakan sejarah adalah pribadi-pribadi manusia itu sendiri. Pribadi-pribadi manusia inilah yang telah menciptakan sejarah dan masyarakat.”

p: 461

p: 462

INDEKS

Al-Majlisi 312

Al-Malik azh-Zhâhir 76

Al-Manshûr ad-Dawânîqî al-Muhaqqiq

al-Hillî 48

'Amr bin `Abd Wud 59

Arbitrasi 89, 91

Aristoteles 69, 217, 257

Ayatullah Burujerdi 118, 119, 141, 208

B

Babul 222

Bahmaniyar 169

Baibaras 76

Bani 'Umayyah 46

Barmaki 45

Bertrand Russel 337, 390, 413, 441

'Abdullah bin Zubair 56

'Abdurrahman bin Muljam 95, 101

'Abdurrahman ibn Muljam 94

Abî al Khaththâb 114

Abû al-'Alâ al-Ma'arî 275

Abû al-Hasan 113

Abû Hamzah ats-Tsumâlî 269

Abû Hanîfah 75, 76, 77, 78, 79,

80, 81, 87, 143, 191

Abû Musa al-Asy'ari 91

Abû Muslim 48, 49

Abû Nizar 243

Abû Raihân al-Bîrûnî 178, 333

Abû Thâlib 178

Abû Yûsuf 78, 143

Adî bin Hatim 248, 249

Afsyin 222

Ahlus-Sunnah 15, 67, 75, 77, 80,

81, 101, 107, 113, 129,

139, 142, 179, 190,

297, 298, 311, 312,

313, 314, 353 375, 383

Ahmad bin Hanbal 76, 79, 80, 81,

87, 88, 191

Akhund Khurasânî 125, 126

Albert Camus 351

al-Faidh al-Kâsyânî 196

Alî al-Wardî 458, 459

Allamah al-Hillî 83, 114

Chou En Lai Churchil 258

Churchil 34

Descartes 82, 83

Dinasti Sasanid 220

Dinasti Thâhiriyân 219

Dozy 107

Dzi Riyâsatain 220

Dzuriyasatain 45

p: 463

1

Edward Browne 219

Einstein 33, 34, 37

Eisenhower 34

Engels 423, 429, 431, 434

Fatah Alî Syah 113

Francis Bacon 83

Fuerbach 422, 423

Imam Ali bin Abî Thâlib 58, 179,

180, 182, 183, 184, 185, 191, 194,

215, 222, 223, 227, 248, 249,

267, 269, 413

Imam Alî Zainal Abidin 180, 182,

269

Imam Hasan 179, 180, 183, 185, 186,

392

Imam Husain 180, 183, 185, 186,

356, 357, 392

Imam Ja'far ash-Shâdiq 77, 78, 114,

180, 182, 183, 248, 290

Imam Mahdi 37, 38, 156, 310

Imam Muhammad al-Baqir 312

Immanuel Kant 318

Insinyur Bazargan 394

Iqbal Lahore 189, 196, 346

Iran Shafawi 119

Iskandar Agung 69, 337

Istihsân 115

G

Georges Politzer 421, 422, 427,

430, 433

Gustav Lebon 31, 44, 46, 47

Н

Habib Bourgouiba 57, 61

Hadis muwatstsaq 113

Hadis shahîh 113

Hârûn al-Rasyîd 144

Hasan al-Bashrî 75

Hongaria 421

Jenghis Khan 100

K

Ibn al-Faridh 71

Ibn Jarîr ath-Thabarî 76

Ibn Nuwas 71

Ibnu Haitsam 31

Ibnu Khaldun 451

Ibrâhîm ibn Imâm 46

Imam Alî al-Hâdî 79

Imam Ali ar-Ridhâ 68, 115, 182, 312

Kemal Ataturk 70

Karîz bin ash-Shabâh 59

Karl Marx 8, 394, 397, 411, 422, 423,

427, 431

Kaum Akhbârî 81, 112, 113, 115, 116,

117, 118, 119, 123, 124, 134,

151, 196,

Kaum Khawârij 89, 91, 92, 93, 94,

95, 107, 123, 129, 223

Kaum Sofis 376, 378

Khadijah 178

Khalifah al-Ma'mûn 45

Khâtamiyyah 293, 295, 297, 298,

299, 302, 303, 304, 305,

307, 310, 311, 314

Khurasan 48, 125, 126, 240

p: 464

Khurschev 258

Kufah 76, 77, 94

Perang Jamal 59, 93

Perang Khandaq 60,

267

Lenin 8, 396, 397, 431

O

Qiyâs 75, 77, 78, 79, 80, 81

M

R

Raghib al-Ishfahani 191

Roger Bacon 31

Rossevelt 34, 37

Rustum 104

Mâlik al-Asytar 59, 90

Malik bin Anas 76, 77, 78, 79,

80, 87, 191

Mao Tse Tung 257

Marwan bin Hakam 51

Masjid Ittifaq 288, 384

Mas'ûdî 451

Masyhad 356, 240

Masyrutbah 127

Maulawi 71, 393, 407, 415

Mir Hamid Husain 298

Mirza Mahdi Isfahan 356

Mirza Muhammad Akhbârî 113

Mughirah bin Syu'bah 185

Muhaqqiq Kurki 312

Mullâ Amîn Astar Abadi 113,

114

Mustahab 203, 242, 243, 244,

356, 357

Salsabil 114

Sâmâniyân 219

Sayyidah Fathimah az-Zahrâ' 392

Sayyid Hujjatul Islam 334

Sayyid Jamaluddîn Asadabadi 151

Sayyid Kâzhim Yazdî

Thabâthaba'î 126

Shafâwiyân 219

Sigmund Freud 336

silsilah himar 117

Sir John Malcolm 219, 220

Socrates 42, 219, 287, 318

Stalin 34

Sufyan ats-Tsauri 75, 76, 180

Syaikh 'Abdul Kanrn 210

Syaikh Al-Anshârî 323, 379, 380,

381

Syaikh al-Kulainî 114, 314

Syaikh ash-Shadûq 114, 218, 353

Syaikh ath-Thûsî 113, 114, 217

Syaikh Bahâ’î 314

Syaikh Fadhullâh Nuri 126

N

Naisabur 100, 113

Najaf 241, 368, 369

Naskh 293, 295, 296, 298, 304,

345, 347, 361, 362, 380, 387

Pakistan 189,258

Paralogisme 6, 129, 443

Perang Badar 107, 179, 181, 210

p: 465

Syi'ah 15, 67, 79, 81, 101, 113, 125, 129,

138, 139, 140, 179, 183, 185, 191, 298,

312, 313, 314, 353, 375

Takhshish 380

Taqyîd 380

Tatcher 232

Teheran 113, 124, 167, 209, 241,

255, 349, 350, 351, 352

U

'Umar bin Abdul Aziz 75, 76

“Utsmân bin Hanîf 57, 58

W

Walîd bin `Abdul Malik 57

Will Durant 31, 44, 193

Wilson 38, 69, 70

Yunus bin `Abdurrahman 115

Ziyad 185

Zoroaster 104, 169, 221, 302

p: 466

tentang Pusat

Bismillahirohmanirrohim

هَلْ یَسْتَوِی الَّذِینَ یَعْلَمُونَ وَالَّذِینَ لَا یَعْلَمُونَ

Apakah sama antara orang yang berpengetahuan dan tidak berpengetahuan?

Quran Surat Az-Zumar: 9

Selama beberapa tahun sekarang, Pusat Penelitian Komputer ghaemiyeh telah memproduksi perangkat lunak seluler, perpustakaan digital, dan menawarkannya secara gratis. Pusat ini benar-benar populer dan didukung oleh hadiah, sumpah, wakaf dan alokasi bagian yang diberkati dari Imam AS. Untuk layanan lebih lanjut, Anda juga dapat bergabung dengan orang-orang amal di pusat tersebut di mana pun Anda berada.
Tahukah Anda bahwa tidak semua uang layak dibelanjakan di jalan Ahl al-Bayt (as)?
Dan tidak setiap orang akan memiliki kesuksesan ini?
Selamat untukmu.
nomor kartu :
6104-3388-0008-7732
Nomor rekening Bank Mellat:
9586839652
Nomor rekening Sheba:
IR390120020000009586839652
Dinamakan: (Lembaga Penelitian Komputer Ghaemieh)
Setorkan jumlah hadiah Anda.

Alamat kantor pusat:

Isfahan, Jl. Abdurazak, Bozorche Hj. Muhammad Ja’far Abadei, Gg. Syahid Muhammad Hasan Tawakuli, Plat. No. 129/34- Lantai satu.

Website: www.ghbook.ir
Email: info@ghbook.ir
Nomor Telepon kantor pusat: 031-34490125
Kantor Tehran: 021-88318722
Penjualan: 09132000109
Pelayanan Pengguna: 09132000109